Violet Evergarden belongs Kana Akatsuki
warn: please read with your own risk! ooc
#5 - Sketch Draw in A Good Day
Violet berakhir dengan mengenakan kaos dan celana Gilbert yang tampak kebesaran di tubuhnya. Kini ia tengah mengeringkan seragamnya dengan hairdryer seraya mengunyah sandwich yang dibuatkan Cattleya tadi—beruntung sandwich itu tidak ikut basah tadi.
Gadis itu tersentak ketika Gilbert melemparkan handuk kecil ke atas kepalanya, lelaki itu datang membawa secangkir coklat panas. "Keringkan kepalamu atau kau bisa demam nanti," ujarnya. "Lalu minum ini!"
"Terima kasih banyak." Senyum manis tersungging dari bibir tipis Violet.
Gilbert ikut mendaratkan bokongnya pada kursi rotan di hadapannya. Ia membuka buku di pangkuannya, lantas membiarkan dirinya tenggelam pada bait demi bait paragraf. Namun, suara hairdryer membuat fokusnya pecah dan beralihlah atensinya pada gadis yang tengah sibuk mengeringkan pakaian. Detik itu, Gilbert memutuskan untuk kembali menutup bukunya.
"Apa hari ini kau tidak sekolah, Nona?" Sepasang manik zamrud itu menatap lurus ke arah Violet.
"Apa?" Violet setengah teriak. "Maaf, suaramu amat kecil."
Gilbert tidak mengulang pertanyaannya. Ia malah pergi melenggang ke arah dapur untuk membuat secangkir kopi selagi menunggu Violet menyelesaikan pekerjaannya.
Gilbert amat tidak mengerti. Padahal, ia bukan sosok yang suka menerima tamu seenaknya, tapi entah mengapa, Gilbert merasa tidak bisa menolak kedatangan Violet ke rumahnya. Entah datang dari mana perasaan simpati itu; lebam biru di paha si gadis yang tak sengaja di tangkap matanya kemarin atau eksistensi plester di dahinya tadi pagi. Walau bisa saja itu semua hanya sebab kecerobohan gadis belia itu. Apa karena aku memberikannya janji untuk datang membaca buku? batin Gilbert bertanya-tanya.
Jeritan air yang mendidih mengembalikan Gilbert dari lamunannya. Ia lantas mengaduk kopi di dalam cangkirnya dan kembali beranjak menemui Violet.
Kini, Violet telah selesai mengeringkan seragamnya. Ia tengah meniupkan asap yang mengepul dari coklat panasnya. Cengiran hadir kala manik aqua Violet menangkap kehadiran sosok Gilbert. "Maaf, tadi aku tidak mendengar suaramu. Kau bertanya apa tadi?"
Gilbert berpikir sejenak. Mempertimbangkan untuk kembali menanyakannya atau tidak. "Mengapa kau tidak sekolah?" Ia bertanya pada akhirnya.
"Sekolahku libur."
"Oh." Gilbert menyesap kopi buatannya. Keningnya menyerngit saat merasa minumannya terlalu banyak mengandung gula. Ia menaruh cangkirnya ke atas meja. "Lalu mengapa kau mengenakan seragam di hari libur?"
"Aku punya hak atas baju yang ingin aku kenakan."
"Baiklah, tapi aku tidak bisa menerima murid yang bolos di rumahku."
"Oh, ayolah!" Violet mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Gilbert. "Dengar, aku tidak berniat untuk bolos. Aku lupa bawa payung, lalu seragamku malah basah. Jadi dari pada aku kena hukuman karena basah dan telat lebih baik aku pergi ke rumahmu untuk membaca buku."
"Kau berbohong."
"Tidak, kok!"
"Berati sekolahmu tidak libur?"
"Iya benar."
"Berati kau berbohong."
"Ap--baiklah. Aku akui, aku berbohong. Tapi ini sungguh demi kebaikanku." Violet menarik dirinya, menunduk dalam-dalam. "Maafkan aku."
Gilbert tidak langsung menjawabnya. Ia pergi kembali menuju ruang kerjanya. "Tidak apa. Hanya saja, tolong berterus teranglah kepadaku. Aku takut kau malah berada dalam masalah nanti."
Violet merasa terharu mendengar pernyataan tersebut. Walau nasihat itu hanya terdengar seperti nasihat biasa orang dewasa terhadap masalah sekolah Violet, tapi dirinya menagkap hal lebih dari sekedar nasihat sekolah biasa. Ia tersenyum kecut. "Yah, terimakasih," cicitnya.
