Yesterday and Tomorrow © UchihaMaya
.
.
.
.
Hidupku sempurna, harusnya. Dua puluh tiga tahun hidupku aku sudah mencapai apa yang bisa orang capai di usia lima puluh tahun. Kini aku sudah duduk santai dukursi wakil presdir perusahaan keluargaku. Aku bungsu dari dua bersaudara. Harusnya kakakku yang mewarisi kursi yang kini kududuki, tapi dia tidak begitu tertarik menjadikan bisnis pekerjaan tetapnya. Aku kaya, uang bukan masalah untukku. Aku punya kedudukan, aku bisa memperoleh apapun yang kumau.
Namun, satu hal yang tak pernah kumiliki sejak kecil. Cinta. Mereka menyebutnya demikian. Aku tidak tinggal dengan orang tuaku sejak usiaku menginjak angka enam. Dilimpahi harta sejak kecil sebenarnya tidak menjamin kebahagiaan. Kakakku bilang begitu. Ia kasar, lebih kasar daripada aku. Dia adalah masterpiece dari pemberontak sejati. Dia juga gagal dalam urusan percintaannya. Kami memang dua bersaudara yang menyedihkan.
Dan nyatanya menemukan orang yang tepat untukku bukan perkara mudah. Sampai hari ini aku masih meyakini aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Begitulah adanya.
Aku pecinta sesamaku. Aku pernah mencintai sahabat kecilku yang sekarang entah dimana rimbanya. Ini tak mudah untukku. Berusaha melupakannya sama susahnya dengan mengingat wajah orang yang tak pernah kita lihat.
Saat usiaku sembilan belas, aku sadar aku mencitai sahabatku, tapi sayangnya, sebelum aku sempat mengungkapkan perasaanku, dia sudah menghilang lebih dulu. Jangan kira kau tak pernah mencoba mencarinya. Dengan koneksi keluargaku, aku mencari jejaknya, tapi seolah menghilang ditelan bumi, sampai hari ini aku belum bisa menemukannya.
Aku hancur, antara ditinggalkan sahabat yang kucintai dan kekecewaanku pada diriku yang menyimpang, aku jijik pada diriku sendiri.
Karena setiap waktu selama empat tahun terakhir kugunakan untuk merusak diriku. Kalau saja tak ada kakak atau nenekku, mungkin sekarang aku sudah kehilangan kewarasanku dan yang lebih buruk mati dijalanan karena percobaan bunuh diriku.
Tapi, sekarang aku sadar. Itu tak menyelesaikan masalah. Mau tak mau aku harus keluar dari keterpurukanku. Bangkit kembali, demi harga diriku sebagai lelaki dan demi nama Namikaze yang kusandang.
.
Kyuubi nyaris meremukkan gelas yang ia pegang. Naruto yang duduk tenang menyantap makanannya menatap Kyuubi dengan pandangan mencela. Naruto yang biasanya membuat ulah kini sepertinya mulai bertobat. Keduanya tengah makan malam di restoran.
"Akhirnya aku mengerti kenapa dia tidak bisa disentuh." Aura tidak mengenakkan terasa disekeliling Kyuubi. "Nara Shikaku. Tentu saja, bagaimana aku tidak terpikir sampai sana, pantas saja nama perempuan itu terdengar sangat familier."
"Jadi, kau mau apa?"
"Apa lagi memangnya? Bertemu Nara Shikaku tentu saja. Untuk bisa menyentuh wanita itu kau harus menyingkirkan pelindungnya dulu bukan?"
Naruto menyuap makanannya dengan santai. "Mereka cuma memakai nama Yoshino, sebenarnya yang mengelola okiya itu keluarga Yamanaka."
"Yamanaka?"
Naruto mengangkat sebelah alisnya, "kau sudah tau?"
Kyuubi menggeleng, kemudian mengisyaratkan kepada Naruto untuk melanjutkan penjelasannya.
