Violet Evergarden belongs Kana Akatsuki
warn: OOC. contains rape scene! please read with with your own risk.
#1 - Rain and Hydrangea Messra
without eyes, i can see how beautifull he is and when his holding me in his arms. i can feel a stupid thing that called love.]
Violet membaca penggalan cerita pendek itu dengan kedua sudut bibir yang tertarik. Ia menutup menutup buku itu dan segera merebahkan diri, kedua telinganya ia sumpal dengan earphone yang melantunkan lagu pop. Ini jauh lebih baik ketimbang mengikuti pelajaran Pak Hodgins dan mendengarkannya melantuntan sejarah yang membosankan.
Violet tentu saja lebih suka di pematangan sungai daripada neraka kecil yang biasa disebut sekolah. Merebahkan tubuh mungilnya di atas rumput sembari mendengarkan lagu ataupun memandangi awan yang berarak. Ia melakukan ini seperti remaja-remaja pemberontak dalam novel yang kemudian bertemu dengan remaja lelaki bermasalah kemudian jatuh cinta. Violet mendecih dalam hati, umurnya hampir di penghujung sembilan belas dan tidak ada satupun lelaki yang mendekatinya. Entahlah, Violet belajar untuk tidak menaruh ekspektasi apapun dalam kehidupannya, karena kehidupan yang ia jalani dengan novel tentu saja berbeda.
Gadis itu membuka matanya, membiarkan manik biru lautnya yang berkilauan menatap lurus ke arah langit. Awan-awan hitam menggumpal, cepat terbawa angin hingga menutupi seluruh eksistensi matahari. Violet segera bangkit dari posisinya rebahannya, ia menghela nafas panjang terlebih dahulu sebelum beranjak dari pematangan sungai.
Violet menyukai hujan, karena ia bisa beralasan untuk tidak mengerjakan tugas matematika yang harus dikumpulkan esok hari. Selain itu banyak hal yang ia suka tentang hujan: bau pethricor yang menenangkan; udara yang sejuk; dan hal-hal indah lainnya. Hujan juga mengingatkan Violet pada sebuah cerpen kesukaannya yang berjudul Amaya karya GB Mayor. Cerpen itu menceritakan kisah seorang gadis yang memiliki kisah hidup menyedihkan dan setiap dirinya menangis hujan akan turun sebagai repesentasi dari air matanya. Cerpen itulah yang membuatnya ketagihan untuk terus membaca banyak cerpen.
Setetes air jatuh ke tangan Violet yang kemudian disusul oleh deras hujan yang menghujam bumi. Violet mendongakan kepala, menikmati air yang menusuk-nusuk wajahnya.
Ia melebarkan tangan, lantas menghela nafas panjang. "Inilah kehidupan yang sesungguhnya."
Violet berjalan pelan, menikmati sensasi hujan yang menyenangkan. Matanya tak berhenti untuk melihat hal-hal indah yang hanya bisa ia lihat kala hujan. Violet mengagumi hujan.
Hujan masih turun dengan derasnya. Violet berjalan di daerah yang tak ia kenali, sampai matanya menangkap sebuah rumah bercat putih dengan gaya eropa klasik. Tanaman ulir dan bunga-bunga tumbuh subur di pekarangan rumahnya. Namun, dari itu semua bunga hydrangea yang tertanam di depan rumah itu menarik perhatian Violet.
Bunga itu tampak memiliki daya tarik yang amat besar hingga membuat Violet mendekat tanpa sadar.
"Sepertinya tak apa jika aku mengambil satu," ucapnya. Violet mengangkat bahu tak acuh, tangannya bergerak terulur untuk memetik hydrangea berwarna merah muda. Namun sebelum ia berhasil memetik bunga tersebut, guntur menggelegar di petak langit hitam.
Violet terlonjak kaget, ia segera berlari ke teras rumah tersebut. Matanya terpejam selama beberapa saat. Setelah guntur tak lagi hadir, Violet memandangi tamanan bunga hydrangea. Apa bunga ini dimantrai? Apa rumah ini rumah seorang penyihir? pikir Violet dalam hati. Mungkin ada baiknya jika aku tidak usah mengambilnya.
Baru mau beranjak, tiba-tiba seseorang memanggilnya, "Nona, ada yang bisa kubantu?"
Violet refleks menoleh, ia mendapati seorang pria berambut raven dan sepasang maniknya yang berwarna serupa zamrud. Tubuh tegapnya dibalut oleh piyama tidur navy dengan garis putih vertikal. Violet menduga pria ini berusia akhir tiga puluhan.
"Oh, kau kehujanan?!" Violet masih terdiam memandangi pria itu. "Masuklah, kau bisa mengeringkan tubuhmu di dalam rumahku."
