Naruto © Masashi Kishimoto Warning: AU. OOC. Typo. Gaje. Drama. Dan segala kekurangan lainnya. Yesterday and Tomorrow © UchihaMaya
.
.
.
.
Shion Estelle Blanc. Wanita itu bukan hanya cantik tapi juga pintar. Dibesarkan oleh keluarga macam Blanc, jelas membuatnya dituntut untuk menguasai berbagai macam ilmu untuk menunjang jabatannya dimasa yang akan datang, memegang manajemen tertinggi bisnis keluarganya.
Dari pertemuannya dengan keluarga Namikaze malam itu, ia bisa menyimpulkan dalam sekali lihat, jika Namikaze Naruto bukan laki-laki yang mudah untuk didekati. Sayangnya ia terlanjur jatuh hati pada lelaki itu. Dan sebagai seorang Blanc, mundur adalah kata yang pantang ia lontarkan.
Shion menyesap teh yang tersaji didepannya. Ia tengah menikmati afternoon tea dengan seorang wanita cantik bersurai merah panjang, Uzumaki Kushina.
"Maafkan kelakuan putraku, Shion. Dia memang berdarah panas, sama sepertiku." Kushina meletakkan cangkirnya dengan gerakan luwes yang tidak dibuat-buat.
Shion terpukau dengan keanggunan wanita didepannya. Ia mungkin mengerti kenapa Namikaze Minato yang tersohor itu memutuskan menikahi wanita didepannya ini. Uzumaki Kushina jelas memiliki kualitas setingkat diatasnya dan itu membuatnya kembali memikirkan keputusannya untuk menerima perjodohan itu. Pantaskah ia mendampingi putra wanita sempurna dihadapannya ini?
"Tidak apa-apa, Bibi. Naruto-san hanya mengatakan keinginannya."
"Anak itu tidak sesempurna yang terihat." Kushina menatap Shion lembut. "Ia mempunyai banyak celah. Karena itu aku bertanya sekali lagi, masihkan kau menyetujui perjodohan ini, Shion?"
Shion menunduk, menatap earl gray didepannya. Shion, menimbang kembali keputusannya. "Aku akan menunggu."
Kushina lagi-lagi tersenyum. "Aku sungguh ingin menjadikanmu pendamping Naruto. Tapi…"
Shion menunggu kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan Kushina.
"…aku khawatir kau akan menjadi pihak yang tersakiti jika tetap menunggu."
Shion tahu maksud Kushina. Ia tahu apa yang hendak disampaikan wanita itu. Mantan istri Namikaze Minato itu ingin menyampaikan bahwa Naruto tidak menginginkannya. Naruto tidak menginginkan perjodohan ini dan Shion sangat tahu akan kenyataan itu.
"Aku tahu Naruto-san tidak menginginkanku. Tapi, Bibi, izinkan aku menunggu sebentar lagi. Jika memang perasaan ini tidak bersambut, aku akan mundur."
Kushina mengamati raut wajah tenang Shion, kemudian menghela nafas. "Kalian sama-sama keras kepala. Tapi jika itu memang keputusanmu, aku akan mengizinkan."
Shion tersenyum, "terima kasih, Bibi."
"Maaf membuatmu terlibat dengan hal ini, Shion."
.
Naruto menyusuri jalanan lengang Sapporo dengan sebatang rokok dibibirnya. Dalam keheningan ia mengamati jajaran rumah yang ia lewati. Yang ia lakukan dari kemarin malam hanya berjalan dan singgah dikedai minuman yang tak begitu ia ingat.
Ia menghentikan langkahnya ditempat terakhir ia menjumpai Sakura.
Naruto menatap langit mendung diatasnya. Awan menggumpal menutupi menutupi cakrawala pertanda akan hujan, angin dingin berhembuh membuatnya menggigil. Jas yang dikenakan Naruto tidak bisa menghalau hawa menusuk di akhir musim dingin.
Rokok dibibirnya memendek dengan cepat, kemudian pemuda bersurai pirang itu menggantinya dengan batang yang baru.
"Hachoo!"
Sepertinya kondisinya semakin memburuk.
Naruto menghela nafas berat. Setelah pertengkaran dengan ayahnya, ia langsung terbang ke Sapporo. Ia tidak terlalu ingat apa yang ia lakukan, ia hanya mengikuti instingnya untuk pergi ketempat ini. Naruto bahkan tidak yakin apa tujuannya datang ketempat ini. Untuk menenangkan diri, melupakan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu, melarikan diri, atau untuk menemui gadis bersurai merah muda itu sekali lagi.