"Dengan memakai nama istri yakuza sekelas Paman Shikaku mereka akan terlindungi. Sementara Bibi Yoshino sendiri sekarang ada di Perancis, mengurusi brand fashionnya."
"Shikamaru yang bilang?"
Naruto mengangguk, "Nara mau membantu Yamanaka karena Shikamaru itu tunangan putri pemilik okiya. Belum di umumkan, berita ini hanya tersebar diantara anggota keluarga. Beruntung Shikamaru masih mau memberitahuku."
"Aku yakin informasi ini sudah sampai ke telinga kakek mesum itu." Kyuubi mendengus. "Aku sudah mengurus jadwal pertemuanku dengan Nara Shikaku, dia ada di Kyoto. Aku langsung berangkat begitu kita kembali ke Tokyo. Jadi kau jangan berulah selama aku pergi."
"Kau pikir aku anak kecil? Yang benar saja."
"Oya, soal proposal yang kau tolak dari Uchiha, sekarang proyek itu disetujui keluarga Hyuuga."
"Baguslah, mereka tidak akan menggangguku lagi."
Kyuubi mendengus, "proyek itu lumayan untuk menaikkan pamor perusahaan. Kau harus bekerja lebih keras agar keluarga kita tetap diatas Uchiha."
Naruto menyudahi acara makannya, "aku tidak tertarik soal keluarga mana yang lebih berkuasa. Tapi, jika itu bisa membuat Uchiha tidak menyentuhku, aku akan melakukannya dengan senang hati. Dan kalau kau mau tahu, aku sudah dapat penggantinya."
Kyuubi mengangkat sebelah alisnya, sambil menyumpit makanannya. "Apa itu? Aku tidak dengar apa-apa dari Kakashi ataupun Sai."
Naruto berpikir sebentar, "aku memang meminta Kakashi merahasiakannya, aku baru akan membicarakannya dengan kakek. Setelah menolak tawaran Uchiha, kupikir ada baiknya jika aku mendapat penggantinya."
"Yah, lakukan sesukamu." Kyuubi menyudahi acara makannya, tidak bisa disebut makan karena makanan Kyuubi masih utuh, pemuda itu kemudian beranjak. "Aku ada urusan."
Naruto mengangguk acuh. Pemuda berambut pirang itu pun beranjak dan meninggalkan beberapa lembar uang dimeja. Keluar dari pintu udara dingin yang menyambut. Ia berjalan pelan menyusuri jalan kecil yang mengantarkannya pulang.
.
Tak sengaja, Naruto melihat gadis merah muda itu tengah duduk bersama seorang lelaki asing di bangku taman. Mengamati seseorang dari kejauhan seperti ini bukanlah hal yang akan dilakukan seorang Namikaze.
Tapi selalu ada yang pertama untuk setiap hal. Naruto yang kelewat penasaran pada gadis itu tak bisa menahan dirinya untuk tetap tinggal di balik pohon sakura disisi lain taman itu.
Ia bisa melihat dengan jelas raut wajah Sakura yang tak pernah ia lihat sebelumnya, antara bahagia, rindu, dan kesedihan. Naruto tak bisa mengenali lawan bicara Sakura, tapi entah kenapa, dalam hati Naruto merasa tidak suka atas kedekatan mereka.
Pemuda itu menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Dinginnya malam sama sekali tak bisa mengusiknya. Pandangannya tertuju pada Sakura.
Pemuda itu jadi teringat dengan pembicaraannya dengan Shikamaru. Mungkin sekarang ia akan mulai berhati-hati saat mendekati Sakura. Karena jika sampai Shikamaru membelanya, pastinya gadis itu bukanlah gadis biasa.
Ia mengamati tiap mimik wajahnya. Gerak bibirnya saat bicara. Senyum gadis itu, ia berani bersumpah, baru sekali ini ia lihat dan sanggup membuatnya terdiam.
Ia akan memastikan jika ia tidak akan menyakiti Sakura, sengaja ataupun tidak.
