Yesterday and Tomorrow © UchihaMaya
.
.
.
.
"Tanganmu kenapa?" Kyuubi mengernyit heran melihat tangan adiknya yang dibalut perban, lagi.
Naruto mengangkat tangan kanannya, "tergores, tidak sengaja." Bohongnya. Ia terlalu malas jika mengungkit kejadian semalam. Keduanya tengah menyantap sarapan yang merangkap makan siang.
Liburan, bagi mereka waktu dimana bisa bangun siang, tanpa khawatir sekretaris mereka akan mengomel. Seharian melakukan kegiatan yang mereka inginkan tanpa takut ada intrupsi pekerjaan. Dan hal itu sungguh jarang terjadi. Bahkan seingat Naruto, ini libur panjangnya yang pertama sejak ia lulus kuliah yang artinya setahun lalu.
"Yugao bilang kau menolak proyek besar lagi?"
Naruto meneguk air minumnya, "berita cepat menyebar rupanya. Ya, aku menolaknya. Tenang saja, tak akan ada masalah."
Kyuubi mendengus, "kalau ada masalah aku juga yang akan repot, Baka. Aku punya kasus penting yang harus kuselesaikan."
Naruto berdiri dari kursinya. "Kujamin tidak akan ada yang terjadi." Naruto beranjak. "Aku mau jalan-jalan, jangan cari aku."
Setelahnya ia mendengar suara pintu yang dibuka kemudian ditutup lagi. Kyuubi melanjutkan makannya yang sempat tertunda. Rumah kembali sepi. Dengan suasana seperti ini, ia kembali teringat akan pertemuannya dengan gadis Sabaku tadi malam. Padahal keduanya sudah berpisah setahun lalu, Kyuubi pikir, luka masa lalu itu sudah sembuh. Tapi, nyatanya, semalam, ketika mata merahnya bertemu pandang dengan iris aquamarine itu, ia merasakan nyeri di hatinya. Ia masih mencintai wanita itu.
Kyuubi menaruh sumpitnya, nafsu makannya menghilang. Mungkin jalan-jalan sebentar bisa merilekskan pikirannya. Mengikuti adiknya akan menyenangkan, namun ketika ia beranjak menuju kamarnya, matanya menangkap smart phone adiknya yang tergeletak di meja makan, salah satu sudutnya retak.
Well, sepertinya ia akan jalan-jalan sendiri.
.
Desember bukanlah bulan favorit Naruto. Udara dingin dan terlalu banyak perayanaan dibulan ini. Ia tidak suka perayaan, ia tidak suka membayangkan dirinya hanya akan sendirian saat perayaan natal ataupun tahun baru. Ia sungguh membencinya, karena pada akhirnya ia akan merindukan mereka, orang tuanya.
Ia berjalan dalam diam. Menyusuri jalanan kecil di kota Sapporo. Salju perlahan turun dan ia mulai mengeratkan kancing mantelnya. Sesekali ia menatap etalase toko yang sudah memajang pajangan khas natal. Tidak salah karena seminggu lagi tanggal 25.
Naruto kemudian berhenti sejenak di depan kedai ramen, menimbang baik buruknya masuk ke tempat itu. Setelah berdiam diri cukup lama, ia akhirnya masuk ke kedai yang bertuliskan Ichiraku itu.
Didalam kedai kosong. Tidak ada satu pun pelanggan, setelahnya ia duduk dikursi dekat pintu masuk. Seorang pelayan wanita menghampirinya dan ia pun memesan semangkuk miso ramen dan segelas ocha, ia tiba-tiba ingin makan ramen, tak peduli jika ia baru saja sarapan. Dimusim dingin memang paling enak makan makanan berkuah.
Pesanannya datang. Ia menatap ramen didepannya dalam diam. Naruto tidak ingat kapan terakhir kali memakan makanan itu. Ia mendesah lelah. Seingatnya, dulu, ketika ia masih kecil, ramen selalu menjadi makanan favoritnya. Ibunya sering membuatkannya ramen, ayahnya selalu mengajaknya berlomba untuk menghabiskan makanan berkuah itu, dan Kyuubi hanya akan mengejek kegemaran mereka akan ramen. Ia pun berhenti makan ramen saat kedua orang tuanya bercerai.