Asap rokok membumbung diudara. Naruto kembali memikirkan kata-kata Minato.
"Kau bukan anakku lagi."
Senyum miring terlukis dibibir Naruto. "Kukira kau tak pernah mengakuiku." Ucap pemuda itu sendu.
Ya. Naruto kira Minato tak lagi mengakuinya sebagai anaknya ketika lelaki itu memutuskan bercerai. Karena Minato tampak tidak peduli lagi pada anak-anaknya. Karena ia diam saja saat Naruto dan Kyuubi memohon agar kedua orang tuanya tidak berpisah, tidak meninggalkan mereka. Minato tak lagi menemui mereka, ia seolah menghilang ditelan bumi.
Ia mengira ayahnya sudah membuang mereka lima belas tahun yang lalu. Karenanya ia sudah siap jika dugaannya selama ini benar.
Ternyata ia salah. Entah kenapa ia merasa terluka, merasa benar-benar ditinggalkan. Bahkan rasanya lebih menyakitkan daripada saat kepergian Sasuke tiga tahun yang lalu.
Asap rokok kembali membumbung diudara.
"Naruto-san?"
Seseorang memanggilnya ragu-ragu. Naruto membalikkan tubuhnya dan netranya menangkap sosok yang belakangan ini memenuhi kepalanya.
"Saku…ra."
"Naruto-san, apa yang kau lakukan disini?"
Naruto kehilangan suaranya. Entah kenapa seluruh emosinya meluap begitu saja saat Sakura muncul.
Sakura mendekat hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa langkah. "Astaga, apa yang kau lakukan dicuaca seperti ini tanpa pakaian hangat?"
Naruto masih tak sanggup menjawab. Ia masih menatap Sakura tanpa berkedip.
"Narut_"
"BRUK!?"
Sakura merasa tubuhnya ditarik dengan cepat dan detik selanjutnya ia dapat merasakan rengkuhan lengan kokoh Naruto disekeliling tubuhnya.
"Naruto-san?" Sakura mencoba mendorong Naruto, namun pemuda itu bergeming.
Hembusan nafas hangat terasa dikepala Sakura. "Diamlah untuk sebentar saja, Sakura, kumohon."
Suara Naruto lirih dan bergetar, nyaris menyerupai bisikan, lelaki itu menyandarkan dagunya dipuncak kepala Sakura dan Sakura memutuskan untuk diam.
Naruto tidak begitu paham, namun ia merasa membutuhkan gadis direngkuhannya ini untuk menguatkannya. Ia membutuhkan Sakura untuk tetap tegar.
Pemuda itu menghirup aroma cherry lembut dari tubuh gadis itu yang terasa menenangkan. Menguapkan semua pikiran dan bayang-bayang menyedihkan yang ada di kepalanya.
Naruto tak lagi mempedulikan apapun. Yang jelas, ia tidak ingin kehilangan perempuan dalam dekapannya ini.
Mereka terdiam dalam posisi itu selama beberapa menit hingga Naruto membuka suara.
"Ne, Sakura, maukah kau menikah denganku?"
.
"Kau yakin?"
Sai mengangguk sebelum duduk disofa. Senyum menyebalkan tak lepas dari bibirnya.
"Kurasa kau tidak perlu mencem_"
"_kita ke Sapporo!" Kyuubi sudah bangkit lebih dulu dari kursinya dan menyambar jas yang tergantung di sandaran.
Sai belum bergeser dari posisinya. Masih duduk dengan santai, "oi, oi, kau bahkan tidak mendengarkan penjelasanku, Bos."
Kyuubi mendecih pelan dan mendelik kepada pemuda berambut hitam itu. Ia mengisyaratkan padanya untuk segera bangkit.
Kyuubi hendak meraih pegangan pintu sebelum pintu itu terbuka dari luar dan seseorang muncul.
"Mau kemana, bocah?"
Namikaze Jiraiya, menghadang langkah Kyuubi.
Kyuubi sendiri mendelik pada kakeknya yang tiba-tiba muncul. "Bukan urusanmu."
Jiraiya masuk keruangan, kemudian duduk di sofa diseberang Sai. "Dia akan baik-baik saja, Kyuubi. Naruto akan segera kembali."
Kyuubi masih belum melepas tatapan tajamnya, tapi pemuda itu memutuskan ikut duduk disamping Sai. "Kau tahu Naruto pergi kesana." Ucap Kyuubi, menuduh.