Violet tahu hanya ada dua kemungkinan orang asing mengajakmu masuk me dalan rumahnya: ia memang orang baik dan suka menolong (yang tentu saja sangat jarang) atau ia adalah orang jahat yang punya sebuah rencana terhadapnya--entah menculiknya, memperkosanya, atau barangkali membunuhnya dan menjual seluruh organ dalam Violet ke pasar gelap. Violet memandangi pria tersebut. Gagasan mati terdengar sangat mengiurkan. Violet masuk tanpa pikir panjang.
-- v i o l e t --
Pria itu menyuruh Violet untuk mengeringkan dan menghangatkan dirinya di depan perapian sedang dirinya membuatkan minuman hangat. Setelah merasa kering, Violet berjalan-jalan di rumah itu. Violet amat suka dengan interiornya sangat klasik dengan pencahayaan minim. Dari seluruh interior cantik dalam rumah ini ada satu hal yang membuatnya tertarik: rak dengan banyak buku-buku di samping sudut rumah.
Jemari Violet menyentuh buku-buku yang terjejer rapi. Debu yang menempel di ujung jarinya menjadi pertanda bahwa buku itu merupakan buku lama. Violet menghela nafas. Ah ia suka bau buku lama. Kedua manik biru Violet terus menyusuri jejeran buku-buku, membaca nama demi nama pengarang asing. Hingga ia menemukan sebuah buku berjudul Aphrodite karya—"Mayor GB?"
Lantas saja Violet menarik buku itu. Sayangnya, keantusiasan Violet yang kelewat ekstra hampir membuat buku-buku lainnya ikut tertarik keluar dan berantakan.
"Anything all right?" Pria itu kembali hadir dengan minuman yang masih mengepulkan asap di tangannya. Mata pria itu memincing kala mendapati Violet tengah mendekap salah satu bukunya.
"Ah, maaf saya sudah lancang." Violet menunduk dalam.
Pria itu menaruh minuman yang telah ia buat ke atas meja.
"Maaf, aku sangat menyukai penulis buku ini, jadi sangat antusias dan lupa bahwa ini rumahmu, bukan perpustakaan," lanjut Violet.
Pria itu tertawa hangat. "Ini juga perpustakaan kok."
Mata Violet melirik cepat ke arah pria di depannya. "Oh, jadi aku boleh meminjam buku ini?"
"Sayangnya tidak."
"Ah, sayangnya," keluh Violet. Ia menjatuhkan bokongnya di atas bangku rotan, tanpa menunggu pria di depannya mempersilahkan--dan berpikir bahwa bisa saja ada racun yang terkandung-- Violet segera menyambar coklat panas dan segera meminumnya hingga setengah. "—wah, ini enak sekali!" seru Violet antusias.
Violet agak terkejut ia masih hidup. Ia mengelap sisa coklat panas dengan punggung tangan. Barangkali nanti, pikirnya.
Pria itu terkekeh. "Senang mendengarnya."
"Well," Violet menaruh cangkirnya kembali ke atas meja. "Apa aku benar-benar tidak boleh meminjam buku ini?"
Pria di depannya menggeleng. "Sayangnya tidak, Nona."
"Hanya 3 hari, lagipula rumahku dekat sini."
"Maaf."
Violet tertunduk lesu.
"Tapi jika kau ingin membacanya kau bisa berkunjung kemari." Pria itu menyesap kopinya.
"Benarkah?"
"Hmm."
"Terimakasih." Violet memandangi cover buku itu sebentar, lantas gantian memandang sosok di depannya. "Boleh kutahu namamu?"
Manik emerald pria itu tertuju pada wajah Violet yang kelihatan tengah menunggu. Ia menurunkan gelas kopinya ke atas meja kembali sebelum menjawab, "Gilbert."
"Ah, mungkin aku akan datang sering kemari, jadi mohon bantuannya, Pak Gilbert."
Jika saja kopinya belum ia telan niscaya Gilbert sudah tersedak mendengar Violet menyebutnya Pak. "—cukup Gilbert saja."
"Tapi, kau terlihat seumuran dengan guruku," kata Violet santai.
Gilbert tersenyum. "Gilbert saja."
"Baiklah, omong-omong namaku Violet."
Gilbert mengangguk-angguk mahfum. Atensinya teralih pada seragam yang dikenakan Violet. "Kau masih sekolah?"
"Yup, kelas 12."
"Bukankah seharusnya kau masih di sekolah? Koreksi jika aku keliru."
"Iya kau benar, tapi aku tidak suka mendengarkan si Hodgins tua itu ketika mendongeng. Amat membosankan."