Naruto menghela nafas. Perlahan ia mengambil sumpit dan mulai memakan ramen itu. Perlahan dan ingatan akan masa lalunya kembali berputar di kepalanya. Membuat hatinya pedih, dadanya terasa sesak.
Dalam diam ia menghabiskan makanannya, meneguk ocha, mengambil beberapa lembar uang dan menaruhnya didekat mangkuk kosong sebelum beranjak pergi.
Ketika keluar, matanya menangkap sosok gadis yang familier di matanya. Gadis berambut merah muda yang tengah meronta, meminta dilepaskan oleh seorang lelaki yang menyeretnya memasuki okiya yang tadi malam ia datangi bersama Kyuubi.
"Kumohon, lepaskan aku, Genma-san. Aku janji akan membayar hutangku." Pinta Sakura dalam keputus asaan. Ia tidak mau masuk ke tempat itu. Ia tidak mau bekerja dan terjebak di tempat terkutuk itu. Ia tidak mau, menjadi seorang wanita penghibur.
Lelaki yang menyeret gadis itu mendesah, "sumimasen, Sakura-chan, aku harus membawamu, jika tidak Nyonya bisa membunuhku." Ucap lelaki itu penuh penyesalan.
Sakura bisa merasakan lelehan air mata meluncur di pipinya. "Kumohon, " lanjutnya dengan suara serak dan bergetar, "aku sudah mengumpulkan sepuluh juta, tinggal sembilan puluh juta lagi. Aku janji aku tidak akan lari, tapi kumohon, jangan bawa aku kesana. Komohon, Genma-san." Ucapnya disela tangisannya.
"Gomen, Sakura-chan ak_"
"_lepaskan dia."
Kedua orang yang tengah bersiteru di pintu belakang okiya itu terdiam. Sakura, gadis itu, merasakan deja vu, sedangkan Genma menatap siapa gerangan yang mengintrupsi mereka. Ya, siapa lagi jika bukan pemuda pirang berpakaian cukup mencolok di wilayah lampu merah itu.
Naruto tidak tahu apa alasan hingga dia mau repot-repot mencampuri urusan gadis merah muda itu, lagi. Ia seolah melihat dirinya dulu. Terluka, putus asa, tidak punya tempat untuk bergantung. Ia merasakan ikatan yang kuat ketika menatap mata gadis itu. Tatapan yang sangat ia kenali ketika ia bercermin.
"Aku tidak tahu apa masalah kalian, tapi aku minta kau melepaskannya. Dia kesakitan." Kata Naruto sambil melirik lengan pucat gadis itu yang memerah.
"Sumimasen, tapi saya tidak bisa melepaskannya, Tuan." Ucap lelaki bernama Genma itu dengan sopan.
Naruto mengerang kesal, merogoh saku mantelnya kemudian mengeluarkan sebuah buku, menulis sesuatu disana dengan pena mahalnya kemudian merobek kertas dari halaman buku itu dan menyerahkannya pada Genma. "Lepaskan dia."
Kertas yang diangsurkan Naruto adalah cek bernilai 100 juta. Perlahan Genma melepaskan cengkramannya pada Sakura, melepaskan gadis itu. "Ini?"
"Hutang gadis ini." Ucap Naruto, "jangan mengganggunya lagi." Lanjutnya, sebelum memasukkan kedua tangannya kedalam saku mantel dan meninggalkan tempat itu.
Tapi, cekalan di lengannya membuatnya berhenti. Sakura menatap Naruto tajam. "Aku tidak butuh uangmu," gadis itu merebut cek di tangan Genma, meraih tangan kanan Naruto, kemudian mengembalikannya.
Naruto berdecak sebal. "Kau lebih membutuhkannya. Cobalah untuk menerima bantuan orang lain." Gumam Naruto, menatap tajam gadis itu.
