Awalnya aku selalu mencoba untuk percaya akan ada kebahagiaan lagi di hidupku, namun semakin lama aku membangun kepercayaanku sendiri, justru aku semakin menyadari bahwa aku tidak akan mungkin mendapatkan kebahagiaanku lagi.

Aku tidak akan menjadi burung dengan kedua sayap yang sempurna lagi.

Chapter 2

Kepercayaan dirinya kembali runtuh layaknya sebuah tembok yang susah payah telah dibangun namun hanya butuh beberapa detik mampu roboh dah hancur berantakan. Ino merenungkan nasib buruknya. Segala hal yang ia lakukan, seolah salah dan cacat di mata Hidan.

Ino membuang ikat rambutnya ke tempat sampah di samping meja riasnya. Ia tidak jadi mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Rasanya memang tidak mungkin. Ia membiarkan rambut panjang platina-nya tergerai berantakan dengan poni samping yang menutupi mata kanannya —atau hampir menutupi seluruh wajah cantiknya.

Sebelum beranjak dari tempatnya duduk, Ino memasang soflens berwarna coklat di kedua matanya. Ia memang sengaja menutupi warna matanya. Ia lebih suka seperti ini. Lagipula, ia sudah susah payah membujuk Hidan untuk mengizinkannya menggunakan soflens dengan dalih yang bermacam-macam. Atau ada alasan lain mengapa Ino lebih memilih menutupi warna asli matanya.

Ia mengambil tas kecil miliknya sebelum pergi ke luar dari kamar.

Langkahnya terhenti saat melihat Hidan duduk bersantai di depan TV. Ia menikmati acara musik dengan volume yang cukup keras.

"Aku akan pulang larut lagi," kata Ino berbohong. Ia pulang larut bukan karena bekerja, ia hanya ingin menghindari Hidan jika pemuda itu ada di rumah. Ia tidak mau terus-terusan merasa tersiksa bersama pemuda itu.

Hidan menoleh, "terserah. Asalkan jika kau pulang nanti, bawa uang yang banyak. Lagipula nanti sore aku juga mau pergi dengan teman-temanku." Pemuda itu berbicara tanpa menoleh ke arah Ino.

"Ya." Ino melanjutkan kembali langkah kakinya.

Sore ini Hidan pergi, itu artinya ia bisa langsung pulang ke rumah tanpa harus menunggu di taman sampai larut malam.

Seperti biasa ia mengenakan sepatu kemudian segera menaiki sepeda dan mengayuhnya ke luar dari halaman rumah.

Setiap harinya Ino bekerja di cafe sebagai seorang pelayan dan membantu menjaga perpustakaan kota saat akhir pekan. Hanya itu yang dapat ia lakukan dengan pendidikannya yang tidak tamat sampai Sekolah Menengah Atas.

Uang yang ia kumpulkan memang tidak banyak, namun setidaknya itu cukup untuk hidup sampai detik ini.

oOo

Ino mengganti pakaiannya dengan seragam kerja. Ia mengenakan kaos berkerah dengan lengan pendek berwarna biru tua. Ia juga mengenakan celana sepanjang betis berwarna hitam. Meski ia bekerja sebagai pelayan namun tugasnya hanya ada di belakang. Hanya membuang sampah, mencuci peralatan makan atau menata meja dan kursi yang ada di luar. Pemilik cafe tidak mau membiarkan para pelanggannya takut dengan penampilan Ino yang terlihat sedikit suram dengan rambut panjangnya.

"Ino! Sampahnya sudah penuh!" teriak pelayan senior bernama Tayuya.

Ino berlari ke arah asal suara.

"Iya!" Ino langsung mengambil dua kantong plastik sampah berwarna hitam dan membawanya ke luar dari dapur cafe.

Wiu... Wiu...

Klik!

