Sabtu Bersama Naoya

Naoya Zen'in x Kamo Noritoshi

Jujutsu Kaisen Fanfiction

(c) Jujutsu Kaisen by Gege Akutami

Warning: OOC, BL, typo, gaje, dll.

Enjoy!


Hari sabtu adalah hari libur sekolah, dan hari libur berarti lepas dari beberapa hal untuk bebas melakukan hal lain.

Bagi Kamo Noritoshi, hari libur berarti lepas sejenak dari memakai seragam sekolah yang bikin gerah, mengurus berkas-berkas OSIS, mengingatkan teman untuk belajar ulangan dan mengerjakan PR, serta memusingi Todo Aoi. Bebas menghabiskan waktu senggang berharganya mengistirahatkan jiwa dan raga yang sudah dipompa secara berkala di hari-hari sekolah yang padat. Ah, hari untuk bersantai.

Noritoshi yang baru saja mengajukan surat izin keluar kini berjalan dari kantor guru menuju ke arah halaman sekolah. Sudah sangat siap, dengan dua anak rambut yang tekuncir rapih ke depan membingkai wajah, kemeja hitam yang dikancing sampai kerah dan celana katun berwarna coklat muda. Melangkah keluar melewati gerbang asrama SMK Jujutsu Kyoto dengan tangan yang menggenggam erat tali tas selempangnya di pundak kanan. Hehe, senyum kecil perlahan mengembang di bibirnya, perasaan puas memenuhi dada selagi ia berjalan meninggalkan lingkungan asri sekolah. Di kepalanya, ia sudah sibuk sendiri mengirimi sinyal bahagia ke hati; mengingat kembali jadwal pribadi beserta tempat-tempat yang akan ia kunjungi hari itu satu per satu (sebenarnya jadwal Sabtu Santai Noritoshi setiap minggu tidak pernah berubah, sih).

Setelah perjalanan kaki selama kurang lebih satu jam (biar sehat, katanya), Noritoshi tiba di pusat perbelanjaan kota Kyoto. Menatap keramaian di sekitarnya dengan perasaan antusias. Kepalanya sesekali menoleh ke kanan, ke kiri, meresapi pemandangan gedung pusat pembelanjaan, kafe kekinian, restoran, salon, orang-orang yang berlalu-lalang dan segala hal lainnya, sembari terus melangkahkan kaki. Suasana sibuk dan ramai ini tentu saja tidak ia rasakan di asramanya, ataupun lingkungan di sekitar komplek Jujutsu Kyoto, sehingga menjadikan perubahan suasana yang seperti ini—mengesampingkan udara pusat kota yang lebih pengap dibanding lingkungan asri asramanya—terasa baru dan menyegarkan.

Sebuah helaan napas panjang keluar dari mulut Noritoshi. Ia tersenyum.

Kaki yang kini sudah membawanya dari tempat ke tempat seolah lupa seberapa jauh ia berjalan. Apa itu pegal? Yang Noritoshi tahu sekarang adalah ia merasa lega. Beban jiwa dan pikiran terasa menguap dari pikirannya walau ia tahu hanya untuk sementara.

Ia cukup puas menghabiskan quality-timenya sendirian dengan mengitari toko buku bagian alat tulis untuk melihat-lihat pulpen lucu. Sibuk memikirkan bagaimana ia bisa menggunakannya untuk coba-coba doodling atau melatih graffitinya. Asik. Ujung-ujungnya memang tidak beli, sih. Kemudian ke toko CD untuk mendengarkan lagu-lagu populer yang kadang disetel teman-teman kelasnya. Lagu-lagu yang diam-diam ia sukai walaupun sehari-hari kerjaannya adalah menegur teman-teman yang sembarangan menyetel lagu saat jam kelas.

Kurang lebih begitulah rutinitasnya di hari sabtu pagi sampai siang, sebelum sorenya nanti mampir ke minimarket sebentar untuk beli kopi dan cemilan, lalu setelah itu berangkat ke tempat les untuk mengikuti les persiapan TOEIC.

Ah, belajar untuk tes TOEIC bukan merupakan sumber stres untuk Noritoshi, melainkan rileksasi. Aneh tapi nyata, karena pada faktanya, Noritoshi adalah anak yang menulis 'belajar' pada kolom hobi di kertas binder teman-teman perempuannya di sekolah dasar. Sementara MiFa—Minuman Favoritnya—adalah kopi. Begadang sambil minum kopi untuk belajar adalah oasis di tengah gersangnya hari-hari sekolah. Sebuah pemikiran yang dianggap janggal oleh sebagian besar teman-teman di sekolahnya. Sebagian kecil dari mereka percaya Noritoshi itu sebenarnya separuh android, jadi wajar-wajar saja bisa berpikiran begitu. Yang dimaksud ke dalam sebagian kecil itu adalah Mechamaru yang memang diam-diam tertarik dengan konspirasi mengenai Kecerdasan Artifisial berencana mengambil alih kemanusiaan.

Oke, sip. Noritoshi menggumam pada dirinya sendiri setelah memasuki minimarket yang biasa ia kunjungi. Tinggal melakukan agenda terakhirnya–ke tempat les, dan hari itu akan menjadi hari sempurna; sama seperti sabtu-sabtu sebelumnya.

Noritoshi berjalan menuju ke bagian minuman dan membuka lemari pendingin. Mengambil satu kaleng kopi hitam menganggukan kepalanya; sebuah isyarat untuk dirinya sendiri kalau ia sudah mantap pada pilihan kaleng tersebut (padahal setiap sabtu memang selalu beli kopi hitam dengan merk yang sama), kemudian mengambil beberapa kemasan biskuit dan roti dari rak cemilan. Lalu berjalan ke arah kasir untuk membayar belanjaannya. Nggak pakai plastik, kakak? Tidak, terimakasih, sudah menjadi dialog biasa karena Noritoshi adalah penganut green-lifestyle.

Pagi sampai siang hari ini terpantau cerah, nampak seperti hari yang menjanjikan. Usai membayar dan memasukkan cemilannya ke dalam tas, Noritoshi menghirup napas dalam-dalam, sebelum menghembuskannya perlahan. Ia membuka penutup kaleng kopi yang ia beli, lalu meminumnya sedikit. Semoga semuanya berjalan lancar sampai hari ini berakhir, doa Noritoshi di dalam hati kecilnya.

Sayangnya, memang tidak semua hal akan berjalan sesuai rencana, secerdik apapun hal tersebut direncanakan. Hari itu, waktu sore rupanya mengajak bercanda.

Guyuran hujan yang tanpa terduga turun dengan begitu deras tepat setelah pintu minimarket menggeser terbuka di hadapan Noritoshi yang hendak melangkah ke luar.

"Eh?"

Suara gemuruh yang saling menimpa satu sama lain seolah menjadi background music yang cocok untuk mengiringi ekspresi melongo Noritoshi.

Rasanya seperti meledek pemuda berambut hitam yang terbengong-bengong melihat perubahan cuaca tak terduga di depannya. Setelah berjalan sedikit, pintu otomatis di belakangnya seolah menutup dengan slow-motion, ditemani gemuruh yang saling bersahutan dan suara ritmis bulir-bulir hujan yang mengeroyok tanah. Apa-apaan ini? Dramatisnya kolaborasi alam, ia membatin kecewa.

Noritoshi, dengan kopi kaleng yang sudah terbuka di satu tangan, seketika menyeruput kopi hitam itu sambil melayangkan pandangannya ke arah jalanan sepi dengan perasaan hampa.

Tenang, Noritoshi. Noritoshi menggumam. Hujan turun lagi, di bawah payung hitam ku berlindung... Malah nyanyi.

Noritoshi buru-buru menghabiskan kopinya dan membuang kaleng tersebut ke tempat sampah terdekat, sebelum mulai merogoh tas selempang di bahu kanannya– mencari-cari barang yang biasa ia letakkan di sana diantara buku-buku dan cemilan yang ia beli. Sebuah payung lipat berwarna hitam... Hm? Buku terus yang terpegang, di sini buku, di sana buku, di tengah-tengahnya cemilan. Lho? Ia menggumam bingung.