Karena ia ingin senyum itu selalu terlukis dibibir Sakura.
.
Pagi itu terasa normal untuk Naruto. Berkas pekerjaan yang menumpuk menemani sarapan paginya. Pekerjaannya memang tidak bisa ditinggalkan terlalu lama karena banyak orang yang kehidupannya bergantung pada perusahaan.
Pemuda pirang itu masih duduk anteng, sampai tiba-tiba Kyuubi turun dari kamarnya membawa satu kardus besar berisi dokumen kasus untuk sidangnya seminggu lagi.
"Aku ingin ke Kyoto. Kita kembali besok."
Naruto menatap kesal kakaknya. Ia sungguh benci kebiasaan kakaknya yang suka membuat rencana tiba-tiba tanpa bertanya terlebih dulu.
"Kenapa tiba-tiba? Kau masih bisa menemuinya sekembalinya kita sesuai jadwal, 'kan?" Dia masih berusaha untuk tenang, meski dalam hati ia sangat kesal.
"Terlalu lama. Aku ingin masalah ini segera selesai. Kau pikir aku punya banyak waktu luang?" Kyuubi mengacungkan jadwal sidangnya yang sepertinya baru saja dikirim oleh Yugao. Lelaki itu kemudian membongkar kardus itu, mengeluarkan dokumen-dokumen tebal yang sudah dijilid.
Naruto mendengus, matanya kembali terfokus pada grafik pemasukan perusahaan di layar laptopnya. "Kalau begitu, tinggalkan saja wanita itu. Kau tak akan rugi mengabaikan wanita yang pernah meninggalkanmu." Ucap Naruto tidak peduli.
"BRAK."
Jilidan berkas bahan kasus yang ditangani Kyuubi yang tebalnya enam ratus halaman menghantam kepala Naruto. Pemuda pirang itu merasa pusing seketika.
"Apa yang kau lakukan?"
"Justru aku yang ingin tanya padamu, omong kosong macam apa yang kau ucapkan?"
Naruto mendengus. "Aku tidak ingin kembali."
Seringai licik Kyuubi muncul. "Sebegitu cintakah kau pada gadis merah muda itu, hei, adik?"
"Jangan bercanda. Aku hanya tidak ingin kembali ketempat penuh kenangan buruk itu dengan cepat. Lagipula kenapa kau begitu terburu-buru? Shika bilang, Paman Shikakau tidak akan meninggalkan Kyoto dalam waktu dekat. Lagipula, kasus-kasus yang kau tangani tidak akan mengganggu urusanmu dengan wanita Sabaku itu."
Kyuubi, membaca berkas-berkas miliknya sambil menyesuaikannya dengan jadwal. "Kalau aku lebih cepat, akan ada jaminan, dia tidak akan terluka lebih dalam"
"…"
"…"
"Apa kau yakin, sakit hatinya masih bisa disembuhkan?"
Hening menyelimuti keduanya. Kyuubi bungkam. Pemuda itu tak yakin bagaimana keadaan Temari saat ini, karena disetiap pertemuannya wanita itu memperlakukan dan bicara pada Kyuubi selayaknya tamu biasa. Kyuubi bahkan yakin, jika Temari tak lagi memandangnya seperti dulu. Kala mereka masih menjalin hubungan.
Dan semua itu berujung pada satu hal, Temari tak lagi mencintai Kyuubi.
Suara pintu geser memecah keheningan, Sai muncul dari balik pintu dengan senyumnya yang biasa. Tapi, satu hal pasti yang diketahui dua bersaudara Namikaze, kemunculan Himura Sai dipagi hari bukan pertanda baik.
"Ada berita dari Perancis," Sai memberi jeda. "Minato-sama akan berangkat ke Jepang besok pagi."
Baik Naruto maupun Kyuubi langsung menghentikan pekerjaan mereka.
