Happiness
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Story by PhiruFi
Pairing: Shikamaru N. & Ino Y.
Genre: Hurt/Comfort & Romance, little bit Crime (maybe).
WARNING: Alternate Universe , Crack Pair, OOC, Don't Like Don't Read, EYD, Typo.
A/N: Aku ga terlalu yakin, apakah difanfiksi ini ada unsur romance-nya, maaf sebelumnya. Dan aku kasih rate M, tapi tidak ada adegan dewasa, hanya karena tema dan konflik yang sedikit sensitif, maaf.
Enjoy read this story~
"Ketidakmampuanku adalah mimpi burukku."
oOo
Shikamaru P.O.V
Malam itu... selamanya akan terus membekas diingatan, seperti sebuah film mengerikan yang sengaja diputar di otakku. Setiap detiknya terasa amat menyesakkan. Meskipun Aku menolak untuk mengingatnya, bahkan selama 7 tahun ini, Aku tidak mampu melupakan peristiwa itu.
Saat itu, Aku baru saja pulang dari les. Tentu saja jika aku bisa menolak, Aku tidak akan mengikuti les itu. Tapi Ibuku memaksa.
'Ibu tahu, kau itu anak yang luar biasa pintar. Tapi kau harus ikut les, supaya kau tidak terus-terusan membuang waktumu untuk tidur dan bolos dengan bocah rambut jabrik itu!'
Seperti itulah kata Ibuku. Dia adalah wanita yang galak dan merepotkan. Tapi, dia tetaplah Ibuku.
Aku pulang berjalan kaki dan malam itu jalan raya sangat ramai. Aku terlalu malas mendengar deru dan menghirup oksigen yang sudah bercampur dengan karbon monoksida dari asap kendaraan. Oleh sebab itu, Aku memutuskan untuk pulang lewat gang sempit di antara bangunan besar. Aku tidak takut dengan apapun saat itu. Tidak ada alasan untuk memutar arah hanya karena gang itu gelap dan lembab.
Hampir sampai ke ujung gang, mungkin sekitar sepuluh langkah lagi. Namun, langkahku berhenti saat mendengar suara seseorang merintih kesakitan. Suara itu... sangat memilukan. Aku memberanikan diri untuk mengintip ke salah satu gang lain yang lebih gelap. Bahkan sangat gelap tapi cukup terbantu dengan sinar rembulan malam itu.
Tubuhku bergetar. Hari itulah yang menjadi ketakutanku selama ini. Aku berdiri di belakang tembok dengan kedua tangan yang mengepal. Seolah kedua kakiku terpaku di tanah, Aku tidak mampu bergerak.
Peristiwa itu... terjadi. Dan Aku ada di sana, hanya berdiri tanpa nyali. Dan lagi, Aku tidak mampu mengubah takdir orang itu.
Hingga usiaku sekarang, hampir 24 tahun, Aku hanya bisa bertanya,
Mengapa?
Mengapa Aku hadir di sana, namun tidak dapat mengubah apapun?
Pemikiran orang selama ini adalah salah! Aku bukanlah pemuda dengan anugerah kecerdasan luar biasa yang mampu melakukan apapun!
Aku hanya pemuda pengecut.
Dan ketidakmampuanku adalah mimpi burukku.
Normal P.O.V
"Oi! Shikamaru!"
Pemuda yang disebut namanya itu tersadar dari lamunan.
"Kau masih hobi melamun, ya?" tanya Naruto yang berada di samping meja kerjanya.
Shikamaru enggan menjawab. Ia tetap fokus ke layar komputernya.
"Serius tidak ikut kami ke bar?" Naruto baru saja selesai membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang dari kantor.
Shikamaru menjawab dengan anggukan kepala. Pemuda dengan rambut hitam seperti nanas itu membawa tas ranselnya. Sama halnya seperti Naruto, pemuda itu juga ingin pulang. Shift paginya telah selesai.
"Kau akan menyesal, Shikamaru. Ini terakhir kalinya kita melihat Sasuke. Ayo, ikut dengan kami!" bujuk Naruto.
"Aku tidak mati, Dobe!" ujar Sasuke tidak terima.
"Aku tidak mengatakan kau mati, tuh!" bantah Naruto.
Sasuke menatap tidak suka ke arah Naruto, "perkataanmu ambigu. Lagipula Aku hanya dipindahkan tugas, kapanpun kita tetap bisa bertemu."
"Ya, maaf. Aku tidak bermaksud-ttebayo!" Naruto menggaruk kepala bagian belakangnya.
"Aku tidak bisa ikut. Aku lebih memilih tidur di rumah dibanding minum-minum. Lagipula besok Aku harus masuk pagi lagi," ujar Shikamaru. Ia berjalan melewati Naruto dan Sasuke.