Shikamaru menghentikan mobil polisinya di samping jalanan sepi dan ia juga mematikan sirine mobilnya. Sepuluh menit yang lalu ia mendapatkan panggilan untuk menangkap seorang pencuri di salah satu kompleks perumahan di sini. Ia berhasil menangkap pencuri itu dengan mudah. Sepertinya pencuri itu belum terlalu ahli dalam bidangnya. Pekerjaannya tidak rapi dan hanya dengan satu bentakan 'angkat tanganmu!', pencuri itu langsung ketakutan dan menyerahkan dirinya. Sangat mudah.

Shikamaru membuka setengah kaca mobilnya. Ia memperhatikan objek yang tidak jauh dari tempatnya berhenti. Seorang gadis terlihat kesulitan saat membawa dua kantong plastik hitam berukuran besar. Tidak salah lagi, gadis yang Shikamaru lihat adalah gadis yang sama seperti kemarin malam. Gadis seperti sadako dengan rambut berwarna pirang pucat.

Direksi pandangannya tetap terkunci pada gadis itu. Mulai saat gadis itu membuang kantong plastiknya ke dalam tong sampah sampai ia benar-benar menghilang masuk ke pintu belakang cafe.

"Ino...," ucap Shikamaru.

Ia memutuskan untuk ke luar dari mobil dan menguncinya. Ia merogoh ponsel di saku celananya dan mengetikkan sebuah pesan kepada rekan kerjanya.

Aku istirahat sebentar. 15 menit.

Setelah ia menekan icon berwarna hijau bertuliskan 'kirim', ia segera memasukkan kembali ponselnya dan berjalan ke arah cafe.

"Selamat datang! Ada yang ingin anda pesan?" tanya seorang pelayan dengan rambut cepol dua berwarna coklat.

Pelanggan yang tidak biasa. Seorang pemuda dengan setelan lengkap kepolisiannya.

"Satu botol soda dingin dan satu jus jeruk dengan es yang banyak," jawab Shikamaru.

"Baiklah! Silahkan pilih meja anda dan tunggu pesanannya, ya!" kata pelayan itu.

Shikamaru memilih meja di luar cafe. Ia memang sengaja tidak memilih meja di dalam, ia merasa sedikit kurang nyaman berada di sekeliling orang lain yang tidak ia kenal.

Shikamaru menunggu minuman yang ia pesan sambil mengecek ponselnya yang bergetar di balik saku celananya.

Ini bukan jam istirahat, bodoh! Cepat kembali!

Shikamaru kembali memasukkan ponselnya tanpa membalas pesan yang ia terima. Sepertinya rekan kerjanya itu terlihat marah dengan sikap Shikamaru yang seenaknya sendiri. Biarkan saja. Ia hanya ingin meminum soda sebentar dan melakukan beberapa pendekatan.

Pendekatan? Ya, Shikamaru tertarik dengan Ino. Entah mengapa gadis itu terlihat tidak asing di matanya. Ia perlu memastikan apakah mereka pernah bertemu sebelumnya atau tidak.

"Pesanan anda!" Pelayan itu meletakkan sebotol soda dan segelas jus jeruk sesuai dengan pesanan Shikamaru.

"Silahkan dinikmati, Tuan!" Pelayan itu hendak pergi namun Shikamaru mencegahnya dengan sebuah pertanyaan.

"Apa aku bisa bertemu dengan Ino?" tanya Shikamaru.

Pelayan itu sedikit terkejut.

"Oh, Ino? Tentu saja. Saya akan panggilan, tunggu sebentar, ya!" Pelayan itu kembali ke belakang dan mencari Ino.

Pelayan itu berhenti di belakang Ino yang sedang mencuci beberapa gelas dan piring.

"Ino!" panggil pelayan itu.

Ino menoleh dan bertanya, "Ada apa, Tenten?"

"Ada pemuda yang ingin bertemu denganmu. Dia ada di meja nomer 3," jawab Tenten.

Ino mengeringkan tangannya dengan handuk dan segera berbalik badan.

"Tidak salah dengar?" tanya Ino.

Tenten menggelengkan kepalanya sejenak kemudian ia tersenyum menggoda Ino.

