Hijikata Toshiro mengangkat jari telunjuk ke hadapan bibir. Senyum timpang tercipta. Lalu, tangan kanan bersiap pada gagang katana yang masih terbungkus sarung pada pinggang sebelah kirinya.
Okita Sougo mendengkus. Namun, tak bisa dielak bahwa ia juga merasa bersemangat. Kapan lagi kepolisian Shinsengumi dapat meringkus salah satu incaran mereka dengan sebegini mudah?
Ah, mudah bukanlah adjektiva yang tepat. Namun, rasa-rasanya, ini ialah hadiah untuk kerja keras mereka selama tiga bulan terakhir, dan harga diri dipertaruhkan—bila boleh berbicara hiperbola.
"Dalam hitungan ketiga," Toshiro berbisik. "Satu—"
BOOM!
Sougo melepaskan peluru dari bazooka miliknya, meluluhlantakkan pintu beton. Toshiro bahkan tak terkejut lagi oleh tingkahnya yang begini.
Anggota Shinsengumi lain masuk dari jendela, serta sela-sela lain yang menjadi akses untuk ke ruangan tempat kejadian perkara.
Toshiro melangkah masuk, acungkan bilah tajam katana ke arah sang kriminal.
"Hijikata Toshiro, Wakil Komandan dari Shinsengumi. Anda ditangkap atas tuduhan perdagangan manusia ilegal untuk aktivitas seksual serta kasus pencucian uang."
Si lelaki dewasa akhir yang menjadi dalang tersentak hingga tak dapat berkata-kata. Borgol dipasang, tubuh ditahan oleh Sougo. Wanita yang ada di sekelilingnya kalap, siap berhamburan—namun anggota kepolisian lain menenangkan.
Namun—satu wanita masih dibalut oleh kewaspadaan, serta rasa panik yang kentara. Ia meraih pisau buah—kecil dan tajam, sebagai bentuk terakhir pertahanan diri. Perutnya—di bagian ulu hati, lebam. Ruam merah tua tampak jelas. Terlihat seperti luka baru.
Toshiro mengerjap. Ia perlahan memasukkan pedangnya, maju selangkah. "Tenanglah. Kami polisi—bisa kaulihat, kan?'
Wanita bersurai sewarna kastanya mengeraskan rahang. Tidak. Siapa pun mereka—ia akan lari dari sini. Tak ada lagi kungkung, tak ada lagi isolasi dari buana. "Kalau begitu, mundur, dan biarkan aku pergi."
Toshiro menelan ludah. "Boleh. Sehabis lukamu dirawat dan kami mendatamu—kau boleh pergi."
Ia harus bersikap masuk akal, kan? Tidak mungkin ia membuka jalan, lalu membiarkan wanita yang hanya dibalut pakaian dalam ini mati di sudut jalan, tergolek lemah entah di mana, dan ada kemungkinan disantap binatang buas. Gedung ini tidak berada di tengah kota—malah, daerah dekat hutan.
"Mundur!" sergah wanita itu.
Anggota Shinsengumi lain membeku. Meski begitu, mereka tak mengendurkan awas.
Toshiro meraih katana miliknya sendiri, membuangnya ke sembarang arah. Lalu, ia angkat kedua lengan ke udara—tanda bahwa tak ada lagi hal yang dapat melukai.
Sougo melempar iris merah ke ekor mata. Ia bisa menyelesaikan ini dengan mudah. Dari belakang, cukup menghantam pergelangan tangan wanita itu, biarkan pisau terlepas, dan ringkus. Namun Toshiro yang mengirimkan pandangan pada Sougo meminta si pemilik juntaian cokelat kusam untuk diam kalem.
Oh. Baiklah.
"Tenanglah," sahut sang Wakil Komandan. "Berikan pisau itu, oke?"
Suara orang berlari cepat masuk ke dalam pendengaran Toshiro. Tak lama, pemilik suara muncul di pintu yang telah hancur bersepih-sepih. "Toshi, Sougo—"
Kondo Isao.
Sang wanita diserbu panik. Namun, alih-alih menggunakan senjata mungil dalam genggaman untuk melukai apa pun yang dianggapnya ancaman, ia membawa pisau itu pada tengkuknya sendiri.
Toshiro bergerak berdasar naluri. Ia berlari ke depan, meraih pisau, menahan bilah tajam bergerigi meretas nadi karotis dan timbulkan kematian instan.
Clak. Clak.
Likuid merah tua kental mengalir dari genggaman tangan sang pemilik iris sebiru samudra. Toshiro menatap bola mata abu-abu yang terarah padanya.
"Lihat? Tak ada ancaman."
Si wanita mengendurkan rematan pada pisau. Akibat ketegangan dan segala hal yang telah menyita hati serta pikirannya, ia mendadak pening. Berikutnya, ia limbung—dan gelap merengkuh kesadaran.
"Oi!"
Hari yang hebat.
Gintama © Hideaki Sorachi
Camellia by Saaraa
"Kerja bagus, Toshi, Sougo." Isao menepuk kedua pundak bawahan yang paling dikasihinya. Ia tersenyum tipis. Meski lelah membanjiri tubuh dan ingin rasanya berserah di atas futon, namun masih ada beberapa data dan laporan yang harus diselesaikan.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan terhadap dia, Kondo-san?" tanya Sougo, melempar ibu jari pada wanita yang tengah terbaring di atas futon. Napasnya melakukan tarik dan empas dalam tempo konstan—ia terlelap.
"Hm-mnn, aku juga bingung. Kita tak bisa menemukan data tentangnya sama sekali, ya?"
"Seperti hantu, dong?"
Toshiro sontak memukul kepala Sougo, yang dibalas dengan delikan sengit.
"Jangan bicara begitu," sahut Toshiro. Membayangkan soal makhluk halus membikin bulu romannya bergidik. "Yang pasti, kita bukan tempat penampungan. Kirim saja ke asrama pemerintah begitu dia bangun."
"Yah, baiklah. Toh, kau ini yang mengurusnya, Hijikata-san." Sougo mengangkat bahu cuek, lalu melangkah menjauhi ruangan Toshiro. Ia tak repot ambil pusing—tentu saja.
Si penyuka rokok tentu saja menggerutu kesal, "Makanya—kenapa harus selalu dilimpahkan padaku, sih? Taruh dia di UKS, lah!"
Isao yang mendengar itu terkekeh tipis. Suka atau tidak suka—Toshiro memiliki sesuatu yang membuat orang menaruh respek dan melekat padanya, seperti Sasaki Tetsunosuke. "Sebentar saja. UKS masih penuh oleh anggota kita yang terluka. Oke?"
Nah—mana bisa ia menolak kalau Isao sudah berkata begitu, kan?
Toshiro hanya terdiam sampai Isao berjalan menjauh. Selanjutnya, si surai hitam melangkah masuk ke kamarnya sendiri. Shoji ditutup, lampu meja belajar remang dinyalakan. Namun, setelah duduk di hadapan meja, kertas, pena, serta tinta—ia malah tak berselera untuk menyelesaikan apa pun.
Mengacak surai hitamnya sendiri, Toshiro padamkan lampu. Ia menatap wanita yang kini tengah menempati futon-nya.
Helaan napas sebelum Toshiro merebahkan diri di atas tatami, lalu mulai menutup pelupuk, sembunyikan iris biru tua.
Aku pikirkan saja besok.
.
"Baiklah, kalian—pastikan dia ditaruh di sel Shinsengumi untuk sementara," ujar Toshiro pada bawahannya, mengarahkan kedikan dagunya kepada sang kriminal. Sebelah lengannya masih menopang pinggang wanita yang kehilangan kesadaran. "Lalu, lapor pada Tot-san. Mungkin ia akan dipindahkan ke penjara pusat di Mimawarigumi. Kemudian, antar yang lain ke rumah sakit. Pastikan mereka menghubungi keluarga masing-masing dan bantu lacak."
"Baik, Wadan!" Sahutan patuh terdengar.
Kemudian, Toshiro terdiam sesaat. Dengan suara yang lebih ragu, ia bertanya pada beberapa wanita yang di sana, yang telah diberikan jaket tambahan untuk menghalau angin malam, "Uhm. Kalian bisa, kan, menghubungi kerabat kalian?"
Para wanita di sana saling bertukar pandang, kemudian mengangguk. Salah satunya datang mendekati Toshiro, dan berujar lembut, "Banyak dari kami baru diperjual-belikan mulai dari tiga tahun lalu, tapi … Tsubaki sudah lebih dulu di sini sejak ia masih kecil."
Ah. Benar juga. Shigaraki Ryuu lebih lama dan lebih dulu terlibat dalam pencucian uang, serta perdagangan senjata ilegal sebelum jadi muncikari.
Toshiro mengingat-ingat laporan mengenai kriminal yang baru saja mereka sergap. Lalu, ia menyadari telah mendengar sebuah nama bunga, ia melemparkan pandangannya pada wanita yang ada di antara lengannya.
"Kami tidak yakin Tsubaki punya keluarga. Jadi, anu … apa kau bisa melakukan sesuatu?"
Toshiro mengerjap untuk beberapa saat. Bagaimana ia melakukan sesuatu—coba? Dia ini polisi, bukan pusat anak hilang.