Pemuda itu berjalan ke basement di mana mobil jaguar f-type miliknya terparkir.
Sesampainya di mobil, Ia melemparkan tas ranselnya ke jok belakang. Ia mulai menyalakan mesin dan mengendarai mobilnya ke luar dari bangunan tempatnya bekerja.
Shikamaru memfokuskan pandangannya ke jalanan yang cukup ramai. Sesekali Ia menguap dan mengusap dahinya dengan kasar. Bekerja menjadi anggota kepolisian jepang cukup melelahkan baginya. Hampir setiap hari Ia harus terlibat di dalam kasus kecelakaan atau pun kejahatan lainnya. Kantornya terhubung dengan divisi 119 yang melayani panggilan darurat warga sekitar.
Shikamaru memelankan mobilnya. Ia melihat barisan mobil sepanjang 2 km dari tempatnya berhenti.
"Maaf, apa yang terjadi?" tanya Shikamaru kepada salah satu petugas keamanan.
"Ada kecelakaan mobil di jalan utama," jawab petugas itu.
"Kira-kira berapa lama?" tanya Shikamaru lagi.
"Entahlah. Mungkin sekitar 30 menit lagi atau bahkan 1 jam karena akses jalan terbatas."
Shikamaru menoleh ke sekeliling. Ia tidak mau duduk di dalam mobilnya untuk waktu yang tidak jelas. Ia ingin segera pulang dan tidur.
"Apa jalan itu bisa diakses?" Shikamaru menunjuk ke jalan kecil di samping kanannya.
"Ya. Kau bisa lewat sana, tapi akan lebih jauh."
"Ya," balas Shikamaru. Ia memilih untuk lewat jalan lain meski jaraknya lebih jauh dari jalan utama. Tidak masalah, yang terpenting ia bisa pulang walau bahan bakarnya berkurang dari biasanya saat pulang lewat jalan utama.
Jalanan sepi dan penerangan lampu sangat terbatas. Ruas jalan pun tidak terlalu luas atau bisa dibilang hanya cukup untuk satu mobil dan satu sepeda motor.
Shikamaru kembali memelankan mobilnya. Ia berpapasan dengan satu objek yang cukup mencolok di depannya. Seseorang tengah berdiri tepat di bawah lampu jalan dengan sepeda miliknya. Seorang gadis dengan rambut panjang berwarna platinum. Sekilas terlihat seperti hantu sadako namun dengan warna rambut yang berbeda.
Shikamaru menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat gadis itu berdiri. Sesuatu di dalam hati menggerakkan dirinya untuk ke luar dari mobil. Sejenak Ia mengamati gadis itu berjongkok dan jemari lentiknya mulai meraba rantai sepeda. Tidak salah lagi, masalah gadis itu adalah rantai sepeda yang lepas.
Shikamaru menyeberang dan menghampiri gadis itu, "butuh bantuan?"
Gadis itu sedikit terperanjat dan langsung berdiri. Sekilas Shikamaru mengernyitkan dahinya saat melihat tingkah gadis di depannya.
"Apa Aku mengagetkanmu?" tanya Shikamaru. Ia berhenti di depan gadis itu.
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Aku bisa membantumu memperbaiki rantai sepedamu," kata Shikamaru. Kini gantian Ia yang berjongkok untuk memperbaiki rantai sepeda. Bukan hal sulit. Terkadang orang-orang iseng menelepon 119 dengan masalah konyol seperti rantai lepas atau wastafel yang tersumbat mainan anak mereka.
Tidak sampai 5 menit, sepeda gadis di hadapannya itu sudah kembali berfungsi.
"Sudah." Shikamaru kembali berdiri dan menghadap gadis itu.
"Terima kasih, Tuan. Tapi Aku tidak punya uang," kata gadis itu.
Shikamaru kembali mengernyit. Ia tidak menyangka kalau gadis di depannya itu mengira dirinya meminta bayaran untuk apa yang telah Ia lakukan. Membantu memperbaiki rantai sepeda bukanlah hal besar. Lagipula ini keinginannya sendiri.
"Kau tidak perlu membayarku. Ini hanya masalah kecil," balas Shikamaru.
Gadis itu menganggukkan kepalanya sejenak, "terima kasih, Tuan."
"Tidak usah terlalu formal. Aku rasa kita seumuran jadi kau tidak perlu memanggilku Tuan. Cukup Shikamaru saja," Shikamaru mengulurkan tangan kanannya.
Gadis itu tampak ragu dan tidak segera membalas jabatan tangan Shikamaru.
