Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: AU. OOC. Typo. Gaje. Sedikit Shonen ai demi kelancaran cerita.

Yesterday and Tomorrow © UchihaMaya

.

.

.

.

Naruto membuka matanya saat merasakan hangat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia mengerang tertahan saat merasakan kepalanya yang serasa baru saja dihajar dengan palu godam raksasa.

"Sudah bangun?"

Naruto mengenali suara kakaknya, ia melirik kearah pintu kamar dan Kyuubi tengah berdiri sambil membawa nampan ditangannya. Pemuda berambut pirang kemerahan itu sudah rapi dengan celana bahan dan kemeja putih serta dasi yang menggantung dilehernya.

"Apa yang kau bawa?"

Kyuubi masuk dan meletakkan nampan itu dimeja nakas Naruto. "Sarapanmu. Kau demam."

Naruto hanya menghela nafas berat kemudian duduk dan menyandarkan tubuhnya dikepala ranjang. Kepalanya masih terasa sakit.

"Makan dan istirahatlah." Kyuubi kemudian beranjak meninggalkan kamar adiknya.

"Tapi aku harus berangkat ke Yokohama nanti sore."

"Kakashi yang akan kesana."

Naruto meraih makanan yang dibawa Kyuubi, "kenapa?"

Kyuubi menyandarkan tubuhnya di dekat pintu, "nenek memerintahkanmu untuk istirahat total selama tiga hari. Aku malas berurusan dengannya, jadi sebaiknya kau menurut saja." Dikatakan dengan nada seenaknya. Tapi entah kenapa Naruto tahu disana ada nada kepedulian seorang Namikaze Kyuubi.

"Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja."

Kyuubi berdecih. "Aku yang akan menangani kantor selama kau sakit, jadi pastikan kau membayarnya dengan sesuatu yang pantas." Kyuubi memelototi adiknya. "Istirahatlah, jangan membuatku terjebak di kantor terlalu lama."

Naruto mendengus, meniup bubur yang rasanya pahit di lidahnya. Sepertinya ia benar-benar sakit. "Hm,"

Kyuubi beranjak, "jika kau terganggu dengan perjodohan itu, aku bisa membatalkannya." Dengan itu Kyuubi benar-benar beranjak keluar dari kamar adiknya.

Naruto menghentikan suapannya. Ia menghela nafas lagi kemudian memeriksa ponselnya. Ada pesan dari Kiba dan Kakashi.

Kakashi mengabarkan jika perempuan yang akan dijodohkan dengannya adalah Shion Estelle Blanc, putri satu-satunya keluarga Blanc. Pemilik hotel Breeze.

Sementara Kiba memberinya informasi tentang keluarga Blanc. Keluarga tersohor di Perancis dengan bisnis hotel berbintang yang mendunia. Jonathan Blanc, pria yang menjadi kepala manajemen hotel sekaligus pemiliknya, sangat menyayangi putri tunggalnya hasil dari pernikahannya dengan seorang wanita Jepang, Miroku. Namun, Miroku telah lama meninggal dunia karena sakit.

Jadi, tidak heran jika Jonathan memperlakukan putrinya dengan sangat istimewa. Lelaki berambut pirang dan bermata biru, garis wajah keras dengan arogansi seorang bangsawan yang tergambar jelas, masih tampan diusianya yang menginjak angka lima puluh itu akan mengabulkan semua permintaan putri semata wayangnya, peninggalan terakhir istrinya.

Naruto menggeser layar ponselnya kebawah, menampakkan foto seorang gadis berambut pirang pudar dengan mata lavender jernih. Bohong jika Naruto mengatakan jika gadis itu tidak cantik. Apalagi dengan background keluarga semi bangsawan, jelas Shion memenuhi standar orang tuanya.

Naruto pernah bertemu dengan ayah gadis itu. Belakangan ini dia disibukkan oleh kerja sama bisnis dengan Breeze.

Disatu sisi Naruto ingin menolak perjodohan ini karena ia yakin tidak menyukai gadis cantik difoto ini serta wajah Sakura yang terus membayanginya belakangan ini. Dan disisi lain ia ingin menerimanya, ia tidak mau kerja sama bisnisnya kacau karena masalah pribadi.

