Violet Evergarden belongs Kana Akatsuki

warn: contains rape scene. please read with your own risk! ooc

#3 - Christmass Nightmare


Malam natal hari itu dingin membeku. Violet duduk memandangi bulir-bulir salju yang menumpuk di jendela kamarnya, di tangannya terdapat setangkai bunga dandelion yang ia petik dua bulan lalu. Bunga itu sudah mati setelah Violet rawat dengan sepenuh hati. Violet memandangi bunga layu itu. "Maaf aku tidak bisa menyelamatkanmu dari kematian."

Bunga dandelion itu diletakan kembali di jendela.

Violet beranjak ke meja belajarnya, mengambil buku ensiklopedia tentang bunga lantas membacanya. Bunda amat menyukai bunga, dahulu di balkon apartemen lamanya banyak sekali macam bunga yang tumbuh. Setiap bangun tidur Violet selalu mendapati sang bunda tengah menyirami ataupun membuang tangkai-tangkai yang mati. Lalu sang bunda meloleh dan tersenyum sambil mengatakan, "Selamat pagi sayang."

Violet mendekap buku ensiklopedia miliknya. Betapa ia merindukan ibunya. Seminggu setelah kematian sang ibunda, ayahnya melangsungkan pernikahan dengan seorang janda beranak satu. Madam Zeira—Violet masih enggan menyebutnya dengan panggilan ibu. Madam Zeira punya seorang anak laki-laki yang lebih tua lima tahun di atas Violet: Benedict. Violet tidak begitu menyukainya, ia anak yang sangat urakan. Benedict sering mengadakan pesta dengan teman-temannya di rumah. Violet amat benci pesta karena amat berisik, bau rokok, dan alkohol. Namun yang terburuk sejauh ini adalah, Violet pernah mendapati kakaknya tengah berhubungan badan dengan seorang wanita di sofa ruang tamu.

Namun, akhir-akhir ini Benedict berlaku baik padanya. Entah barangkali merasa bersalah sebab sudah membuat adik tirinya itu melihat hal yang tidak seharusnya atau sebab apa. Benedict kadang mengajak Violet berjalan-jalam dengan mobil sedan milik ibunya. Violet diajak ke monumen-monumen yang sering diceritakan gurunya, ia juga diajak untuk menyambangi taman bunga yang amat ingin dikunjunginya dan di belikan ensiklopedia.

"Hey Violet," Benedict muncul di ambang pintu. Ia melambaikan sebuah CD di tangan kanannya. "Film horor baru. Mau nonton bersama?"

Violet mengangguk, lantas mengikuti Benedict ke sofa ruang keluarga. Gadis itu segera menjatuhkan bokongnya di sofa, lantas meraup pop corn dan melahapnya. Sedangkan, Benedict memutar film horor. Violet dan Benedict menonton film itu dengan hikmat, film telah berlangsung selama setengah jam dan konflik mulai bermunculan.

Kemudian, Benedict bergerak gusar di tempatnya. "Sungguh, aku sudah tidak kuat lagi."

Violet yang bingung menoleh. Namun, tanpa peringatan Benedict meraup bibir Violet kasar. Tahu bila adiknya akan memberontak, Benedict duduk di atas paha Violet dan mengunci kedua pergelangan tangan Violet. Benedict mendorong Violet hingga berada di bawah dirinya.

Violet megap-megap setelah Benedict menciuminya selama hampir semenit, pandangan mata Violet yang kabur perlahan mulai kembali normal. "Ah, wajah merah dan nafas terengah itu amat menyiksaku Violet."

"Ap—mpph." Benedict kembali menciumi Violet kasar. Mulut Benedict terus mendorong mulut Violet, hingga memberikan akses untuk lidah Benedict mengabsen deret gigi Violet. Violet meringis ketika kakak tirinya mengigit bibir bawah dan lidahnya.

Setelah puas dengan bibir ranum Violet. Benedict menjatuhkan wajahnya pada perpotongan leher Violet. "Berhenti! Lepas—akhh ... behenthhh."

Benedict mencumbui perpotongan leher Violet, hingga membuat Violet mulai kehilangan kewarasannya. Kemudian Benedict beranjak duduk di atas tubuh Violet, dengan tenaganya yang kuat Benedict merobek kemeja putih Violet, menampilkan dua gundakan milik Violet yang tertutupi bra. "Lebih besar dari milik Alice," Benedict berseru antusias.

"Lepas!" Violet hendak bangkit. Namun, dengan sigap kedua pergelangan tangan Violet disatukan dan ditahan oleh tangan kanan Benedict.

"Diam!" Tangan kiri Benedict segera melepaskan kaitan bra, lantas menarik lepas bra milik Violet. Violet tak bisa lagi menahan derai air mata ketika sang kakak tirinya itu meremas payudaranya.

"Lepas! Tolong lepaskan aku!" Violet mengoyang-goyangkan tubuhnya sekuat tenaga. Tangannya pun ia dorong agar terlepas dari cengkraman Benedict.

Benedict berdecak kesal, ia meraih kabel tits yang ada di laci meja. "Tidak, jangan! Lepaskan aku!" Tangan Violet di ikat ke tangan sofa. Benedict tersenyum puas.

