Shikamaru kembali duduk ke sofa. Setelah insiden pengeboman di kasus yang ia tangani, kini ia harus dibuat terkejut dan kecewa dengan kenyataan bahwa Ino menyimpan ekstasi, heroin dan GHB.
Untuk apa seorang gadis menyimpan obat-obatan terlarang itu?
Chapter 3
Hampir saja Shikamaru terlelap, kalau saja ia tidak mendengar suara igauan di balik pintu kamar Ino. Shikamaru segera bangun dan berlari ke arah asal suara itu. Beruntung, kamar Ino tidak dikunci sehingga ia bisa masuk dengan mudah.
"Jangan... Kumohon, lepas..."
Shikamaru berlutut di samping tempat tidur Ino. Ia menyentuh bahu Ino dan sedikit memberi tepukan ringan agar gadis pirang itu segera bangun dari tidurnya.
"Ino, bangun."
Hingga semenit lamanya, Ino tak juga bangun. Gadis itu tetap saja mengigau dan terus memohon-mohon dengan mata yang masih tertutup rapat.
"Ino!" Shikamaru meninggikan suaranya.
Mata Ino terbelalak dengan sorot penuh ketakutan. Otaknya tak sejalan dengan indra penglihatan hingga ia hampir memukul wajah Shikamaru kalau saja pemuda itu tidak sigap menahan kedua tangannya.
Grab!
Sedetik setelah Shikamaru menangkap tangan Ino, ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Itu hanya mimpi buruk," ujar Shikamaru.
Ino P.O.V
Mimpi buruk itu lagi. Hampir setiap malam, aku selalu dihantui dengan masa laluku yang menakutkan. Kupikir, setelah 7 tahun lamanya, aku bisa melupakan kejadian itu. Namun, sayangnya aku salah besar. Kenyataan menyedihkan itu kini terekam dalam memori bunga tidur yang senantiasa hadir ketika aku terlelap. Hampir setiap saat, bahkan ketika aku tidur di siang hari yang panas sekalipun. Ini kutukan yang terus berlanjut dan mungkin berakhir bila maut merenggut nyawaku.
Berbeda dari biasanya, setiap kali aku terbangun dari mimpi buruk ini, aku akan sangat ketakutan dan berakhir dengan Fluoxetine. Tapi kali ini aku merasa lebih aman.
Pelukan Shikamaru sangat hangat dan nyaman, rasanya tidak sama seperti yang Hidan lakukan.
Aku berharap ini tidak cepat berakhir.
Normal P.O.V
Shikamaru melepaskan pelukannya. Ia sedikit menjauhkan dirinya dan memberi Ino ruang untuk mengatur napas.
"Tenanglah, Ino." Shikamaru mengamati Ino dengan teliti.
Gadis itu terlihat seperti sedang mandi dengan keringat. Ia duduk bersila di atas ranjang dengan kepala yang tertunduk.
"Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Shikamaru. Pemuda itu bangun dan duduk menghadap ke arah Ino.
Enggan menjawab dengan lisan, Ino lebih memilih menggelengkan kepalanya.
"Jika kau dalam masalah, kau bisa meminta bantuan," ujar Shikamaru. Ia tidak mungkin memaksakan Ino untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Hening. Tidak ada yang memulai berbicara lagi sampai Shikamaru mengulurkan tangan kanannya dan mengusap keringat di dahi Ino.
Awalnya Ino sedikit memundurkan kepalanya namun saat tangan hangat itu menyentuh dahi, ia mengurungkan niatannya itu.
Shikamaru P.O.V
Entah apa yang menghasutku sampai-sampai aku berani dan dengan lancang menyentuh gadis di depanku ini. Ini kali pertama aku menyentuh lawan jenis tanpa alasan pekerjaan yang mengharuskanku menyentuh perempuan.
Kupikir memang benar, gadis ini sedang dalam masalah dan butuh pertolongan.
Dan lagi, aku semakin yakin pernah bertemu dengan Ino jauh hari sebelum ini.
Ku amati wajah Ino dengan teliti.
Ada yang berbeda dari pertama kali kami bertemu.
Matanya.
Seingatku mata Ino berwarna cokelat gelap, tapi sekarang justru matanya memiliki warna seindah biru lautan — aquamarine. Warna yang sama seperti warna mata yang pernah aku lihat di masa laluku.
Normal P.O.V
Tangan Shikamaru berhenti di pipi Ino, ia memberikan usapan pelan di sana. Seperti terhipnotis dengan warna mata Ino, ia terdiam sambil mengerutkan dahinya.