Naruto menghela nafas dan meletakkan nampan makanannya dimeja nakas. Ia merasa tubuhnya lengket dan berbau alkohol. Ia ingin membersihkan diri dulu.

Tapi, sebelum niatannya terlakasana, ponselnya berdering dan sebuah pesan masuk.

Pertemuan dengan keluarga Blanc malam ini di Four Season, pukul 6. Kuharap kau tidak terlambat. Minato.

.

"Sepertinya aku tidak bisa menemanimu makan malam. Pekerjaan disini ternyata lebih memakan waktu daripada dugaanku." Kyuubi berujar cepat dari ujung sambungan. Tampak jelas jika lelaki itu sedang banyak pikiran dan kesal.

Naruto hanya mendengus kecil. "Tidak masalah. Aku justru khawatir jika kau hadir. Aku tidak tahu kekacauan macam apa yang akan kau bawa." Ucap Naruto dengan nada menyidir.

"Brengsek." Umpat Kyuubi. "Bagaimana demammu?"

"Bukan masalah, aku bukan anak kecil lagi."

"Baiklah." Terdengar suara berisik pena menggores kertas, "jika terjadi sesuatu segera hubungi aku." Dan setelah itu suara sambungan terputus terdengar.

Naruto melatakkan ponselnya di ranjang, ia kemudian memakai jas hitam formalnya, bersiap menemui orang yang akan dijodohkan dengannya.

Ia menatap pantulan wajahnya yang masih terlihat pucat dicermin, kemudian memijit keningnya yang sakit dan ia merasa masih demam.

Sebenarnya Naruto tidak terlalu terusik dengan pertemuan ini. Tapi, saat ia tanpa sengaja menatap kalung berbandul kristal yang tergantung dilehernya, ada rasa tak rela yang tiba-tiba timbul.

Naruto bukan orang yang pandai dan peka terhadap perasaannya sendiri. Ia mungkin pandai menganalisis dan menarik kesimpulan tentang apa yang dirasakan orang lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri.

Naruto menghela nafas panjang. Entah kenapa ia merasakan sesak didadanya.

Ia menyisir rambut pirangnya menggunakan tangan, menatap langit-langit kamarnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak ingin keluar, perasaan meluap yang ia tidak mengerti sebenarnya ia tujukan pada siapa.

Ia benci sesuatu yang diluar kendalinya. Ia membenci sesuatu yang tidak ia ketahui asalnya, karenanya ia benci pada perasaannya saat ini. Karena ia tidak tahu bagaimana cara meredakannya.

.

Denting alat makan terdengar dari penjuru ruangan. Alunan musik klasik menyapa pendengaran. Restoran itu sudah dipesan keluarga Namikaze untuk malam ini. Pertemuan dua keluarga besar untuk membicarakan sesuatu yang serius.

Naruto yang duduk disamping ibunya, berhadapan dengan seorang gadis cantik berambut pirang pucat yang tak henti-hentinya menatap Naruto. Namun bukan tatapan memuja yang sering ia terima dari penggemarnya, tapi tatapan penasaran yang sama sekali tidak mengganggu Naruto.

Mereka tengah menikmati makanan penutup, yang artinya sebentar lagi pembicaraan mereka akan segera dimulai.

Naruto menyesap wine digelasnya dengan khidmad, berusaha mengabaikan orang-orang disekeliling meja. Pemuda itu menatap perempuan didepannya dan tersenyum singkat

"Kami sudah membicarakan soal perjodohan ini, dan kami rasa itu bukanlah hal yang buruk." Ucap Minato.

Lelaki yang duduk berhadapan dengan Minato menyahut. "Karena putriku tidak keberatan dengan hal itu, aku menyetujuinya. Daripada itu, bagaimana kalau kita langsung mengadakan pertunangan saja?"

Naruto yang awalnya diam akhirnya membuka suara. "Pertunangan?" Naruto berdehem. "Maaf, aku menyela, tapi tidakkah itu terlalu terburu-buru, Sir?"

Jonathan hanya menggeleng. "Kita sudah beberapa kali bertemu untuk urusan bisnis, dalam penilaianku, aku bisa mempercayakan putriku padamu."

Naruto menatap Shion sejenak. "Maafkan saya jika terdengar lancang," Naruto beralih menatap Jonathan. "Saya belum menyetujui perjodohan ini."

Ekspresi semua orang berubah mengeras.