Senyum Sai terasa semakin menyakiti hati. "Jangan terkejut dulu, Kushina-sama juga dijadwalkan kembali ke Jepang nanti sore."
"Meraka kesini dalam misi memperkenalkan calon isrimu, Naruto."
Petir di pagi hari yang cerah.
.
Himura Sai namanya. Pemuda berusia 28 tahun dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Tidak peduli bagaimanapun keadaannya, kau akan menjumpainya dengan ekspresi itu.
Sebelum bekerja dengan Namikaze Kyuubi, dia seorang freelancer yang kerjanya menyusup ke sebuah perusahaan ternama ataupun membunuh orang. Dan Namikaze Kyuubi pernah menjadi targetnya.
Sayangnya, Namikaze tidak akan semudah itu ditakhlukkan. Kyuubi punya naluri yang lebih tajam dari hewan buas manapun. Kala itu ia berusia 18 tahun ketika Sai menargetkan dirinya. Tapi, Kyuubi tahu, jika anak yang tiba-tiba muncul di kantornya pagi itu bukanlah seorang klien.
Cerita klise bergulir, Kyuubi yang seorang Namikaze punya lebih banyak pengawal daripada yang diketaui orang luar. Kala itu dia adalah pewaris utama keluarga Namikaze yang termasyur. Adiknya saat itu masih SMP, tidak tertarik dengan bisnis keluarga.
Di usianya yang baru 18, ia sudah menjadi pengacara, lulusan Cambrige. Bahkan Naruto yang seumur hidupnya dihabiskan bersama kakaknya masih tidak bisa membaca jalan pikiran sulung Namikaze.
Kyuubi yang entah bagaimana bisa tahu jika Sai mendapat pekerjaan membunuhnya justru berhasil memojokkan pemuda itu dan berakhir dengan tawaran untuk bekerja padanya. Karena menurut Kyuubi, bakat pemuda itu tidak boleh disia-siakan dengan menjadi pekerja lepas.
Pendek kata, Sai setuju. Selain dia punya majikan yang jelas, nominal gaji yang ditawarkan Kyuubi pun tidak main-main dan lagi Kyuubi menawarkan pemuda itu untuk menjadi bagian dari keluarganya. Karena hal itulah, kesetiaan Sai tidak bisa dibeli.
Tapi, Sai tetaplah Sai. Pemuda yang bicaranya blak-blakan tanpa disaring terlebih dulu.
"Kita kembali, sekarang."
Naruto mengernyit tidak setuju. "Kenapa? Bukan masalah besar mereka mau melakukan perjodohan. Selama aku tidak setuju, semua akan berakhir."
Kyuubi menghela nafas. Duduk disebelah Naruto yang masih sibuk bekerja. "Bukan itu masalahnya. Dulu aku juga berpikir demikian, apalagi aku sudah bertunangan dengan Temari, kukira mereka akan menyerah, tapi nyatanya akulah yang dipaksa menyerah."
Naruto menghela nafas. Kemudian meletakkan laptopnya. Pemuda itu terdiam beberapa saat, tampak berpikir keras.
Tiba-tiba Naruto bangkit, mengambil mantelnya yang tergantung didepkat pintu. "Tunda kepulangan kita sampai siang ini,"
Kyuubi yang memahami maksud dibalik kalimat Naruto mengangguk saja dan membiarkan adiknya pergi.
Mungkin kata-kata Kyuubi diawal tidak terlalu salah, mungkin saat ini Naruto belum mencintai gadis itu, tapi siapa tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang?
.
Naruto kadang tidak mengerti jalan pikiran kakaknya yang menurutnya merepotkan Kakaknya terlalu idealis untuk ukurannya.
Naruto bukan orang yang mau bersusah payah mendapatkan sesuatu jika ada jalan lain yang lebih praktis dan keberhasilannya terjamin. Dia bukan orang munafik yang berpura-pura tidak butuh harta dan kedudukan keluarganya.