Tidak ada? Semula ia berdiri, namun karena tak kunjung ketemu ia meringkuk dan meneruskan pencarian. Tangannya yang semula hanya meraba-raba lama-lama kini jadi sibuk mengaduk-aduk isi tasnya dengan intens, mengangkat dan mengubah urutan buku dan cemilannya secara acak. Lho? Lho? Noritoshi mengernyit penuh tanda tanya, firasat tidak enak mulai muncul di dalam hatinya. Kenapa ia tak kunjung menemukan rasa gagang payung lipatnya yang dingin dan keras?

"Nggak ada….."

Tanpa sadar, Noritoshi tahu-tahu sudah menumpuk buku-buku dan cemilannya di hadapannya saja. Tas selempang dibalik posisinya sebelum diguncang-guncang, mampus, rutuknya dalam hati tak lama setelah itu. Firasat tidak enaknya kini terbukti.

Kamu tolol, Noritoshi. Noritoshi misuh ke dirinya sendiri dengan monolog yang sengaja diberi efek vibrato di dalam kepalanya.

Ia melupakkan payung lipat hitamnya di kamar. Dan sekarang hujan deras. Kelas dimulai setengah jam lagi, sementara perjalanan ke sana sekitar 15 menit. Namun hujan ini sepertinya bodo amat soal urusan Noritoshi dan tidak akan berhenti begitu saja dalam lima menit ke depan. Bahkan sepuluh menit. Atau lebih.

Mampus. Pungkas Noritoshi dalam hatinya, kini sambil mematung memandang datar hujan yang turun semakin ganas dengan buku-buku malang serta cemilannya yang tergeletak di lantai depan minimarket. Ia berusaha tabah, berusaha tetap mempertahankan ekspresi teguh di wajahnya, walaupun sebenarnya ujung lidahnya sudah siap mengeluh dan mengaduh Oh bunda, Nori mesti gimana? Noritoshi adalah orang yang sangat mematuhi jadwal, juga pribadi yang rajin nan pekerja keras, dan yang terpenting, ia sama sekali tidak pernah telat atau bolos les semenjak awal pertama kali ayahnya memberinya izin untuk ikut. Dan sekarang ia akan mematahkan rekor hebatnya dengan... kelupaan bawa payung.

Noritoshi ingin menyublim saja rasanya. Menyatu dengan udara, kalau bisa menjadi bagian dari lapisan ozon. Kemudian bolong perlahan-lahan akibat global warming. Haah. Masih dalam kondisi setengah syok akan kecerobohan yang ia alami, tangannya meraih dan mengumpulkan buku yang ia tumpuk di lantai beserta cemilan-cemilannya sambil menghela napas, kemudian dimasukannya ke dalam tas selempang miliknya kembali dengan perasaan berat hati. Noritoshi tolol, bisa-bisanya lupa. Cuma payung lho, payung, tegurnya pada dirinya sendiri.

Di saat itulah–saat kegundahan yang tengah melanda Noritoshi membuat pemuda berambut hitam itu melamun sendiri, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara langkah kaki di tengah derasnya hujan, yang perlahan mendekat. Noritoshi yang terduduk dalam posisi mengangkang langsung bersimpuh secara refleks; menjaga imej di hadapan kehadiran entah-siapalah sosok yang datang itu.

"Lho, Noritoshi-kun? Lagi cari apa?"

"Cari payung... Eh?"

Noritoshi terkejut, namun bukan karena refleks ajaibnya dalam menjawab pertanyaan yang terlontar dari orang tersebut. Noritoshi? Orang asing ini kok tahu namanya? Noritoshi membatin keheranan. Perlahan ia angkat wajahnya dan seketika, cih, kedua alisnya kini mengerut tidak berselera.

Rambut pirang─kuning tai─dengan sedikit warna hitam di tiap-tiap ujungnya, sepasang mata yang dibingkai oleh eyeliner hitam yang memberi kesan licik, dan yang utama, senyum khas menyebalkan yang memamerkan gigi taring milik orang tersebut... Ah... Sepertinya selain hujan tak terduga, akan ada hal lain yang turut mengganggu kekhidmatan hari Sabtunya.

Naoya Zen'in. Noritoshi rasanya agak alergi menyebut nama pria itu dalam hati.

"Mau nebeng?"

Seringai Naoya melengkung beriringan dengan suaranya yang lebih cenderung menggoda ketimbang menawarkan bantuan. Bulir-bulir air perlahan menetes dari ujung payung yang ada di genggamannya– dengan sengaja ia ayunkan pelan payung yang baru ia tutup itu di hadapan wajah Noritoshi yang perlahan mengernyit. Untuk apa lagi kalau bukan untuk pamer, sialan betul ini jamet pirang satu biji.

Alis Noritoshi berkedut-kedut, sebelum akhirnya ia membuang muka. Mendengus tak acuh, lalu melingkarkan tali selempang tasnya di pundak sembari perlahan berdiri dan menepuk-nepuk pahanya untuk membersihkan sisa debu di sana.

"Tidak usah, Naoya-san. Terima kasih atas tawarannya."

"Begitu?" Naoya memiringkan kepalanya sedikit setelah mendengar jawaban Noritoshi, kurang puas. "Hmm, tapi kamu sebentar lagi ada les bahasa inggris kan? Untuk persiapan...kalau tidak salah...Ah! TOEFL?"

"TOEIC." Noritoshi menyela tanpa jeda, alisnya berkedut lagi. Darimana orang ini tahu kalau ia ikut les? Sampai tahu jadwalnya, pula, gumamnya sangsi. Ia curiga ayahnya kelepasan cerita-cerita ini itu pada Om Naobito dan mungkin dari situ Naoya jadi tahu banyak hal. Cih, kenapa orang tua suka cerita-cerita segala, sih.

"Oh, TOEIC ya? Ah, Noritoshi-kun ribet banget sih, padahal kan sama saja."

Sialnya Naoya malah menyeringai semakin lebar setelah tahu ia salah sebut. Gak jelas. Wajah tersenyumnya perlahan mendekat ke arah Noritoshi–gerakan yang membuat Noritoshi secara insting menarik kepalanya sedikit ke belakang. Batang hidung mereka hampir bersentuhan. Bukannya menjauh setelah melihat reaksinya, Naoya malah menatap Noritoshi lekat-lekat. Sebelum perlahan menghela napas.

"!"

Noritoshi sontak berkedip-kedip cepat– merasa tidak nyaman karena Naoya seenaknya menginvasi personal space-nya. Saking dekatnya, Ia bisa merasakan hembusan napas pria itu di pipinya. Seperti bau mint.

"Naoya-san.. terlalu dekat." Noritoshi berujar, sambil coba menjaga jarak aman dari Naoya. "Tolong menjauh sedikit."

"Kalau aku tidak mau?" Jawab Naoya, tawa kecil di akhir kalimatnya. Kurang ajar.

Noritoshi memilih untuk tidak menjawab lagi setelah itu.

Keadaan ini cukup membuat Noritoshi bimbang– ia terjebak pada pilihan antara ingin langsung mendorong Naoya sekuat tenaga, atau membiarkannya begitu saja. Pilihan kedua agaknya terkesan pasrah dan jelas tidak nyaman, namun Noritoshi sudah mengenal Naoya cukup lama untuk mengetahui bahwa jika dirinya memilih pilihan pertama, besar kemungkinan pria aneh berambut pirang itu akan menangkap respon perlawanan keras sebagai tantangan dan- ah, sudahlah. Hanya Tuhan dan Naoya yang tahu apa yang akan terjadi setelah itu.

"Jadi Noritoshi-kun enggak apa-apa terlambat untuk les persiapan tes TOEIC yang penting banget itu? Kalo nanti nilai di tesnya kecil gak masalah?" Naoya memecah kesunyian dengan sebuah pertanyaan santai.
Noritoshi yang masih merasa terbebani dengan jarak di antara mereka memilih untuk diam (lagi).