"Seorang polisi yang keren. Temanmu, 'kan? Soalnya dia tau namamu, lho!" jawab Tenten.

"Cepat temui saja dulu. Nanti dia menunggu lama!" Tenten mendorong Ino untuk ke luar dari dapur.

"Iya, Tenten."

Ino berjalan perlahan mendekat ke tempat Shikamaru duduk. Pemuda itu sedang meneguk minuman bersodanya.

"Hai... Kau mencariku?" tanya Ino dengan hati-hati.

Shikamaru meletakkan botol sodanya dan melihat ke arah Ino. Gadis itu tidak duduk di depannya melainkan ia berdiri dengan canggung.

"Duduklah!" pinta Shikamaru.

Tanpa menyahut, Ino duduk di depan Shikamaru. Ia menunduk dan enggan melihat ke arah pemuda berambut nanas itu.

"Minumlah. Aku sengaja memesan itu untukmu," kata Shikamaru. Ia memperhatikan sikap Ino dengan teliti.

Tidak seperti saat Shikamaru mempersilahkannya untuk duduk tadi, kali ini Ino tidak menyanggupi perkataan Shikamaru. Ia malah memperhatikan tetesan air dari gelas yang perlahan jatuh di atas meja.

"Kau tidak suka jeruk?" tanya Shikamaru.

Buru-buru Ino menggelengkan kepalanya.

"Lalu?" tanya Shikamaru lagi. Berada di dekat Ino, Shikamaru menjadi lebih banyak berbicara.

Shikamaru menyadari ada sesuatu yang salah dengan Ino. Pemuda itu dapat melihat dengan jelas tubuh Ino sedikit gemetar.

"Aku tidak mencampur apapun. Tidak ada polisi yang ingin masuk penjara," lanjut Shikamaru dengan asal.

Ino jelas terkejut.

"Bukan begitu!" sangkal Ino.

Ino menatap Shikamaru. Pandangan keduanya bertemu.

"Lalu?" tanya Shikamaru.

"Aku tidak haus!" jawab Ino.

"Kau takut."

"Tidak!"

"Ya. Karena kau tanpa sengaja meninggikan suaramu."

Ino membisu. Ia memegang gelas di depannya dan meminumnya dengan cepat. Sampai cairan berwarna jingga itu habis dan menyisakan beberapa bongkahan es di sana.

"Apa yang terjadi?" tanya Shikamaru. Pemuda itu tidak memberikan jeda bagi Ino untuk menemukan alasan yang tepat.

"Tidak ada." Ino sedikit menjauhkan gelas dari hadapannya.

Shikamaru menyandarkan dirinya di kursi. Ia mengusap dahinya sebentar.

"Semua baik-baik saja," ujar Ino.

"Aku banyak pekerjaan di belakang. Jadi, terima kasih untuk minumannya. Permisi..." Ino segera bangun dari tempatnya duduk.

Sebelum kembali ke belakang, ia membungkukkan badannya sejenak. Baru setelah itu, Ino dengan setengah berlari masuk ke tempatnya semula yaitu di dapur.

Shikamaru menghela napasnya. Justru sikap yang ia lihat dari Ino, membuat pemuda itu semakin tertarik dan penasaran. Shikamaru semakin yakin untuk menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri Ino. Gadis itu terlihat menyembunyikan sesuatu dan sangat tertutup. Belum lagi saat Shikamaru dapat dengan jelas melihat tubuh Ino gemetar. Sepertinya gadis itu mempunyai trauma dan butuh pertolongan.

Drrttt... Drrttt...

Ponselnya bergetar. Shikamaru mengambilnya dan mengangkat panggilan telepon.

'Halo pemalas! Cepat kembali! Ini sudah lebih dari 15 menit! Banyak kejahatan yang harus kau musnahkan, Shikamaru!'

Shikamaru menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia tidak mengeraskan volume panggilannya namun suara si penelepon hampir saja menulikan telinganya.