Pemuda itu menyulut rokok yang terjepit diantara bibirnya. Ia tengah menunggu seseorang, perempuan yang akhir-akhir ini sering melakukan kontak dengannya, Sakura.
Naruto tidak begitu paham kenapa ia bisa terjebak dalam rasa penasaran pada gadis itu. Mungkin karena ia yang dulu dengan mudah membuang orang tua yang telah meninggalkannya. Sementara Sakura terus bertahan meski mendapat perlakuan kasar dari ayahnya. Ia tidak mengerti, ia tidak bisa mengerti alasan dibalik tindakan Sakura maupun Kyuubi yang mati-matian membela orang yang bahkan sudah mencampakkan mereka.
Sakura muncul dari persimpangan jalan, gadis itu bisa langsung mengenali Naruto yang memang terlihat sangat kontras dengan suasana Sapporo.
Sakura muncul dengan keadaan yang jauh lebih baik daripada saat terakhir Naruto melihatnya. Meski memar di pipinya belum sepenuhnya menghilang. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
Naruto menghembuskan asap rokok keudara sebelum mematikan benda itu. Menjatuhkannya kemudian menginjaknya.
"Mengenai apa yang kulihat tempo hari dan mengenai alasan sebenarnya kau membutuhkan uang."
Haruno Sakura nampak tidak senang. Ekspresi wajah gadis itu tampak mengeras. "Kenapa kau ingin tau? Apa karena kau telah meminjamkan uangmu padaku?"
Naruto tersenyum miring, tapi disaat bersamaan wajah pemuda itu menampakkan kepedihan. "Aku hanya ingin tahu apakah dulu aku telah melakukan kesalahan atau tidak."
"Masalahku tidak ada hubungannya denganmu."
"Kuakui aku hanya orang luar, tapi aku merasa akan menemukan jawaban apakah kebencianku ini beralasan atau tidak. Lagi pula aku penasaran apa hubunganmu dengan Nara."
Sakura terkejut, tentu saja.
Naruto menatap langsung mata Sakura, "kenapa kau masih bertahan padahal ayahmu memukulmu? Kenapa kau masih bersama ayahmu meski dia melukaimu? Kenapa kau masih tinggal meski dia sudah membuangmu?"
Haruno Sakura menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya dari tatapan tajam Naruto.
"Bukan ayahku."
"Jangan berani berbohong padaku."
"Aku tidak bohong."
"Lalu siapa yang melakukannya?"
Sakura terdiam. Tidak menjawab maupun mengangkat wajahnya.
"Kau punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Kau bisa meninggalkan orang yang melukaimu itu."
"Memang apa salahnya jika aku tinggal?" Ucapan Sakura memotong kata-kata Naruto. Gadis itu masih belum mengangkat kepalanya. "Katakan dimana letak kesalahanku karena ingin tinggal dengan orang tuaku? Kenapa aku harus pergi meninggalkan keluargaku?"
"Dia melukaimu, Sakura. Lelaki itu bahkan pernah nyaris membunuhmu."
Sakura menatap Naruto, mata gadis itu nampak terluka, tapi disana juga tampak keyakinan. "Tapi dia tetap ayahku, Naruto." Senyum sedih terlukis dibibir gadis itu. Naruto tertegun mendengarnya. "Meski sekarang Tou-sama berubah, tapi dulu dia pernah menyayangiku."
Naruto masih belum bisa menerimanya, "orang dewasa memang selalu begitu, dia menginggalkan kita ketika sudah bosan. Tidak ada salahnya jika kau sekarang meninggalkannya."
Sakura maju mendekati Naruto, jaraknya kini kurang dari satu meter. "Tapi aku tidak ingin kehilangan orang yang bisa aku sebut ayah. Aku menyayangi ayahku, seperti ayah dulu menyayangiku. Aku masih berharap, ayah kembali seperti dulu."
Naruto menggigit bibir bawahnya. Menahan kekesalannya.