Kenangan itu kembali muncul diingatannya. Apa Ino adalah gadis yang sama waktu itu?
-flashback-
Shikamaru sangat terkejut sampai-sampai ia tidak dapat bergerak sedikitpun. Kini ia mengutuk dirinya sendiri. Ia melihat dan mendengar namun tak berani bertindak.
Gadis itu butuh pertolongan namun ia malah bersembunyi di belakang tembok layaknya seorang pengecut.
"Tolong aku..."
Suara lirih dan uluran tangan gadis itu ditujukan untuknya. Gadis itu meminta bantuan kepada Shikamaru saat dirinya dilecehkan oleh seorang laki-laki. Shikamaru tidak dapat melihat dengan jelas siapa laki-laki brengsek itu. Yang ia lihat hanya mata dengan tatapan ketakutan dan keputusasaan milik gadis menyedihkan itu.
Mata sebiru lautan itu, perlahan tertutup rapat.
Shikamaru menutup telinganya dengan kuat. Mau bagaimana pun ia berusaha menutup indera pendengarannya, tangisan pilu gadis itu tetap terdengar dengan jelas.
Shikamaru memutuskan untuk menjauh dari gang gelap itu dengan berlari kencang. Sekarang ia benar-benar tidak pantas disebut sebagai seorang laki-laki.
-end flashback-
" Ehem!"
Shikamaru menarik tangannya kembali dan menoleh ke arah deheman, begitu juga dengan Ino. Keduanya melihat ke arah pintu kamar. Hidan berdiri di sana sambil membawa boneka beruang besar berwarna cokelat.
" Oh, ada tamu rupanya," ujar Hidan. Ia meletakkan boneka itu ke lantai dan menghampiri Shikamaru dan Ino.
Sementara itu, Shikamaru dan Ino sudah berdiri. Seperti biasanya, Shikamaru terlihat santai meski dihadapkan dengan situasi canggung seperti sekarang ini, tapi berbeda dengan Ino. Gadis itu menunduk sambil memainkan jarinya dengan gelisah.
"Ya. Aku hanya singgah sebentar," balas Shikamaru.
Hidan tersenyum, "apa pacarku memberimu pelayanan yang baik?" tanyanya.
Shikamaru menoleh sejenak ke arah Ino, "Ino mengobati lukaku dengan baik."
"Kalian tinggal bersama?" tanya Shikamaru sedikit penasaran.
"Ya. Kami punya komitmen." Hidan menarik tangan Ino dan merangkulnya.
Shikamaru tidak merespon. Entah mengapa ia tidak suka melihat Hidan untuk pertama kalinya.
"Kau bisa pergi sekarang? Aku ingin merayakan Anniversary dengan wanitaku ini." Hidan mengelus rambut Ino dan mencium pipinya sekilas.
Shikamaru sempat membuang mukanya sejenak.
"Ya. Maaf aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Dan Ino, terima kasih." Shikamaru menyempatkan diri untuk tersenyum ke arah Ino meskipun ia tau gadis itu tidak melihat ke arahnya.
Pemuda berambut mirip nanas itu menjauh dan ke luar dari rumah Ino. Ia berdiri di depan rumah kecil itu dan mengamatinya sejenak. Kemudian ia merogoh ponselnya dan menelepon seseorang.
"Naruto, jemput aku sekarang," ujar Shikamaru.
"Kau memang gila. Tunggu aku, jangan kemana-mana."
Tut... Tut... Tut... Panggilan telepon selesai.
.
.
.
Kini Shikamaru duduk di brankar di ruang UGD. Ia sedang mendapatkan perawatan dari seorang dokter muda yang bekerja di salah satu rumah sakit ternama di Tokyo.
"Sejak kapan kau jadi bodoh, Shikamaru? Apa kebodohan Naruto menular kepadamu?" tanya Sakura sambil mengobati luka bakar Shikamaru.
"Kenapa jadi aku yang salah?" protes Naruto.
"Karena di antara kita berempat, hanya kau yang bodoh," balas Sakura.
Naruto tidak membalas. Percuma, ia tidak akan menang bila berdebat dengan Sakura. Lagipula, Sakura ada benarnya. Atau mungkin lebih tepat kata bodoh diganti dengan 'ceroboh'.
"Naruto bilang kau kabur, lalu siapa yang mengobatimu? Kerjanya cukup baik dan rapi, sih." Sakura selesai memerban luka Shikamaru.