Namun, sebelum ia mampu menjawab, Isao yang memberikan respon. "Tenang saja, kami akan berusaha melakukan yang terbaik. Jadi, sekarang—kalian fokus dirawat kalau ada luka, istirahat, dan serahkan ini pada Shinsengumi. Ya?"
Meski ragu dan resah masih membungkus hati, sang wanita mengangguk.
Toshiro lalu mengangkat Tsubaki, menopang tengkuk dan bagian dalam lutut dengan tangannya. Membiarkan kepala wanita yang terkulai itu bersandar di dada. "Yamazaki, sini."
Yamazaki Sagaru mendatangi Toshiro, berdiri tegap. "Ya, Wadan?" tanyanya.
"Nih, angkut ke mobil."
Sagaru sontak menautkan alisnya. "Aku mana kuat. Wadan saja."
"Jangan bercanda!" Toshiro menggeram kesal—bisa-bisanya bawahannya bersikap konyol di saat begini. Lagipula, wanita kurus ini mana mungkin terasa berat!
"Aku serius!" Sagaru berkilah. Lalu ia berjalan duluan, berujar lantang, "Cepat, Wadan, yang lain sudah siap pergi!"
Toshiro menyampah di balik napasnya. Sayang sekali, seppuku telah menjadi sesuatu yang dilarang oleh undang-undang setelah Edo menjelma jadi Tokyo. Sebab jika tidak—Toshiro akan tanpa ragu menyuruh Sagaru melakukannya.
.
Napas Tsubaki tercekat, lalu ia mengangkat pelupuk. Apa yang masuk dalam jarak pandangnya ialah kamar yang gelap, serta suasana yang asing. Jangkrik malam bersuara sedikit-sedikit. Tsubaki bangkit dari posisi tidurnya, lalu merasakan ngilu pada bagian perut.
Ia meringis. Menoleh ke samping, dilihatnya sosok lelaki tertidur memunggungi. Ahh. Kepalanya mendadak berputar. Wanita bersurai kastanya memijit pelipisnya.
Ini apa? Kalau tadi Shinsengumi datang, artinya ini … barak? Apa bahkan aku bisa kabur?
Tsubaki menghela napas panjang, menekuk lutut, dan mendekapnya, menenggelamkan kepala di sana. Tak lama, perutnya bergemuruh. Kosong.
"…. Yang benar saja."
"Ya. Yang benar saja."
Tsubaki terkesiap, lalu mengangkat kepalanya. Kala menoleh ke samping, dilihatnya Toshiro meloloskan kuapan dan bangkit dari posisi baringnya. Lelaki bersurai sepekat abu jelaga itu tak mengucapkan apa-apa, namun ia menyalakan lampu jingga meja belajar.
Saat ada sedikit penerangan di ruangan itu, barulah Tsubaki dapat melihat sepasang bola mata biru gelap yang terarah padanya.
"…. Kau mau makan?"
Tsubaki mengerjap. "Boleh?"
Toshiro mendengus. "Jangan berpikir untuk kabur. Aku akan ambil sesuatu dari dapur." Ia berdiri, menggeser shoji, lalu melangkah menjauh.
Tsubaki termenung. Itu barusan konversasi yang—janggal. Namun, fakta bahwa lelaki tadi—yang sebelumnya mengenalkan diri sebagai seorang wakil komandan kala penyergapan—menyuruhnya untuk tidak kabur, apa artinya ekspresinya semudah itu untuk terbaca?
Atau, ia hanya meraih tindakan preventif, karena tingkah yang sedikit tak waras yang tadi dikirimkan oleh Tsubaki?
Pemilik nama bunga itu meringis saat mengingat tingkah konyolnya tadi. Apa boleh buat, pikirnya, lebih pada diri sendiri dan untuk membela diri sendiri pula. Aku panik dan aku tak yakin harus bagaimana. Aku hanya ingin bebas.
Tsubaki lelah berpikir. Ia menyadari kimono putih bersih yang membalut tubuhnya. Seseorang pasti memakaikannya. Terasa hangat dan ia menghidu harum vanilla. Tsubaki ingin terkekeh—apakah aroma deterjen dari sebuah barak kepolisian sefeminim ini?
Ia lelah berpikir. Sebab, bergelung di dalam futon yang hangat terasa menyenangkan. Tak perlu khawatir akan seseorang yang tiba-tiba datang pada biliknya, menyeret ke sana dan ke mari, diperlakukan layaknya ekshibisi dan burung warna-warni dalam sangkar.
Tapi—ia tak boleh terbiasa. Ia tak tahu seberapa ini bertahan lama. Ia tak tahu kapan akan ditendang, atau digilir ke seseorang yang lain. Tsubaki meremat selimut.
Srak!
Lagi-lagi, ia tersentak. Toshiro datang dengan dua buah onigiri. Lelaki itu menutup shoji, lalu duduk bersila di hadapan Tsubaki, menyodorkan piring dengan tangan kanan.
Tangan kiri yang diperban disembunyikan di balik punggung. Dasar, kaku. Namun, Onigiri yang disuguhkan tampilannya berantakan. Mau tak mau, Tsubaki tersenyum tipis.
"Jangan protes."
"Aku, kan, tidak berkata apa-apa." Saat mendapat respon dari Toshiro berupa matanya yang berputar, Tsubaki meraih onigiri. "Itadakimasu," bisiknya, kecil, sebelum menggigit nasi pulen itu. Manis. Meski nasinya dingin—tapi, masih enak.
Saat lidahnya mengecap sesuatu yang gurih, Tsubaki menaikkan sebelah alis. "Isinya … salmon dan mayones?"
Toshiro kali ini menyengir. Rasa bangga mendadak menelusup di hati. "Enak, kan?"
Saat Tsubaki terdiam, si iris biru mengerjap. Ah. Bodoh. Ia lupa, tidak semua orang suka ini. Bersiap-siap akan cocolan favoritnya dihina, Toshiro menautkan alis. Namun Tsubaki hanya terkekeh, menyahut sambil melanjutkan makan, "Enak. Kurang saus sambal."
Oh.
Wanita aneh.
Lalu, sisanya dibalut keheningan. Di sunyi itu, Toshiro sadar betapa kurus wanita ini. Wanita yang barangkali baru menyentuh umur 20. Klavikula tercetak jelas. Surai panjangnya berantakan dan pergelangan tangannya tampak mungil. Tampak ringkih.
Toshiro mengusap belakang kepala. Bahkan Mitsuba tidak sebegini kurus.
Tsubaki menyelesaikan makannya, dan mengucapkan terima kasih. Toshiro menyuruh wanita itu menaruh piringnya di samping pintu agar ia ingat untuk membawanya ke dapur besok pagi—dan Tsubaki menurut. Setelah itu, si pemilik iris abu-abu kembali duduk di futon-nya, dan menatap Wakil Komandan Iblis tengah mengistirahatkan matanya.
"…. Perutmu."
Tsubaki reflek menyentuh sisi ulu hatinya. "Apa?" tanyanya—meski ia tahu apa yang akan diungkit.
"Tak apa-apa?"
"Hm-mnn, baik-baik saja. Biasa, Ryuu suka main kasar—itu saja."
Apanya yang biasa? Toshiro ingin bertanya. Namun ia urungkan itu. Gawat. Ini bodoh—ia selalu menjadi orang yang kaku lidah. Namun, bila dihadapkan dengan seorang perempuan, lebih lagi.
"Apa … yang lain baik-baik saja?" Tsubaki akhirnya berinisiatif bertanya. Sebetulnya, ia sudah ingin bertanya sedari tadi; diserang risau oleh kabar soal kawan-kawannya.
"Baik. Beberapa di rumah sakit, sebagian keluarga sedang dilacak. Dalam satu atau dua hari, bila semuanya lancar—mereka akan kembali ke rumah mereka."
"Begitu."
"Ya."
Hening lagi. Tsubaki merapatkan gigi. "Ada ...," ujarnya, terputus. Mengingat memori yang tersimpan dalam petak-petak memori. Sesuatu yang sebetulnya tak perlu diungkit, tapi bercokol erat di dalam relung hatinya, perlu disuarakan bagaimana pun juga. "Masih banyak yang Ryuu jual hingga ke luar angkasa."
Toshiro membuka pelupuk bertirai bulu mata. Ia melihat Tsubaki yang tengah memeluk lututnya sendiri. "Kalau sudah begitu, tak bisa diapa-apakan."
Tsubaki memutar kepalanya ke samping, cepat. Glabela mengkerut, bola mata melebar. Rasanya jadi ingin menangis—namun, menunjukkan kelemahan bukanlah pilihan.
Sudah berapa lama Toshiro tidak melihat sendi ekspresi yang begini? Ekspresi yang begitu … lembut. Gurat wajah yang pernah ditujukan padanya, lama sekali, ketika wanita yang dikasihinya ingin berada di sisinya.
"Tapi," Toshiro melanjutkan. Mantap. "Kalau ada yang datang pada kami, lalu mereka ingin pulang, ingin menemukan tempat tinggal—kami tak akan diam. Sesederhana itu, kan?"
Oh. Tsubaki, mencerna kata-kata itu, mengangguk perlahan. Benar.
Toshiro mendengkus tipis. "Tidurlah. Istirahat. Aku berpikir—besok, kubawa kau ke Yorozuya. Biarkan ia membantumu mencari beberapa pakaian."
"Pekerja Segalanya?"