Jiraiya mengangkat bahu, "kenapa aku bisa tidak tahu? Dia cucuku." Balasnya, lebih terdengar menyindir Kyuubi yang kalang-kabut mencari keberadaan adiknya.
"Lantas kenapa kau tidak membawanya kembali?"
"Untuk sementara, biarkan saja adikmu itu." Jiraiya menaruh map yang sedari tadi ia pegang di atas meja. "Aku kesini untuk membahas permintaanmu kemarin."
Kyuubi mendengus. "Kau… tidak menyerujuinya?"
Jiraiya tertawa. "Aku setuju, tapi dengan satu syarat."
Kyuubi mengangkat satu alisnya.
"Segera selesaikan urusanmu dengan Temari." Jiraiya menatap cucunya dengan serius, "aku tidak mau Sabaku Gaara mempunyai status tidak jelas dimasa depan kelak," Ucap orang tua itu tegas.
Kyuubi menghela nafas, ia sudah memperkirakan hal ini sebelumnya dan ia bahkan sudah berencana menemui Temari dalam waktu dekat. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Baiklah."
Jiraiya tersenyum tipis. Lelaki tua itu kemudian bangkit berdiri, "hanya itu yang ingin kubicarakan. Naruto akan kembali besok." Dengan itu Presdir Namikaze Group meninggalkan ruangan.
Kyuubi hanya diam menatap kepergian kakeknya.
"Jiraiya-sama yang membawa Naruto ke Sapporo." Ucap Sai.
Kyuubi tidak bereaksi.
Sai bangkit, "aku pergi sekarang, Bos."
.
Sakura mendorong Naruto,menatap pemuda itu dengan tatapan tidak percaya. "Kau bercanda?"
Naruto menatap Sakura dengan pandangan yang sulit dibaca. "Aku serius, Sakura. Menikahlah denganku."
"Kau tidak punya alasan untuk menikahiku."
"Aku menginginkanmu."
Sakura mundur, menggelengkan kepalanya. "Kau hanya sedang terbawa suasana, Naruto-san. Kau tidak akan meminta perempuan yang baru kau temui beberapa kali untuk menikah denganmu."
"Tapi jantungku berdetak kencang saat aku bersamamu. Aku menyukai saat-saat kita bersama."
"…"
"Sakura, please, katakan kau mau menikahiku." Naruto berusaha meraih lengan Sakura, namun ditepis perempuan itu.
"Berhenti berucap omong kosong."
"Kalau begitu bisa kau jelaskan kenapa aku begitu menginginkanmu? Bisa kau artikan perasaan gelisah saat aku jauh darimu?"
"…"
"Bisa kau jelaskan kenapa aku memilih kembali kemari?" Naruto menatap Sakura putus asa. Jujur ia sudah lelah dengan segala drama yang terjadi dalam keluarganya. Ia sudah muak tentang persoalan perusahaan, pewaris, perjodohan, serta masa lalunya.
Naruto ingin berhenti. Dan ia berharap pemberhentian terakhirnya, orang yang bisa membahagiakannya dan pantas ia bahagiakan adalah Sakura. Bukan wanita lain diluar sana.
"Aku ingin membuang segala keraguanku. Aku hanya ingin meyakini jika apa yang kurasakan selama ini adalah pertanda jika aku telah jatuh cinta padamu." Naruto memutuskan, selama perjalanan ke Sapporo ia mengulang semua yang telah terjadi pada dirinya dan menarik sabuah kesimpulan yang akan membawanya pada keputusan terbesar dalam hidupnya.
Naruto menjatuhkan lututnya keatas tanah. "Aku bukan orang yang suka berbasa-basi." Naruto menengadah menatap lurus kearah emerald Sakura. "Aku menginginkanmu, Sakura. Kumohon, menikahlah denganku." Naruto menelan ludahnya paksa, "aku membutuhkanmu."
Sakura menggigit bibir bawahnya, bnmatanya berkaca-kaca. "Maafkan aku."
"…"
Sakura kembali melangkah mundur. "Aku… tidak bisa. Aku sudah terikat dengan orang lain." Sakura menatap Naruto dengan ragu, penuh kesedihan. "Maafkan aku, Naruto-san."
Dan Sakura pun berbalik dan berlari meninggalkan Naruto. Berlari dari seseorang yang baru saja menyentuh dan menggetarkan hatinya.