"Ya. Aku ke sana," jawab enteng Shikamaru.

Shikamaru segera mematikan panggilan. Ia tidak mau mendengar omelan dari rekan kerja wanitanya itu. Kalau soal marah-marah, Kurotsuchi memang ahlinya.

Shikamaru membayar pesanannya dan segera kembali ke mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melaju ke kantornya.

oOo

"Sejak kapan kamu punya kenalan polisi?" tanya Tenten.

Keduanya kini berada di loker untuk berganti pakaian. Mereka bersiap untuk pulang karena ini sudah malam dan shift mereka telah selesai.

"Sejak kemarin. Kalau kamu mau kenalan, bisa aku kenalin, kok!" jawab Ino.

"Untuk kamu saja. Maksudku, memangnya Hidan enggakmarah?" tanya Tenten penasaran.

Ino mengambil tasnya dan melihat ke arah Tenten.

"Aku harap Hidan tidak tau soal Shikamaru. Tolong jaga rahasia ini, ya?" pinta Ino.

Tenten mengacungkan jempolnya dan tersenyum.

"Tenang. Rahasiamu aman padaku. Kita kan sahabat!" seru Tenten.

Ino tersenyum tipis. Tenten memang bisa diandalkan.

"Terima kasih. Aku pulang duluan, ya." Ino ke luar dari loker dan pergi ke tempat sepedanya terparkir. Beruntung sekali, hari ini ia bisa langsung pulang.

oOo

"Aduh!" Shikamaru mengaduh sambil memegangi kepalanya. Ia baru saja terkena pukulan koran yang digulung oleh rekan kerjanya —Naruto.

"Seharian tadi Kurotsuchi mengomel gara-gara kau. Ke mana saja, sih?" tanya Naruto.

Shikamaru menatap Naruto dengan malas, "minum. Aku haus," katanya.

Naruto jengkel. Ia membuang koran secara sembarang ke meja kerjanya.

"Gila! Enteng sekali bilangnya," timpal Naruto.

'Shikamaru! Naruto! Perampokan di rumah nomer 61 Blok A. Satu orang penjahat, laki-laki, 25-30 tahun, tinggi sedang dengan warna rambut abu-abu. Penelepon anak kecil berumur 10 tahun. Ia sendirian di rumah, cepat!'

HT Shikamaru dan Naruto berbunyi bersamaan. Ada panggilan darurat lagi.

Shikamaru dan Naruto segera pergi ke mobil polisi dan menuju ke alamat yang dikatakan operator panggilan 119.

.

.

Keduanya telah sampai di dekat lokasi perampokan. Shikamaru sengaja memarkirkan mobil polisinya agak jauh dari tempat kejadian. Mereka ingin menyergap si perampok.

"Pintunya tidak dikunci," kata Naruto setengah berbisik.

"Ya."

Keduanya masuk ke dalam rumah dengan hati-hati. Sebisa mungkin mereka berdua tidak boleh membuat kegaduhan.

Kondisi rumah sangat gelap membuat Shikamaru dan Naruto sedikit kesulitan untuk melihat.

Sepertinya mereka sudah terlambat. Tidak ada perampok atau pun anak kecil yang dimaksud.

"Kurotsuchi, sudah tidak ada orang di sini. Kami tidak dapat menemukan pelaku atau korban," lapor Naruto.

'Panggilannya sudah terputus. Aku terlanjur mengirim ambulans. Setelah ini biarkan detektif yang menyelidiki.'

"Baik. Kami akan kembali."

Naruto menepuk bahu Shikamaru.

"Ayo, kembali!" ajak Naruto.

"Duluan saja," tolak Shikamaru.

Naruto paham. Setiap kali kasus yang ditangani Shikamaru gagal, pemuda itu akan merasa bersalah. Menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi.

"Bukan salahmu. Toh, kita tadi sudah mengebut dan hampir menabrak tong sampah," hibur Naruto.

"Ya," jawab Shikamaru.