"Ya," Toshiro menyahut. Ia telah mengirimi chat pada Gintoki tadi kala di dapur—entah apakah lelaki bersurai perak itu membaca atau tidak. "Cadangan pakaian hanya untuk beberapa hari. Lalu, baru kita pikirkan kau akan ke mana, karena aku tidak menemukan data tentang keluargamu."
Sesungguhnya—kalimat terakhir itu adalah pancingan. Toshiro berharap Tsubaki akan menjawab atau memberi eksplanasi tentang asal usulnya, atau tempat asal tinggalnya. Namun, wanita itu hanya tersenyum tipis.
"Benar. Aku sudah lupa."
.
.
.
Toshiro mengusap belakang kepala. Ia menatap ke samping. Berikutnya, tangan itu mengguncang pelan bahu Tsubaki. "Bangunlah."
Tsubaki mengerang, kemudian mengusap sudut mata. Wanita itu melihat Toshiro yang melangkah pada lemari pakaian dan terkaku di hadapan tumpukan fabrik. Toshiro berpikir sesaat. Ia mengangkat tangan, meraih sebuah kimono biru gelap.
"Mandi, lalu pakailah ini. Kalau kebesaran, kupinjamkan peniti."
Tsubaki bangun, lalu menerima pakaian. Namun berikutnya, dengan rasa bingung yang luar biasa, Tsubaki bertanya tulus, "Mandi … di mana?"
Toshiro menaik-turunkan pelupuk, repetitif. Benar juga. Maka, ia mengajak Tsubaki untuk mengekorinya—dan itulah yang dilaksanakan oleh sang wanita. Mereka yang menyusuri koridor barak mengundang atensi dan entah bagaimana Tsubaki tidak merasa aneh. Ia selalu terbiasa menjadi pusat perhatian, meski biasanya konotasinya negatif.
Saat sampai di depan sebuah pintu, Toshiro meminta Tsubaki menunggu, sementara pria itu masuk ke dalam.
Tsubaki bertanya-tanya apa yang akan Toshiro lakukan dan itu terjawab kala suara rendah serta tegas memerintah, "Kalian semua, keluar dari kamar mandi ini untuk sepuluh menit! Dalam hitungan ketiga!"
Astaga naga. Tsubaki menjatuhkan rahang—nyaris tidak percaya untuk apa yang barusan ia dengar. Bahkan, kalau ia pura-pura tuli sekarang pun rasanya tak masalah. Tak berapa lama, berbagai lelaki keluar terburu-buru. Sebagian besar dari mereka hanya menutupi area kemaluan dengan handuk. Bahkan, masih ada yang rambutnya dipenuhi busa.
Terakhir, Toshiro keluar dari sana. Dagunya mengedik, menyuruh Tsubaki masuk dan memakai kamar mandi campuran tersebut.
Tsubaki bertukar pandang, antara Toshiro dan para bawahan Shinsengumi yang berusaha menutupi wajah dengan sebelah tangan sebab malu keterlaluan.
"A-aku akan pakai sebentar saja," ujar Tsubaki pada akhirnya dan melenggang masuk ke kamar mandi.
"Wadan, tega sekali, ini dingin …," sahut Sagaru, memastikan pegangan handuk pada pinggangnya sudah rapat.
Toshiro tidak ambil pusing. Ia merogoh tembakau dari dalam kantung celana, menyalakan geretan, membiarkan lidah api membakar sumbu. Ia mengembuskan asap.
"Wadan, apa dia akan tinggal di sini?" tanya salah seorang bawahan, yang juga berjuang keras menahan dingin angin pagi.
Toshiro, mendengar pertanyaan itu tafakur sesaat. Ia memang bilang pada Tsubaki bahwa mereka akan menampung wanita itu di sini untuk sesaat saja—ini tidak permanen. Dan sampai kini, Toshiro yakin itu. Hanya saja, entah mengapa—ia bingung untuk menjawab.
"Kita lihat saja," ujar Toshiro, pada akhirnya.
Tak lama, Tsubaki keluar dari kamar mandi. Harum sabun menguar darinya. Kimono biru tua terlihat sedikit terlalu besar, namun menggantung sempurna pada pundaknya dan membentuk v yang dalam di bagian dada.
Toshiro mengerjap. Loh—kemarin, wanita ini serupa tikus got yang lusuh. Sesudah mandi, nyatanya tidak begitu. Bahkan, bola mata keabuan tampak berpendar, dibalut cahaya matahari pagi.
Dengan surai yang masih bertempias air, Tsubaki menunduk sedikit, tersenyum, dan berujar, "Terima kasih! Maaf aku menyita kamar mandi."
Yang lain merespon malu-malu, membuat Toshiro sebal dan segera mengibaskan tangannya. Perintah agar mereka menyelesaikan mandi mereka.
Seusai itu, langkah mereka berlanjut, kembali pada kamar Toshiro. Sang iris biru samudra sendiri bersiap-siap dengan seragam dan perlengkapan mandinya. Ia berujar pada Tsubaki, "Habis aku mandi, akan kuantar ke Yorozuya. Kalau kau lapar, pergilah ke kantin."
Tsubaki tidak yakin soal ia yang berkeliaran sesuka hati di tempat yang asing baginya, namun toh—ia mengangguk.
Toshiro menatap Tsubaki untuk sesaat. Ia tak sangka kimono miliknya saat remaja ternyata cukup muat. Tetapi, pada akhirnya, dia meraih peniti, memberikannya pada Tsubaki.
Awalnya, Tsubaki tak yakin apa yang harus ia lakukan dengan peniti itu. Namun ia menunduk, menyadari sesuatu, dan mengencangkan kerah kimono-nya dengan peniti agar tak terlalu menganga.
Saat Toshiro mengangguk, lalu pergi dari sana, Tsubaki barulah menyadari ia merasa lapar.
Ia tidak yakin kantin di mana, tapi ia pikir ia bisa bertanya. Maka, Tsubaki juga keluar dari kamar. Saat menyusuri lorong, ia menemui beberapa petugas kepolisian. Memberikan senyum tipis, Tsubaki bertanya, "Permisi, boleh aku tahu kantin di mana?"
Kedua petugas terkaget. Mereka jarang berhadapan dengan wanita sedekat ini dan fakta bahwa sebelumnya tak pernah ada wanita di barak—membuat mereka terkejut. Gugup menguasai ketika mereka memberikan jawaban pada Tsubaki.
Ada ucapan terima kasih sebelum akhirnya Tsubaki mengikuti petunjuk para petugas. Baru saja langkahnya masuk ke dalam ruangan kantin yang masih sepi, sesuatu menepuk punggungnya. Tsubaki menoleh dan mendapati Isao di sana, menyodorkan cengiran terbaiknya.
"Tsubaki-san, kan? Mau sarapan?"
Tsubaki membolakan iris keabuannya. Tidak yakin siapa pria yang menyapanya. Tapi, Isao terlebih dahulu memberikan eksplanasi atas kehadirannya, "Aku Kondo Isao, komandan dari Shinsengumi. Yuk, bareng?"
Ada rasa senggan yang membalut sesaat sebelum Tsubaki mengangguk.
Kantin tidak ramai. Ini masih pukul setengah 7 pagi, bagaimana pun—dan Isao menjelaskan bahwa briefing pagi mereka mulai pada pukul 9. Wajar saja bila beberapa manusia memilih untuk masih bergelung di selimut, serta nikmati waktu tidur.
Itu artinya, Toshiro ialah seseorang yang sangat rajin untuk bangun pagi. Harusnya Tsubaki sudah menduga itu.
Meski area makan masih sepi, nyatanya—petugas yang memiliki jadwal untuk memasak telah bersiap. Nasi sudah matang, tinggal dihangatkan, dan menu sarapan pagi ini—kare, juga telah siap sedia di dalam empat tong aluminium besar.
Isao mengajak Tsubaki dan mereka mengambil satu porsi nasi kare untuk masing-masing. Berikutnya, Isao menuntun sang wanita untuk duduk di salah satu meja. Dan tak butuh waktu lama hingga Sougo datang, mengambil bagiannya, dan duduk di meja yang sama.
"Ah, ini Okita Sougo," Isao mengenalkan. "Dia kapten dari divisi satu."
Tsubaki menunduk sedikit. "Tsubaki. Terima kasih untuk …," ia terdiam sesaat.
Untuk apa? Penyergapan yang bahkan ia sendiri tak menyangka? Atau, untuk telah mengurus teman-temannya, dan mencarikan asal-usul mereka? Terdengar tak tepat. Namun, akhirnya Tsubaki pun menjawab, "… bantuannya."
Sougo mengangkat kedua bahu. Dari gestur dan cara lelaki baru dewasa ini berprilaku—Tsubaki tidak yakin kehadirannya diterima. Wanita dengan bola mata keabuan mencari sesuatu di atas meja. Saus sambal … tidak ada. Tak menemukan apa yang ia ingini, ia meraih cabai bubuk, lalu menuangkan tiga sendok kecil ke atas kare.
Sougo menghentikan suapannya sesaat. Ia mengerjap, terdiam sesaat. Tapi, lalu memutuskan untuk tak ambil pusing dan kembali fokus pada sarapannya.
Untuk suasana yang terasa canggung dan hening, Isao pun membuka percakapan, "Tsubaki nama yang indah. Camellia, kan?"
