Violet Evergarden belongs Kana Akatsuki

warn: mature scene. please read with your own risk! ooc

#3 - Warm Cold In The Same Time


Kulit putih bak porselennya yang dingin lagi kaku. Rambut coklat yang sama yang selalu terkepang kini terurai berantakan dan bibir merah lembut itu kini telah pucat. Seorang lelaki jatuh terduduk, menatap mayat wanita itu dengan tatapan kosong.

"Kudengar ia gantung diri," seseorang berbisik di belakang.

"Benarkah?"

"Iya. Padahal ia sudah bertunangan dengan pria kaya itu."

"Kaya tidak menjamin kau bahagia."

"Kau benar. Pasti ia tidak bahagia."

Pria itu kembali menatap sosok yang terbaring kaku di depannya, dibelainya surai kecoklatan itu. "Apa kau tidak bahagia bersamaku, dear?"


Gilbert terlonjak bangun ketika suara petir menggelegar kencang. Derak sendi-sendi lantas terdengar ketika ia beranjak dari kursi kerjanya. Pria awal tiga puluhan itu memijat pangkal hidungnya saat pening melanda, menghela nafas lelah. Ah, mimpi itu lagi, keluhnya dalam hati. Apa tidak ada bunga tidur yang lain, hah?

Tok! Tok! Tok!

Kepala berambut raven itu lantas tertoleh ketika mendengar ketukan dari pintu. Gilbert merapihkan buku-buku serta alat tulisnya sebelum beranjak membukakan pintu. Alangkah terkejutnya ia kala mendapati seorang gadis yang basah kuyup dengan seragam sekolah.

"Apa kau seorang penyihir?" Si gadis bertanya aneh. Gilbert menaikan sebelah alisnya, bingung—terhadap pertanyaan si gadis dan indentitas sosok di depannya. Butuh hampir dua menit untuk mengingat sosok di depannya. Oh, gadis dua hari lalu ya? Ingatnya ketika memori kembali.

"Violet?" Gilbert mengecek.

"Yes. That's my name."

"Ada apa?"

Kedua alis Violet menukik tajam. "Jawab dulu pertanyaanku!"

"Apa?"

"Apa kau seorang penyihir?" tanya Violet lantang hingga hampir mengalahkan gelegar petir.

Violet dan Gilbert terlonjak menutup telinga, kemudian berpandangan sejenak satu sama lainnya. Atensi Gilbert lantas teralih pada setangkai bunga hydrangea yang digenggam tangan kanan Violet.

"Yah, rumah dan tanaman bungaku kumantrai agar tidak di dekati pencuri seperti nona," jawab Gilbert seraya mengambil bunga dari tangan Violet.

"Akh," ringis Violet tertangkap basah habis mencuri. Violet mencebikkan bibirnya. "Aku minta maaf, aku pindah rumah kemarin dan bunga itu dibuang ayahku begitu saja."

Gilbert mengangkat bahu. "Masuklah dan keringkan tubuhmu."

Violet menuruti perkataan Gilbert dan segera pergi ke depan perapian. Gadis itu tiba-tiba saja teringat pada buku sketsa yang dibawanya, segera saja ia keluarkan dan ia jejerkan di depan perapian. "Maaf bayi-bayiku, kalian jadi basah semua."

Atensi Violet kini tertuju pada perapian di depannya, melihat lidah api yang perlahan tapi pasti melahap habis kayu juga bunga-bunganya yang memercik kecil. Entah bagaimana Violet jadi teringat dengan orang-orang di rumahnya—terutama ayahnya. Sejak dirinya kecil, Violet lebih sering menghabiskan waktu dengan sang bunda. Ayahnya jarang hadir di tengah-tengah mereka, pun mengajak Violet ngobrol ketika ia pulang. Ayahnya seperti tidak pernah menganggapnya hadir. Kemudian itu semua diperparah ketika sang bunda meninggal dunia, ayahnya tak pernah meminta persetujuan Violet ketika akan menikah dan setelah menikah dengan Madam Zeira ayahnya amat nurut dengan wanita itu. Aku tidak mengerti, sebenarnya apa yang menyebabkannya menjadi seperti itu, pikir Violet. Apa ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi?

Violet menghela nafas panjang. Semua amat memusingkan.

Baju Violet setengah kering, ia lantas beranjak ke perpustakaan Gilbert. Violet lantas mengambil novel Aprhodite itu. Baru ingin menjatuhkan bokongnya ke atas kursi suara bariton Gilbert segera mengintrupsi. "Rokmu masih basah. Nanti kursiku lembab dan berjamur," katanya.

"Jadi aku harus duduk di lantai?" Violet sudah melipat kakinya.

"Jangan!" Gilbert buru-buru memperingatkan, ia lantas melanjutkan. "Di lantai dingin."

"Lalu?" Alis Violet berkerut. "Oh, aku harus mengeringkan bokongku dahulu ya?"

Violet berlari kembali ke arah perapian dengan novel Aprhodite di dekapannya. Keantusiasannya ketika duduk membelakangi perapian membuat rok sekolahnya menyapu api. Gilbert berteriak ketika melihat api menjalar membakar rok Violet.

"Wah!!!" Violet melompat-lompat seraya mengibas-ngibaskan rok yang terbakar. "Gilbert tolong aku!"

"Buka rokmu Violet!"

"Apa?!" Violet berseru, melempar pelototan ke arah Gilbert yang tengah membuka jubah tidurnya.

"Tutupi tubuhmu dengan ini," Gilbert membentangkan jubah tidurnya hingga menutupi Violet yang tengah membuka roknya yang terbakar. Setelah ditanggalkan, Gilbert segera menginjak-injak rok Violet untuk memadamkan api, sedang si empunya sendiri buru-buru mengenakan jubah tidur yang diberikan Gilbert padanya.

Gilbert menghela nafasnya ketika berhasil memadamkan api, ia yang—entah kapan dan bagaimana telah—berjongkok mendongak menatap manik aqua Violet. Gadis itu malah membuang pandangannya ke arah lain, kemudian berteriak, "Oh Tuhan, bayi-bayiku yang malang."

Violet berlari ke arah buku sketsa dan kertas-kertas yang berserakan. Melihat Violet yang bertindak aneh ketika memunguti dan mendekap kertas-kertas buku itu sambil membuat tangisan palsu membuat sebuah garis senyum tertarik di bibir Gilbert. Padahal Gilbert ingin sekali memaki dan memarahi gadis ceroboh itu.

Violet kembali memandang Gilbert ketika telah selesai mengumpulkan kertas-kertas dan buku sketsanya, antensinya kemudian beralih pada lantai kayu Gilbert yang kini menghitam. "Aku akan ganti rugi soal lantai kayumu," Violet menundukan kepalanya dalam-dalam. "Maafkan aku."

Tangan Gilbert refleks bergerak mengelus puncak kepala bersurai pirang itu. Baik Gilbert maupun Violet sama-sama terkejut dengan tindakan tersebut. Gilbert segera menarik tangannya kembali dan menaruhnya di tengkuk. "Lebih baik kau mengeringkan seluruh baju seragammu. Aku akan pinjamkan kaos milikku."

"Baiklah," jawab Violet. Ketika Gilbert beranjak mengambil bajunya, ia memegang puncak kepala tempat pria itu mengelusnya. Pipi Violet tiba-tiba memerah. Hangat, katanya dalam hati.]


hello, chap ini pendek banget sorryyy

- belle -