"Kau takut?" tanya Shikamaru. Ia bukan pemuda yang peduli dengan hal merepotkan seperti ini, tapi kali ini berbeda. Ia merasakan hal aneh dari gadis asing itu. Entah mengapa ia dibuat penasaran.
"Tidak!" bantah gadis itu. Buru-buru Ia membalas jabatan tangan Shikamaru dan berkata, "Aku Ino. Senang bertemu denganmu, Shikamaru."
Shikamaru menurunkan pandangannya tepat ke arah tangan mereka yang masih berjabatan.
"Ada apa dengan tanganmu? Seseorang melukaimu?" tanya Shikamaru. Ia baru saja melihat tangan putih milik Ino yang penuh dengan plester. Mulai dari jemari hingga lengan bawah gadis itu.
"Tidak ada. Ini karena ulah anjing peliharaanku," jawab Ino. Ia menarik tangannya kembali.
"Aku harus pulang." Sebelum meninggalkan Shikamaru, Ino sempat membungkukkan badannya. Gadis itu mulai menaiki sepeda dan mengayuh pedalnya.
Shikamaru sama sekali tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia memperhatikan Ino sampai sosok gadis itu menghilang saat berbelok di gang sempit. Jika boleh jujur, ia merasakan hal janggal dan sedikit khawatir dengan kenalan barunya itu. Seperti keduanya pernah bertemu sebelumnya. Tapi di mana?
"Kenapa Aku terlalu memikirkan hal tidak penting?" Shikamaru bertanya pada dirinya sendiri. Bekerja sebagai polisi mungkin telah membuatnya sedikit lebih penasaran dengan masalah orang lain.
Pemuda itu kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.
oOo
Ino memarkirkan sepedanya di halaman depan. Ia melepas sepatu dan meletakkannya di rak depan sebelum masuk ke dalam rumah.
Klek!
"Ke mana saja kau?" tanya seorang pemuda yang sedari tadi tengah menunggu kepulangan Ino.
"Maaf, tadi rantai sepedaku lepas." jawab Ino.
"Apa Aku bisa mempercayai ucapanmu?" tanya pemuda itu lagi.
Ino memperlihatkan telapak tangannya yang berwarna hitam akibat oli rantai.
"Kotor, 'kan?" jelas Ino. Ia berjalan ke ruang makan dan mencuci tangannya di wastafel.
"Mana uangmu? Berikan padaku!" Rupanya pemuda itu mengekori Ino. Ia berhenti tepat di belakang Ino dan sedikit menghimpitnya.
Ino menoleh sejenak.
"Aku belum gajian. Uangku tinggal sedikit dan itu hanya cukup untuk makan kita berdua," kata Ino.
"Sudah cepat berikan! Atau kemarin malam belum cukup untuk menghukummu?" Ancam pemuda itu.
Ino bergidik saat mendengar ancaman yang ke luar dari mulut pemuda di belakangnya. Suaranya sangat dekat dan mengintimidasi.
Ino merogoh saku celananya dan Ia mengambil uang sisa miliknya. Ino membalikkan badannya dan memberikan uang yang diminta pemuda itu.
"Ini baru namanya kekasih yang penurut." Pemuda itu menepuk bahu Ino beberapa kali sebelum berbalik dan menuju ke kamarnya —kamar mereka berdua.
Ino tersenyum miris. Begitu bodohnya Ia harus tunduk dan takut dengan semua ancam pemuda itu. Bukannya Ia tidak mau pergi, tapi ia terlalu takut untuk bertindak.
oOo
Ino menyisir rambutnya di depan cermin. Ia berniat untuk meninggalkan kebiasaan lamanya selama ini. Biasanya Ia mengurai rambutnya, namun kali ini Ia akan mengikat rambutnya tinggi seperti ekor kuda. Tatanan pemuda yang Ia temui semalam cukup membuatnya terkesan. Baru kali ini Ia melihat kebaikan seseorang tanpa mengharapkan imbalan, baik dalam bentuk uang atau apapun itu.
"Tidak buruk," kata Ino setelah selesai mengikat rambut pirangnya.
"Aduh Sakit, Hidan! L-lepas!" Ino mengaduh kesakitan saat kekasihnya menarik rambutnya dengan kasar.
"Kau mau menggoda siapa, hah?" tanya Hidan. Ia melepas ikatan rambut Ino dengan kasar hingga menyebabkan beberapa helai rambut jatuh ke lantai.
"Aku hanya ingin berpenampilan lain," jawab Ino.
"Cih! Kau itu jelek! Mau pakai baju lain atau apapun itu, kau tetap jelek!" bentak Hidan. Ia memutar tubuh Ino hingga menghadap ke arahnya.
"Berhenti membuatku jengkel, Ino! Jika Aku bilang tidak, jangan lakukan!" Hidan menatap tajam kepada Ino.
