Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: AU. OOC. Too much drama. Jika anda tidak berpikir terbuka tentang hubungan sesame jenis, lebih baik tekan tombol back. NaruSaku fanfiction.

Yesterday and Tomorrow © UchihaMaya

.

Chapter 13

.

Sakura menyandarkan dirinya dipintu kamarnya yang baru ia tutup. Ia menenggelamkan wajahnya dilutut yang ia tekuk. Ia ingin bersembunyi dari dunia yang terlampau keras ini, mengujinya dengan banyak luka menyakitkan.

Ia masih bisa mengingat dengan jelas, betapa Naruto yang terluka karena penolakannya dan jujur saja, hal itu menyakitinya.

Bohong jika Sakura tak ingin menyambut tawaran Naruto. Sungguh, ia begitu menginginkan lelaki itu. Untuk pertama kali selama hidupnya, Sakura benar-benar menginginkan sesuatu dan sayangnya ia terlalu takut untuk mengambil kesempatan yang ada.

Karena ia pernah menghancurkan hidup orang-orang yang begitu ia sayangi.

Karena dari yang Sakura pahami, dirinyalah penyebab hidup ayah, ibu dan kakeknya hancur.

Ia masih berusia tujuh saat itu, saat ia melihat betapa kakeknya hancur saat ibunya meninggal. Ia tahu, ia mengerti, jika saja ia tak pernah lahir, ibunya tak akan menikahi ayahnya. Jika ia tak ada, kakeknya tak perlu kehilangan putri kesayangannya. Jika ia tak ada, ayahnya tentu masih memiliki hidupnya. Jika ia tak ada, ibunya pasti masih ada didunia.

Jika ia tak ada, kepedihan yang ada di keluarganya tak akan pernah ada.

Karena itulah, Sakura tak berani menyambut tangan Naruto. Karena ia terlalu takut, jika ia menyambut tangan Naruto, maka giliran hidup lelaki Namikaze itu yang ia hancurkan. Dan ia tak sanggup menanggung rasa bersalah dan penyesalah lebih banyak lagi.

Ia menerima perjodohan dengan Neji, karena ia pikir ia bisa memperbaiki sedikit kekacauan yang yang timbul karena dirinya. Beginilah cara Sakura meminta maaf dan menunjukkan jika ia masih peduli dan menyayangi keluarga yang pernah membuangnya.

Wajah Sakura basah dan ia tetap meringkuk disana. Jika ia bisa memilih, ia akan memilih mati saja bersama ayahnya. Namun, sayang, ia terlampau waras untuk menyerah pada kematian.

Dan kini ia kehabisan waktu untuk berpikir dan memilih. Karena besok, ia resmi menjadi tunangan Hyuuga Neji.

.

Kyuubi mendesah kesal saat mendapati Naruto yang terlihat seperti zombie. Kantung mata tebal, penampilan berantakan, serta wajah kusut masai. Adiknya tengah menenggelamkan diri diantara tumpukan berkas pekerjaan.

"Apa yang terjadi?"

Naruto yang semula tengah menulis sesuatu menghentikan gerakannya. "Tidak terjadi apa-apa."

Kyuubi duduk di sofa yang ada di kantor Naruto, mengamati adiknya yang kembali menulis. Sungguh, yang Kyuubi tahu, Naruto tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya. Lelaki pirang yang terlahir sebagai adiknya adalah tipe orang yang lebih suka menantang maut ataupun melempar dirinya ke klub malam saat ia terlalu lelah dengan hidupnya.

Naruto yang Kyuubi kenal tidak seperti ini.

"Kau tak pulang, Kakashi bilang kau mengambil semua pekerjaan." Kyuubi tak pernah berhenti untuk peduli. "Kau yakin akan ke Osaka?"

"Aku akan pergi." Suara Naruto terdengar berbeda. Kyuubi tak bisa mengartikan getaran yang terasa begitu menyakitkan saat ia mendengarnya.

"Kau bisa cerita padaku jika ada sesuatu yang mengganggumu, Naruto." Ujar Kyuubi. "Aku bisa membantumu." Sulung Namikaze meyakinkan.

Naruto diam saja dan kembali kepada berkas pekerjaannya.

"Sarutobi menggelar pesta pertunangan malam ini." Ucap Kyuubi, ia mengamati reaksi Naruto, namun ia tidak mendapati apapun. Adiknya tak menoleh, menghentikan kegiatannya saja tidak. "Aku bisa mengusahakan-

-Sakura menolak." Naruto membanting bolpointnya kemeja. Ia menatap Kyuubi dengan pandangan penuh luka. "Kau dan aku bisa mengusahakan banyak hal, tapi Sakura menolak."

"Naruto…"

Naruto mengusap wajahnya kasar, "kemarin aku menemuinya. Mungkin dia tahu motif sebenarnya aku mengejarnya. Mungkin ia tahu aku hanya seorang gay menjijikkan yang menjadikan dirinya pelarian." Suara Naruto pecah.