"Ah- Mungkin malah bukan terlambat, tapi bolos. Kita gak tahu kan hujan ini bakal selama apa?" lanjut Naoya lagi, kini sambil menjauhkan diri dari wajah Noritoshi (syukurlah) dan melayangkan pandangannya ke arah hujan deras di hadapan mereka. Menyebalkan, tentu saja, kata-katanya yang terkesan nanggung dan pasif-agresif itu benar-benar tipe yang cocok untuk menyenggol kesabaran Noritoshi yang lebih terbiasa menghadapi orang berapi-api macam Todo Aoi. Tipe yang tidak terang-terangan ofensif, namun jelas provokatif. Nada sekedar bertanya, padahal sengaja untuk memancing keributan. Bolos, katanya? Maksud dia ngomong begitu apa, sih? Noritoshi mendengus pelan di dalam hati. Apa ia bermaksud menyentil sisi perfeksionis Noritoshi dalam upaya mengajak ribut? Sayang sekali untuknya, Noritoshi cukup cerdas untuk menahan diri dan tidak jatuh pada trik sepele macam itu! Maaf-maaf saja, Naoya-san! Walau tak dapat dipungkiri Noritoshi rasanya ingin sekali menyekik leher pria yang kini manggut-manggut sambil memandang derasnya hujan dengan tatapan melankolis yang dibuat-buat; tanpa dosa sekali kelihatannya

.
Noritoshi mengernyit. Ia memang sabar. Noritoshi masih sabar.

"Masih ada hari lain." Jawaban yang akhirnya Noritoshi keluarkan singkat, jelas, dan bodo amat.

"Oh kelewat satu kelas bukan masalah, ya? Iya, sih.. Noritoshi-kun kan pintar~"

Tuh udah tau, Noritoshi berteriak keras-keras di dalam hatinya. Tangannya mencengkram tali selempang di pundak semakin erat; berharap Naoya cepat-cepat pergi dari situ karena ia sudah semakin bete memaksakan kalimat-kalimat santun untuk keluar menanggapi racauan penguji kesabaran dari pria itu. Buang-buang waktu saja, palamu santun.

"Target kamu untuk TOEIC saja 900. Keren banget, ga tuh?" Tahu-tahu saja tangan Naoya sudah bertengger di pucuk kepala Noritoshi. Mengusak-ngusak helaian rambut hitamnya dengan sok akrab, tentu dengan senyum menyebalkannya yang masih terpatri di bibir. Ingin rasanya Noritoshi pelintir tangan tidak tahu diri itu. Tahu darimana pula dia perihal target nilai pribadi miliknya? Noritoshi kembali bertanya-tanya di dalam benaknya; kali ini tidak mungkin dari ayahnya. Hanya teman-teman Kyotonya saja yang tahu─ apa mungkin jaringan informasi Naoya seluas itu? Teman mananya yang menjadi intel untuk pria jamet ini?

"Nilai 900 bukan masalah kalau kamu rajin, kan?" Naoya mengangguk-angguk, masih mengusap-usap kepala Noritoshi yang tengah mengatur napasnya; upaya menjaga lilin kesabarannya supaya tetap menyala.

"Kelewat satu pertemuan, paling jadi 895 nanti ya nilainya?"

Angka nanggung apaan itu, buset. Noritoshi mengerutkan keningnya dengan geram yang tak terbendungkan. Amarah Noritoshi langsung meroket ke awan-awan─ sisi perfeksionisnya dibuat gemetaran penuh murka mendengar angka nanggung tak karuan yang keluar dari mulut kurang ajar Naoya dengan entengnya.

APA-APAAN 895?!

"KAGA GITU YA ANJENGGGG?!"

Kalimat bernada tinggi dengan tatapan membara-bara itu keluar begitu saja dari mulut Noritoshi, diikuti gerakan menepis tangan yang hinggap di kepalanya, namun Naoya cukup cekatan untuk mengangkat tangan miliknya itu sebelum kena tamparan mesra. Baik Naoya maupun Noritoshi sendiri keduanya nampak terpana; hening tercipta dan keduanya saling menatap, kurang lebih sepuluh detik.

...

...

Hening yang canggung.

"Pfft-" Naoya yang pertama kali memecah keheningan, kedua pundaknya bergetar-getar pelan diikuti suara tawa lirih yang keluar dari bibir yang terkatup. Satu tangan langsung terangkat untuk menutup mulut, sebagai usaha menyembunyikan suara tawa gelinya.

Ah, mata Noritoshi membuka lebar sejenak, kemudian telapak tangan juga refleks menutup mulut. Kelepasan, mampus. Untung sumpah serapahnya tidak ikut kesebut di hadapan orang ini. Ia sungguh tidak bermaksud mengatakan kalimat tersebut keras-keras, apalagi sampai membuat Naoya terkekeh-kekeh puas mendapati reaksi diluar dugaan itu. Sebagai calon penerus teladan yang mempertahankan citra santun dan berkepala dingin, Noritoshi berusaha untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh, apalagi di hadapan sesama keluarga besar yang kelak akan menjadi rekan politiknya. Naoya memang menyebalkan, tetapi bagaimanapun juga, ia adalah anggota keluarga Zen'in. Salah satu dari tiga klan besar...

Sial,siaal, siaaal!

"M-maaf, tadi aku nggak bermaksud-" Noritoshi langsung gelagapan mencari kata maaf, tak sanggup melihat ke arah mata Naoya.

"Yang tadi nggak usah dipikirin." Naoya menjawab enteng, melambai-lambaikan tangannya pelan sebagai isyarat bahwa ia betul-betul tidak masalah, padahal siapa yang tahu kalua itu akan menjadi bahan godaanya ke Noritoshi selama seabad ke depan.

"Daripada itu..."

Naoya kemudian mengangkat salah satu alisnya.

"Heeh.. Nggak mau dapat nilai segitu? Padahal masih bagus." Senyum khas pria itu pun perlahan melengkung, aksen kansai kental yang sengaja ia tekan pada akhir kalimatnya membuat kata-katanya terdengar semakin menyebalkan.

Noritoshi membuang muka lagi.

"Yah, tapi memang khas Noritoshi-kun banget ya," ujar pria berambut pirang itu dengan nada sumringah dan kini memusatkan pandangannya ke pada Noritoshi. Kedua matanya memicing sedikit- eyeliner yang membingkai garis matanya menguatkan kesan licik penuh makna terselubung pada tatapannya. Seringai khasnya perlahan melengkung di ujung bibir sebagai pelengkap. "Aku suka~"

Noritoshi menurunkan pandangannya dari Naoya. Ia tidak suka, apalagi tertarik, untuk mengetahui apa maksud dibalik senyuman dwimakna pada bibir pria itu. Ia berpura-pura terbatuk keras sebelum membalas perkataan Naoya.

"...Terima kasih. Memang cukup banyak orang yang kagum dengan ambisiku."

"Ah, bukan,bukan. Maksudku bukan itu."

"Lalu?"

"Maksudku, aku suka Noritoshi-kun."

"Naoya-san tidak pernah bosan menggodaku, ya?"

Mendengar jawaban Noritoshi, Naoya membelalakan matanya sejenak. Ia mematung─tidak berkedip sama sekali ─dan masih menatap Noritoshi.
Noritoshi ,merasa tidak ada yang salah dengan jawaban defensifnya, mengerutkan kening penuh tanda tanya. Jarang-jarang ia melihat Naoya memasang wajah itu, mungkin karena mereka jarang bertemu juga. Seandainya pernah, mungkin Noritoshi sudah tidak ingat kapan dan mengapa. Apakah ia syok? Kaget? Atau malah tersinggung?

"A-apa?"

Reaksi Naoya setelahnya ganti membuat Noritoshi jadi yang membelalakan mata.

"HAHAHAHAHA!"
Ternyata Naoya malah tertawa lebar. Lepas. Tiba-tiba, begitu saja. Seperti habis mendengar lawakan paling lucu hari itu. Dengan tumpahan hujan yang mengguyur deras di belakangnya sebagai music latar yang sedikit banyak meredam intensitas suara tawanya.