Gadis dengan surai sewarna mentari itu mulai kembali membuka novel yang menjadi alasannya tak bersekolah. Paragraf demi paragraf ia selami dengan penuh penghayatan, imajinasi yang dipadukan dengan rasa. Hanya butuh waktu lima jam untuk Violet menghabiskan novel tebal tersebut. Ia merenggangkan sendi-sendinya sejenak, memeluk buku di pangkuannya, kemudian menghela nafas panjang.
Violet melirik ke arah ruang kerja Gilbert, mendapati bahwa pria itu masih sibuk berkutat di depan meja kerjanya, ia segera beranjak ke dekat jendela. Hujan sudah reda sejak beberapa jam lalu, tapi langit hari itu masih mendung sampai Violet tak sadar bila matahari mulai kembali ke peranduannya. Violet kembali mengempaskan tubuhnya ke sofa, melipat kakinya seraya mengedarkan pandangan.
"Kau salah." Violet berkata seraya memeluk lututnya. Ruang kerja Gilbert yang dekat dengan perpustakaan membuat si empunya rumah menoleh mengikuti suara Violet. Pria itu tidak menjawab ataupun mencoba bertanya, jadi Violet melanjutkannya dengan senang hati, "Itu buku yang indah."
Pria itu tidak menjawabnya selama beberapa menit. Violet sampai mengambil posisi tegak berjaga-jaga bila ia salah berucap. "Apa indah menurutmu itu sakit?" Gilbert melempar pertanyaan.
Violet mengarahkan pandangannya pada kaca besar di dekat perapian, memperhatikan air sisa hujan yang masih tertinggal di jendela. "Ia memberi tahu fakta. Yang memang lebih sering kita dapatkan di kehidupan ini." Violet lagi-lagi beranjak dan mengembalikan buku tersebut ke raknya.
"Apa kau punya kertas dan pensil?" Violet bertanya pada Gilbert.
Lelaki yang masih sibuk dengan pekerjaannya hanya melirik sebentar, ia lantas menunjuk tumpukan kertas putih dan sekotak pena di depan meja kerjanya. Violet segera berlari ke arah meja Gilbert, tetapi lelaki itu tampak buru-buru memerapihkan beberapa kertas kala Violet sampai di depannya. "Aku tak tertarik dengan apa yang sedang kau kerjakan," ujar Violet. "Terima kasih kertasnya."
Atensi Gilbert kini teralih pada hal yang dilakukan gadis bersurai pirang tersebut. Dengan energinya yang tampak tak kunjung habis, ia mengangkat bangku dan menaruhnya di depan meja kerja Gilbert. "Apa yang kau lakukan?"
"Bukan apa-apa," Violet mengikat rambutnya yang sudah agak mengering. Ia memangku kertas pemberian Gilbert tadi, kemudian mendongak. "Lanjutkan saja pekerjaanmu."
"Aku tidak bisa bekerja kalau ada kau di depanku."
"Anggap saja aku hantu yang tak terlihat." Violet mulai mengarsir garis sketsa.
"Apa yang kamu tulis?"
"Bukan, aku menggambarmu."
Gilbert mengangkat alisnya. Ia tidak lagi merespon ucapan Violet dan kembali pada kegiatan membacanya. Sedang tangan Violet bergerak lincah menggambar sosok di depannya.
Keheningan membentang di antara mereka. Dalam waktu satu jam, Violet mengabadikan sosok di depannya dalam sebuah sketsa realistis buatannya. Setelah memberikan finishing terakhir terhadap gambarnya, gadis itu segera beranjak dan memberikannya pada Gilbert.
Lelaki itu melirik kertas yang disodorkan Violet dan si empunya bergantian. Violet yang tak sabar segera meraih lengan Gilbert dan memberikan kertas tersebut, "Anggap saja ini tanda terimakasihku karena kau sudah mau menerima dan meminjamkanku buku. Terima kasih ya!"
Violet segera beranjak selagi Gilbert memandangi karya yang baru saja dibuat gadis ceroboh bersurai pirang. "Kau berbakat."
Walau Gilbert tak handal dalam melukis dan menggambar, ia punya hobi melelang lukisan dan banyak melihat karya-karya banyak orang. Ia suka ketika menangkap rasa dari sebuah karya, seperti rasa tulus dan bahagia yang ia tangkap pada karya Violet.
"Aku tahu, aku tahu." Violet yang sudah menggendong tas dan berganti pakaian muncul di hadapan Gilbert. "Aku akan mengembalikan pakaianmu nanti. Sudah mulai gelap, terima kasih atas coklat panas dan bukunya."
"Ya," Gilbert menjawab singkat.
Setelah kepergian Violet, Gilbert memandang pintu rumahnya selama beberapa saat. Keheningan dan rasa dingin menyebar segera menyebar, menghadirkan ingatan buruk di memori terdalamnya. Lelaki itu menghela nafasnya lelah. "Besok ulang tahunnya. Apa aku harus mengunjunginya?"]