"Aku tidak butuh dikasihani," Ucap gadis itu marah, meski jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya.
"Siapa bilang aku mengasihanimu? Aku tidak sedang mengasihanimu, aku hanya mencoba membantumu."
"Aku tidak butuh bantuanmu."
"Jadi kau lebih memilih menjadi geisha di sini dari pada menerima bantuanku?" Teriak Naruto.
Tepat sasaran. Gadis itu bungkam.
Naruto meraih tangan gadis itu, menyerahkan ceknya kembali. "Ambil selagi aku masih berbaik hati." Ucap Naruto. "Masa depanmu masih panjang, jangan sampai kau terjebak ditempat seperti ini." Bisiknya, lirih, hingga hanya terdengar seperti desau angin ditelinga Sakura.
Naruto berbalik, melanjutkan langkahnya yang tertunda_
"_chotto." Teriak gadis itu.
Naruto berhenti, menoleh sedikit.
"Arigatou," ucap Sakura pelan tapi masih sanggup didengar Naruto, sambil membuang muka.
Naruto tak membalas, hanya berbalik dan meninggalkan tempat itu.
.
Sudah tiga hari mereka berada di Sapporo dan kegiatan yang mereka lakukan juga monoton. Mengunjungi onsen, kuil, festifal, toko hadiah, atau khusus Kyuubi tiap malam ia akan menjalankan ritual berkunjung ke okiya. Bedanya, ia tidak memaksa Naruto menemaninya.
Naruto tahu, kakaknya kesana bukan untuk bermain wanita atau sejenisnya. Tapi ia kesana untuk bertemu dengan wanita itu. Sabaku Temari.
Ia tahu kakaknya masih sangat mencintai Temari. Ia yakin, karena ia sempat mendapat laporan dari Kakashi jika Kyuubi minta dicarikan data tentang apa saja yang terjadi pada wanita itu setahun belakangan. Sayangnya ia tidak bisa mengintip informasi yang didapat kakaknya.
Naruto mengangkat cangkir porselen berisi coklat hangat dan menyesapnya perlahan. Ia tengah berada di sebuah kafe didekat rumahnya, atau lebih tepat disebut rumah kakaknya. Ia ditinggal Kyuubi sejak pagi dan sekarang senja mulai turun.
"Permisi, Naruto-san?" Sapa seseorang.
Naruto menoleh mendapati gadis merah muda yang beberapa hari ini sering ia temui, jika dua kali pertemuan bisa dibilang sering. "Oh, kau, ada apa?"
Gadis itu nampak lebih pucat dari biasanya dan terlihat bingung memilih kata-kata.
"Duduklah." Ucap Naruto yang langsung dituruti oleh Sakura, kemudian ia memanggil pelayan dan meminta dibawakan coklat hangat dan beberapa kudapan. "Jadi, ada yang bisa kubantu?"
Sakura kemudian merogoh sesuatu dari tas selempangnya yang kecil, meletakkan amplop coklat yang cukup tebal di atas meja. "Ini uang yang kemarin kau pinjamkan, memang hanya sepuluh juta, tapi aku janji akan melunasinya."
"Aku tidak berharap kau mengembalikannya, kau bisa memakai uang itu." Ucap Naruto, ia mengangsurkan coklat hangat yang baru saja diantar pelayan kehadapan Sakura.
"Tidak bisa, hutang tetap hutang. Aku sangat berterima kasih kemarin kau mau menolongku. Jika tidak ada kau, mungkin aku sudah, aku sudah..."
"Oke, oke, aku terima uang ini." Ucap Naruto cepat.
Gadis itu mengangkat wajahnya, senyum akhirnya terbit dari wajahnya. "Arogatou gozaimasu." Ucapnya.
"Sudahlah, tak perlu berterima kasih lagi." Ucap Naruto. "Jadi, kau masih bekerja di bar?" Tanya Naruto.
