Tidak semua orang memiliki quirk yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Bagaimana dengan mental quirk? Apakah mereka tidak bisa menjadi Hero? Bagi masyarakat umum, seorang yg yang cocok dengan kategori Hero adalah seorang dengan quirk superhuman, quirk yang cocok untuk pertarungan, dan quirk yang cocok untuk penyelamatan.
Namun bagi Midoriya Izuku tidak seperti itu.
Setiap orang memiliki keunikannya masing-masing. Setiap orang memiliki kelebihannya sendiri. Dan setiap orang memiliki otaknya sendiri. Seorang dengan quirk yang tidak berwujud, atau tidak bisa diperkirakan tanpa demonstrasi langsung, tubuh mereka tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Baginya, tidak ada yang namanya quirk. Hanya ada sesuatu bernama bakat dan otak untuk memanfaatkan hadiah itu.
Di sinilah dan saat ini ia berdiri...
Di depan gerbang U.A. yang menjulang tinggi. Peserta ujian masuk dengan berbagai ekspresi sudah berseliweran di sekitarnya. Ada yang sambil bercakap, ada yang gugup, ada yang percaya diri, ada juga yang biasa saja.
Menghembuskan napas untuk menenangkan diri, ia menggenggam tangannya dengan kuat. Dengan raut yakin, ia melangkahkan kaki untuk memasuki gerbang.
Izuku tersandung ke depan ketika seseorang mendorongnya dari belakang. Izuku terjatuh. Satu lututnya bertumpu di tanah ketika ia menoleh ke belakang. Seorang pemuda berambut ungu bermata mengantuk menatapnya dengan satu tangan di saku.
"Maaf, aku mengantuk," gumamnya. Dia mengulurkan satu tangannya yang bebas ke arah Izuku dan membantunya berdiri.
"Tidak apa-apa. Kau juga peserta kan. Lebih baik kita segera masuk," ajak Izuku.
Ujian tertulis berlangsung lancar-atau terlalu lancar-bagi Izuku. Saat penjelasan tentang ujian praktek, ia sempat kena tegur oleh peserta ujian lain. Yah, salahnya juga sih. Tidak sadar kalau ia bergumam, berpikir tentang ujian praktek yang akan datang.
Ujian praktek dilaksanakan setelah ujian tertulis. Ratusan peserta ujian sudah berada di depan gerbang replika kota yang sangat besar. Lokasi ujian diadakan di berbagai area berbeda. Replika kota itu tidak dihuni manusia, tapi terdapat berbagai robot dengan bermacam ukuran yang memiliki poin masing-masing.
Matanya mengedar, melihat sekeliling. Kebanyakan peserta tidak terlihat gugup.
"Baiklah, START!"
Suara Pro Hero Present Mic tiba-tiba menggelegar di udara. Tidak berbasa-basi, ia berlari memasuki gerbang, menghiraukan tatapan heran dari peserta lain di belakangnya.
"Apa yang kalian lakukan? Tidak ada hitung mundur di pertarungan asli, loh!"
Tersentak, semua peserta yang tersisa segera memasuki replika kota. Di dekat pintu masuk, beberapa robot sudah mati, dan ada pula yang masih berkeliaran.
Izuku berlari cepat. Sesekali berhenti ketika ada robot yang lewat dan menekan tombol merah di belakang tubuh robot.
Ia mengelak, menghindari serangan salah satu robot yang mengincar perutnya. Dengan satu tepukan ringan, ia menghentikan gerakan robot itu. Tidak lama kemudian, robot itu hancur oleh laser yang muncul dari perut seorang pemuda pirang bergaya perancis.
"Merci!"
Dan begitu saja, si pemuda langsung menghilang mencari robot lain untuk dihancurkan. Izuku hanya mendengus kecil. Ia yakin poin itu tetap miliknya. Toh ia sudah menghentikan gerakan robot itu sebelumnya.
Ia kembali berlari, dan bertemu dengan robot lain. Tanpa berhenti, ia melompat ke atas untuk menghindari serangan. Bertumpu pada–mungkin–bahu si robot, ia mencapai bagian belakang robot dan menekan tombol merah dengan tumitnya. Mendorong jatuh si robot yang sudah berhenti bergerak, ia kembali menapak pada kakinya dan mencari robot lain. Sejauh ini, mungkin sudah sekitar 50 poin yang berhasil ia kumpulkan. Tiba-tiba, ia merasakan tanahnya bergetar. Para peserta di depannya berlari mundur.
"Itu robot zero point!"
Robot yang sangat besar. Tidak mungkin bisa dikalahkan tanpa quirk yang meningkatkan kekuatan dengan drastis. Robot itu membelakanginya, mungkin muncul dari jalan besar di sana. Izuku hanya terdiam melihat robot itu. Tidak mungkin satu robot digunakan hanya untuk mengacau.
"Aahh! Toloong!"
Seorang gadis terjatuh di kakinya sendiri, terjebak di puing-puing dan tidak ada seorang pun yang berbalik untuk menolong. Jika ia terus diam di situ, dalam waktu beberapa menit saja sudah pasti tubuhnya akan hancur oleh injakan robot itu.