"?"

Apa-apaan, sih? Rasanya bulu kuduk Noritoshi jadi merinding dibuatnya. Jelas kebingungan dengan tawa yang entah darimana itu datangnya. Aneh. Tidak jelas. Dasar Sinting.

"Padahal aku serius." Naoya kemudian berujar di sela-sela tawanya, satu tangan memegangi perutnya. Namun matanya menatap tajam, berlawanan dengan lengkungan senyum di bibirnya.

Noritoshi yang sadar akan hal itu tanpa sadar menelan ludah; merasa gugup seketika. Urat di pelipisnya sedikit menegang. Ia memilih untuk tidak mengomentari perkataan Naoya barusan.

Tawa Naoya pun mereda tak lama setelahnya, bersamaan dengan pandangannya yang perlahan melunak.

"Yah, tumben juga ya Noritoshi-kun yang sempurna bisa lupa bawa payung. Tapi itu wajar kok, wajar. Sekali-kali," komentar Naoya sambil mengangkat bahu santai. "Lumayan kan bisa bolos karena kecerobohan sesekali?"

Bolos. Kata itu rasanya tidak cocok di pendengaran Noritoshi. Agak mengusik hatinya.

"Bukan begitu.." Noritoshi berujar lirih, kepalanya menunduk sedikit. Ia.. tentu saja tidak merasa lega bisa bolos karena hujan tidak terduga begini. Ralat, ia bahkan tidak merasa lega jika bolos. Walaupun hanya sesekali.
Dan Naoya tidak melewatkan gestur itu. Ia cukup peka dalam merasakan kegugupan dari bahasa tubuh lawan bicaranya. Sebuah senyum kemenangan mengembang di bibirnya.

"Bukan begitu?" ulang pria yang sedikit lebih tinggi dari Noritoshi sambil memiringkan kepalanya sedikit, nada penasarannya terdengar dibuat-buat. "Berarti kamu nggak mau bolos, kan?"

Noritoshi terdiam. Dan Naoya seketika mendapatkan jawabannya.

"Kalau gitu, aku tawari sekali lagi: Kamu mau nebeng payung bersamaku?" Naoya berujar lagi, masih dengan nada santainya saat pertama kali menanyakan hal tersebut. Tangannya untuk kesekian kalinya mengangkat payung berwarna biru tua yang masih tertutup dengan posisi vertikal di hadapan wajah Noritoshi.

"..."

Noritoshi baru akan menggerakan bibirnya untuk menolak untuk kesekian kalinya, hanya saja kalimat Naoya cukup.. membuatnya berpikir. Kecerobohan. Tadi pagi memang pikirannya terlalu terlena, sampai-sampai ia melewati satu rutinitas sebelum meninggalkan kamar asrama; memasukkan payung, walaupun sudah melakukan re-check isi tas setidaknya tiga kali sebelum pergi. Dan sudah jatuh ketiban tangga, hari dimana ia lupa membawa payung harus menjadi hari dimana hujan turun tak diundang.

Ah. Teledor. Ceroboh sekali. Kalau ayah tahu dia telat karena sesepele ini.. dia akan kelihatan payah, bukan? Padahal selama ini kehadiran lesnya sempurna, setidaknya kalau ternyata cuma terlambat pun, ia ingin alasannya lebih relevan, heroik atau seminimal mungkin... tidak ceroboh begini. Ayahnya pasti akan kecewa. Kesalahan kecil begini. Kalau harapan ayahnya turun, ia yang bersikeras ingin bersekolah di SMK Jujutsu dan didaftarkan les bahasa inggris intensif, mungkin akan kelihatan seperti bocah egois yang buang-buang waktu dan besar kemungkinannya- tidak akan dilihat sebagai penerus yang berkompeten.

Jika ia tidak bisa menjadi penerus yang berkompeten, nanti ibunya.. Apakah nanti Noritoshi akan mengecewakan ibunya? Apakah nanti ia tidak akan bisa bertemu dengannya?

Ah, Pikiran Noritoshi melanglang buana.

Beban pikiran. Ini sulit. Materi kelas bisa dikejar ketertinggalannya, tetapi tidak untuk rasa cemas. Kalau ia benar-benar terlambat les- atau bahkan bolos hari ini, nanti-

"Noritoshi-kun?" Tanpa permisi, batang hidung Naoya tahu-tahu saja sudah bersentuhan dengan milik Noritoshi. Napas Noritoshi tercekat di kerongkongan; kaget setengah mati, sebelum cepat-cepat ia menarik diri ke belakang dengan kedua telapak tangan mengepal dalam mode full pertahanan-diri.

"NAOYA-SAN!" Noritoshi setengah berteriak, risih dan geram bercampur menjadi satu. Berapi-api, ia menatap pria yang menyeringai puas di hadapannya. Hampir. Hampir saja Noritoshi mengangkat tangan untuk melayangkan tinju, kalau saja kewarasannya tidak sigap melemaskan tiap sendi pada jarinya. "Jangan... terlalu dekat begitu, dong..."

"Lagian kamu ngelamun. Serius banget. Aku sakit hati lho dikacangin."

"Siapa peduli?!" jawab Noritoshi ketus; sudah tak peduli kalimatnya terdengar apatis.

"Kamu. Kamu harus peduli soalnya aku udah sebaik ini."

"..."

Gak ada yang minta atau nyuruh lu baikin gua, bodat?! Noritoshi ingin sekali meneriakkan kalimat itu keras-keras di hadapan Naoya, tapi ia masih paham sopan santun. Tidak etis rasanya berteriak-teriak, apalagi di hadapan orang yang memang ingin sekali melihat dia teriak-teriak. Noritoshi menatap lekat-lekat Naoya yang menyeringai ke arahnya, ah, sungguh besar sekali hasratnya untuk menarik bibir yang sedari tadi dipakai untuk tersenyum mengejeknya terus. Noritoshi mengerutkan keningnya kuat-kuat dalam upaya menahan niat buruknya.

Sementara Naoya malah semakin terhibur dengan perubahan-perubahan ekspresi yang ditunjukkan Noritoshi. Sekilas, calon penerus dari klan Kamo itu memang seperti robot yang terprogram tekun dan ulet dalam membawa dirinya, namun bagi Naoya yang sudah berpengalaman mengusik orang-orang satu klannya sampai membuat mereka menyimpan dendam kesumat, Noritoshi merupakan sebuah hiburan menarik bila ditangani dengan betul. Tekan tombolnya di tempat-tempat yang tepat, usik dengan konsisten dan lakukan semuanya dengan kehati-hatian, dan ritme lelaki yang lebih muda itu akan kacau secara perlahan. Naoya menikmati tiap prosesnya.

"Jadi gimana? Kamu mau atau nggak?" Naoya bertanya lagi, membalas tatapan tajam Noritoshi dengan sebuah kekehan pelan. "Cuman ngasi tahu, kayaknya hujan deras begini bakal lama banget lho~"

Ah, sial. Noritoshi benci mengakuinya, namun omongan Naoya memang ada benarnya. Tidak, bahkan sejak awal, tawaran dari Naoya sebetulnya ada benarnya, ada untungnya, karena memang tak ada pilihan lain, bukan?

Sial. Noritoshi menggumam kepada dirinya sendiri. Sial,sial. Mau bagaimana lagi, menolak rasanya bukan pilihan yang tepat jika ia ingin mempertahankan rekor anak teladan yang ia miliki. Sekalipun itu berarti harus menerima bantuan orang yang dikesalinya.

Mau bagaimana lagi, kan?

"...Kalau begitu tolong, deh.."

Naoya, dengan tampang sumringah, langsung membuka payungnya, sebelum merangkul pundak Noritoshi yang gagal menghindar.

"Hehe, dengan senang hati. Ayo, Noritoshi-kun~"

Payung milik Naoya sebenarnya tidak begitu besar.