Naruto melanjutkan, mengabaikan tatapan marah orangtuanya. "Saya merasa perjodohan ini tidak akan membahagiakan kami, maksud saya, Miss Blanc dan saya, karena saya tidak yakin bisa membahagiakannya." Naruto berusaha mengeluarkan kalimat diplomatis.

"Kenapa kau tidak mencobanya dulu, Mr. Namikaze?"

"Saya tidak ingin menyakiti putri anda. Saya juga tidak ingin melibatkan diri dengan hal-hal seperti ini."

Sebelum pembicaraan itu lebih memanas, Kushina menyela.

"Bagaimana kalau kita tinggalkan mereka berdua dahulu, Jonathan? Kurasa putraku dan putrimu perlu berbicara."

Jonathan menatap putrinya sesaat dan gadis itu tersenyum sambil mengangguk kecil.

Jonathan berdiri diikuti Kushina dan Minato, meninggalkan muda-mudi itu berdua.

Hening, Naruto mengangkat winenya lagi dan meneguknya hingga tandas. Kepala Naruto terasa pening, ia benci menghadapi orang keras kepala macam Jonathan, karena mereka sukar menyerah pada keinginan mereka.

"Jadi, kau menolakku?" Shion yang malam itu mengenakan long dress toska yang menutupi separuh bahunya, rambut pirangnya tersanggul diatas kepala menampakkan leher jenjangnya. Perempuan itu tampak cantik, lebih cantik daripada foto yang diperlihatkan Kiba.

Naruto menatap Shion. "Maafkan aku."

Shion menyesap winenya, "apa aku seburuk itu?"

Naruto tersenyum, "kau cantik, jika itu yang kau tanyakan. Aku hanya tidak menyukai konsep perjodohan ini."

"Kau tahu, Naruto-san, aku menyukaimu."

Naruto diam.

"Dan meski kau menolakku, aku masih menyukaimu." Senyum Shion belum lepas dari bibirnya.

Naruto menatap langsung mata gadis didepannya, "maafkan aku." Ada penyesalan dan ketegasan dalam ucapan pemuda itu, membuat Shion semakin tertarik.

Shion bangkit dari kursinya, "karena calon tunanganku menolakku, aku akan pergi sekarang." Perempuan itu hendak menghampiri ayahnya, "aku akan menunggumu, tapi tidak lama, siapa tahu kau berubah pikiran." Shion tersenyum.

"Aku permisi dulu." Ucapnya sopan.

Setelah pasangan ayah anak itu meninggalkan restoran, Minato menghampiri Naruto yang sudah beranjak.

"Kau berniat mempermalukan aku, Naruto?" Minato mencekal lengan Naruto, menahan langkah pemuda itu.

Naruto berhenti dan melepaskan tangan ayahnya. "Sejak awal Ayah tahu aku tidak menyetujui rencana Ayah." Ucap Naruto tenang. "Dan karena kurasa Ayah tidak akan mau mendengarkanku, makanya aku menyetujui pertemuan hari ini untuk mengatakan apa yang kupikirkan pada Sir Jonathan."

"Dia gadis baik. Dia pantas menyandang nama Namikaze, dia pantas menjadi istrimu."

"Aku tahu dia baik ayah, dia sempurna jika itu yang Ayah maksudkan."

"Lalu kenapa kau menolaknya?"

"Aku hanya tidak ingin gadis sepertinya terjebak dalam perjodohan ini. Dan yang lebih penting aku tidak mau Ayah dan Ibu ikut campur urusan percintaanku."

"Percintaanmu dengan bajingan Uchiha itu?"

Naruto menegang. Kushina segera menghampiri kedua orang dengan paras identik itu, mencoba menenangkan mantan suaminya.

Naruto menatap ayahnya, ada perasaan marah yang meluap hingga membuatnya merasa ingin meremukkan sesuatu, ia benci saat seseroang mengungkit sesuatu yang ia coba kubur dengan susah payah. Ia benci saat orang yang dulu sangat dibutuhkannya tapi tidak pernah ada mengungkit luka lamanya, aibnya, dosanya.

Ia benci pada dirinya yang akhirnya kembali mengaingat betapa menyedihkan dirinya.

"Ya, anakmu ini menyukai laki-laki. Lantas kenapa?" Kalimat itu meluncur begitu saja.