Naruto menatap punggung Sakura dengan pandangan sulit dibaca. Pemuda itu bangkit dan membersihkan celananya. "Aku mungkin terlalu lambat menyadari perasaanku sendiri, Sakura." Naruto menarik bang rokok dari sakunya dan menyulutnya. "Tapi aku bisa tahu jika kau telah mempertimbangkan tawaranku."
Naruto meninggalkan tempat itu dengan rokok terjepit disela bibirnya. Sepetinya ia harus menemui seseorang.
.
Sakura, ia lahir di musim semi. Anak dari hasil hubungan gelap Sarutobi Mebuki dan Haruno Hiro. Ia tidak diinginkan. Ia anak yang lahir dari sebuah kesalahan. Kesalahan yang pada akhirnya menghancurkan hidup orang tuanya, terutama hidup Hiro. Pun menghancurkan hidup Sakura bahkan sejak sebelum ia hadir di dunia.
Jadi saat keluarga ibunya datang dan menawarkan keluarga, Sakura tak tahu harus berbuat apa. Ia baru saja kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Ia hancur, karena seseorang yang bisa ia anggap keluarga meninggalkannya sendirian. Meski Hiro membenci Sakura, tapi pria itu tak pernah sekalipun membuang Sakura.
Kemudian pamannya datang, menawarkan kesepakatan, dengan kata lain keluarga Sarutobi membutuhkan anak perempuan. Jujur saja sakura tak mau lagi menjadi bagian dari keluarga itu, karena kembali kesana sama saja dengan menyerahkan kebebasannya. Menjadi bagian dari mereka berarti hidup sakura sudah diatur, didekte, ia tinggal mengikuti jalan yang telah mereka buat tanpa bisa berbelok atau kembali.
Sarutobi Hiruzen pernah membuang Sakura setelah Mebuki mati. Satu-satunya alasan mereka menjemput kembali Sakura hanya satu, mereka perlu boneka untuk mempertahankan kerajaan bisnis mereka.
Tapi, bukannya sudak tidak ada lagi yang bisa dilakukan seorang Haruno Sakura sekarang? Sebatang kara dan tak punya alasan untuk melanjutkan hidupnya yang menyedihkan. Ia tidak tahu harus bagaimana dengan kebebasan yang ia miliki.
Kembali kepada kakeknya bukan berarti memberikan Sakura alasan untuk hidup, tapi setidaknya ia punya sesuatu yang bisa ia kerjakan. Karenanya ia memilih kembali, ia pun menyetujui syarat yang diajukan pamannya, ia menyetujui perjodohan dengan Hyuuga Neji. Hyuuga yang dari dulu selalu baik padanya. Ia pikir ia tak punya alasan untuk menolak lelaki itu.
Ia tidak bimbang, namun sebagian hatinya merasa enggan. Ia tidak bimbang, tidak sebelum ia kembali bertemu dengan lelaki pirang yang entah sejak kapan selalu berhasil menarik perhatiannya. Lelaki yang membuat jantungnya berdetak tidak normal hanya karena pandangan sapphire yang seolah menawarkan kehidupan padanya.
.
"Sakura, besok kita berangkat. Kau sudah siap-siap?"
Gadis berumur 19 tahun itu tersentak dari lamunan panjangnya. Ia menoleh pada lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Hyuuga Neji, pemuda itu datang menjemputnya.
Sakura mengangguk. Kemudian netranya kembali terfokus keluar jendela.
Neji menghela nafas. Sudah sejak sore tadi gadis itu diam disana tanpa melakukan apa-apa. Pemuda itu berjalan mendekati Sakura dan mengambil tempat duduk didepan gadis itu.
"Apa yang kau pikirkan?"
Sakura diam. Tak berniat sedikitpun untuk menjawab.
Pemuda berambut coklat panjang itu melanjutkan, "pertunangan kita akan dilaksanakan besok lusa." Neji berusaha memilih kalimat yang tepat. "Jika kau keberatan dengan perjodohan ini, kita masih bisa membatalkannya."
Haruno Sakura, atau sekarang lebih tepat disebut sebagai Sarutobi Sakura, gadis merah muda itu menatap Nej. Manik emeraldnya yang redup dan dalam menghujam langsung manik perak milik Neji.
"Aku tidak bisa membatalkannya, jika itu yang kau maksudkan." Suara gadis itu tenang.
"Kau tidak menginginkannya."
Sakura tersenyum tipis, "kau bisa membatalkannya jika mau. Kakek akan mencari orang lain untukku."