"Temanku," jawab Shikamaru.
Shikamaru kembali teringat dengan Ino. Lalu, ia merogoh obat yang sempat ia bawa dari rumah Ino.
"Sakura...," panggilnya. Ia menyerahkan beberapa obat itu kepada Sakura.
Dengan cepat Sakura mengambil obat tersebut. Ia mengamati dengan teliti dan sedetik kemudian dokter itu terkejut, "obat siapa ini? Apa temanmu itu seorang pecandu narkoba?"
Naruto mulai penasaran dengan obrolan kedua sahabatnya itu dan ikut mendekat, "kita laporkan saja dan mulai penangkapannya," sahutnya.
Shikamaru menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak yakin, sepertinya bukan temanku itu. Tapi, kekasihnya," balas Shikamaru.
"Tapi aku perlu memastikan sesuatu terlebih dahulu," lanjutnya.
.
.
.
Sakura memaksa Shikamaru untuk dirawat satu sampai dua hari lagi karena lukanya perlu penanganan serius dan pemuda itu tentu saja tidak bisa menolak. Sekali menolak, bisa-bisa Sakura mengamuk dan menjitak kepalanya.
Esok harinya, ketua divisi kepolisian bernama Hatake Kakashi datang menjenguk Shikamaru di ruang rawatnya.
"Aku mendapat laporan mengenai sikapmu kemarin sore, " ujar Kakashi. Ia berdiri dengan kedua tangan tersimpan di saku celananya sementara Shikamaru duduk di tepian ranjang.
"Ya, aku menyadari kecerobohan itu," balas Shikamaru.
Kakashi menepuk bahu Shikamaru dan tersenyum tipis, "ini bukan perkara tugasmu yang gagal. Tapi ini tentang sikapmu yang membahayakan diri sendiri."
Shikamaru tertunduk. Ia enggan membalas perkataan atasannya.
"Kita manusia biasa, bukan pahlawan dalam komik yang digambarkan dengan sempurna oleh penciptanya. Kegagalan bisa saja terjadi. Aku secara pribadi tidak menyalahkanmu," ujar Kakashi.
"Tapi aku memutuskan untuk membebaskanmu dari tugas selama 1 bulan penuh," lanjutnya.
Shikamaru menegakkan kepalanya lagi dan mengerutkan dahi, "mengapa?"
"Kau butuh istirahat. Jadi, aku memutuskan kau untuk menghindari pekerjaanmu sejenak sampai kondisimu membaik."
"Aku baik-baik saja dan tidak perlu itu. Lagipula aku sedang menyelidiki sesuatu dan perlu akses dengan data di kantor," tolak Shikamaru.
Kakashi berbalik dan menjauh, "tidak. Keputusanku sudah bulat. Kau harus mengambil cuti 1 bulan penuh terhitung hari ini."
"Patuhi perintah bila kau seorang anggota kepolisian yang baik." Kakashi tidak membiarkan Shikamaru membantahnya.
Dengan berat hati Shikamaru mengiyakan keputusan Kakashi.
.
.
.
Tengah malam Shikamaru memutuskan untuk menelepon sahabat juga rekan kerjanya —Naruto dan Kurotsuchi. Shikamaru memang sengaja menelepon dua rekannya sekaligus.
"Kakashi-sensei bilang apa?" tanya Naruto.
"Aku tidak diperbolehkan bekerja selama 1 bulan penuh," balas Shikamaru. Kini ia berdiri menghadap jendela. Ia mengamati lampu-lampu yang menyala terang di seluruh kota Tokyo.
"Gila! Lama sekali. Aku juga mau kalau seperti itu," protes Naruto .
"Kau mau membunuh anak perempuan yang tidak bersalah?" tanya Shikamaru. Ia kembali teringat dengan kasusnya yang gagal.
"Bukan begitu maksudku. Yah... Ketahuilah itu bukan salahmu."
Shikamaru menghela napasnya sejenak, "ya. Tapi aku sedang dalam pengawasan penuh. Mereka berjaga di depan ruang rawatku," katanya.
"Apa aku terlihat seperti laki-laki yang sering kabur-kaburan?" lanjut Shikamaru.
Naruto tertawa renyah, "ya, tidak juga. Itu prosedur kita, 'kan?"
Shikamaru membalas dengan bergumam pelan.
"Halo kalian, apa sudah selesai mengobrolnya? Aku ingin segera pulang," sela Kurotsuchi.