Yang namanya disebut menoleh, memberikan senyum tipis. Tsubaki bahkan tidak sampai hati untuk merusak suasana dengan menjelaskan bahwa namanya datang dari Shigaraki Ryuu; sebagai simbol bahwa ia adalah kepemilikan orang itu selamanya. Maka, Tsubaki hanya membual ringan, "Iya. Aku ingat ibuku dulu memanggilku begitu."
"Benarkah? Aku yakin ia wanita yang cantik, serupa anaknya."
Tawa sopan dikirimkan sebagai respon atas pujian itu.
"Oh, aku harap Otae-san mau memiliki sepasang putra-putri denganku! Aku yakin anak kami akan indah—"
Tsubaki tersenyum kaku. Perlukah ia bertanya siapa itu Otae-san? Namun, sebelum ia perlu mengerahkan tenaga berlebih untuk berbasa-basi, disadarinya Toshiro hadir dan memukul pelan kepala Isao.
"Kondo-san, kau membuatnya bingung."
Tsubaki menengadah. Dilihatnya sang lelaki bersurai hitam pekat telah rapi dengan seragam hitam Shinsengumi dan cravat melekat pada kerahnya. Dari sudut pandangnya, bulu mata Toshiro tampak lentik.
Tsubaki mengedipkan pelupuk beberapa kali dengan cepat. Bahkan, meski pagi baru saja menyingsing, dan basuhan tubuh pertama kali untuk hari itu telah dilakukan, ia masih bisa menghidu harum rokok dan musk yang samar. Seolah-olah, tembakau itu ialah aroma alami dari sang juntaian hitam.
Toshiro menunduk. Membiarkan juntaian poni yang masih setengah kering mengayun seiring pergerakan kepalanya. "Ayo."
Tsubaki mengangguk cepat. Ia mengalihkan pandangan, melempar senyum dan ucapan permisi pada Isao serta Sougo, sebelum membawa nampannya, menaruh ke tempat yang seharusnya, lalu mengekori langkah Toshiro.
Saat keduanya telah menyingkir dari kantin, barulah Isao menoleh pada Sougo dengan kurva pada bibirnya.
Sougo mendengus, ia sudah tahu apa yang ingin dikatakan oleh Isao. Namun, tentu saja ia tak menghentikan kala pemimpin dari Shinsengumi itu berujar, "Mirip, ya? Kesukaannya pada hal pedas."
"Hm-mnn. Aku tidak menyukai dia, tampak seperti seseorang yang akan menangis sedikit-dikit."
Isao tergelak ringan. "Kamu selalu tidak menyukai anak baru, Sougo."
.
"Makanya, mana mungkin aku bangun jam segitu untuk membaca pesanmu, kan, Oogushi-kun?"
Urat Toshiro menegang. "Siapa yang kaupanggil oogushi-kun, hah, sialan?"
Sakata Gintoki menguap. Berikutnya, mata yang terasa seperti ikan mati itu mengedar dan berlabuh pada Tsubaki yang tersenyum tipis. "Cantik. Tidak kusangka, Hijikata-kun bisa menggait—aduh!"
Pukulan pada kepala membuat Gintoki hentikan kalimatnya dan mengusap kranium miliknya. Tsubaki hanya terkekeh melihat pertukaran obrolan di pagi hari ini. Toshiro mendengus, menyodorkan kartu miliknya.
"Makanya, kau hanya perlu membantu menemani ia mencari beberapa baju dan perlengkapan."
Toshiro nyaris bersumpah ia melihat bola mata merah itu menjelma menjadi warna hijau uang. Dasar. Gintoki menerima kartu debit dengan senang hati, lalu tersenyum begitu manis. "Dadah, Hijikata-kun!"
"Hati-hati di jalan," Tsubaki melanjutkan, saat Toshiro bersiap menjalan menjauh. Lambaian tangan pun menjadi balasannya.
Gintoki mempersilakan Tsubaki untuk masuk. Saat melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang si surai perak sebut sebagai kantor Yorozuya itu, Tsubaki membiarkan dirinya mengobservasi sesaat dan menemukan kenyamanan khas rumah.
Asing—tapi, tak buruk.
"Duduklah," Gintoki berujar. Ia menggeleng-gelengkan kepala cepat—seperti tengah singkirkan kantuk yang mendera. "Shinpachi dan Kagura sebentar lagi datang, baru kita berangkat, oke? Gin-san mau minum susu stroberi dulu."
Tsubaki mengangguk, lalu menyamankan diri di atas sofa. Ia melihat Gintoki pergi ke dapur dan mendengar suara kulkas yang dibuka, gelas beling diraih, dan susu dituang. Saat kembali, Gintoki menyodorkan satu gelas pada Tsubaki, yang disambut dengan senyum dan ucapan terima kasih.
"Kamu …," Gintoki memulai pembicaraan. Mencari pandangan Tsubaki, yang kini juga terarah lurus padanya. Mata yang tegas, menyorot nihil ragu, namun, sama sepertinya—mengandung luka yang tak pegari. "Dari kasus Shigaraki Ryuu yang muncul di koran, ya?"
Tsubaki bertanya-tanya, apakah ini artinya ia terkenal, dan masih diperlakukan layaknya pameran umum? Namun, lelaki yang bertanya di hadapannya tidak tampak seperti seseorang yang bertanya hanya karena hasrat menghujat, atau pun rasa penasaran tak berguna. Maka, Tsubaki menarik napas, lalu menjawab, "Iya. Apa aku terkenal—ditulis di dalam koran?"
Gintoki menggeleng. "Kau terlihat seperti habis dari medan perang—itu saja." Dan lagi, Hijikata-kun bukan orang yang akan mendampingi seorang perempuan tanpa alasan.
Kali ini, tawa kecil menyertai. "Veteran perang, ya? Terdengar tak buruk-buruk amat."
"Jadi, mulai sekarang kamu tinggal di barak kepolisian itu? Kau harus berhati-hati, karena ada gorilla liar."
Tsubaki tak paham apa yang Gintoki maksud dengan itu, namun anehnya—wajah Isao terlintas, dan ia menyetujui dalam hati bahwa Isao memang terlihat seperti gorilla. Sedikit.
Ada gelengan yang diberikan sebelum si pemilik iris abu-abu menjawab, "Entahlah. Kalau kau sudah membaca koran—pastinya—kau pasti tahu Shigaraki Ryuu baru terlibat dengan kegiatan perdagangan manusia tiga tahun lalu. Tapi, beda denganku; aku bersamanya sejak aku baru bisa berjalan. Aku sudah lupa, aku seharusnya tinggal di mana."
Ah. Rasanya familiar sekali—bukan? Tak memiliki rumah, tempat untuk pulang. Telah lama berkelana di semesta, tak tahu harus singgah di mana. Hati telah tercerai-berai, dikumpulkan satu-satu pun tak ada gunanya sebab tak akan lagi menyatu.
Lelah.
Gintoki tersenyum timpang. Ia mengangkat tangan, mengusap-usap puncak kepala Tsubaki. Tak berapa lama, suara rusuh datangnya Shinpachi dan Kagura terdengar. Ada perkenalan, ada pertukaran kata yang hangat.
Tsubaki sudah lupa kapan terakhir kali ia merasakan ini.
.
Toshiro memerhatikan tumpukan kertas yang terselip di antara jemarinya. Mata biru tua meniti setiap barisan kata yang terpatri, hati-hati mencerna informasi yang disuguhkan padanya. Hasil laporan akan penyelidikan Shigaraki Ryuu, termasuk rincian rekan yang dimiliki serta koneksinya. Toshiro tidak heran ketika melihat Harusame sebagai salah satu mantan partner berbisnis Shigaraki.
"Wadan," Sagaru memanggil.
Toshiro mengangkat kepala. Ia telah menyadari langkah Sagaru yang mendekat—ia hanya memutuskan untuk tetap melanjutkan membaca hingga paragraf terakhir di halaman itu sebelum berpindah fokus.
"Shigaraki buka mulut, kabarnya, masih ada rekannya yang berkeliaran di E—Tokyo, akhir-akhir ini. Tepatnya di mana ia tak yakin, tapi ia percaya rekannya masih berusaha menggait perempuan muda untuk dijual."
Toshiro menautkan alis mendengar informasi itu. "Ia buka mulut dengan sukarela?"
"Yah—dia menuntut perlindungan penuh. Kurasa, begitu-gitu—ia takut diincar balik oleh berbagai pihak yang takut ia membuka mulut."
Tentu saja. Toshiro menggeleng lelah sebelum lanjut bertanya, "Ada lagi?"
"Ada," jawab Saguru. Ia menyerahkan satu folder berisi dokumen. "Ini regulasi baru yang Tot-san dapatkan dari pemerintah. Ia ingin ini masuk ke Kyokuchuu Hatto dan kalau bisa segera diterapkan untuk memberikan contoh pada masyarakat umum."
Toshiro menukar berkas yang ada di tangannya dengan folder yang digenggam oleh Sagaru. Saat membaca isinya, ia mendengus-tawa. Entah dunia saat ini tengah mengusilinya, atau memang seharusnya beginilah mereka berputar—Toshiro tidak habis pikir akan apa yang ia baca.
Benar-benar, deh.
"Nanti kutulis regulasi tambahannya di Kyokuchu Hatto. Setelah itu, bikin kopiannya, dan sebarkan ke masing-masing ketua divisi. Pastikan mereka menghafal ini besok pagi. Lalu, kamu pastikan di mana rekan Shigaraki. Aku tak ingin ada pedofil berkeliaran di jalan kota Tokyo."