"Sakura…"
"Neji-san, jika kau merasa dirugikan dengan hal ini, kau bisa mundur. Lagipula tak ada yang membanggakan dari seorang anak haram sepertiku." Ucapan gadis itu tajam.
Neji mencoba tenang, "yang kumaksud, kau akan terluka pada akhirnya jika tetap melanjutkan hal ini. Dan tidak, aku tidak keberatan dengan dirimu. Kau sudah tahu jika aku telah lama menyukaimu."
"Kenapa kau menerimanya?"
"Karena aku mencintaimu."
Sakura menggeleng, "kau tahu pasti aku tidak akan pernah bisa membalasmu. Perasaan macam itu telah lama meninggalkanku."
"Lantas bagaimana dengan lelaki yang kau temui saat jalan-jalan soremu tadi?"
Sakura diam, wajahnya mengeras.
"Kau menyukainya…"
"Cukup, Neji-san." Sakura berdiri, "kutegaskan sekali lagi, jika kau tidak ingin melanjutkan pertunangan ini, kau bisa mundur sekarang juga."
Neji diam beberapa saat, "kau yang paling tahu jika aku tak mungkin melakukannya."
Sakura beranjak menuju pintu kamarnya, "setidaknya aku bersyukur, bukan orang asing yang akan menghabiskan sisa hidup denganku."
Dengan itu Sakura menghilang dibalik pintu.
Neji mendesah lelah. Bukan ia tidka menginginkan Sakura, justru ia sangat bahagia mendapat kesempatan untuk menjadi pendamping hidup gadis itu. Hanya saja, setelah 15 tahun berlalu, terlalu banyak yang berubah dari Sakura.
Neji menyukainya, bahkan sejak sebelum ia masuk ke sekolah. Ia tak pernah bisa berhenti menyukai Sakura. Ia sering menggandeng banyak perempuan, tapi ia tak pernah bisa mencintai mereka.
Ia sering mengunjungi Sakura. Dan ia tahu, perasaannya pada gadis itu belumlah sirna. Hanya saja, ia bisa tahu, tiga bulan belakangan banyak yang berubah. Entah bagaimana ia bisa tahu jika Sakura tengah tertarik pada seseorang, belum lagi kalung Kristal yang selalu melingkar dileher Sakura.
Sore tadi, Neji menemukan jawabannya. Ia melihat Sakura berbicara dengan seorang lelaki berambut pirang yang wajahnya dihafal Neji sebagai pewaris Namikaze. Neji pernah bertemu dengannya beberapa kali.
Dan melihat reaksi aneh Sakura, ia tidak bisa untuk tidak menyimpulkan jika Sakura tertarik pada Namikaze Naruto. Atau bahkan telah jatuh cinta pada lelaki itu dan Neji jelas tidak menyukai hal itu.
.
"Dia apa?"
Ekspresi Naruto masih tenang, tapi mata sapphirnya memancarkan keterkejutan dan kekecewaan.
Shikamaru mengenali tatapan itu. Lelaki itu menghela nafas, "sebenarnya aku tak ingin memberitahumu, tapi kurasa kau akan segera tahu begitu kembali ke Tokyo."
Naruto menghempaskan tubuhnya kesandaran sofa, menyulut rokok dan menghisapnya kasar. "Kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal?"
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
Naruto menatap Shikamaru, tajam. "Setidaknya aku bisa membantunya."
Shikamaru ikut menyalakan sebatang rokok, melangkah menuju pintu beranda yang terbuka. "Kau tahu kan siapa Sarutobi?"
Naruto mendengus, "Meski aku tidak terlalu suka dengan Hiruzen dan Asuma, tapi pewaris mereka, Konohamaru, anak yang menyenangkan." Lelaki itu menghela nafas,"kakek belum berdamai dengan Hiruzen, kau tahu kan?"
Shikamaru menghembuskan asap rokok keudara. "Padahal sudah lama sekali kan?"
Ya. Sarutobi Hiruzen dan Namikaze Jiraiya saling membenci entah karena apa, Naruto belum mendapat sumber yang pasti. Ia hanya bisa menduga-duga. Mungkin karena masalah bisnis.
"Bagaimana kau bisa mengenal Sakura?"
Shikamaru angkat bahu, "dulu kami sering bertemu, ibu kami bersahabat."
"…"
"…"
"Aku tidak tahu, tapi kurasa aku menyukai Sakura."
Shikamaru menoleh cepat kearah Naruto, "bagaimana bisa?"