"Aku tunggu di mobil." Naruto berjalan menjauh meninggalkan Shikamaru.

Shikamaru memejamkan matanya sejenak. Apa ia kurang cepat datang ke sini? Terkadang pekerjaan semakin lama membuatnya semakin tertekan. Setiap kali kegagalan terjadi, ia teringat memori 7 tahun yang lalu. Saat di mana ia hanyalah seorang laki-laki penakut.

"Mmph!"

Shikamaru menajamkan pendengarannya. Ia mendengar sebuah suara. Ia mengikuti asal suara itu dan berakhir di depan sebuah almari kayu dengan dua pintu. Ia membuka almari itu.

Bukan di sana. Lalu di mana?

"Jangan-jangan!"

Shikamaru mendorong almari itu dan menemukan pintu lain. Ternyata ada sebuah ruangan yang sengaja ditutupi dengan almari.

"Mmph! Mmph!"

Shikamaru menempelkan telinganya di pintu. Semakin jelas ia dapat mendengar suara tersebut.

"Aku akan datang! Tenanglah!" kata Shikamaru.

"Mmph! Mmph!"

"Mmph!"

Frekuensi suara itu semakin sering dan terlihat panik. Apalagi saat Shikamaru mengatakan bahwa pemuda itu akan segera datang.

Shikamaru memegang gagang pintu dan membukanya.

Tit...tit...tit...

Shikamaru membelalakkan kedua matanya. Ia terkejut saat melihat seorang anak perempuan duduk terikat di kursi dengan mulut yang tersumpal kain. Keterkejutannya semakin menjadi ketika ia menyadari bahwa ada bunyi timer yang berasal dari sebuah bom rakitan yang terikat di kedua paha anak perempuan itu. Sebuah bom buku dengan benang yang tersambung pada pintu yang Shikamaru buka.

"Sial!" umpat Shikamaru.

Tit..

"Mmph! Mmmmph!" Anak perempuan itu menggelengkan kepala beberapa kali dengan cepat.

Shikamaru dihadapkan dua pilihan. Tetap berdiri di sana tanpa melakukan apapun karena ia tidak mungkin mendekat atau kembali menutup pintu dan berlari menjauh. Pilihan pertama adalah sebuah pilihan bodoh namun sia-sia sedangkan pilihan kedua adalah bentuk penyelamatan diri sendiri namun egois.

"Mmph!" Anak perempuan itu menggerakkan kakinya berusaha memberi isyarat bagi Shikamaru untuk menjauh.

Tit! Boom!

Bersamaan dengan pintu yang kembali menutup, bom itu meledak. Shikamaru belum sempat menjauh dari tempat itu. Ia hanya mampu membalikkan badan dan tubuhnya terpental akibat ledakan.

Shikamaru menabrak dinding di depannya. Ia tersungkur dengan luka bakar di punggungnya.

Dari luar rumah, Naruto berteriak memanggil nama rekan kerjanya. Ia berlari hendak menyusul ke tempat di mana ia berpisah dengan Shikamaru beberapa menit yang lalu. Sebelumnya ia mengambil kain dari sakunya untuk digunakan sebagai penutup hidung. Ia tidak boleh membahayakan dirinya sendiri dengan menghirup asap yang ditimbulkan dari ledakan.

"Shikamaru!" panggil Naruto.

"Kurotsuchi! Kirim tim medis, polisi dan detektif cepat! Terjadi ledakan. Shikamaru, dia terluka!" Naruto kembali menghubungi Kurotsuchi.

'4 menit lagi, tim medis akan datang. Polisi dan detektif mereka sudah bergerak ke tempat kejadian. Lakukan tindakan yang tepat untuk Shikamaru, Naruto!'

"Ya!"

Naruto berhenti di dekat Shikamaru yang tersungkur di lantai. Ia melihat seragam Shikamaru robek dan memperlihatkan luka bakar sedang di punggungnya.

"Bertahanlah!" Naruto berjongkok di samping Shikamaru.

