Violet Evergarden belongs Kana Akatsuki

warn: OOC. Mature Content. please read with your own risk!


"Lain kali hati-hati ya. Jika kau tidak bisa mengambil barang yang ada di tempat tinggi, minta tolong seseorang," Cattleya berujar setelah merapihkan perban, obat merah, beserta antiseptik yang ia gunakan untuk mengobati luka di kepala Violet. Omong-omong, ia adalah pemilik klinik kecil di pertigaan jalan dekat rumah Violet. Violet sering mampir ke kliniknya ketika ayahnya ataupun kakak tirinya berbuat kekerasan padanya. Namun, Cattleya tak pernah tahu kelakuan bejat kakak tirinya.

Violet tertunduk lesu sambil memainkan jemarinya. "Aku tinggal sendiri di rumah, jadi hal-hal seperti ini kadang terjadi," cicitnya. Kejadian semalam masih amat membekas dan menakutkan, terlebih bagian inti Violet masih terasa amat perih hingga kini. Selain memperkosanya, Benedict juga hampir membunuh Violet dengan penyimpangan yang ia miliki—semalam Violet dicekik sampai tak bisa bernafas, lengan atasnya habis dengan luka cakar, serta beberapa lebam lainnya. Tubuh Violet seketika bergetar kala mengingat hal tersebut. Walau ini bukan kali pertama Benedict melakukan ini padanya, tapi ini adalah kali pertama Violet merasa sangat sangat teramat takut untuk kembali menginjakan kaki di rumahnya.

"Catt ... Cattleya," panggil Violet. Ia ingin sekali menceritakan semua hal yang ia alami, tapi sosok ayah dan kakak tirinya selalu melintas dan mengisi tiap ruang di kepala Violet. Meski bisa saja Violet mengadukan tindakan ayah dan kakak tirinya, Violet tak bisa membayangkan apa yang akan menimpahnya jika hukum tak berlaku dengan adil. Kepala Violet makin menunduk dalam. Air mata yang telah ia tahan sejak tadi kini tumpah ruah, Cattleya yang panik segera menghampiri gadis itu dan memeluknya.

"Sttt, tenanglah Violet ada aku disini. Aku bersamamu."

Cattleya terus menenangkan Violet, ia mengusap-usap bahu gadis belia itu dengan lembut sembari mengucapkan kata-kata penenang. Sedang Violet sendiri puas menumpahkan segala kesedihan, ketakutan, dan hal yang membebani perasaannya. Setelah hampir satu jam, tangisan Violet berangsur berubah menjadi isakan-isakan kecil.

"Apa yang terjadi, Violet?" Cattleya bertanya hati-hati. "Apa ada yang bisa kubantu?"

"Catt ... bolehkah hiks ... aku menumpang di rumahmu?"

"Apa ada masalah, Violet?"

"Aku hanya ... a-aku takut pulang ke rumahku."

"Apa luka ini bukan sebab kecelakaan? Apa keluargamu melakukan tindak kekerasan Violet?"

"Tolong jangan bertanya!" Violet hampir menangis kembali. "Maaf, tapi aku tidak bisa menjawabnya."

"Seharusnya aku yang minta maaf. Maafkan aku Violet." Cattleya mengusap jejak air mata di pipi si gadis malang. "Aku akan dengan senang hati menerimamu di rumahku."

"Tapi, ada beberapa barang di rumahku. Maukah mau mengantarku?"

"My pleasure, Violet."

"Terimakasih banyak."


Cattleya tinggal di sebuah apartemen sederhana. Apartemennya cukup jauh dari tempat ia bekerja—yang mana cukup jauh juga dari rumah Violet. Walau hanya sesaat, tapi Violet bisa bernafas lega karena sedikit jauh dari jangkauan ayah dan juga kakaknya. Apartemen Cattleya memiliki dua kamar. Satu kamar utama dengan ranjang queensize dan kamar tamu dengan single bed. Violet kini sudah ada di kamarnya, ada sebuah jendela yang membuat sinar mentari menerobos menyinari kamarnya. Violet menempatkan bunga hydrangea—yang ia bawa dari rumahnya—pemberian Gilbert.

Violet memandangi bunga itu, ah padahal ia berjanji akan mengunjungi pria hangat itu. Tapi keberanian Violet belum cukup besar untuk melangkah keluar apartemen milik Cattleya. "Pokoknya jangan pinjamkan buku itu pada siapapun ya!"

Garis senyum tercetak di wajah Violet. Untuk sejenak Violet lupa akan rasa sakit dan takut yang menghantuinya. Kini ia merasa tubuhnya amat letih setelah merapihkan barang-barangnya. Violet segera merebahkan dirinya di atas ranjang. Mungkin tidur beberapa menit bukan ide buruk, pikir Violet.