"Terjadi begitu saja. Aku bahkan baru saja menyadarinya."
Entah karena apa, aura disekeliling Shikamaru menggelap. "Aku tidak mengizinkanmu mendekatinya, Naruto, dia sudah banyak terluka."
Naruto mematikan rokoknya diasbak. "Lantas kenapa kau mebiarkannya dijodohkan?" Pemuda pirang itu balas mendelik tajam. Atmosfer ruangan itu tiba-tiba menjadi berat.
"Karena ornag yang dijodhkan dengannya bukan orang asing sepertimu."
Naruto tersenyum miring, "perjodoha tidak akan membahagiakannya sekalipun dengan orang yang kau kenal, terkecuali mereka saling mencintai."
"Kau tidak mengerti," Shikamaru menjadi gusar.
"Benar, aku tidak mengerti, karena itu aku kemari untuk mencari kebenaran tentang Sakura."
Namikaze memang tidak akan pernah mundur jika sudah menginginkan sesuatu. "Aku kemari untuk menimbang, apa keputusanku untuk mengejarnya sudah tepat atau belum."
"Lalu?"
Naruto berdiri, menatap Shikamaru dengan senyuman. "Kurasa aku harus mengejarnya."
Mata Shikamaru membelalak menjatuhkan rokok ditangannya. "Kau tak akan berani Naruto, kalian sama-sama sudah dijodohkan."
Tawa Naruto bergema diruang tamu Shikamaru. "Aku Namikaze, Shika, dan Namikaze selalu mendapatkan apa yang ia inginkan."
"Kau akan melukai Sakura," Shikamaru gusar.
"Kenapa kau berpikir dia akan terluka? Kenapa kau tidak mempertimbangkan dia telah jatuh cinta padaku?" Naruto memakai mantelnya, "kurasa insting pengacaramu mulai menumpul."
Shikamaru tertegun. Ia enggan membalas karena ucapan Naruto ada benarnya, ia tidak pernah mempertimbangkan hal itu sebelumnya. Mungkin karena image Naruto yang selama ini sudah 'rusak', ia enggan menyerahkannya pada Naruto.
"Aku akan sangat menghargai jika kau tidak menghalangiku, Shika," Naruto menatap Shikamaru tepat dimata, "aku tidak ingin meghancurkan temanku."
Shikamaru lebih dari tahu jika ucapan Naruto bukanlah gertakan, ia yakin lelaki itu akan melakukannya jika ia masih bersikeras menghalangi.
Naruto beranjak keluar.
"Mengenai Temari, Yamanaka mengizinkan Kyuubi menemuinya."
Shikamaru menghampiri Naruto. "Dan mengenai Sakura, aku belum memutuskan apa-apa."
Naruto tersenyum, senyumnya yang biasa, "terima kasih. Sampai jumpa di Tokyo."
Naruto pun meninggalkan kediaman Shikamaru, langsung kembali ke Tokyo dengan penerbangan malam itu.
Shikamaru menghempaskan tubuhnya di sofa. Entah bagaimana ia merasa laur biasa lelah.
Hyuuga Neji adalah teman masa kecilnya, meski ia sudah lama tidak bertemu dengannya ia tidak bisa bersikap seolah Neji bukan siapa-siapa. Sementara Naruto adalah temannya sejak SMA. Bohong jika ia bilang ia tidak peduli padanya. Dan Sakura, gadis cilik yang dulu sering bermain dengannya dan sudah ia anggap sebagai adik sendiri.
Shikamaru memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia merasa terjebak diantara mereka, membuatnya pusing akan memihak yang mana.
Shikamaru menatap langit-langit ruang tamu yang dihiasi lampu kristal, pengacara muda itu bangkit.
"Lebih baik aku tidak terlibat dengan urusan merepotkan begitu."
.
TBC
.
Terima kasih untuk yang masih setia membaca.
Menanggapi beberapa review yang masuk, MinaKushi emang mantan suami-istri. Udah disinggung di chapter awal. Lalu untuk kejelasan nasib Sasuke masih saya pikirkan, dia bisa muncul bisa nggak #digampar
Untuk segala kekurangan dalam penulisan, saya mohon maaf, bisa dibilang saya juga masih belajar. Terus, terima kasih banyak yang sudah meninggalkan komentar di kotak review. Maaf nggak bisa balas satu per satu.
Sekian, moga chapter selanjutnya bisa saya up lebih cepat.
See yaaa~