"Maaf merepotkan kalian, tapi aku benar-benar butuh bantuan," kata Shikamaru.
"Jadi apa tugasku, Shikamaru?" tanya Kurotsuchi.
"Aku butuh kau untuk mengakses data penduduk atas nama Ino dan untuk Naruto, kau hanya perlu diam dan temani Kurotsuchi," ujar Shikamaru.
"Iya, iya. Aku akan tetap terjaga di kantor yang gelap ini," balas Naruto.
"Ino siapa?" tanya Kurotsuchi.
"Aku tidak tau nama keluarganya. Tapi cari pemilik nama Ino di distrik Ginza. Sub area 2, blok 3, tepatnya rumah nomer 7," jawab Shikamaru.
"Baik, tunggu sebentar."
Hening sejenak sampai Kurotsuchi kembali berbicara.
" Tidak ada Ino. Rumah itu atas nama Chiyo dan dia sudah meninggal 5 tahun yang lalu."
Shikamaru mengernyitkan dahinya. Yang benar saja, Ino dan pacarnya tidak melaporkan kepemilikan rumah sampai-sampai identitas mereka tidak ada di kepolisian.
"Tunggu, aku baru saja menemukan nama Ino tapi tidak tinggal di sekitar sini," kata Kurotsuchi.
"Yamanaka Ino. Tinggal di Kyoto, distrik Fushimi, sub area 39, blok 2. Apa dia yang kau cari?" tanya Kurotsuchi.
"Bisa kirimkan kepadaku?"
" Sudah. Hanya memberitahumu saja, keluarga Yamanaka cukup terkenal di industri fashionnya, lho. Putrinya itu sering tampil di majalah tapi entah mengapa sekarang jarang terlihat."
Shikamaru membuka data yang dikirimkan Kurotsuchi. Ia membaca dengan teliti dan benar saja, foto yang ditampilkan memang mirip dengan Ino yang ia kenal. Gadis dengan rambut pirang dan mata aquamarine.
"Sudah cukup, Kurotsuchi. Kau bisa menutup panggilan ini. Terima kasih untuk bantuannya," ujar Shikamaru.
"Baiklah. Aku tutup, ya." Kurotsuchi menutup panggilannya
"Apa tugasku juga sudah selesai?" tanya Naruto.
"Belum. Aku ingin besok kau ke alamat di Ginza. Aku minta kau bujuk Ino dan mengamankan gadis itu. Sepertinya dia dalam bahaya."
"Tunggu! Kau bicara berdasarkan fakta-fakta yang kau kumpulkan atau ini hanya sekedar firasat?"
"Aku yakin sepenuhnya, Ino dalam bahaya. Aku rasa Ino adalah perempuan yang ada di masa laluku."
"Rasa? Ayolah Shikamaru, kau hanya sedang banyak pikiran saja dan mulai menyimpulkan sesuatu yang tidak jelas."
Shikamaru hampir mengumpat, "kalau begitu anggap saja bahwa Ino pecandu narkoba dan kau harus menangkapnya!" bentaknya. Ia mulai habis kesabaran.
"Wow... Wow... Tenang kawan. Baiklah, aku akan ke sana besok. Tenang sedikit, aku hanya sedikit khawatir denganmu."
Shikamaru mengusap dahinya sejenak, "aku usahakan untuk segera menyelesaikan masalahku dan kau tidak perlu repot untukku."
Tut! Shikamaru memutuskan panggilan secara sepihak. Jujur saja ia sedikit kecewa sekarang. Bukan dengan Naruto tetapi dirinya sendiri. Ia bersumpah akan mencari cara untuk ke luar dari sini dan menyelamatkan Ino.
.
.
.
Pagi ini Naruto menyanggupi permintaan Shikamaru. Ia melajukan mobilnya menuju alamat rumah di Ginza. Naruto menghentikan mobilnya di depan alamat rumah yang Shikamaru maksud. Ia ke luar dari mobil pribadinya dan berjalan memasuki pekarangan rumah.
Tok... Tok... Tok...
Hingga 5 menit berlalu, pintu tak kunjung dibuka oleh pemilik rumah.
Tok... Tok... Tok...
Naruto kembali mengetuk pintu namun hasilnya tetap sama. Tidak ada seorangpun yang membukakan pintu.
"Anda hanya akan membuang waktu saja," ujar seorang wanita paruh baya.
Naruto menoleh, "maksudnya?"
"Hidan dan Ino, 'kan?" tanya wanita itu.