Supaya dua orang tidak terlalu pinggir dan terkena gucuran air hujan, setidaknya harus ada jarak tiga senti diantara mereka selama perjalanan. Jarak yang terlalu dekat ini cukup menyiksa Noritoshi, yang tidak menyukai kontak fisik sekecil apapun yang terjadi diantara dirinya dan Naoya. Atau dengan siapapun.

Dan yang paling menyebalkan, Naoya malah memegang payungnya di tangan kiri, yang mana bukanlah tangan yang berada di antara dirinya dan Noritoshi, sehingga tangan tersebut harus repot-repot ke tengah sementara tangan kanan milik pria itu mengayun bebas di samping tangan Noritoshi. Karena dia kidal, katanya, tapi siapapun juga tahu kalau itu hanya ngelesnya saja karena─memangnya orang kidal tidak bisa pegang payung pake tangan kanan?!

Namun Noritoshi memutuskan untuk tidak mendebat Naoya lebih jauh, karena buang-buang waktu.

Mau tidak mau, tangan mereka berdua yang berayunan seiring perjalanan membuat jarinya sesekali bersentuhan dengan milik Naoya, dan ketika itu terjadi ia akan spontan menarik tangannya agar menjauh sedikit. Lalu setelah beberapa saat, perlahan tangannya kembali kepada posisinya, kemudian bersentuhan lagi. Menjauh lagi. Dan begitu seterusnya.

Refleks Noritoshi membuatnya sibuk sendiri, namun ia tidak seegois itu untuk protes menyalahkan Naoya yang berjalan terlalu dekat dengannya. Mereka sama-sama butuh payung milik pria itu. Selama perjalanan, walau terus menggerak-gerakan tangan dan bahunya sambil berjalan di tengah derasnya hujan, Noritoshi tidak melontarkan keluhan sedikitpun.

Berkebalikan dengan Noritoshi, Naoya nampak begitu tenang dan santai-santai saja dengan kontak fisik yang sesekali terjadi. Andai Noritoshi tahu kalau Naoya memang sengaja menyentuh jari Noritoshi. Tentu saja ia tidak akan mengatakannya.

"..."

"Kamu kedinginan? Hujannya bikin dingin ya?" Naoya membuka percakapan, tepat setelah Noritoshi menarik tangannya yang tidak sengaja bersentuhan dengan miliknya untuk kesekian kalinya. Melirik ke arah pemuda yang sedikit lebih pendek darinya itu dengan penasaran.

"Noritoshi-kun kan biasanya pakai seragam sekolah yang berlapis-lapis."

"Tidak. Kemejaku cukup hangat." jawab Noritoshi singkat.

"Hmm, begitu. Mungkin harusnya aku tanya kamu gerah apa ngga ya?"

"Gerah juga nggak."

"Terus kenapa tegang?"

"..Aku nggak tegang."

"Tuh kan, jangan-jangan karena kedinginan ya? Mau ku hangatkan?"

"Tidak, terima kasih." jawab Noritoshi cepat. Ya, aku memang tegang! Dan yang bikin tegang itu kamu, tahu! Noritoshi merutuk di dalam hatinya. Tadi kan sudah kubilang aku ngga kedinginan?! Mendingan kamu jalannya jauhan sedikit, goblok! Ga enak daritadi sentuhan terus anjir! Agaknya emosi dalam diri Noritoshi menggebu-gebu untuk Naoya, namun ia berusaha mempertahankan air muka yang tenang. Supaya Naoya tidak bertanya-tanya lebih jauh, ataupun mendapat celah untuk memantik emosinya.

"Sebelumnya maaf Naoya-san, ngobrolnya bisa diirit? Kalau banyak ngobrol jadi lambat jalannya. Aku takut terlambat sampai di tempat les."

Itu sudah cukup sopan, kan? Noritoshi bertanya was-was di dalam hatinya-─lebih seperti berharap-harap cemas. Soalnya kalau itu menyinggung Naoya-

"Heeh.."

Ah, sial.

Langkah yang keliru. Noritoshi ingin sekali menepuk jidat. Helaan napas sarkastik dan tidak bersemangat itu cukup menjelaskan perubahan mood Naoya.

"Kasihan ya, aku. Udah baik-baik nawarin payung, cairin suasana, malah dijutekin sama Noritoshi-kun," Naoya tertawa pahit, alisnya sudah menaik tidak berselera dan sudut bibirnya melengkung sebelah. Bete, tapi emang dilebay-lebayin aja ini si pirang bedebah, Noritoshi menyimpulkan penuh rasa gusar dalam hati. Belum cukup sampai di situ, Naoya menghela napas lagi sebelum melanjutkan dengan aksen kansai kentalnya yang ia tekan dengan santai di ujung kalimat. "Kayaknya aku jadi kedinginan deh sekarang~"

Matamu kedinginan! Noritoshi memejamkan matanya rapat-rapat, sebiji urat muncul di pelipisnya sembari hati menahan hasrat ingin julid yang menggebu-gebu mati-matian. Hakama kamu berlapis-lapis gitu anjir, mau kubungkus kain kafan sekalian biar gak perlu ngerasa dingin selamanya?

"Gak percaya, ya?" Naoya mengerlingkan matanya ke arah Noritoshi, dan menghela napas (dengan dramatis) lagi.

PAKE NANYA. Noritoshi frustasi, menjawab pertanyaan bodoh itu dalam hati.

"Sikap cuek Noritoshi-kun itu lho yang bikin aku kedinginan."

IDIH. IDIIIIIIH. APA-APAAN. Astaga, belum pernah Noritoshi segini inginnya menjambak rambut seseorang? Kalau Todo tidak termasuk, dia bukan orang tapi gorilla. Lagipula, bahkan Todo pun tidak pernah bersikap seperti Naoya─sikap menyulut emosi Naoya ini rasanya berbeda jenis dan level kalau di banding Todo atau orang-orang yang pernah ia temui di institusi pendidikan Jujutsu (selain Gojo Satoru). Inilah mengapa Noritoshi benci sekali orang-orang dewasa dari klan-klan besar. Kalau bukan yang suram, ketat dan kaku seperti ayahnya, ya pasti beginilah─ yang berisik, alay nan menguras mental batin semacam Naoya dan Gojo Satoru dari Klan Gojo. Tipikal gangguan masyarakat, mengusik ketenangan publik. Dan yang paling utama, tidak punya malu!

"..Terus gimana? Apa Naoya-san puas kalo aku minta maaf?" Noritoshi menghela napas pendek. Pasrah, namun berusaha tetap terdengar tenang.

"Jelas dong," jawab Naoya sumringah, menoleh ke arah Noritoshi yang sibuk menghipnotis kesadarannya agar menganggap Naoya hanyalah angin yang bisa berbicara; tidak ada wujudnya di sana. Tentu saja itu sia-sia, apalagi setelah tiba-tiba tangan tak tahu malu milik pria itu bertengger di pundak Noritoshi dan merangkul. Noritoshi ingin menepisnya, sumpah.

"Noritoshi-kun pengertian banget~"

"Kalau begitu aku minta maaf." Noritoshi berujar tidak sabaran, perlahan meletakkan tangannya di atas tangan Naoya yang hinggap di pundaknya, sebelum dengan hati-hati mengangkatnya dari sana sebagai cara halus untuk menolak; menunjukkan ketidaknyamanannya. "Maaf sikapku terlalu cuek, jadi menyinggung Naoya-san."

"..."

"..."

Hening. Diliriknya sebentar Naoya di sampingnya; rupanya pria itu pun juga sedang menatap ke arahnya─ wajahnya datar, namun mata licik miliknya itu nampak sedikit menyipit. Apa maksudnya itu? Tidak puas? Wajah berpikir? Ia tak bisa menebak apakah itu karena Naoya tersinggung atas penolakan halus Noritoshi atau tanda bahwa bedebah Zen'in itu sedang memproses permintaan maafnya; Noritoshi tidak yakin. Dugaan kedua rasanya terlalu idealis, mengingat sepanjang percakapan pria ini agaknya lebih banyak asal bunyi; asbun, ketimbang menjawab layaknya orang dengan sehat akal pada umumnya.