"Aku akan tetap memilih ayahku dan menderita daripada harus meninggalkannya dan bisa bahagia. Karena kenyataannya, aku tak akan bisa bahagia tanpa ayah."
Pemuda Namikaze itu menarik sebatang rokok lagi, kemudian menyulutnya, menghisapnya dalam dan menghembuskan asapnya keudara. "Apa kau pernah merasa bahwa dunia ini tidak adil, Sakura? Merasa orang tuamu tidak sebaik orang tua anak lain?"
Senyum sedih milik Sakura kembali, "bohong jika aku bilang tidak pernah."
Naruto menghisap rokoknya dan Sakura masih belum bergerak dari posisinya.
"Mungkin dunia tidak adil, Naruto. Tapi ketidak adilan itu tidak bisa menghalangiku untuk merasakan kebahagiaan." Senyum Sakura tergantikan senyum lembut yang bisa membuat Naruto tertegun, "berbahagialah, jangan terlalu terpaku dengan luka masa lalumu dan meski sulit menerima kekejaman dunia ini."
Sakura hendak beranjak, namun suara Naruto menghentikannya.
"Aku tak hanya ditinggalkan oleh orang tuaku, tapi sahabatku pun pergi, meninggalkanku seolah aku tak punya harga. Dicampakkan begitu saja."
Sakura mendengarkan, kali ini menatap Naruto yang tampak begitu rapuh.
"Mungkin aku memang tidak berharga untuk diperjuangkan."
Sakura menghela nafas. "Tiap orang berharga, Naruto. Kehadiran tiap manusia di dunia ini punya makna bagi orang-orang disekitar mereka. Jangan cuma melihat mereka yang meningglkanmu, lihatlah juga mereka yang masih setia disisimu."
"Dan jika kau memang ingin lepas dari masa lalu menyakitkan itu, maka maafkan mereka yang meninggalkanmu, maafkan juga dirimu sendiri. Dengan begitu, apapun yang terjadi di masa depan, kau akan tetap baik-baik saja."
Sakura berbalik. Hendak beranjak pergi karena gadis itu merasa percakapan mereka sudah menyentuh titik akhir.
"Sakura..."
"Hm..."
"Terima kasih."
"..."
"Terima kasih karena membuatku bisa melihat kebahagiaan yang tersisa untukku. Kebahagiaan yang seharusnya bisa kurasakan sejak lama." Rokok Naruto sudah teronggok diatas tanah, terlupakan.
Sakura berbalik dan tersenyum manis. "Aku tahu kau pasti bisa berbahagia lagi, karena kau orang yang baik, Naruto-san."
Naruto menatap langit mendung Sapporo, dinginnya udara mulai terasa. "Dan mungkin kau bisa membuka jalanku untuk melepaskan orang itu."
"..."
"..."
"..."
"Hari ini aku kembali ke Tokyo dan aku berharap, ini bukanlah percakapan terakhir kita."
Sakura melangkah mendekati Naruto. Meraih lengan pemuda itu dan menyerahkan kalung berbandul kristal. "Jaminan hutangku." Senyum Sakura belum memudar. "Aku harap kau tidak membuangnya."
"Kau tahu aku tidak membutuhkannya."
Sakura mundur beberapa langkah. "Anggap saja ini tiket untuk pembicaraan kita selanjutnya." Sakura kali ini benar-benar beranjak pergi. Meninggalkan Naruto yang masih berdiri mengamati kalung berliontin kristal titipan Sakura.
Naruto tersenyum. Dadanya yang biasanya terasa dingin kini mulai menghangat. Hangat berkat kehadiran Sakura.
.
TBC
.
Chapter terpanjang yang saya tulis karena saya bingung mau motong dimana. Maaf kalau kepanjangan.
Sebenarnya cerita ini adalah multichap pertama yang saya garap paling serius, meski kadang alurnya bikin bingung. Intinya saya masih belajar, kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka.
Sign,
UM