Gadis itu menggeleng, "aku dipecat kemarin. Sekarang aku bekerja di restoran keluarga dekat mini market kemarin." Jelasnya.
Naruto tersenyum, "well, kurasa restoran lebih cocok untukmu dari pada di bar. Tempat itu terlalu kasar untuk gadis sepertimu. Kau... gadis yang baik." Ucap Naruto, entah apa yang merasukinya hingga ia bersedian memuji seorang perempuan.
Sakura tersenyum, "jadi kau memberiku waktu berapa lama untuk melunasi hutangku?"
Naruto menggeleng, "tak perlu buru-buru. Aku bukan orang yang terlalu membutuhkan uang."
Sakura mengernyit. "Orang macam apa yang menyerahkan seratus juta pada orang tak dikenal dengan begitu mudah?"
Naruto tertawa, tawa lepas, bukan tawa mengejek atau tawa merendahkan. Tawa pertama semenjak tiga tahun yang lalu. "Jika kau jadi sepertiku, uang tidak akan berarti apapun." Ucap Naruto ringan.
"Memang kau orang macam apa?" Tanya gadis itu. Ia menyesap coklat hangat yang dihidangakan untuknya dengan anggun.
"Kenapa kau ingin tahu?"
Gadis itu tampak salah tingkah, "gomen, jika aku menyinggumu."
Naruto hanya tersenyum tipis. "Abaikan yang barusan. Jika aku boleh tahu, untuk apa uang sebanyak itu? Kurasa seorang gadis muda sepertimu tidak mungkin berani berhutang sampai sebanyak itu."
Sakura terdiam. Tangannya menangkup cangkirnya.
"Jika kau tidak ingin memberitahuku, aku tidak akan memaksa."
"Otou-sama sakit," bisiknya pelan.
Naruto terdiam, ia tidak menanggapi. Tapi dari gerak-gerik Sakura yang tampak gelisah, ia tahu gadis itu tengah menyembunyikan sesuatu.
"Uang itu untuk biaya pengobatan Otou-sama. Sebelumnya aku bisa mencukupi kebutuhan pengobatan dengan uang dari penjualan barang-barang kami dan hasil kerjaku. Tapi... ketika Tou-sama harus operasi, mau tidak mau aku harus mencari pinjaman. Sialnya, hanya pemilik Okiya itu yang mau meminjamkan uang padaku." Sakura menghela nafas pelan, "tentunya aku berterima kasih padanya. Tapi, beginilah akhirnya, dia memaksaku menjadi wanita penghibur. Dia menganggap aku tidak akan sanggup membayar hutangku." Ucap Sakura sambil menunduk.
Naruto meneguk minumannya. "Hidup memang berat, bukan begitu?"
Sakura hanya menaikkan bahunya, "berat atau tidak, kita harus tetap hidup bukan?" Gadis itu melirik arlojinya, "aku permisi dulu, jam kerjaku sebentar lagi mulai."
Naruto mengangguk. "Baiklah, biar aku yang traktir. Toh aku yang memesannya." Ucap Naruto ketika melihat gelagat gadis itu.
"Arigatou, oya, mantelmu?"
Naruto teringat dengan pertemuan mereka kemarin. "Besok, disini, jam ini, bagaimana?"
Gadis itu mengangguk sebelum beranjak keluar dari kafe. Meninggal Naruto kembali dalam keheningan.
Naruto menghela nafas. Ia tahu, Sakura tengah berbohong. Tapi, ia ingin mempercayai gadis itu. Sorot mata yang kadang-kadang nampak begitu hancur milik Sakura bukan hanya halusinasi Naruto. Sepertinya ia akan sedikit mencari tahu tentang Sakura. Ia merasa penasaran dan tidak ada seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memuaskan rasa ingin tahunya, sekalipun itu Sakura.
.
TBC
.
A/N: Arigatou, untuk yang sudah bersedia membaca dan mereview. Mohon maaf buat keterlambatan update. Maklum, saya orang yang nulis berdasarkan mood. Sampai jumpa chapter depan.
Sign,
UM