"Bukankah membaca lebih membosankan?"
Alis Violet bertaut. "Novel romansa tak pernah membosankan."
"Kau keliru. Novel romansa yang paling membosankan."
"Lalu mengapa kau menyimpan buku ini?"
Gilbert menyesap kopinya kembali, lantas mengangkat bahu. "Selain itu."
"Jadi buku ini sangat bagus?"
"Tidak. Itu adalah buku kegagalan dari Mayor GB."
"Lalu mengapa kau membelinya?"
"Mengapa? Aku punya hak atas uangku."
"Bukan—" Violet memutar bola matanya. "Maksudku, apa alasanmu?"
"Aku menyukai buku itu."
Violet mengangguk, kehabisan topik--atau mungkin ia malah tambah bingung. Keheningan melingkupi mereka berdua. Gilbert fokus memandangi Violet, sedang si gadis sibuk mengagumi buku di pangkuannya.
"Ah," Keheningan itu lantas pecah tatkala Violet teringat sesuatu. Tanpa tahu malu, Violet mengajukan permintaan dengan santainya.
"Bolehkah aku meminta bunga hydrangea mu?"
-- v i o l e t --
Violet sudah sampai di rumahnya ketika langit telah menggelap. Hujan masih turun di luar sana, meski tidak sederas tadi, tapi berhasil membawa udara yang mengigit.
Kini Violet tengah duduk di lantai memandangi bunga yang diberikan Gilbert untuknya. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Pria itu amat baik dan hangat. Ia bahkan memberikan Violet vas secara cuma-cuma dan meminta Violet untuk merawat setangkai bunga.
"Aneh sekali," ucapnya kecil. Violet memeluk kakinya yang ia lipat. Barangkali besok ia akan membunuhku, lagi-lagi bantinnya berkata.
Tapi kalau Violet boleh jujur, ia suka dengan perilaku hangat pria tersebut.
Brak!
Gadis itu terlonjak ketika seseorang buka pintunya kencang. Di ambang pintu berdiri Benedict dengan wajah memerah dan sebuah botol di tangan kanannya. Tubuh Violet gemetar ketika melihat keadaan Benedict yang kacau: kemejanya sudah lecak dan mecuat keluar, ikat pinggang yang hilang, dan resleting celananya yang turun. "Ka ... kak?"
"Ah, aku sudah sangat tersiksa." Benedict melangkah masuk ke dalam kamar Violet, tangannya yang bebas menurunkan celananya sampai lutut, memperlihatkan kejantanannya yang mengacung di balik dalaman. Tangan Benedict meraih penggelangan tangan Violet. "Cepat pergi ke ranjangmu."
Violet berusaha memberontak, ia mencoba melepaskan penggangan tangan kakaknya. Namun, Violet tahu jika tindakannya hanyalah kesia-siaan belaka. Kepala Violet dihantam oleh botol miras, membuat dirinya jatuh tersungkur. Benedict mencekik leher Violet, kemudian berkata, "Jika kau melawanku, aku tak segan memberikan hukuman yang berat padamu. Cepat naik ke atas ranjangmu."
Dengan sisa-sisa tenaganya, Violet merangkak ke atas ranjangnya. Benedict menggunakan kesempatan itu untuk menanggalkan seluruh celananya, "Cepat buka bajumu, Violet!"
Violet tak mengindahkan hal tersebut, kepalanya terasa sangat pening bahkan untuk membuka mata saja. "Tch, selalu saja lama!"
Dengan kasar, Benedict merobek kaos oversize yang membalut tubuh Violet. Ia juga menanggalkan seluruh pakaian Violet hingga hanya menyisakan gadis itu tanpa sehelai benang pun. Kejantanan Benedict yang sudah mengacung sejak tadi segera ia lesatkan ke dalam liang Violet. Violet hanya bisa menggigit bibir menahan rasa sakit dan perih akibat sodokan Benedict yang terlalu dalam.
Aksi Benedict semakin menjadi ketika pelepasannya segera tiba, rasa perih dan sakit bekali-kali menghantam Violet, tapi gadis malang itu hanya bisa menahan tangis.
Rahim Violet menghangat kala pelepasan Benedict datang. Violet tak lagi bisa menahan tangisnya, rasa sakit dan perih di kewanitaannya sudah semakin menjadi. Namun, bajingan seperti Benedict tak akan pernah puas hanya dengan satu pelepasan. Ia kembali melakukan pergerakan.
Violet tak bisa melakukan hal lain, selain berdoa semoga Tuhan mencabut nyawanya saat itu juga.]
this is my first story. feel free to give me a suggestion or critism
- belle -