Sagaru hanya bisa tersenyum. Sudah jadi watak Toshiro untuk mengerjakan segala sesuatu dengan cepat—meski itu membuat orang lain meringis lelah. Anggukan patuh diberikan dan Sagaru siap melaksanakan komando. Tapi, teringat akan suatu hal, ia memutuskan untuk bertanya pada sang wakil komandan, "Oh, ya—di mana Tsubaki-san?"
"Bersama Yorozuya," sahut Toshiro singkat. "Kusuruh mereka menjaganya hari ini."
Oh. Baiklah. Sagaru mengangguk-angguk dan akhirnya pergi untuk menjalankan tugasnya.
.
"Waah! Jadi orang yang muncul di koran kemarin itu jahat padamu, ya, aru? Harusnya langsung saja kautendang kintama miliknya!"
Tsubaki tergelak. Menyegarkan sekali. "Benar juga, serangan terakhir kan?"
"Hentikan pembicaraan kintama, Gin-san ngilu mendengarnya!"
"Tapi, baguslah ya, semua itu sudah selesai," Shinpachi menjawab. Ia mengulas senyum pada bibirnya, melihat pada lensa abu-abu Tsubaki.
Tsubaki mengangguk. Menikmati es krim yang ada di genggamannya, selanjutnya ia menjawab, "Kurasa begitu."
Lalu, Kagura mendadak heboh bahwa ia ingin membeli crepes di pinggir jalan. Tangannya menarik-narik lengan kimono Gintoki dan itu membuat Shinpachi ikut tertawa. Pada akhirnya, Tsubaki memutuskan untuk menunggu dan beristirahat di bangku taman yang mereka tempati, sementara ketiga anggota Yorozuya itu kembali membeli jajanan.
Saat ditawari, Tsubaki hanya menjawab ingin crepes rasa cokelat dan buah stroberi. Gintoki memuji akan seleranya. Mereka pun menyebrang ke arah gerobak crepes.
Angin bertiup dan Tsubaki menikmati semilirnya. Sepoi yang menyapu sisi wajah, membikin helai cokelatnya sedikit sengkarut—tapi tak masalah. Tsubaki menyentuh rambutnya, lalu tersenyum.
Mereka telah berbelanja beberapa baju. Awalnya, Tsubaki ragu membeli sesuatu yang mahal. Namun, Gintoki menelepon paksa—mengganggu Toshiro lebih tepatnya—dan mengatakan bahwa seorang wanita harus memiliki pakaian yang bukan hanya nyaman, tapi juga modis. Toshiro yang tampak lelah di telepon akhirnya mengiyakan dan menggertak Gintoki agar tak menghabiskan uangnya untuk camilan.
Akhirnya, dua helai kimono sehari-hari, kemeja putih metah serta celana bahan smart-casual, serta kimono untuk tidur dibeli. Bukan hanya itu, Tsubaki punya permintaan sederhana untuk memangkas rambutnya, sebab sudah terlalu panjang dan rumit.
(Dan untuk alasan menyebalkan bahwa rambut panjang mengingatkan masa-masa ketika berbagai insan maupun amanto dapat menariknya sembarangan.)
Akhirnya, ia memangkas pendek rambutnya. Terasa amat segar.
Gawat. Ia merasa bahagia—ia merasa begitu nyaman. Ada di kota ini, ada di antara orang-orang ini. Ketika perang besar yang mengguncang bukan hanya Jepang, tapi juga seluruh dunia itu terjadi, Tsubaki tidak berada di bumi. Ia dibawa oleh Shigaraki ke salah satu planet yang telah lama menganggap manusia adalah makhluk eksotis. Ia tidak mengalami, ikut terlibat, maupun ambil peran dalam perang itu.
Namun, kini melihat perang itu usai, era berubah, zaman berganti menjadi sesuatu yang lebih baik … rasanya menyenangkan. Rasanya damai, serta membikin hati ringan.
Dan sekarang, ia telah lepas dari Shigaraki, rasanya—bebas. Ia tak tahu harus memiliki permohonan macam apa lagi, karena sekarang, asal tidak berubah … itu cukup.
Setelah berpikir seperti itu—Tsubaki terhenyak. Sesuatu seperti menusuk hatinya. Bagaimana tidak berubah? Aku tidak punya tempat tinggal sedari awal.
Benar. Toshiro yang memberikan uangnya untuk belanja, ia yang membikin onigiri tengah malam, ia yang meminjamkan kimono biru tua—dilakukan atas nama kewajiban, tuntutan pekerjaan. Meski Tsubaki yakin ada ketulusan di balik tindakannya, tetap saja ini semua adalah—sementara. Temporer.
Bolehkah ia berharap? Bolehkah ia melakukan sesuatu, agar tetap begini, sembari ia sendiri mencari jalan hidupnya, mencari apa yang bisa ia lakukan mulai dari sekarang.
"Kak …."
Tsubaki terkesiap. Mendadak, terasa seperti ditarik kembali ke realitas. Ia melihat seorang bocah gadis menarik tangannya. Tsubaki mengerjap, kaget, lalu segera mengusap air mata yang terlintas pada pipi sang bocah. "Kamu baik-baik saja?"
Gelengan. "Mama …."
Oh. Hanya kehilangan ibunya. Tsubaki menghela napas lega, lalu berujar, "Aku akan membantumu mencarinya. Di mana kamu terakhir berpisah dengannya?"
Lalu, anak itu pun menuntun Tsubaki untuk mengikutinya. Tsubaki tanpa pikir panjang menghabiskan es krimnya, membuang kertas pembungkus ke tong sampah, dan mengikuti. Ia yakin ini tak akan lama dan bila mereka menemukan jalan buntu—Tsubaki yakin ia bisa menghubungi pusat anak hilang.
Namun, kala anak tersebut menuntunnya ke dalam gang yang sepi manusia, Tsubaki mulai was-was. Detak jantungnya berakselerasi dan perasaan buruk menyergap. Instingnya menyuruhnya kabur.
"Hei, kita keluar dulu, ya—," rayu Tsubaki pada anak itu. Namun baru saja ia ingin keluar dari area itu, seorang lelaki menghalangi jalannya.
Lelaki itu mengeratkan cengkraman pada leher seorang anak gadis kecil lainnya dan tersenyum. Tsubaki membolakan lensa abu-abu. Ia melihat anak gadis yang tadi menuntunnya, perlahan menangis, mengeratkan pegangannya pada tangan Tsubaki.
Oh. Begitu.
"Tsubaki, selamat siang. Kabur dari Ryuu, ya? Manis sekali."
.
"Bagaimana caranya ia bisa hilang!" Toshiro menggeram. Kepalanya memanas untuk alasan yang jelas. Alisnya bertaut dalam dan ia meremat tangan kirinya sendiri. Darah merembes. Luka yang baru saja kering kembali terbuka.
Sagaru meneguk ludah. Ia memerhatikan baik-baik pertukaran percakapan antara Yorozuya no Danna dan Shinsengumi: Oni no Fukucho. Shigaraki Ryuu ikut merinding. Padahal—bukan ia yang menjadi pusat kemarahan Toshiro saat ini.
"Aku sedang mencarinya!" Gintoki membalas sengit di seberang telepon. Gawat. Ia juga jadi ikut sama paniknya mendengar Toshiro sebegitu emosi. "Aku sedang melihat CCTV di taman dan ia ditarik oleh seorang bocah."
"Oh. Dia keluar dari gang itu bersama seorang lelaki, Gin-chan."
Lelaki?
"Coba sebutkan ciri-cirinya," pinta Toshiro, yang akhirnya membuat nadanya sedikit lebih kalem.
"Blasteran, rambut pirang, kimono ungu-jingga. Ada anting salib di kedua telinganya dan ia membawa dua anak kecil."
"Oh." Shigaraki mendadak menyadari sesuatu. Mendengar respon tak sengaja itu, Toshiro mendelik, kirimkan seluruh intimidasi dan ancaman yang ia bisa melalui tatapannya. Shigaraki, dengan suara mencicit, menjawab, berusaha memberi penjelasan, "Itu … Aniki. Sei Aniki, dia—yang mengajarkanku cara untuk menjual wanita. Dia—"
"Baik, sudah cukup, tutup mulutmu!" hardik Toshiro kesal. "Yorozuya, temui aku di alamat yang akan kukirim. Aku akan mencari tahu di mana markasnya."
"Oke," Gintoki menyahut cepat. Lalu, telepon ditutup.
Toshiro mendecak. Ia memerintahkan Sagaru untuk segera menyiapkan mobil. Ia tidak yakin bahwa ini bukanlah penyelidikan yang sia-sia; ia tidak bisa menyeret keseluruhan Shinsengumi untuk ini. Namun, kalau yang disebut sebagai Sei ini masih aktif dalam menjalankan bisnisnya, maka akan ada penyergapan besar untuk kali kedua.
Ia harus bertindak cepat. Baru saja Toshiro hendak keluar dari ruangan interogasi, Shigaraki memanggil, "Kenapa kalian sebegitu peduli padanya?"
"Hah?" Toshiro balas menantang. Ia tak paham. Pria bermahkota hitam saat ini tidak berada dalam suasana hati untuk berbasa-basi. Tapi, pertanyaan dari Shigaraki nyatanya menyita pikirannya.