Dan setelah menghitung dua puluh domba, Violet jatuh ke alam mimpi.


Violet kembali terbangun ketika merasakan rasa perih dari area kewanitaannya. Gadis malang itu meringis seraya memandangi langit-langit kamar yang gelap—entah sudah jam berapa, tapi matahari tak lagi terlihat di langit. Violet segera beranjak ke luar kamar, mencari Cattleya.

"Catt," panggilnya lemah.

Violet menemukan Cattleya yang tengah berkutat di dapur. "Apa yang terjadi?"

"Aku butuh bantuanmu," cicit Violet.

Violet kembali merebahkan tubuhnya di ranjang, sedang Cattleya tengah memeriksa bagian inti tubuhnya dengan seksama. Cattleya menatap ngeri ke arah Violet. "Bagimana bisa seperti ini?"

"Aku berkenalan dengan seorang lelaki. Kami berpacaran tiga bulan, kemudian dua malam lalu kami mabuk dan dia bermain dengan sangat kasar," Violet mengarang cerita. Cattleya menghela nafas panjang. Ia mengambil sebuah salep lantas menyerahkannya pada Violet. "Oleskan ini. Dan putuskan pacarmu itu. Kemaluanmu hampir robek," Cattleya berujar membuat bulu kuduk Violet meremang karenanya. Bayangan akan Benedict yang melakukan kekerasan seksual padanya kembali terngiang.

"Catt," panggil Violet ketika teringat sesuatu. "Apa kau punya pil KB?" Violet buru-buru melanjutkan ketika Cattleya kelihatan bingung. "—aku memang sudah mengkonsumsinya sejak tahun lalu—karena ... karena dulu aku dan mantan pacarku sering melakukannya. Aku takut kemarin kami tidak mengenakan pengaman." —tentu saja Violet berbohong dengan pernyataan perihal mantan pacarnya, ia memang rajin mengkonsumsi pil tersebut bukan karena kebiasaan buruk, melainkan salah satu penjagaan diri apabila Benedict menyerangnya secara tiba-tiba.

Cattleya kembali menghela nafas. "Akan aku antarkan bersama makan malammu nanti."

"Ah, maaf merepotkanmu, Catt."

Kepala Cattleya menyumbul dari luar pintu. "Jangan merasa tak enak. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan."

Atensi Violet kini tertuju pada langit-langit kamar. Keadaan kamar yang gelap sering kali mendatangkan pikiran-pikiran negatif dan rasa sedih. Violet merenungkan nasib buruk yang menimpah dirinya. Andai saja ia ikut mati saat sang ibunda meninggal dunia. Andai saja, bukan ibunya yang digerogoti penyakit kanker, melainkan dirinya. Andai saja, ayah bajingannya yang lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Mengapa harus ibu?

Bahkan hingga kini, masih hangat di ingatan Violet masa-masa awal takdir buruknya di mulai. Kejadian-kejadian itu sering kali hadir sebagai bunga tidur, menjadi alasan Violet terbangun di tengah malam dan terjaga hingga pagi. Membuat dirinya untuk selalu berjaga ketika ada suara gedoran pintu ataupun suara aktivitas orang lain.

Violet seperti hidup di penjara—atau neraka yang lebih pantas sebab rumah itu dihuni oleh para iblis.

"Violet," Violet segera menghapus kasar air matanya. Cattleya yang menyadari hal tersebut lantas mendekat ke arah sang gadis. "Hey, Violet, ada apa? Apa terasa sangat sakit?"

Violet menggeleng, tapi kehangatan yang diberikan Cattleya malah semakin membuat air mata Violet tak terbendung. "Akh, aku tidak ingin menangis."

Cattleya mendekap Violet. "It's okay, honey. Biarkan hatimu merasa puas dengan menangis."

"Terimakasih banyak, Cattleya. Kau sangat baik, tapi aku sudah puas menangis sejak tadi," Violet menarik sebuah senyum.

Namun, Cattleya tahu bahwa Violet hanya berpura-pura tegar agar tidak merasa membebankan dirinya. Cattleya mengusap lembut surai emas milik Violet. "Hey, kalau kau sudah siap bercerita, aku akan dengarkan. Aku tidak tahu hal berat apa yang sudah kau lalui, tapi sekarang kau tidak sendiri. Kau bersamaku Violet. Kau aman sekarang."

Cattleya mendekap Violet. Gadis dalam dekapannya kembali menitihkan air mata, Violet tak pernah menyangka masih ada orang seperti Cattleya. "Terimakasih, Catt. Aku menyayangimu."

"Aku juga menyayangimu Violet."]


agak pendek untuk chap ini, haha. Hope u enjoy to read, walau berantakan dan amat tidak jelas haha.

- belle -