"Udah cukup, kan?" Noritoshi buka suara lebih dulu, merasa tidak tenang dengan kesunyian yang tercipta di tengah derasnya guyuran hujan di sekitar mereka. "Aku- benar-benar minta maaf, oke? Silakan deh kalo mau ngomong, aku akan berusaha jadi lebih-"

Tawa keras seketika pecah dari Naoya, teredam oleh suara guyuran hujan di sekitar mereka, dan memotong omongan Noritoshi yang sedang serius-seriusnya. Noritoshi menoleh tidak percaya ke arah pria itu─sungguh amat bukan main herannya ditertawai seheboh itu, ketika ia sadar betul ia sama sekali tidak ada niatan melawak ataupun lucu-lucuan. Tanda tanya imajiner mulai bermunculan di atas kepalanya, Naoya ini sebenarnya waras atau tidak sih? Kenapa Noritoshi harus dikutuk kedapatan berurusan dengan orang sinting di dekatnya begini? Sungguh, ini bahkan jauh lebih sulit dari latihan ujian listening untuk persiapan ujian TOEICnya.

"Ya ampun, ya ampun! Itu cara kamu minta maaf?" Naoya berujar ketika tawanya sudah mereda, jarinya mengusap salah satu sudut matanya yang sedikit berair. "Sebenarnya lucu,sih. Tapi jujur, aku kira calon penerus klan Noritoshi bakal lebih paham soal ini, lho."

"...Hah?" Apaan sih maksudnya? Noritoshi sedikit terprovokasi, tetapi ia tahu mengikuti emosinya hanya akan membuat Naoya semakin terhibur. Dari waktu mereka masih di depan minimarket, kenapa sih Naoya selalu melontaran hal-hal tidak jelas yang anehnya memantik emosi?

"Minta maaf itu bukan cuma perkara omongan dengan nada menyesal,oke? Kalau kayak gitu doang bisa menyelesaikan urusan sih, perang antar klan harusnya gak pernah pecah."

"Pe-perang antar klan?"

Kamu bandinginnya sejauh itu?! Noritoshi tidak jadi tersinggung, kini ia tahu Naoya memang hanya membadut. Apa-apaan coba perumpamaan hiperbolis itu?

"Iya, lho. Harusnya, ada kompensasi yang dipenuhi dari keinginan pihak yang tersakiti dan menginginkan ganti rugi. Noritoshi-kun kan pintar dan bijak, harusnya sudah belajar ini di kelas politik, kan?"

Lah. LAAH. Noritoshi tarik kembali; sekarang ia merasa kesal dengan cara Naoya menyambung-nyambungkan omong kosongnya ke sesuatu yang benar adanya namun tak relevan. Dari perang antar klan ke kompensasi dan kelas politik; apa-apaan, sih?! Segala bawa-bawa salah satu pelajaran tuan muda yang membuatnya terpaksa mengingat pengalaman pedih diri berumur tujuh tahunnya mabuk kepayang karena dicekoki buku-buku tebal dan cerocos ceramah yang berlangsung tiga jam non-stop per sesinya.

"..."

"Naoya-san agak ngelantur. Perumpamaannya sedikit berlebihan, permasalahan di antara kita ini bukan perkara sebesar itu." Noritoshi mencoba menjawab dengan waras sambil mempertahankan kewarasannya.

"Aah. Jadi Noritoshi-kun menyepelekan perasaanku?" Naoya tersenyum manis, dan disitulah Noritoshi merasa bodoh sekali sudah mencoba menanggapi pria Zen'in itu seperti manusia normal pada umumnya. Ia akan terus salah di mata si bangsat satu ini. "Walau kamu nggak mikir begitu, tapi aku bisa sakit hati,lho. Kamu punya hati enggak sih, Noritoshi-kun? Haah. Cukuplah di aku. Aku harap kamu tidak menyepelekan perasaan orang lain juga nanti, ya?"

TERSERAHLAH. TERSERAAAH. Di titik ini Noritoshi sudah tidak mampu menahan ekspresi masamnya; terlalu sulit rasanya mempertahankan percakapan dengan orang yang sudah kehilangan beberapa sekrup akal sehat di pikirannya seperti Naoya. Seperti ngobrol dengan tembok. Bahkan tembok pun lebih baik; mungkin lebih seperti mendebati orang sinting. Ia bahkan tidak tahu lagi apakah yang barusan itu salah satu akal-akalan Naoya untuk mengobrak-abrik ketenangan Noritoshi atau memang sederhana saja; Naoya Zen'in memang pria yang sudah sinting dari sananya.

"Kalau gitu, Naoya-san mau apa dariku?" Untuk kesekian kalinya, Noritoshi menelan amarah yang sudah terakumulasi di ubun-ubunnya dan menghela napas pasrah. Mari kita dengarkan omong kosong apa lagi yang akan dikeluarkan pria Zen'in ini. "Selama tidak menyulitkan, aku akan berusaha semampuku."

"Hmm. Kalau begitu…"

Naoya menghentikan langkahnya.

Suasana berubah hening, suara hujan menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan yang terjadi tiba-tiba. Naoya menoleh ke arah Noritoshi dengan sebuah senyuman penuh makna. Kemudian menyodorkan tangan kosongnya ke hadapan pemuda itu.

"Hangatkan aku," Pemuda berambut pirang itu memiringkan kepalanya. "Kita lakukan sesuatu yang hangat."

"Hangat?" Noritoshi melihat ke arah Naoya dengan tatapan tidak mengerti.

"Tangan." Jari jemari Naoya mulai bergerak-gerak sebagai isyarat mengajak. "Pegang tanganku, Noritoshi-kun. Aku bisa dapat kehangatan lewat situ."

Hah?

HAHH?

Noritoshi mendadak tuli mendengar tawaran semacam itu masuk ke telinganya. Ia salah dengar, ya? Atau Naoya yang salah omong? Pemuda berambut hitam itu menganga tidak percaya.

"?"

Kemudian Noritoshi menurunkan pandangannya dan menatap tangan Naoya. Ah. Tangan yang terbuka ke arahnya sepertinya lebih dari cukup untuk mengkonfirmasi keraguan yang dialaminya. Namun demikian, hal tersebut lantas tak membuat Noritoshi mantap menerima permintaan absurd tersebut.

"Kalau cuma pegangan tangan, calon penerus klan Noritoshi bisa kan?" Naoya melanjutkan kata-katanya dengan senyum yang kini berbinar-berbinar, di belakang kepalanya seolah muncul background bunga-bunga dan efek kemilau sinar-sinar yang menyilaukan.

Bikin mual aja, Noritoshi jadi pengen muntah rasanya. Tapi ia sudah didesak begini, mau gimana lagi? Kalau ditolak, urusannya akan sangat panjang dengan Naoya.

"Tapi.." Pemuda berambut hitam itu bergumam ragu, melayangkan pandangannya ke sekitarnya dengan keningnya yang mengkerut dan tatapan was-was.

"Kenapa?" Naoya ikut melihat ke sekitarnya, sebelum mengangkat kedua alisnya. "Memikirkan pandangan orang lain?"

Sebuah anggukan pelan dari Noritoshi, sebelum ia menunduk.

"Tadi kamu juga begitu kan? Pas di depan minimarket."

Noritoshi tertegun, seketika mengangkat kepalanya setelah mendengar perkataan Naoya.

"Eh..?"

"Kamu mikirin gimana kalo papamu nanti tahu kamu lupa bawa payung dan bolos."

Ah- Noritoshi sedikit membelalakan matanya, seolah menyahut 'Bagaimana kamu bisa tahu?'

"Noritoshi-kun itu gampang banget dibaca. Kamu sadar nggak? Sejak aku dulu main ke rumah Noritoshi-kun, tiap papa mu tiba-tiba manggil kamu, alis kamu selalu mengkerut kayak begini." Naoya memeragakan ekspresi was-was yang dibuat Noritoshi acapkali pemuda itu tengah menaruh beban lebih pada dirinya sendiri saat memikirkan ekspektasi dari orang lain. Kedua alis yang menukik sehingga menciptakan kerutan di kening, bibir yang terkatup rapat-rapat dan mata yang spontan menutup.