Kyuubi terdiam mendengarnya.

"Aku bertemu Sasuke dan detik itu aku sadar, perasaan yang mati-matian kubuang masih tersisa disini." Naruto mencengkram kuat dadanya, ia kalut hingga ia mengatakan semua yang ia pikirkan. "Aku ingin menyingkirkannya dengan membesarkan perasaanku pada Sakura. Semula begitu yang aku pikirkan."

"Nyatanya aku salah. Aku mencintai Sakura, makanya terasa sangat sakit saat ia menolakku." Lirihnya. "Aku tak perlu membesarkan perasaanku pada Sakura, karena nyatanya aku terlanjur ditelan perasaan itu, Kyuu."

"Aku membutuhkannya."

Kyuubi mendesah, "lalu apa yang akan kau lakukakan?"

Naruto menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, "tidak tahu." Ia menerawang jauh, "mungkin sudah saatnya aku menyerah." Lanjurnya lirih, hingga Kyuubi pun tak mendengarnya.

Kyuubi berdiri, "segarkan dirimu. Pulanglah." Ujar Kyuubi. "Tenangkan dirimu lebih dulu, kita pikirkan semuanya bersama."

.

"Kau bahagia?"

Neji menatap punggung Sakura yang membelakanginya. Ia mengusir penata rias yang ditugaskan untuk mengurus Sakura sebelum acara pertunangan berlangsung.

Gadis itu geming, menoleh pun tidak.

"Sakura?" Dan Neji sungguh mencemaskannya. Ia seolah bisa melihat betapa gadis itu begitu menderita. Sorot mata yang ia tangkap dari cermin besar didepan Sakura menyampaikan apa yang tak mampu Sakura ucapkan.

Neji mendekat kemudian meraih bahu mungil Sakura yang tertutup gaun berwarna pink pucat. Ia memaksa Sakura untuk menatap matanya.

"Sakura, apa kau bahagia?" Neji mengulangi.

Dan Sakura menggigit bibirnya kuat, disusul airmata yang jatuh menuruni pipi putihnya. Tanpa suara, Sakura menangis dihadapan seorang Hyuuga Neji.

Sakura mencengkram erat gaun yang menutupi pahanya.

Neji menghela nafas kemudian membenamkan wajah Sakura didadanya.

Neji tidaklah sebodoh itu untuk menyadari bahwa gadis dalam dekapannya ini, perempuan yang disukainya, yang malam ini akan menjadi tunangannya, tengah putus asa.

Ia tahu, ada orang lain yang diinginkan Sakura, namun gadis itu tak memiliki cukup kekuatan dan keberanian untuk meraihnya. Ketegaran Sakura sudah runtuh tak bersisa.

"Katakan, Sakura, apa kau akan bahagia jika aku melepaskanmu?" Bisik Neji.

Sakura masih menangis dan Neji tahu jawabannya.

Neji, ia memang mencintai Sakura sepenuh hatinya. Ia tak punya agenda lain, ia hanya ingin melindungi dan membahagiakan Sakura. Perasaannya tak perlu balasan sama besarnya dari Sakura, baginya, mencintai Sakura adalah kebahagiaannya.

Maka saat ia memahami bahwa Sakura tak akan pernah bahagia bersamanya, Neji membiarkan dirinya mengalah pada Sakura.

"Aku sungguh mencintaimu, Sakura, aku menyayangimu. Aku berjanji akan membahagiakanmu, kapanpun dan dimanapun." Ia menarik wajah Sakura dari dadanya dan menatap lekat wajah basah gadis itu.

"Tapi aku akhirnya sadar, apapun yang kulakukan, kau tak akan bisa bahagia jika bersamaku." Ia mendaratkan kecupan didahi Sakura. "Bukan aku yang kau butuhkan."

Sakura terkejut, "Ne..Neji-san?"

"Keegoisanku akan melukaimu, Sakura, maafkan aku." Neji tersenyum tipis. "Saat kau mengatakan tak pernah bisa mencintaiku, harusnya aku merelakanmu."

Ia menegakkan tubuhnya sambil mengusap air mata Sakura. "Jadi, sebelum terlanjur, aku melepaskanmu."

Sakura menunduk. Ia kembali menangis. Menagisi segalanya.

"Jangan menangis lagi." Ucap Neji, ia mengusap kepala Sakura lembut kemudian berjalan menuju pintu dan memanggil seseorang.

"Ada apa, Neji-san?" Konohamaru yang tadi menunggu diluar ruangan, masuk saat Neji memanggilnya.

Pemuda itu agaknya terkejut mendapati kakak sepupunya menangis. "Ada apa ini?"

"Bisa kau membawa kakakmu keluar dari sini?" Tanya Neji.

Konohamaru agaknya terkejut, namun dengan cepat ia berhasil membaca situasi. "Lalu kau?"

Neji tersenyum tegar, "aku akan mengurus kekacauan yang akan timbul."