Izuku tiba-tiba sadar, robot itu bergerak lebih cepat jika ada seseorang yang ada di depannya. Mungkin terdapat sensor panas di bagian depan si robot. Makin cepat peserta bergerak, makin cepat pula robot itu bergerak. Jadi itu artinya, tidak ada kesempatan untuk menolong dari depan.
Izuku berpikir cepat. Melihat punggung robot itu, ia mengambil pistol kecil dari punggungnya dan menembakkannya. Dari situ, muncul kawat yang terdapat pengait di ujungnya. Pengait itu menjangkau bagian yang mencuat dari punggung si robot. Dengan satu tombol, ia membawa dirinya menaiki punggung robot dan melihat tombol besar yang sewarna dengan warna si robot. Tidak akan terlihat tanpa kejelian. Sedikit mengayunkan tubuhnya, masih bergantung pada kawat dan pistol, ia menekan tombol besar itu dengan kedua lututnya. Robot itu berhenti bergerak. Ia menekan tombol lain dan kawat terulur, membawanya turun dari robot. Kembali menekan tombol, kait terlepas dan kembali ke pistolnya.
Setelah kembali berpijak di tanah, Izuku berlari menghampiri si gadis. Gadis itu masih tercengang dengan apa yang baru sja terjadi. "Kau tidak apa-apa?"
"Ah, i-iya. Terima kasih." Si gadis menundukkan wajahnya dengan senyuman malu.
"Sama-sama," jawab Izuku dengan senyum simpul. Izuku membantu gadis itu berdiri.
"Apa kalian terluka?" tanya seorang wanita tua pendek berpakaian perawat.
"Woah, Recovery Girl! Tidak, kalau saya baik-baik saja! Tapi sepertinya kakinya terkilir?" Izuku menunjuk pada kaki kiri si gadis.
Dia sedikit memerah, tidak menyangka luka sekecil itu akan ketahuan. Dengan satu kecupan, seluruh lecet dan pergelangan kakinya sembuh.
"Yosh, sudah selesai. Setelah ini istirahat ya!" Wanita yang berprofesi sebagai perawat di sekolah pahlawan itu pun beranjak dan menanyai peserta lain.
"Umm, kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa!" pamit Izuku. Ia melambaikan tangan kepada si gadis, kemudian berlari ke arah gerbang. Masih banyak yang perlu ia lakukan di rumah.
"Anak itu... Dia sama sekali tidak terlihat memakai quirknya." ujar seorang pria berpakaian hitam yang terlihat mengantuk.
"Mungkin sama sepertimu? Memiliki mental quirk." sahut pria lain yang berambut pirang. "Shouta, apa kau melihat dirimu pada dirinya?"
Aizawa Shouta, alias Erasure Hero: Eraser Head, mendecakkan lidah dan membalik-balik kertas di tangannya. Ia berhenti ketika menemukan apa yang ia cari. Hampir di tumpukan paling bawah, di foto paling atas, terdapat pemuda berambut hijau keriting dengan mata senada.
Nama: Midoriya Izuku
Tanggal Lahir: 15 Juli XXXX
Quirk: Healing
"Bukan mental quirk, tapi juga bukan quirk yang bisa digunakan untuk menyerang. Aku terkejut dia bisa sampai sejauh ini. Sedangkan anak ini..." Mata mengantuk Aizawa menuju ke foto tepat di bawah Izuku. Foto seorang anak berambut indigo mengembang dengan mata ungu dan kantong mata yang tebal.
Nama: Shinsou Hitoshi
Tanggal Lahir: 1 Juli XXXX
Quirk: Brainwash
"Oh, anak itu juga mendaftar di kursus umum," ujar Hizashi Yamada, alias Voice Hero: Present Mic. "Aku ralat, Shouta, anak inilah yang benar-benar mirip denganmu." Yamada tertawa pada pendapatnya sendiri.
Lagi, Aizawa hanya mendecakkan lidah dan lanjut menatap layar.
"Hoo, anak itu satu-satunya yang sadar tentang tombol merah di belakang robot. Kelemahan robot itu. Banyak anak-anak yang mengikuti caranya. Mungkin akan ada beberapa anak mental quirk yang bergabung dengan kursus pahlawan tahun ini. Namun tetap saja, untuk fisik yang tidak terlatih hal itu masih susah. Tidak diragukan lagi, anak itu sudah berusaha keras untuk mencapai tingkat ini." jelas makhluk berwujud tikus? Beruang? Atau apapun itu.
"Hei, ada seseorang yang mencoba menghadapi Zero Point!" seru Vlad King.
Nezu, si bear-mouse, yang merupakan kepala sekolah UA ini mengangguk-anggukkan kepala melihat cara yang digunakan oleh Izuku.
"Dia benar-benar memperhatikan peraturannya, juga melakukan persiapan lebih dari yang lain."
"Apa maksudmu, Nezu?" tanya Midnight heran.