"A... Anak itu," kata Shikamaru.

Naruto menoleh ke arah ruangan dengan pintu yang sudah rusak itu. Ia kembali membuang mukanya saat melihat kondisi dari korban.

"Utamakan keselamatanmu terlebih dahulu! Apa kau merasakan tulangmu patah?" tanya Naruto.

Shikamaru menggeleng.

Setelah Naruto memastikan bahwa Shikamaru tidak mengalami patah tulang, ia memapah rekannya ke luar dari rumah itu.

Beruntung tim medis telah tiba. Ia mempercayakan sepenuhnya pada tim medis untuk menangani luka Shikamaru.

Shikamaru duduk di mobil ambulan. Ia membiarkan seorang tim medis merobek seragamnya.

"Lukanya tidak terlalu berat. Kau akan baik-baik saja," ujar Ameno.

Shikamaru hanya diam saat Ameno membersihkan lukanya dengan cairan NaCl.

"Sudah." Tiba-tiba saja Shikamaru berdiri.

"Belum! Cepat kembali duduk!" perintah Ameno.

"Aku sudah baik-baik saja," terang Shikamaru.

Shikamaru menjauh dab menghiraukan teriakan Ameno. Ia tidak peduli dengan Ameno yang terus-menerus memanggilnya.

"Oi! Kau mau ke mana?" tanya Naruto. Ia hendak menahan lengan Shikamaru namun pemuda berambut nanas itu menepisnya.

"Kau terluka!" bentak Naruto.

"Dan anak itu mati!" Shikamaru menatap tajam ke arah Naruto.

"Ulahku! Anak itu mati! Lalu apa aku bisa menerima kenyataan bahwa aku selamat?" tanya Shikamaru.

Naruto terdiam. Baru kali ini ia mendengar keluhan seorang pemalas dan terlihat acuh seperti Shikamaru. Akhirnya pemuda itu menjadi sedikit lebih terbuka dengan perasaannya.

"Anak itu berusaha menahanku untuk tidak datang. Tapi...," Shikamaru enggan melanjutkan perkataannya.

"Bukan salahmu," kata Naruto.

"Ya. Karena bukan kau yang mengalaminya."

Shikamaru melanjutkan langkahnya. Biarkan saat ini ia pergi menjauh dari kenyataan. Setidaknya sampai ia bisa lebih tenang.

oOo

Kepulan asap rokok terlihat mencolok di malam hari. Saat ini Shikamaru tengah duduk di salah satu bangku di taman. Entah sudah berapa batang rokok ia habiskan dalam setengah jam ini. Ia tidak memperdulikan dingin dan perih menerpa kulitnya. Setelah kabur dari Ameno, ia melupakan tubuh atasnya telanjang tanpa pakaian.

Beberapa orang yang lewat memperhatikan Shikamaru dengan tatapan aneh dan bertanya. Mungkin mereka menganggapnya gila. Tentu saja! Seorang pemuda bertelanjang dada dengan luka bakar sedang menikmati angin malam. Terdengar gila.

"Shikamaru..." sebuah suara memanggilnya dari arah belakang.

Suara itu, Shikamaru mengenalnya.

"Kau... Terluka?"

Shikamaru tetap diam. Ia tidak menoleh meski suara itu terus mengusiknya.

"Kau harus ke rumah sakit."

Shikamaru mematikan api rokok dan melemparnya ke tempat sampah.

"Lukamu bisa—"

"Obati aku, Ino," pinta Shikamaru.

Gadis itu tersentak. Ia tetap diam di tempatnya berdiri —tepat di belakang Shikamaru.

-flashback-

Ino baru saja memarkirkan sepedanya di halaman. Namun saat ia hendak masuk ke rumahnya, ia mendengar beberapa orang yang lewat membicarakan hal buruk tentang seseorang. Atau bisa dibilang bergosip.

"Apa yang salah dengan pemuda itu? Apa dia gila?"

"Dia terluka tapi tidak ke rumah sakit dan malah merokok di taman."