Minato melotot murka, "KAU…"

"…kenapa? Ayah merasa malu? Lalu kenapa Ayah masih mengakuiku yang menjijikkan ini sebagai an_"

"PLAK"

Tamparan itu keras serta membekas. Kepala pemuda itu sampai terlempar kesamping. Kepala Naruto terasa pening kembali. Bibir kirinya robek.

"Kau bukan anakku lagi." Ucap Minato dingin, kemudian meninggalkan pemuda itu.

Kushina menatap kepergian Minato dalam diam, wanita itu menghampiri Naruto.

"Narut_"

Tangan Kushina yang hendak menyentuh Naruto ditepis. "Maaf, Ibu."

Naruto menatap Kushina dan tersenyum tipis. Kemudian ia berbalik, meninggalkan restoran dengan langkah lunglai.

Kushina terdiam, menyadari sorot mata putus asa dan hancur putranya, serta sekilas air mata yang terjatuh dari sudut matanya.

.

Kyuubi murka. Pagi ini adiknya tidak kembali. Sai bahkan tidak mendapat apa-apa dari pencariannya.

Pemuda itu kini tengah berada dikantor, mengurus segala pekerjaan Naruto. Namun, mulutnya tidak berhenti berbicara di telepon.

"Aku tidak mau tahu, aku ingin kau menemukan Naruto secepatnya." Pemuda itu memberi tekanan berlebihan pada kata secepatnya. "Atahu minimal temukan lokasinya."

"Meski kau bilang begitu, Kyuubi, agak sulit melacak Naruto kali ini. Dia melakukan penarikan uang terakhir kali di Four Season. Ponselnya kutemukan di tong sampah hotel itu." Kyuubi bisa merasakan Sai tengah tersenyum seperti biasanya. "Kurasa dia memang tidak ingin ditemukan."

Kyuubi mengerang frustasi. Ia membanting dokumen yang telah selesai ia periksa. Demi tuhan, kenapa susah sekali hidup tenang di tengah keluarga Namikaze. Ia sudah lelah menghadapi amukan neneknya. Apalagi kali ini Naruto menghilang dalam keadaan sakit dan seusai bertengkar dengan Minato. Amukan Tsunade makin menjadi, apalagi Jiraiya sedang tidak ada ditempat. Entah kemana kakek tua itu pergi.

"Persetan, Sai. Aku ingin kau menemukannya. Bagimanapun caranya." Kyuubi menutup sambungan teleponnya dan membanting handphonenya ke atas meja.

Kyuubi mendesah frustasi. Hari ini ia mengurus pekerjaan di kantor sendirian. Kakashi belum kembali dari Yokohama, memang kunjungan kesana dijadwalkan selama tiga hari. Dan tentu saja, tanpa sekretaris, pekerjaan dikantor terasa semakin banyak. Belum lagi kasus-kasus yang harus ia tangani di firma hukumnya. Ia bisa gila karenanya.

Kyuubi menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi. Langit menghitam, sebentar lagi pasti turun hujan.

Ia hanya bisa berharap saudaranya baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh.

Kyuubi bangkit dari kursinya dan membereskan dokumen dimejanya, ia harus pergi ke rumah utama sekarang. Neneknya yang murka memanggil dua orang terakhir yang bersama Naruto tadi malam, orang tuanya.

.

Tsunade menatap Kushina dan Minato dengan pandangan marah yang tidak ditutup-tutupi. Ia sudah memperingatkan mereka sejak awal agar hal semacam ini tidak terjadi, dan voila apa yang didapatnya? Cucunya menghilang entah kemana.

Kushina diam saja sejak awal. Entah kenapa bayangan wajah Naruto malam itu terus membayangi. Dalam lubuk hatinya ia merasa bersalah pada anak-anaknya yang telah ia tinggalkan. Ia tahu ia telah gagal sebagai seorang ibu dan kini ia mungkin bisa memahami perasaan putra-putranya.

Sementara Minato juga sama diamnya. Tidak berniat mengelurkan pembelaan apapun dihadapan murka sang ibu.

Tsunade memijit pangkal hidungnya, ia benar-benar merasa sepuluh tahun lebih tua dari usianya saat ini.

"Aku sudah memperingatkan kalian sejak awal bukan?"

Tak ada jawaban.