Kedua pipi Noritoshi seketika menghangat, ia langsung membuang muka untuk menutupi perasaan tersipu yang sepertinya tergambar jelas di wajahnya. Memalukan sekali, rasanya seperti rahasia kecilnya disingkap lebar-lebar.

"Sekarang pun sama. Tapi kamu sudah lebih handal mengatur ekspresi. Sudah jadi dewasa rupanya, ya," lanjut Naoya lagi, dengan wajah yang sudah kembali ke senyum licik dan meremehkan seperti biasanya. "Sayangnya tetap bisa kubaca sih~"

"..."

Noritoshi tidak bisa mengelak apa-apa. Semua yang Naoya katakan adalah benar.

"Nah,coba Noritoshi-kun," Kini Naoya meletakkan tangannya di pundak Noritoshi dan menepuk-nepuknya pelan untuk mendapat perhatiannya. "Sekarang coba kamu lihat orang yang di depan sana. Kamu nggak bisa lihat mukanya kan?"

Noritoshi mengangkat satu alisnya, kebingungan, sebelum mengangguk perlahan.

"Begitupun mereka. Mereka nggak akan bisa lihat kita." Pria berambut pirang itu tersenyum puas, melirik ke arah Noritoshi dengan kedua mata yang menyipit perlahan. "Ini jadi rahasia kita, oke?"

Sial. Noritoshi merutuk di dalam hatinya. Tapi sekali lagi, dia benar.

"Sampai... lampu jalanan di depan sana saja ya?" Tanpa menoleh, tuan muda dari klan Kamo itu kemudian meletakkan tangannya di atas milik Naoya yang sudah dalam posisi terbuka sedari tadi; menyambut ajakannya berpegangan tangan walau dengan sedikit enggan.

"Deal."

Seringai puas seketika muncul di bibir Naoya. Dan bukan Naoya namanya kalau hanya berhenti sampai di situ, pria Zen'in itu tak melewatkan kesempatan untuk menyelipkan jari jemarinya di antara rongga jemari milik Noritoshi, sebelum mengunci genggaman dengan erat.

"Tangan-!" Noritoshi berujar panik, spontan menarik tangannya, namun genggaman erat Naoya terlalu kencang untuk dapat dilepas semudah itu. "Jari-jari-"

"Pegangan tangan itu memang harus begini, kan? Kalau menautkan jari begini, hangatnya bisa tersalurkan dengan baik." Naoya mengeratkan genggamannya sebelum mengayun pelan, menikmati geliat usaha sia-sia Noritoshi yang masih mencoba melakukan perlawanan. Tak lama setelah itu ia mulai berjalan lagi dan Noritoshi, mau tidak mau, ikut terbawa dengan posisi pegangan tangan yang menurutnya sudah bukan lagi memalukan tapi malu-maluin.

"Tuh kan, tangan kamu hangat nih." ujar pria Zen'in berambut pirang itu enteng, setelah Noritoshi akhirnya menyerah untuk mencoba melepaskan diri.

"Tangan Naoya-san yang terlalu dingin." Noritoshi membalas sewot.

"Mungkin aku yang tegang ya," Naoya menatap ke arah langit, tertawa kecil, dan melanjutkan dengan santai. "Soalnya aku pegangan tangan sama orang yang kusuka, sih."

"..."

Noritoshi tidak sempat melihat ekspresi Naoya saat mengatakan hal itu. Saat ia menoleh ke arah Naoya untuk membalas, Naoya sama sekali tidak tersenyum atau menyeringai; hanya nampak ekspresi datarnya yang cenderung dingin dengan sepasang matanya yang menatap bosan ke arah langit dan bibir yang terkatup, yang entah mengapa memberi kesan tak ingin diusik. Membuat Noritoshi menjadi segan untuk mempertanyakan.

Namun demikian, Noritoshi dapat menarik satu hal dari sikap yang ditunjukkan Naoya saat itu.

Naoya sedang tidak bercanda.

Derasnya hujan mengisi kekosongan momen yang terjadi setelah itu. Baik Naoya maupun Noritoshi sama-sama tidak menatap ke arah satu sama lain maupun mengeluarkan sepatah kata. Suasananya menjadi canggung, dan mungkin hanya perasaan Noritoshi saja, namun ia merasakan tangan Naoya yang memakai baju dengan lapisan lebih banyak dari miliknya, justru menjadi bertambah dingin.

Ahh. Noritoshi ingin ditelan bumi saja rasanya. Sepertinya itu masih lebih baik daripada terjebak dalam suasana canggung, di bawah satu payung yang sama, dan sambil berpegangan tangan dengan yang bersangkutan.

"Tau nggak, Noritoshi-kun?"

Naoya berinisiasi memecah kesunyian di antara mereka.

"Enggak."

"Tuh kan, dingin lagi."

"..Iya,iya. Tau apa?"

"Bilang 'iya'-nya cukup sekali aja."

"IYA." Anjir. Noritoshi mulai emosi, dan Naoya tertawa kecil. Ketegangan suasana di antara mereka perlahan mencair.

Naoya menghela napas panjang, sebelum melanjutkan omongannya.

"Dulu.."

Pria yang lebih tinggi dari Noritoshi itu melihat ke arah kubangan air yang berada di depan mereka; matanya menerawang menuju kejauhan, senyum yang biasa melengkung untuk memberi kesan sinis di bibirnya kini lebih terlihat melankolis.

"Aku pernah... menyesal karena terlalu memikirkan apa kata orang."

Noritoshi tidak menjawab apa-apa, hanya mendengarkannya dalam diam.

"Jadinya aku ngga bisa melindungi orang yang kusayangi." Naoya melanjutkan dengan sebuah tawa getir, mungkin untuk menyembunyikan kesedihan yang menyeruak, membuat Noritoshi menoleh ke arahnya untuk melihat ekspresi apa yang tengah dibuatnya. "Padahal mungkin kalau aku lebih berani, orang itu nggak akan punya alasan untuk pergi."

"Atau seenggaknya, ikut kabur bersamanya. Itu jauh lebih mending daripada menetap di tempat yang sama sekali tidak menghargai orang itu." lanjut Naoya lagi, baru menyadari kalau pandangan Noritoshi tertuju ke arahnya sedari tadi, sehingga refleks membuang mukanya ke arah yang berlawanan dari Noritoshi. Tentu saja ia sudah terlambat untuk itu. Karena Noritoshi sudah terlanjur melihat ekspresinya.

Wajah sedih yang ditutupi dengan senyum asimetris yang mengasihani dirinya sendiri, seolah hampir menangis. Noritoshi sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun sekali lagi, ia terlalu segan untuk mempertanyakan.

Noritoshi terdiam sebentar, sebelum membuka mulutnya untuk menjawab.

"Begitu, ya.."

Aku mengerti. Aku pernah merasa begitu. Noritoshi seketika teringat akan salah satu pengalaman paling pedih yang sampai hari ini masih membuat hatinya nyeri─ mengingat bagaimana punggung ibunya ketika melangkah pergi dan perlahan semakin menjauh, tanpa berbalik.

"Naoya-san ingin pergi mencari orang itu?" tanya Noritoshi kemudian, penasaran.

"Hm?"

"Tadi kata Naoya-san orangnya pergi.. Kalau cuma pergi, masih bisa dicari kan?"

"Oh." Naoya menatap ke depan, lalu ke arah langit. Kemudian tersenyum simpul. "Benar juga."
"Mungkin aku harus menyusul dia ke surga sana." lanjutnya sambil tertawa. "Dia sudah meninggal, soalnya."

"Jangan," Noritoshi buru-buru menginterupsinya, merasa bersalah telah berkomentar dengan asal. "Jangan, jangan. Jangan disusul."

"Hmm, Noritoshi-kun perhatian juga ya." Naoya menoleh ke arah Noritoshi dengan alis yang terangkat satu, tersenyum menggoda. "Aku jadi malu, nih."