"Tsubaki," Shigaraki menjawab. "Dia hanya salah satu dari mereka yang kalian tolong, satu dari kasus tak berpenghujung. Satu nyawanya tidak sebanding dengan energi yang kalian keluarkan."
Toshiro menarik katana dari sarungnya. Sagaru terkejut, menahan lengan kanan Toshiro, menghentikan ayunan di udara.
"Wadan!"
Bilah pedang tepat berada di atas kepala Shigaraki. Sang kriminal mendongak, terkaku.
"Saat … Sei sudah kami tangkap dan seluruh organisasimu kami lumpuhkan hingga ke akarnya," Toshiro berujar. Tersenyum. Kalem. Menggigit tembakau yang ada di antara bibirnya. "Aku akan meminta hak kepengurusan kalian dari pemerintah pusat. Dan, jangan berpikir kami telah kehabisan metode hanya untuk menyiksa; atas nama 'meraih informasi'. Bagaimana pun—di sini ada ahli Do-S."
Sagaru sedikit prihatin—tapi, untuk sekarang itu tak penting. Sebab, wakil komandannya yang mengembalikan bilah pedang pada sarung, lalu melangkah keluar dari sana—terlihat jauh lebih menakutkan dari ancaman yang barusan dikirimkannya.
.
.
.
"Sudah kubilang, kemari!"
Surai anak gadis itu ditarik. Anak gadis yang bahkan belum 12 tahun. Ia meronta, meraung—ada tangisan.
Tsubaki menengahi. Ia menampilkan senyum terbaiknya, "Aku saja, Ryuu. Mana mungkin dia menarik untuk dilihat para amanto itu? Setidaknya, kau harus menunjukkan yang terbaik, kan?"
Shigaraki mengerutkan alis. Ia mendengus, melempar lengan anak bocah yang tadi dicengkramnya, Ia tahu alasan di balik tingkah Tsubaki, namun tak ingin repot berargumen untuk sekarang.
Tsubaki menghela napas lega, melihat ke arah anak kecil itu dan mengedipkan sebelah mata. Lalu, giliran pergelangan tangannya yang ditarik oleh Shigaraki.
"Mandilah. Pakai kimono yang sudah kusiapkan. Kalau para babi itu tertarik—kita bisa tinggal sementara waktu di sini, setidaknya sampai perang di bumi usai."
Tsubaki memberikan anggukan. Saat ia bersiap untuk melangkah ke dalam kamar mandi yang berada di kapal luar angkasa itu, Shigaraki menahan bahunya. Tangan lelaki itu merayap, jemari berdiam diri pada leher Tsubaki.
Sang pemilik mahkota cokelat terkaku. Tapi, sudah biasa, dan tak kaget. Tak ada reaksi berlebihan, meski jemari yang ada di lehernya mengerat. Ia sudah mati rasa—ngeri pun tak lagi menelusup ke setiap bagian syarafnya.
"Bekerjalah dengan baik. Kau kesayanganku, kau tahu—kan?"
Tsubaki menendang sudut-sudut bibir. Pikirannya menjerit, sanubari menyakari sisa-sisa kemanusiaan yang ada. Sisa kewarasan—itu pun, jika masih ada. Tapi, bagai robot yang otomatisasinya telah diatur sedemikian rupa, ia menunjukkan sikap jinak yang telah terukir entah sejak berapa lama.
"Aku mengerti, Ryuu."
.
Tsubaki menarik napas, namun tidak segera mengembuskannya. Ia melihat ke arah kedua tangan yang disatukan pergelangannya, diikat erat dengan tali rafia. Di dalam gudang yang gelap, minim pencahayaan—ia dapat menyadari, setidaknya ada sepuluh anak gadis di sini. Umur bervariasi, mulai dari sebelas tahun hingga yang tertua mungkin 15 atau 16 tahun.
Bukan—aku, kan, yang tertua?
Tsubaki menutup pelupuk, berusaha fokus. Tidak—ia tidak boleh membiarkan pikirannya berkelana negatif. Pastilah ada satu atau dua cara untuk melepaskan diri dari situasi ini. Bahkan, kalau bisa—sekaligus membantu seluruh anak-anak yang ada di sini.
Tadi, setelah dipaksa untuk mengikuti Sei, mereka menaiki mobil dan Tsubaki ingat ia dibuat kehilangan kesadaran. Ia tidak yakin ini di mana—ia bahkan tidak yakin jika masih ada di Tokyo. Sebab, cahaya bulan purnama yang tampak pada angkasa menunjukkan waktu telah terlewat cukup lama dari tadi siang.
Namun, apa pun itu—usaha harus tetap dilakukan. Mencari jalan keluar, menyelamatkan yang lain.
Bagaimana caranya? Tsubaki melenguh dalam hati. Ia frustrasi, sungguh—dan rasanya, jiwanya sudah tergerus habis. Ia lelah dan ingin menangis. Aku tidak mau kembali. Menyelamatkan diri sendiri saja belum tentu bisa.
Ia harusnya tahu diri sebelum berpikir untuk membebaskan anak-anak yang lain.
Tsubaki menyadari Sei tengah menelpon seseorang. Saat telepon itu putus, Sei berujar pada dua bawahannya, "Sebelum kita ke Planet Zurya, ambil salah satu anak di sini, kirim ke Inggris melalui jalur itu. Klien-ku di sana request satu anak berdarah oriental, sih."
"Yang mana, Sei-sama?"
"Yang mana saja." Sei menoleh ke sana dan ke mari. Kemudian, ia menaruh seringai pada wajahnya. Jari telunjuknya terangkat untuk diarahkan pada satu anak gadis yang duduk tepat di sebelah Tsubaki. "Anak itu."
Tsubaki terlonjak. Ia menoleh cepat ke samping—anak gadis, berumur barangkali 11, mulai meronta dalam duduknya.
"Sei!" Tsubaki menyergah. "Sei, kumohon. Dia masih sangat kecil."
Sei mengangkat bahu. Tawanya berdendang ringan—memantul ke sudut-sudut ruangan. Begitu bebas; begitu tanpa beban. Begitu tak tahu diri dan rasa-rasanya perlu diberi hukuman pasti. "Apa peduliku? Lagipula, saat pertama kali kami mencoba melakukan ini—kamu juga masih kecil, kan, Tsubaki? Sekarang lihat …,"
Sei berjalan mendekat. Ia berjongkok, meraih dagu Tsubaki dengan tangannya. Tsubaki merapatkan gigi, menatap tajam mata yang membola puas di hadapannya. "… sudah dewasa, sudah matang—sangat atraktif. Sayang sekali kau adalah kesayangan Ryuu sedari dulu, sebab bila tidak, sudah lama aku ingin memakaimu."
Sei mendorong kepalanya, melabuhkan bibirnya pada Tsubaki. Sang wanita menggeliat, menggigit bibir Sei. Darah mengalir. Sei melepaskan diri, menautkan alis—keki. Benci. Tapi, Tsubaki tak sudi untuk gentar. Tak sudi untuk bergetar. Ia balas menatap nyalang, mengerahkan seluruh tekad dan nyali untuk menatap Sei, untuk tidak mengalihkan pandangan.
"…. Jalang."
Sei memukul pipi si lensa abu-abu, yang juga akhirnya ciptakan luka pada bibir Tsubaki.
"Tarik anak itu," sahut Sei, mengusap sudut bibirnya. "Bawa dia."
Tidak. Tsubaki mengeraskan rahang. Tidak—jangan lagi.
.
Jangan lagi. Tsubaki meraung. Pita suaranya terasa sakit, kerongkongannya kering. "Tidak, Sei, Sei—kaubilang kita hanya sementara tinggal di sini hingga perang di Jepang usai!"
Sei merotasi bola mata. Di tangannya, ada anak berumur 13 tahun yang mengalirkan tirta dari kedua bola mata basahnya. Pasrah, takut, serta merasa tak berdaya.
"Yah, tapi para amanto itu ingin anak ini. Diamlah dan jangan cari masalah."
Tsubaki bangkit dari tempat tidurnya, ia melangkah mendekat pada Sei. Meremas tangannya sendiri, siap perhitungan, siap memberontak.
Namun, sebelum ia mendekati Sei, Shigaraki menahan pergelangan tangannya, memberi hujaman telak pada perut Tsubaki melalui tangan yang terkepal.
Tsubaki terbatuk, menunduk. Cairan lambung naik ke kerongkongan, termuntahkan lewat mulut. Saat tubuhnya limbung, Shigaraki menahan pundak Tsubaki. Ia mendesis kasar, "Diamlah. Jangan buang-buang nyawamu hanya untuk ini."
Sei mengukir senyum hingga telinga. Genggaman tangan kanan yang telah bersiap pada katana yang tersampir di pinggang kirinya, kini ia lepaskan. Sayang sekali. Ia tak akan keberatan menebas sebuah kepala wanita, meski wanita itu elok dan harum tengkuknya.
"Jaga anjingmu lebih baik lagi."
Saat Sei telah keluar dari kamar, Shigaraki mencengkram kedua pundak Tsubaki. Alisnya bertaut, kata-kata yang disampaikannya serius, absolut—dan penuh peringatan. "Dengar, Sei-Aniki tidak selembut hati itu untuk memaklumi tingkahmu, Tsubaki. Sayangi nyawamu. Biarkan satu atau dua anak ditelantarkan, asal kau selamat."