Tsunade menghela nafas panjang kemudian memberi isyarat kepada Shizune yang sejak tadi berdiri dibelakangnya untuk menyeduh teh.

"Naruto menolaknya, benar begitu?"

Masih tak ada jawaban.

"Bisakah kalian menjelaskan apa yang terjadi malam itu? Minato?" Tsunade menatap satu-satunya pria diruangan itu dan Minato masih mempertahankan ekspresi bekunya.

"Biar aku yang menjelaskannya, Ibu." Kushina memilih mengalah. Ia tahu ego mantan suaminya. "Ya. Naruto memang menolaknya. Tapi bukan itu yang membuat Naruto pergi."

Kushina sedikit ragu untuk mengatakannya, "kami membicarakan tentang Uchiha."

"APA!?"

Shizune yang membawa nampan nyaris menjatuhkannya.

"Keadaan sedikit tidak terkendali, Ibu. Minato dan Naruto sama-sama emosi, nama Uchiha terucap begitu saja. Hingga…"

"…aku tidak sudi menganggapnya sebagai anakku."

Tsunade membelalakkan matanya. Tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Minato.

"Minato…" Gumam Kushina, memperingatkan mantan suaminya untuk tidak memperkeruh suasana.

"Beraninya kau mengucapkan hal itu." Tsunade benar-benar murka.

Minato masih dengan ekspresi kakunya. "Aku tidak sudi punya anak yang menyukai sesamanya." Ucap Minato pedas.

Tsunade berusaha meredam amarahnya. Wanita itu mengambil cangkir berisi teh yang dihidangkan Shizune.

"Minato, hentikan." Ucap Kushina tajam. "Dinginkan kepalamu."

Tsunade menatap Kushina sejenak sebelum beralih kepada Minato. "Kalian tahu alasanku melarang kalian membicarakan orientasi Naruto yang menyimpang? Berpura-pura tidak tahu akan hal itu?"

Tsunade meletakkan cangkirnya diatas tatakan. "Aku melarangnya karena Naruto akan langsung mengakhiri hidupnya detik kalian membicarakan hal itu."

Dua orang didepannya agaknya terkejut. Memang dari dulu Tsunade meminta mereka untuk diam perkara menyimpangnya Naruto tanpa mengatakan alasannya.

"Kalian tidak tahu betapa anak itu frustasi dan jijik pada dirinya sendiri." Tsunade tampak menerawang, "ia sangat membenci dirinya sendiri melebihi kalian."

"…"

"…"

"Berkali-kali ia mencoba membuang nyawa, merusak dirinya karena perasaan yang ia punya. Ia ingin mengadu tapi ia tak tahu harus bicara pada siapa saat orang yang paling ia butuhkan malah menghilang entah kemana."

Minato dan Kushina tahu yang dibicarakan Tsunade adalah mereka berdua.

"Minato, Kushina, setelah Naruto kembali, kurasa ada banyak hal yang harus kalian bicarakan. Antara orangtua dan putra yang kalian tinggalkan."

Tsunade bangkit, berjalan keluar dari ruang keluarga diikuti Shizune. Didekat pintu masuk, Kyuubi berdiri menyandarkan tubuhnya didinding, bisa Tsunade tebak pemuda itu mendengar semua pembicaraan mereka.

"Ternyata kau bisa berkata bijak, Nek?"

Tsunade mendengus kemudian memberi isyarat pada Kyuubi untuk mengikutinya. "Kurasa ibumu menyadarinya, luka Naruto, luka kalian."

Kyuubi mengangkat bahunya.

"Kau sudah mendapat informasi?"

"Belum. Sai bilang Naruto memang sedang tidak ingin ditemukan. Pilihan paling bijak yang bisa kita lakukan hanya berdoa dan berharap dia segera kembali."

Ya, yang bisa mereka lakukan sekarang hanya menunggu. Karena tampaknya, Naruto benar-benar tidak ingin ditemukan.

.

TBC

.

Saya pakai Shion dengan image lady-like yang sempurna. Saya tahu, ini bakal jadi kayak drama picisan, tapi, well, juat let it be, *dibalang*.

Akhir kata, terima kasih yang sudah menyempatkan membaca dab mereview. Kritik dan saran selalu saya terima dengan tangan terbuka.

See ya next chapter.