Ino mengalihkan pandangannya dan berucap dengan lirih, "kenapa kau selalu mengaturku?"
Bukannya menjawab, Hidan malah tertawa lepas.
"Apa kau bilang?" tanya Hidan.
"Kenapa kau selalu mengaturku?" tanya Ino mengulang ucapannya.
Hidan mencengkram dagu Ino dengan kasar, "karena kau milikku."
"Sejak kapan?" tanya Ino. Butuh keberanian yang besar untuk menjawab perkataan Hidan. Ia tahu risikonya namun untuk saat ini Ia mulai lelah.
Hidan kembali tertawa. Cengkraman di dagu Ino sudah terlepas. Ia sedikit memundurkan tubuhnya.
"Mau mengingat kenangan lama, Ino?" Hidan balik bertanya.
"Baiklah, kalau itu maumu, Aku akan mulai bercerita." Hidan memberi jeda. Ia berdiri di hadapan Ino dengan kedua tangan menyilang di dada.
"Sejak saat Ayahmu itu, menyerahkan anak perempuannya kepada pemuda tampan sepertiku. Saat itulah kau menjadi milikku. Semuanya!" teriak Hidan.
Ino menutup telinganya dengan kedua tangan. Tidak berniat untuk membuka luka lama, namun Ia terlalu lelah menghadapi sikap Hidan selama 7 tahun ini. Pemuda itu kasar dan selalu memperlakukan dirinya dengan buruk. Pemuda itu sering memukulinya setiap kali Ino melakukan kesalahan. Sebenarnya bukan kesalahan, tapi tidaksempurnaan di mata pemuda itu.
"Ingatlah! Inoichi si brengsek itu menganggap dirimu aib. Dan siapa yang menerimamu?" tanya Hidan.
Tidak ada jawaban. Ino dengan susah payah menahan air matanya.
"Siapa yang mau menerimamu?" ujar Hidan mengulangi pertanyaannya.
"Kau," jawab Ino dengan suara pelan.
"Siapa? Aku tidak dengar. Katakan dengan lantang!" bentak Hidan.
"Kau! Kau, Hidan!" teriak Ino. Ia terisak. Meskipun sudah ditahan, namun terasa sesak dan mneyiksa di rongga dadanya.
Hidan merentangkan kedua tangannya sebagai sebuah isyarat.
Ino P.O.V
Aku tidak cukup berani untuk menolak kenyataan bahwa yang dikatakan Hidan adalah benar. Selama ini Aku bahkan tidak pernah membayangkan hidupku sehancur dan seburuk ini.
'Ayah, mengapa? Bukankah seharusnya kau menjagaku?'
'Kau sudah dewasa dan ini adalah aib bagi keluarga kita. Memang sudah seharusnya kau pergi dengannya! Jangan kembali sebelum hidupmu tertata!'
Kalimat itu terus menghantuiku. Aku tidak pernah menyalahkan Ayahku untuk hidupku. Aku hanya merasa hilang arah dan tanpa pegangan dalam menjalani sisa hidupku ini.
Aku memaksakan diri untuk mendekat ke arahnya. Aku memeluk Hidan dengan erat dan menenggelamkan kepalaku di dadanya.
Kini Aku seperti seekor burung. Bukan burung yang mampu terbang bebas di langit, melainkan hanya burung dengan kedua sayap yang telah cacat. Tak mampu terbang dan juga tak mampu berjalan dengan dua kakinya. Saat itu, burung kecil ini terluka akibat sebuah peluru merobek sayapnya. Terjatuh dan kemudian dipungut oleh pemburu itu.
Awalnya Aku selalu mencoba untuk percaya akan ada kebahagiaan lagi di hidupku, namun semakin lama Aku membangun kepercayaanku sendiri, justru Aku semakin menyadari bahwa Aku tidak akan mungkin mendapatkan kebahagiaanku lagi.
Aku tidak akan menjadi burung dengan kedua sayap yang sempurna lagi.
-to be continue-
Sudah lama tidak menulis dan kali ini memutuskan kembali menulis namun dengan cerita baru. Duh, maaf banget, padahal masih ada 2 cerita yang belum selesai, tapi malah tambah lagi. Awalnya, mau aku buat satu chapter saja, tapi aku berubah pikiran. Maaf, semisal aneh. Dan maaf banget yaampun, aku ternyata salah lihat tanggal, kupikir ini masih 24, padahal udah janji mau publish tanggal 23/24. Tapi aku berharap masih bisa menghibur teman-teman semua, ya! Happy Holidays!
Jangan lupa baca bio-ku, ya. Ada info yang (mungkin) sekiranya penting. Dan jangan lupa review, ya. Terima kasih banyak!
See you next chapter~