"Suhu di bawah 20 derajat dan dia tidak berpakaian. Sepertinya hal buruk telah terjadi."

Ino mengamati dan mencari-cari seseorang yang dibicarakan oleh orang-orang itu.

Benar saja, meski dari kejauhan Ino masih dapat melihat dengan jelas orang yang baru saja digosipkan itu. Seseorang tengah merokok. Seseorang dengan rambut mirip nanas.

Mengetahui bahwa orang tersebut adalah Shikamaru, Ino tidak langsung menghampirinya. Hampir genap setengah jam, Ino hanya diam memperhatikan di balik jendela rumahnya. Ia ragu dan takut untuk menghampiri Shikamaru.

"Apa tidak masalah jika aku menemuinya?" tanya Ino pada dirinya sendiri.

"Tadi siang aku bersikap buruk kepadanya." Ino bermonolog.

"Tapi jika aku tidak menghampirinya, sampai kapan dia diam di sana?"

Ino menggelengkan kepalanya sejenak, "di luar dingin. Setidaknya aku harus menyuruhnya ke rumah sakit."

Ino meraih syal merah dan mengalungkan di lehernya. Ia menghembuskan napasnya sejenak sebelum ke luar dari rumahnya.

-end flashback-

"Kau tidak mau?" pertanyaan Shikamaru membuyarkan lamunan Ino.

"Kembalilah ke rumah," ujar Shikamaru. Lagi-lagi ia tetap tidak mau menoleh ke arah Ino.

"Kemarilah. Aku bukan petugas kesehatan. Mungkin pekerjaanku akan buruk." Ino berbalik dan berjalan ke arah rumahnya.

Tanpa membalas perkataan Ino, Shikamaru berdiri dan mengekor ke mana Ino pergi.

oOo

Ino membawa satu baskom berisi air bersih dan meletakkannya di meja ruang tamu. Sebelumnya ia sudah menyiapkan kotak P3K dan juga handuk bersih.

"Setelah ini kau tetap harus ke rumah sakit." Ino mencelupkan handuk ke dalam air dan membersihkan luka di sekitar punggung Shikamaru.

Pengalaman saat ia sekolah dulu cukup membantunya. Setidaknya ia bisa melakukan pertolongan pertama pada luka bakar sedang seperti yang telah dialami Shikamaru saat ini.

"Ya," jawab singkat Shikamaru.

"Apa yang terjadi?" Ino bertanya dengan hati-hati.

"Tidak ada. Semua baik-baik saja," jawab Shikamaru.

Seperti sebuah sentilan, jawaban Shikamaru sama persis seperti jawaban Ino sewaktu mereka bertemu di cafe.

"Maaf..."

Ino membuka kotak dan mencari kassa untuk menutup luka.

"Kau bilang punya anjing. Di mana?" tanya Shikamaru.

Ino menggigit bibir bawahnya. Setidaknya Ino bisa bernapas lega karena saat ini Shikamaru tidak bisa melihat wajahnya yang panik.

Cukup lama tidak mendengar jawaban Ino, Shikamaru menoleh.

"Kau bohong?" Shikamaru kembali bertanya.

Ino menggelengkan kepalanya, "hilang. Dia tidak kembali saat aku pulang tadi."

Ino kembali berbohong.

"Oh."

Selesai menutup luka Shikamaru dengan kassa, Ino merapikan kembali kotak P3K-nya.

"Terima kasih."

Tanpa sadar Ino tersenyum.

"Sama-sama. Kau bisa pulang sekarang."

"Aku ingin tinggal."

Spontan Ino menoleh dan membulatkan matanya.

"Aku hanya singgah sampai temanku menjemput besok pagi," jelas Shikamaru.

Ino tidak bisa menutupi rasa paniknya. Ia tidak bisa membiarkan Shikamaru tetap di sini sementara ia tidak tau kapan Hidan akan pulang. Kekasihnya itu akan marah besar. Tapi bagaimana menyuruh Shikamaru untuk pergi. Tentunya dengan sopan tanpa menyinggung perasaannya. Apalagi saat ini pemuda itu sedang dalam masalah.