Begitu?
Apakah—selalu begitu, cara dunia bekerja? Buta pada mereka yang meminta pertolongan, tutup telinga pada teriakan penuh sengsara? Agar diri sendiri selamat, umur masih bisa berjalan, dan hari esok masih bisa disambut?
Agar hidup terasa sedikit lebih mudah? Lalu, apa yang harus dilakukan akan ketidakberdayaan yang ada? Atas rasa frustrasi, serta tangisan kala tak dapat bertindak, berbuat apa-apa?
Atau, tidak bisa berbuat apa-apa hanyalah sekadar alasan, sebab sesungguhnya nyawa ialah hal yang paling disayang-sayang? Tsubaki tak tahu ia yang mana, atau sesungguhnya orang macam apa.
Namun, perutnya terasa nyeri, hatinya diremas—perih. Untuk apa hidup hari ini, menyaksikan yang lain kehilangan jiwa mereka, lalu menyambut hari esok seolah tanpa dosa?
Entah untuk apa.
.
Tidak. Untuk apa, kan?
Loh—dia bahkan tidak punya sesuatu untuk dipertahankan! Tak ada lagi yang bersisa, keluarga pun tak punya, hanya nyawa dan harga diri, serta jiwa yang rengsa.
Jiwa yang—Tsubaki harapkan, masih memiliki sinar dan keteguhan. Tsubaki tergelak. Tawanya mengundang perhatian semua orang, berpusat padanya.
Ya, benar. Tidak ada lagi yang perlu dipertahankan.
Hanya saja … untuk momen sederhana, seperti melahap onigiri isi salmon dan mayones yang sedikit terlalu banyak, atau mandi di tempat yang bersih, lalu menikmati sarapan dengan cabai yang berlimpah—itu saja, cukup untuk menghangatkan hatinya. Sesuatu yang ia harap, bisa ia pertahankan selamanya.
Sei menautkan alis. "Apa yang kau tertawakan?"
Tsubaki masih tertawa. Perutnya sampai nyeri kembali karena ia mengerahkan otot untuk tergelak. Sei melangkah mendekat, meraih pisau dari kantungnya, meremat poni Tsubaki, lalu menariknya—membikin wanita itu menengadah menatapnya. Pisau ditodong ke hadapan leher.
"Kutanya, apa yang kautertawakan!"
Tsubaki tersenyum ceria. Terlalu girang untuk seseorang yang nyawanya sedang di ambang bahaya. Dalam sepersekian sekon, Tsubaki menjengkang tubuhnya sendiri ke belakang, mengarahkan pergelangan tangan yang terikat pada bilah pisau—
SRET!
—dan memutus tali rafia. Sisi tangannya tergores, namun itu hal lain untuk dikhawatirkan nanti.
Tenaga yang digunakannya untuk meretas tali membuat Sei melemahkan pegangan pada gagang pisau dan bilah tajam itu terpental ke sudut lain ruangan.
Memanfaatkan keterkejutan semua insan, Tsubaki berdiri, lalu dengan lututnya menghajar bagian wajah Shigaraki Sei.
Sei terjatuh, punggung menabrak lantai berbatu, dan Tsubaki menduduki lelaki itu, mengerahkan seluruh tenaga untuk mencengkram leher Sei.
"Jangan mendekat!" Tsubaki berteriak. Menggeram rendah pada dua bawahan Sei yang kini bingung serta terlalu terkesiap untuk melakukan apa pun. "Kuku milikku tajam; kalian mendekat, kuputus nadi Sei!"
Sei terbatuk, menggeliat, meronta, mencakar lengan Tsubaki—sia-sia saja. Oksigen pada kepalanya keburu lesap sebelum ia dapat melakukan perlawanan.
Tsubaki sekali lagi memberi perintah, "Buka pintu, biarkan yang lain keluar, sekarang!"
.
.
.
Hijikata Toshiro, di luar ekspektasi, mudah terlarut dalam pikirannya sendiri. Ia banyak memikirkan hal-hal kecil, mengulang memori, mengira-ngira, dan membuat skenario akan "andaikan".
Andaikan hari itu saat berangkat ke Edo, ia menuruti permintaan Okita Mitsuba. Andai, ia tak keras kepala dan lebih percaya diri untuk melindungi orang yang dikasihinya. Andai ia menurunkan harga diri dan luka di hati, hanya untuk mendekap wanita yang sebetulnya menerimanya apa adanya.
Andai, andai—andai saja.
Pengandaian yang tak pernah tahu hasilnya bagaimana. Toshiro sebetulnya seringkali bertanya pada diri sendiri; alasan ia tak pernah benar-benar merasakan cinta selain Mitsuba. Selain perkara wanita lain yang jijik pada kesukaannya pada mayones, tentu.
Wanita bukan sesuatu yang lemah. Telah berkali-kali Toshiro saksikan itu dengan mata biru itu sendiri. Kagura ialah bocah baru dewasa yang sayang akan keluarganya, sayang pada ayah angkatnya—Gintoki, kemudian berjuang untuk menopang itu. Tsukuyo, sang Hyakka yang keras, perkasa, dan lembut di saat yang sama, seseorang yang mau melindungi orang lain. Shimura Tae, yang mungkin bukan bagian dari militer, atau ras tangguh Yato, tapi mampu berbuat yang terbaik.
Lalu, mengapa, jauh di dalam hatinya—Toshiro masih merasa wanita adalah sesuatu yang harus dilindungi? Sesuatu yang rapuh, patut direngkuh. Sesuatu yang membikin khawatir setiap waktu dan kalau bisa jauhi dari segala hal buruk.
Mungkin karena Mitsuba. Mungkin itu. Atau mungkin, diakui atau tidak—Toshiro lah yang berhati lembut; dan tak mampu melihat seorang perempuan terluka.
Toshiro menghentak kaki. Perbuatannya barusan mengguncang baik mobil maupun jantung Sagaru.
"Wadan, tenanglah. CCTV memastikan mereka ada di sekitar gedung terbengkalai ini."
Gintoki dan Shinpachi yang duduk pada kursi belakang terdiam, saling melempar pandang.
Tenanglah? Toshiro tidak tahu bagaimana cara melakukan itu untuk sekarang.
Sebab, wanita yang tengah menyimpan luka, sudah terluka, dan baru bebas dari segala belenggu yang pernah ada—kini kembali pada neraka yang sama.
Wanita aneh yang menikmati onigiri isi mayones. Wanita yang terlihat begitu bahagia hanya karena bisa mandi di pagi hari dan menikmati sarapan. Wanita dengan bola mata abu-abu yang terang menyambut apa yang ada di depannya, meski masa lalunya tak seindah definisi dari kata sempurna. Meski di balik berpendarnya pandangan itu, rasa sakit masih tampak.
Toshiro merapatkan rahang. Saat telah sampai pada sebuah gudang tua, Sagaru memarkir mobilnya. Toshiro melangkah turun, bersama para anggota Yorozuya. Sadaharu dan Kagura menyusul setelahnya. Toshiro baru saja akan menelusup pelan-pelan bersama Sagaru ke dalam gudang, tapi—pintu mendadak terbuka.
Anak-anak perempuan menghambur keluar. Melihat itu, Sagaru segera menenangkan, "Tenang, ya, kami polisi!"
Kagura dan Shinpachi ikut mengumpulkan anak-anak yang berkeliaran.
Sementara itu, Gintoki melihat dua pria dewasa yang panik. Senyum ia bentuk. Dengan cepat, kedua lelaki dilumpuhkan dengan pedang kayu miliknya—asalkan mereka pingsan dan mudah untuk diikat.
Lalu, barulah di dalam gudang hampa itu, Toshiro mendapati Tsubaki tengah menekan leher seseorang. Jantungnya mencelos. Ia ingin lega kalau Tsubaki tak terluka, tapi belum bisa. Belum ketika Sei dengan sisa kesadaran mengambil pisau dari balik kantung kimono-nya.
Tsubaki tersentak. Tanpa sadar melemahkan cengkraman dan membuat Sei membalik situasi—menekan bahu Tsubaki hingga punggung telak tabrak dengan tanah berbatu.
"Wanita gila!" Sei memaki. "Kaubuang nyawamu untuk beberapa anak-anak bocah?"
Toshiro berlari. Entah keburu atau tidak. Mengapa gudang ini begitu luas?
Tsubaki terkekeh kecil. Ah sial. Pertanyaan ini lagi? Bukankah makin lama akan makin terasa basi?
"Kubuang nyawaku untuk diriku." Untuk jiwaku.
Saat pisau akan dihujamkan, Tsubaki menutup pelupuk, erat.
Tapi, klimaksnya dapat diterka. Toshiro, dengan kekuatan tubuhnya, menghantam-lempar perut Sei, menjauhkannya dari Tsubaki. Pria itu terpelanting. Saat ia masih siap untuk berdiri, Gintoki memukul kepalanya dengan pedang kayu.
Tsubaki mengulas senyum tipis. Ia mengangkat tangan kanannya yang terluka, lalu membalas santai, "Ingin bilang impas, tapi aku malah mengotori kimono-mu. Maaf, ya."
Toshiro mengeraskan ekspresi. Ia sadar Tsubaki memangkas rambutnya—serta menyadari hal lain pula. Namun, senyum yang terukir tipis pada bibir wanita itu, membuatnya lega. Ia menghela napas panjang, meraih sapu tangan, membalutnya pada tangan Tsubaki.