"Ada peraturan yang melarang membawa senjata tajam atau senjata api, kecuali itu quirkmu sendiri, saat ujian. Namun, dia memakai pistol jangkar yang tidak termasuk keduanya. Itu hanya kembantunya untuk memaksimalkan pergerakan, dan selebihnya ia menggunakan kekuatan fisiknya sendiri." Nezu memperhatikan bagaimana Izuku mengayun-ayun di belakang tubuh robot, kemudian menekan tombol yang tersamarkan. Bersamaan dengan itu, lonceng tanda berakhirnya ujian pun berbunyi. "Dia menemukan kelemahan lawan dengan cepat, bagaimana lawannya bergerak, dan menolong seseorang tanpa ragu dengan berpikir dahulu."
"Yang pasti, kita harus memberinya poin kepahlawanan, bukan?"
Sisa guru mengangguk dengan senyum bangga di wajah mereka, "Itulah yang kita perlukan. Seorang yang berlari tanpa ragu di medan pertempuran. Meskipun orang yang perlu diselamatkan tidak berada di jangkauan, ia akan mencari cara lain untuk menyelamatkannya."
Satu persatu, guru-guru itu menuliskan poin yang diberikan pada penyelamatan Izuku, yang kemudian akan diakumulasikan dengan poin robot.
Izuku sampai di depan pintu rumahnya dengan perasaan lelah. Tanpa mengucap salam, ia melepas sepatu dan menatanya di rak. Malas, ia menyeret tasnya masuk dan melemparkannya ke sofa ruang tamu. Kemudian tubuhnya ikut tengkurap di sofa biru itu. Perutnya tiba-tiba menggeram.
"Mmh, aku terlalu capek untuk keluar sekarang."
Izuku melepas gakuran biru tua yang ia kenakan dan beranjak ke dapur. Kemeja putih dan choker hitam selebar 1 inchi menutupi tubuhnya. Ia menghiraukan bahan-bahan makanan yang memenuhi kulkas dan mengambil botol air mineral dan ramen instan.
Menikmati makan malamnya dengan cepat, Izuku mengambil tasnya dan pergi ke kamar.
Tempat tinggalnya termasuk apartemen yang besar. Ruang tamu dan ruang makan ia jadikan satu, hanya dibatasi oleh sekat hijau mint. Dengan kamar mandi di pojok dapur. Dua kamar di sisi lain, dengan pintu saling berhadapan di lorong. Di ruang tamu, terdapat rak-rak buku yang masih kosong, dan televisi berukuran sedang yang diletakkan di depan sofa. Dua meter di belakang sofa, terdapat sekat yang membatasi dengan ruang makan. Hanya ada satu meja bundar dan dua kursi yang diletakkan di sana. Alat-alat makan tersimpan di dapur.
Kamarnya sendiri belum ada apa-apa. Hanya satu futon dan beberapa rak belum diisi. Satu lemari masih kosong dari baju. Di pojok ruangan terdapat beberapa kardus yang masih menumpuk belum dibereskan. Setelah menggantung gakurannya di lemari, Izuku menuju kamar mandi dan mandi dengan kilat. Ia sedang menata futon untuk tidur ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Menatap gadget itu, Izuki mengambilnya dan mengumpat pelan.
Mengurungkan niat untuk tidur, ia menuju kamar lain yang ia jadikan tempatnya melakukan pekerjaan. Tidak ada orang lain di apartemen ini, jadi itu bukan masalah besar. Ruangan itu terbagi menjadi dua bagian. Komputer sudah tertata rapi di atas meja. Tiga rak di sudut ruangan sudah dipenuhi oleh kertas dan buku tebal. Kotak kayu terdapat di pojok ruangan. Di sisi dinding, terdapat pintu yang akan menuju ruang kedua, tersamarkan oleh rak buku. Di ruangan itu terdapat beberapa alat untuk eksperimen kecil. Botol-botol kaca berisi cairan berwarna-warni tertata di rak yang ada di belakang meja eksperimen.
Izuku bukan seorang peneliti. Dia hanya membuat sesuatu untuk digunakan olehnya sendiri. Beberapa racun dengan berbagai efek, obat tidur berbagai dosis, dari yang berbau sampai tidak berbau.
Pemuda berambut hijau itu duduk di depan komputer yang menyala. Mengetik beberapa kode yang hanya dia yang tahu dan paham. Dia terus bekerja selama beberapa jam sampai waktu menunjukkan tengah malam. Merasa cukup, ia menekan tombol enter dan mematikan komputernya.
"Aah, harus mencari informasi tentang penjahat yang muncul baru-baru ini, ya? Dabi juga mulai bertingkah lagi setelah beberapa bulan." Izuku merenggangkan badannya, kemudian kembali ke kamar utama. Berbaring di futon yang tadi sudah ia tata, matanya menatap langit-langit gelap kamarnya.
"Yang kulakukan ini benar kan, kaa-san?" tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum menutup mata dan mulai tertidur.
Halo, saya masih baru di dunia ini. Setelah sekian lama menimbang-nimbang, akhirnya memberanikan diri untuk publish wkwkwk
Saya ngga tau ini bakal berhasil atau nggak, jadi yaa... Semoga saja wkwkwk.
Met kenal, Hana di sini, penulis amatir yang hobinya ngehalu~