"Bukan, maksudku jangan ke Surga. Untuk orang seperti Naoya-san, surga itu kayaknya…terlalu sulit."

"Mulai kurang ajar ya, bocah." Untuk pertama kalinya hari itu, akhirnya kini alis Naoya yang berkedut-kedut akibat komentar dari Noritoshi. Noritoshi tertawa lepas melihat reaksi yang memang sudah diduga-duganya itu.

"Maaf sudah menyinggung hal yang agak sensitif." ujar Noritoshi di ujung tawanya, sambil menatap ke arah Naoya dengan senyum penuh rasa sesal. "Aku benar-benar tidak tahu kalau orang yang Naoya-san maksud sudah meninggal."

"Santai." Naoya membalas senyum itu dengan sebuah senyuman hangat; kedua matanya ikut menyipit karena senyuman yang melengkung di bibirnya saat itu. "Gak masalah, kok."

"Itu juga kejadian lama. Sudah berlalu." lanjut Naoya enteng, kembali menatap ke arah depan dan memandang kejauhan dengan tatapan yang melembut. Sangat lembut, sampai Noritoshi mempertanyakan apakah ia benar-benar merasa baik-baik saja setelah membahas hal yang kedengarannya cukup berat untuk sekadar dibicarakan, apalagi diceritakan ke orang lain.

"Beneran gak apa-apa?" Noritoshi memberanikan diri bertanya, dan Naoya terdiam sejenak sebelum menjawab dengan sebuah tawa yang, menurut Noritoshi, cukup dipaksakan.

"Bener, kok."

Suara hujan yang mengeroyok tanah dan gemuruh yang menyertainya sekali lagi mengisi keheningan yang tercipta di antara mereka. Lampu tamannya sudah lewat, namun entah mengapa Noritoshi merasa berat hati untuk melepas tangan Naoya saat itu.

Benar saja, karena Naoya sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun selama perjalanan setelah percakapan yang cukup berat tadi, mereka tiba lebih cepat di tempat les Noritoshi. Masih ada kurang lebih lima menit sebelum kelas Noritoshi dimulai.

Alih-alih merasa lega, diamnya Naoya malah membuat Noritoshi merasa sedikit khawatir.

"Naoya-san?" panggil Noritoshi kepada pria yang sedari tadi nampak melamun. "Daritadi Naoya-san diam.. Ada apa?"

Tidak ada jawaban. Naoya hanya menatap ke atas tanpa ekspresi.

"Naoya-san.. beneran tidak apa-apa?" tanya Noritoshi lagi dengan ragu-ragu.

Naoya tertawa kecil. Sebelum akhirnya ia membuka suara.

"Maaf, boleh aku duduk sebentar?" ujar Naoya sambil menoleh ke arah Noritoshi. Tersenyum simpul.

"Ah," Noritoshi mengangguk pelan, maklum. "Iya, nggak apa-apa."
Kemudian pria yang lebih tua itu meringkuk, otomatis Noritoshi mengikuti gerakannya karena mereka masih berada di bawah payung yang sama. Naoya membenamkan wajahnya di antara lututnya, dan Noritoshi tak tahu harus bersikap apa.

"Naoya-san?" Noritoshi meletakkan tangannya di punggung Naoya, mengguncangnya pelan sebentar. "Naoya-san.."

Ia pasti merasa sedih, walau sudah berusaha Nampak kuat. Karena tidak ada jawaban, dengan penasaran, Noritoshi berhenti menepuk pundak Naoya, kemudian perlahan mendekatkan wajahnya untuk melihat Naoya lebih dekat. Merasa simpatik. Pasti hal yang ia ceritakan di perjalanan tadi merupakan sebuah ingatan yang cukup menyakitkan, sampai-sampai dia menang-

"?!"

Noritoshi dikagetkan dengan wajah Naoya tiba-tiba menjadi sangat dekat, tangan pria itu meraih salah satu anak rambut Noritoshi dan mengelusnya pelan dengan ibu jari.

"Noritoshi."

Ujung batang hidung mereka bersentuhan dan Naoya memiringkan kepalanya; bibirnya sedikit membuka, seperti hendak meraup sesuatu. Karena refleks Noritoshi yang cukup baik, bibir mereka hanya menempel sekilas; Noritoshi lebih cepat menarik badannya mundur dan menjauh.

"W-WAH─!"

Saking cepatnya sampai keseimbangannya oleng, dan Noritoshi terjatuh ke belakang. Terhempas ke sebuah genangan air dengan satu suara deburan. Mengenaskan.

"Ah-!"

Noritoshi mengerang pelan, sebelum termangu menatap pria di hadapannya. Tidak tahu harus lebih kaget karena apa; kemejanya yang kini jadi basah kuyup, atau ciuman pertamanya yang baru saja dicuri. Ia membelalakan matanya ke arah Naoya yang nampaknya juga cukup syok; tidak menyangka Noritoshi akan terjatuh seheboh itu.

Yah, yang penting kena. Naoya mendecih penuh sesal dalam hati, merasa kurang puas. Perlahan ia bangkit berdiri dari posisinya.

"Kamu tersentuh mendengar ceritaku sebelumnya, ya?" ujar Naoya dengan nada mengejek, kedua mata liciknya menatap Noritoshi yang nampaknya sudah keluar dari fase kekagetannya dan berubah menjadi geram. "Noritoshi-kun lengah, ya? Kayak gitu doang mana mungkin bisa bikin aku nangis."

"Itu ciuman pertamaku, tahu!" Noritoshi menyahut sengit, bersusah payah membangunkan badannya ke posisi duduk. Menyesal sudah menyisihkan sedikit simpatinya kepada bedebah licik yang hobinya mempermainkan orang.

"Anggap saja itu bayaran karena aku sudah mengantarmu?" Naoya menjawab enteng, lalu tersenyum sambil menunjuk ke arah pintu masuk les Noritoshi yang memang sudah tinggal beberapa langkah lagi, dengan santainya. "Tuh liat, tempat les kamu udah ada di depan, masih mau pake payungku?"

"YANG BENAR SA-" Karena terlalu terburu-buru untuk bangun, tangan Noritoshi terpleset dan seketika ia kembali terjatuh seperti posisi sebelumnya; bokong menyentuh tanah duluan, dan punggung yang bercumbu mesra dengan sebuah kubangan air yang langsung membuat cipratan air nya melesat ke segala arah, membuat Naoya tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya. Sakitnya sih tidak seberapa tapi rasa malunya itu, lho. Wajah Noritoshi memerah padam. Bukan main rasa malu yang menggebu-gebu dalam dirinya saat itu.

"Ah, udah basah gitu ga perlu pake payung ya?" Naoya mencemooh di sela tawanya, puas melihat reaksi Noritoshi yang tiada habisnya menghibur hati, semakin membuat amarah yang tersimpan di dalam ubun-ubun Noritoshi meledak tak karuan. "Sampai tempat les jangan lupa dikeringkan, ya? Nanti Noritoshi-kun yang masuk angin, aku yang sedih~"

"NAOYA-SAN, KAU HARUS TANGGUNG JAWAB..!"

"Wah, sudah jam segini, aku ada janji dengan papahku, Noritoshi-kun~"

"TUNGGU DULU NAOYA-SAAAAN...!"

Dan Naoya segera membalikan badannya dan berjalan pergi, sambil melambaikan tangannya dengan santai. Noritoshi takut kualat lagi kalau bangun cepat-cepat, jadi dia hanya bisa menatap punggung menyebalkan pria itu sembari bersungut-sungut penuh amarah; diselimuti dendam membara yang belum terbalaskan. Kurang ajar, Naoya Zen'in!

Ah, pokoknya gak lagi-lagi deh kelupaan membawa payung di hari Sabtu, Noritoshi berjanji dalam hati dengan perasaan berapi-api.


FIN

A/N: Kapal Crack Tidak Membuat Hati Saya Crack! :^)))))) /kemudian mleyot