"Kau tinggal sendiri, 'kan?" tanya Shikamaru saat menyadari raut wajah Ino.

"Y-ya!"

"Aku akan menunggu di sini. Kau bisa istirahat di kamarmu," ujar Shikamaru.

Ino menggigit bibir bawahnya secara tidak sadar.

"Hanya sampai pukul 4 pagi, ya?" pinta Ino.

"Ya."

Ino menghela napasnya lega.

"Aku akan ambilkan selimut dulu." Ino beranjak dari tempatnya duduk dan mengambilkan sebuah selimut tebal.

"Ini." Ino memberikan selimut itu kepada Shikamaru.

"Aku ke kamar. Selamat malam," kata Ino. Ia pergi meninggalkan Shikamaru dan kembali ke kamarnya.

Di dalam kamar, Ino tidak dapat tidur. Ia menautkan jemarinya berdoa agar Hidan tidak pulang besok pagi. Jika Hidan dan Shikamaru bertemu, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

oOo

Shikamaru memperhatikan pintu kamar Ino telah menutup seutuhnya. Ia tidak tidur, justru ia bangun dan mengamati ruangan minimalis itu. Sederhana dan minim perabotan. Shikamaru melangkahkan kakinya ke depan televisi. Di atas meja sama sekali tidak ada pigura foto atau ornamen lainnya. Hanya ada koran lama dan beberapa majalah.

Shikamaru merasa ini bukan tindakan yang salah. Ia polisi dan berhak memeriksa beberapa hal yang dicurigainya. Salah satu alasannya adalah mengenai kesimpulan pribadinya. Tentang pertemuannya dengan seorang gadis yang tampak misterius dan penuh rahasia.

Shikamaru membuka laci meja di dekatnya. Ia kembali mendapati koran lama dan majalah fashion ternama di Jepang.

Shikamaru kembali membuka laci yang lain, namun terkunci. Kemudian ia merogoh saku celananya untuk mengambil bobby pin yang sengaja ia bawa setiap saat ia bertugas.

Klik! Pintu laci berhasil terbuka.

Shikamaru sedikit terkejut melihat banyak obat-obatan dan satu kantung transparan kecil berisi serbuk berwarna putih. Jika ia boleh menyimpulkan lagi, memang tidak salah lagi.

"Ino, kau..."

Shikamaru tidak boleh terlalu gegabah sebelum benar-benar memastikannya. Ia memasukkan beberapa obat itu ke saku celananya. Besok pagi ia harus memastikan bahwa dugaannya benar meskipun ia berharap bahwa semua ini seharusnya salah.

Shikamaru kembali duduk ke sofa. Setelah insiden pengeboman di kasus yang ia tangani, kini ia harus dibuat terkejut dan kecewa dengan kenyataan bahwa Ino menyimpan ekstasi, heroin dan GHB.

Untuk apa seorang gadis menyimpan obat-obatan terlarang itu?

-to be continued-

Halo! Akhirnya bisa update, ya. Ku harap enggak mengecewakan. Maaf karena aku jarang banget buat update. Pengennya juga bisa update rutin, tapi aku tertular malasnya Shikamaru. Sayangnya bukan pemalas yang jenius, tetapi benar-benar pemalas yang tidak produktif!

Dibagian 2 ini agak panjang dari sebelumnya. Tapi interaksi Shika-Ino belum terlalu banyak, ya. Sebenarnya aku takut kalo Shikamaru nanti out of character. Jika itu terjadi, aku minta maaf!

Aku harap kalian terhibur. Jangan lupa tinggalkan pesan untukku. Aku akan sangat senang! Dan aku sangat berterima kasih untuk teman-teman yang sudah memberikan review di chapter awal dan juga memasukkan cerita ini ke dalam daftar favorit dan mengikutinya!

See you next chapter!