"Tolol," maki pria itu.
Tsubaki hanya terkekeh tipis—merasa begitu ringan.
Gintoki yang melihat itu—mengulas senyum sederhana.
Dasar. Mengapa dari sekian lama, mereka baru menjumpai baragaki ini? Wanita yang tangguh, yang butuh kawan, yang juga berjiwa perak.
Lalu, Gintoki didekati oleh Sagaru yang juga tersenyum hingga telinga.
"Pemandangan yang meneduhkan hati, ya?"
Gintoki mendengus. Ia setuju. Dan, entah bagaimana, Toshiro terlihat bahagia. Teringat sesuatu, selanjutnya Gintoki menjawab, "Oh, ya. Yorozuya selalu terbuka untuknya kalau ia tak memiliki tempat tinggal."
Sagaru melihat ke arah Gintoki. Lalu, tawanya menguar. "Apa maksudmu, Danna? Ia bisa tinggal di Shinsengumi, kok."
Gintoki menyatukan alisnya. Ia berpikir soal logika dari pernyataan itu. Namun, ia tak mendapatkan jawabannya, maka ia bertanya, "Hah? Bukannya Shinsengumi itu khusus laki-laki?"
Sagaru menyengir.
.
.
.
Tsubaki bermimpi. Saat masih kecil, ia ingat Shigaraki begitu baik padanya, bagai seorang kakak. Ia akan mengajak Tsubaki ke mana pun. Bermain bersama, menangkap belalang, pergi ke pinggir sungai.
Kemudian, Tsubaki melihat sebuah bunga yang begitu cantik dan memekik bahagia, "Ryuu, Ryuu! Bunga!"
Atas sikap riangnya, mulai dari hari itu—Shigaraki memanggilnya Tsubaki, hingga ia melupakan siapa nama aslinya. Itu adalah hari-hari sebelum Shigaraki Sei diangkat dalam keluarga dan—semuanya berubah.
Tsubaki perlahan mengangkat pelupuk. Tahu-tahu saja, bekas air mata tercipta. Lalu, gadis itu menyadari alarm yang berdering. Pukul delapan.
Matahari pagi terasa hangat, menyusup dari balik jendela. Kicauan burung juga terasa manis. Tsubaki menguap, lalu bangkit ke posisi duduk. Ia mengusap-usap sudut mata. Ia mengingat-ingat soal apa yang terjadi kemarin. Shigaraki Sei ditahan, kemudian anak-anak kecil itu juga selamat di bawah naungan Shinsengumi. Yorozuya bahkan ikut datang.
Tanpa sadar, Tsubaki tersenyum tipis. Ia mengangkat tangan kanannya yang berbalut perban. Masih tak bisa digerakkan—rasanya perih. Tapi perih yang begini—tak buruk-buruk amat, bukan?
Kemudian, Tsubaki menyingkap futon, lalu menyadari sesuatu. Kasihan kalau Toshiro tidur dua hari berturut-turut di atas tatami. Sembari membereskan alas tidur itu dengan sebelah tangan, sang wanita kembali dipenuhi oleh pikiran untuk mencari alternatif tempat tinggal.
Ketika futon telah terlipat rapi, masuk dalam lemari, Tsubaki menyadari setumpuk kertas di atas meja kerja sang Wakil Komandan Iblis. Di bagian depan dokumen itu, tampak tulisan Kyokuchuu Hatto tercetak rapi.
Dirayu oleh rasa penasaran, Tsubaki meraih kertas itu. Membuka isinya, itu membuat Tsubaki terkekeh. Banyak sekali peraturan yang tertera. Namun, melihat siapa perancang aturan itu—Tsubaki jadi merasa wajar.
Polisi yang kaku, yang tak pernah ragu, selalu melangkah maju. Namun, di saat yang sama, sebetulnya lembut hati, melindungi mereka yang lemah, dan bersungguh-sungguh. Aturan-aturan ini betul-betul manifestasi dirinya.
Tanpa disadari, Tsubaki merasa betah membaca aturan itu satu-satu. Bola mata menetak setiap huruf, kata, yang ada di sana. Hingga akhirnya sampai pada halaman terakhir, dengan penjelasan dalam tanda kurung bahwa dua regulasi terakhir ialah regulasi baru—Tsubaki termenung.
Ia membaca baik-baik. Bisu sepenuhnya.
Tanpa menunggu, wanita itu kini melangkah keluar dari kamar. Shoji digeser, langkahnya sedikit berlari di lorong barak Shinsengumi. Samar, ia mendengar suara serempak yang tegas dari arah lapangan tengah. Bila ia tak salah mengingat, pada pukul 9—memang waktunya bagi anggota Shinsengumi untuk briefing pagi.
"Kyokuchuu Hatto 47: Tetap hidup, meski harus melangkah aturan lainnya!"
Tsubaki meneguk saliva. Saat sampai pada bagian lorong yang terbuka, menghadap langsung pada lapangan, tempat di mana seluruh anggota kepolisian berbaris, wanita itu terhenti. Ia melihat Toshiro memunggunginya, tegas mengarahkan pandangan pada bawahannya.
Namun, kehadirannya menyadarkan Isao yang berdiri lebih belakang dari Toshiro. Isao tersenyum tipis, menyapa, "Pagi, Tsubaki-san."
"Oi, kenapa kalian berhenti?" tanya Toshiro. "Lanjutkan! Sebut regulasi 48 dan 49. Apa lidah kalian disita kucing?"
Toshiro menyadari anggota Shinsengumi yang fokus ke balik punggungnya.
Sougo mendengkus tipis, berujar lantang, "Hijikata-san, lihat ke belakang."
Maka, itu yang Toshiro lakukan. Saat berbalik, iris biru samudra dalam bertemu dengan lensa abu-abu. Lensa yang warnanya serupa awan mendung, tapi entah kenapa bercahaya.
Jantung Tsubaki meloncati satu interval. Oh. Sial—sekarang malah berdetak bertalu-talu. Menjadi fokus semua orang, serta ditatap bola mata biru itu rasanya membikin gugup.
(Aneh. Tsubaki tak pernah gugup ditatap siapa pun!)
Ragu menelusup hati, kaku merajai tubuh. Namun, Tsubaki membuka suara, berusaha untuk berkata-kata jelas kata mengucapkan, "Kyokuchuu Hatto 48: Kepolisian Shinsengumi menyesuaikan dengan Undang-Undang Tokyo baru di bawah pemerintahan Tokugawa Soyo. Hal tersebut termasuk menerima personel kepolisian baru yang melewati proses seleksi, ditunjuk dan diarahkan langsung oleh komandan dari Shinsengumi."
Toshiro mendengus. Tepat waktu sekali.
"Kyokuchuu Hatto 49: Terkait dengan penerimaan personel baru, Kepolisian Shinsengumi diizinkan menerima baik pria maupun wanita, sama-rata, dengan hak dan kewajiban yang serupa, serta memenuhi kebutuhan masing-masing."
Gawat. Bolehkah Tsubaki berharap? Bolehkah ia berdiri di sini, menyatakan tegas bahwa ia mengingini ini?
"Jadi," Isao memulai. Cengirannya ramah—dan baik hati, seperti biasa. "Aku menunjukmu untuk jadi personel baru Shinsengumi. Bagaimana menurutmu—Tsubaki-san?"
Tsubaki menatap Isao. Hatinya begitu hangat. Seolah bunga tengah memekar—ribuan bunga, milyaran, di antara padang rumput dengan semilir angin yang menyenangkan. Padahal, ini musim panas. Padahal—meski baru pukul 9 pagi, sinar matahari serasa kering.
Bolehkah ia menerima? Apakah yang lain akan keberatan—atau menolak, atau tidak sudi menyambut seorang perempuan?
"Yayy, ada cewek di barak!" seorang anggota Shinsengumi berteriak semangat. Keceriaannya itu disambut dengan hal yang sama oleh yang lain, membuat Toshiro memijit pelipis.
"Jangan aneh-aneh, kalian! Tidak dengar Kyokuchuu Hatto? Hormati dia, sama seperti kalian menghormati rekan di kanan dan kiri kalian!"
"Baik, Wadan!"
Sougo mengarahkan tatapan lurus pada Tsubaki. Menarik. Mari lihat seberapa lama wanita itu bertahan di sini.
"Jawabanmu?" tagih Isao.
Tsubaki mengerling pada Toshiro sesaat, yang mau tak mau disambut senyum oleh si surai hitam sepekat jelaga.
"Saya, Tsubaki," ujar si wanita. Menampilkan senyum yang paling cerah. Yang terasa tulus setelah sekian tahun ia tampilkan senyum artifisial. "Menerima menjadi personel Shinsengumi yang baru."
A/N: Halooo! Yak, jadi ini Hijikata Toshiro x OC, ya. Sebetulnya, kalau ada fanfiksi Hijikata Toshiro x Reader yang saya buat dari kemarin dalam bentuk drabble, ide awalnya itu dari sini. Karena mempertimbangkan satu hal dengan yang lain, saya merasa OC lebih cocok diaplikasikan daripada Reader atau Y/N. Jujur saya tidak yakin apakah harus melanjutkan ini atau tidak, tapi I'm having so much fun writing this. So, kalau ada yang tertarik, boleh review yakk. See on the next story, cheers!