"Oh —iya! Ke mana mereka?" Naruto balik bertanya.
"Pagi-pagi sekali mereka pergi membawa koper," jawab wanita itu.
"Apa kau tau mereka akan pergi ke mana?"
"Tidak. Mereka pasangan yang aneh dan tidak ramah."
Naruto menggaruk pipi kirinya dengan telunjuk, "oh, y-ya. Terima kasih informasinya," balas Naruto sambil membungkukkan badan untuk berterima kasih.
Wanita itu pergi setelah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Naruto.
Pemuda jabrik itu segera mengambil ponselnya dan menelepon Shikamaru.
"Apa kau sudah bertemu Ino?"
"Belum. Kata tetangganya, Ino sudah pergi dengan Hidan. Aku tidak mendapatkan alamat barunya," lapor Naruto.
"Sial!" umpat Shikamaru.
"Kau bisa kembali, Naruto. Terima kasih."
"Ya. Apa perlu aku melaporkan ini sebagai kasus penyalahgunaan narkoba?" tanya Naruto.
"Entahlah, Naruto. Aku tidak mau salah mengambil langkah. Lagipula aku tidak tau sifat Hidan seperti apa. Bisa saja pria itu melukai Ino."
"Lalu apa yang bisa aku lakukan?"
"Rahasiakan ini dari atasan. Aku tidak yakin mereka akan percaya karena kita kekurangan bukti atau bisa saja mereka gegabah dan malah menimbulkan kepanikan. Aku akan mencari informasi lain."
"Tunggu dulu! Bagaimana caranya? Jangan bilang kau akan bertindak semaumu," ujar Naruto sedikit panik.
"Aku bukan kau, Naruto."
Tut... Tut... Tut... Lagi-lagi Shikamaru mengakhiri panggilan secara sepihak.
"Sahabatku memang sudah gila." Naruto kembali memasukkan ponselnya dan meninggalkan rumah kosong itu.
.
.
.
Shikamaru membuka pesan dari Kurotsuchi. Beberapa menit yang lalu ia meminta rekannya itu untuk mencari data mengenai Hidan.
From: Kurotsuchi
Tidak ada catatan kriminal. Hanya beberapa pengaduan masyarakat setempat karena mabuk di tempat umum dan melukai orang yang tidak dikenal. Itu saja. Sepertinya Hidan bukan tipe orang yang dapat mengontrol emosinya dengan baik.
Shikamaru memasukkan kembali ponselnya.
"Sepertinya rumit, ya?" tanya Sakura yang sedang mengganti perban Shikamaru.
"Ya, maka dari itu aku minta tolong padamu. Katakan pada mereka bahwa aku sudah sembuh dan bisa pulang segera," kata Shikamaru.
Sakura mengedikkan bahu, "ya, karena ini menyangkut keselamatan perempuan lain, kali ini aku akan membantumu. Hanya kali ini saja, ya!"
Shikamaru tersenyum tipis, "ya."
Sakura berhasil meyakinkan kepada anggota kepolisian yang bertugas di depan ruang rawat Shikamaru. Tepat pukul 12, saat matahari tepat berada di atas kepala, Shikamaru diperbolehkan ke luar dari rumah sakit. Bukannya pulang ke rumah, ia malah mengendarai mobilnya untuk pergi ke Perfektur Kyoto, tepatnya Distrik Fushimi. Ia ingin pergi ke kediaman Yamanaka.
Tok... Tok... Tok...
Tak butuh banyak waktu bagi Shikamaru untuk menunggu, pintu kediaman Yamanaka terbuka lebar.
"Apa anda sudah membuat janji?" tanya seorang wanita muda dengan seragam pelayan.
"Belum. Aku ingin bertemu dengan Tuan dan Nyonya Yamanaka," jawab Shikamaru.
-to be continued-
Halo! Lama tidak jumpa, ya! Maaf, akhir-akhir ini aku sedang banyak pekerjaan. Jadi untuk sementara waktu aku memutuskan untuk vakum sementara. Maaf membuat kalian menunggu.
Aku harap kalian terhibur dengan ceritaku, ya! Maaf jika aku belum bisa memenuhi kepuasan kalian. Jangan lupa tinggalkan pesan untukku. Aku akan sangat senang! Dan aku sangat berterima kasih untuk teman-teman yang sudah memberikan review dan juga memasukkan cerita ini ke dalam daftar favorit dan mengikutinya!
See you next chapter!