"Tolong! Tolong lepaskan aku!" Tangis Violet makin kencang, ia terus mengoyang-goyangkan tubuhnya, namun itu semua sia-sia sebab Benedict lebih kuat dan kini tangannya sudah terikat. "Aku mohon tolong lepaskan aku, aku mohon, aku mohon,"

Benedict sama sekali tak mengindahkan permohonan Violet, kini ia menyingkap rok Violet. Jerit tangis Violet makin kencang ketika Benedict menanggalkan celana dalamnya. "Jangan! Jangan, aku mohon. Tolong!"

"Kau masih perawan, kan Violet?" Benedict tersenyum senang. Mata shapirenya berkilat-kilat kala melihat organ inti milik Violet.

"Kumohon jangan lalukan itu!"

Benedict malah tertawa kencang. Kini giliran ia yang menanggalkan celana miliknya. Menampilkan benda yang telah berdiri tegak. "Tak apa adik. Tidak sakit, kok."

Benedict kembali ingin menindih Violet, kemudian dari lantai dua suara seseorang menggema. Violet yang melihat sosok ayahnya lantas berteriak, "Ayah tolong, tolong aku, ia ingin memperkosaku!"

"Wah, wah, wah sayang. Milikmu sudah amat tegang. Pasti sangat tersiksa kan?" Madam Zeira muncul, ia menopang dagu. "Selamat menikmati sayang."

Hati Violet amat hancur kala ayahnya hanya bergeming, tidak ada perlawanan ataupun perlindungan yang diharapkan Violet.

Benedict tersenyum puas kala kejantanannya memenuhi liang milik Violet. Violet bahkan tak berteriak kesakitan ketika keperawanannya dimasuki, rasa perih itu tidak lebih sakit dari melihat ayahnya yang berdiri diam melihat anak perempuannya diperkosa. Benedict berteriak-teriak kesetanan kala pelepasannya segera datang, ia terus menyodok Violet keras.

Malam hari itu tak pernah hilang dari ingatan Violet. Akan selalu datang ketika Violet terpejam, akan selalu menyapa di tiap malam, dan akan selalu membuat Violet sesak dan sakit tiap malamnya. Harapan itu dimulai dari malam Natal hari itu: harapan kematian.

Violet terbangun oleh mimpi buruk malam itu. Ia melihat jendela, matahari mulai muncul ke permukaan. Violet segera beranjak ke kamar mandi, setelah membersihkan dirinya gadis itu mengenakan seragam yang ia tutupi dengan hoodie marun oversize. Setelah memasukan beberapa bukunya ke dalam tas, Violet ke luar kamar.

"Oh, Violet? Kau sudah rapih? Tapi ini baru jam 6?" Cattleya yang tengah membuat sarapan bertanya.

"Yah, aku terbiasa bangun pagi."

"Ambil sarapanmu Violet."

"Tidak usah repot—"

"Ambil atau kau kuusir dari rumahku!" Cattleya berkacak pinggang dengan spatula yang ia arahkan pada Violet.

"Baiklah. Terimakasih, Catt." Violet mengambil sepotong sandwich lantas segara pergi ke luar apartemen. "Semoga harimu menyenangkan."

Violet menaikan tudung kepalanya, lantas menyumpal telinganya dengan earphone. Walau ketakutan itu masih menyelimuti Violet, tapi ia lebih merasa tak enak tinggal berlama-lama di kamar apartemen. Omong-omong Violet tak berniat ke sekolah, ia malas bertemu dengan pelajaran matematika dan murid-murid sekolah yang sangat suka bergunjing tentangnya. Violet berencana akan mengunjungin pematangan sungai, tidur sebentar sampai matahari cukup terik. Baru setelahnya, ia akan pergi ke perpustakaan pribadi Gilbert.

Namun, Violet tak merasa mengantuk, jadi ia membuka buku sketsa dan mulai menggambar sesuatu disana. Violet mengedarkan pandangannya ke sepenjuru pematangan sungai. Atensinya tertuju pada seorang ibu dan anak yang tengah piknik di samping sungai. Sang ibu tengah mengelurkan makanan demi makanan, sedang anak gadis kecilnya berlari-lari kegirangan. Ah, lagi-lagi rasa rindu itu datang.

Violet menggeleng. Lantas membuat garis pertama.

Walau Madam Zeira mengirimi Violet uang yang amat banyak, Violet selalu enggan menggunakan untuk keperluannya. Aku yakin itu uang haram, pikirnya tiap melihat angka di rekeningnya. Jadi Violet lebih sering bekerja sampingan: ia bekerja di restoran, di perpustakaan, dan juga menjual hasil gambarnya. Akhir-akhir ini Violet ikut ke lomba-lomba menulis cerpen, namun lima kali percobaan cerpennya selalu kalah. Violet menyerah mengikutinya.

Di tengah-tengah kegiatan menggambar Violet menguap lebar. Violet lantas menyudahi gambarnya, ia rebahkan tubuhnya di atas rumput lembut. Setelah memejamkan mata, Violet jatuh tertidur.]