Konohamaru mengangguk, "Yamato akan membantumu." Ia menyebut nama asistennya sebelum melepas jasnya, menghampiri Sakura dan menyampirkannya dipundak Sakura kemudian mengulurkan tangannya.

Sakura ragu untuk meraihnya, namun dua orang lelaki diruangan itu seolah mendorongnya untuk meraih tangan Konohamaru dan pergi dari tempat itu,

Sakura menerima uluran tangan Konohamaru kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kamar itu. Sebelum ia melewati pintu, ia melempar senyum yang tak pernah dilihat Neji sebelumnya.

"Terima kasih."

Dan Neji tak pernah menyesali keputusannya.

.

Naruto meremas kaleng minuman ditangannya hingga tak berbentuk. Tatapannya dipenuhi amarah dan sorot mata yang penuh luka.

"Bisa kita bicara?"

Dia Uchiha Sasuke. Berdiri angkuh didepan Naruto saat lelaki itu keluar dari minimarket, mencegatnya untuk alasan yang tidak Naruto ketahui.

Naruto berniat mengabaikannya, ia berjalan melewati Sasuke begitu saja. Perlu usaha yang luar biasa besar untuk melakukannya tanpa meninju wajah Sasuke.

Namun lengannya ditahan oleh tangan pucat Sasuke. "Sebentar saja."

Naruto menggeretakkan giginya dan menyentak lengannya. "Aku sudah memperingatkanmu."

"Dengarkan aku dulu." Sasuke menaikkan nada bicaranya. "Aku tidak tahu penjelasanku masih berguna atau tidak, tapi setidaknya dengarkan aku dulu, Naruto."

Dada Naruto bergemuruh, ia membuang wajahnya, tak berminat menatap wajah Sasuke.

Sasuke menghela nafas, "aku tak pernah berniat meninggalkanmu." Ucapnya. "Tapi ayahku tahu dan dia mengirimku ke Irlandia. Memutuskan aksesku ke Jepang. Ia kira dengan menjauhkanku dari negeri ini, semua akan selesai."

Sasuke menatap Naruto dengan pandangan yang sulit dijelaskan. "Nyatanya ia salah."

Naruto diam, tak berani menebak kemana pembicaraan ini akan bermuara, ia sungguh tak ingin Sasuke melanjutkan ucapannya.

"Jarak dan waktu tak akan bisa menghapusnya, sampai hari ini pun, aku masih mencintaimu, Naruto." Ucap Sasuke tanpa jeda, tanpa keraguan, lelaki Uchiha itu pun tak berani menatap Naruto.

Jika ditanya bagaimana rasanya, Naruto akan mengatakan ini adalah neraka. Neraka yang mewujudkan dirinya di dunia.

Saat ia perlahan bisa melepaskan dan berdamai dengan masa lalunya, tiba-tiba kenyataan menghantamnya dengan begitu hebat. Ia membenci dirinya yang menyimpang, menyalahi norma yang ada dan ia tak pernah berharap Sasuke jatuh pada dosa yang sama.

Ia marah pada lelaki itu bukan karena tak membalas atau peduli akan perasaannya. Ia marah karena ditinggalkan. Ia merasa dikhianati.

"Aku tahu, kau pasti jijik mendengarnya, aku juga sama," aku sang Uchiha, "tapi semakin aku menyangkal, perasaan ini justru semakin berakar kuat." Sorot mata penuh luka itu hadir di mata kelam keturunan Uchiha.

"Aku malu padamu. Kau pasti menganggapku menjijikkan. Pria macam apa yang menyukai pria lainnya." Sasuke berdiri gelisah. "Ibuku nyaris mati saat mendengar putra bungsunya seorang gay, kakakku tak bilang apa-apa, tapi aku tahu dia kecewa sementara ayah, luar biasa murka."

Sasuke mengangkat wajahnya, melihat Naruto yang masih menghindari tatapannya yang Sasuke artikan sebagai rasa jijik lelaki pirang itu. "Aku mengatakannya bukan untuk membuatmu merasa tidak nyaman dan aku juga tidak akan memintamu memabalasnya." Sasuke tersenyum sedih. "Aku hanya ingin kau tahu alasanku pergi. Dan…"

"Cukup." Lirih Naruto.

"…tak bisakah kita kembali seperti dulu?"

"CUKUP, UCHIHA!"

Sasuke bungkam.

Naruto menghela nafasnya berat.

"Anggap aku tak pernah mendengarnya. Dan jangan pernah menemuiku lagi." Naruto sekuat tenaga berbalik dan mencoba abai akan sorot mata Sasuke yang sama terlukanya dengan dirinya. Dan Sasuke tak perlu tahu apa yang membuatnya begitu terluka.

Naruto membencinya. Ada bagian dari dirinya yang senang akan pengakuan Sasuke dan sebagian lainnya mengutuk perasaan senang tersebut. Memojokkannya hingga ia pikir, mati akan lebih baik daripada ia terjebak dalam pusaran permainan takdir yang tiada habisnya.

Ia merasa senang, karena Sasuke tak pernah benar-benar membencinya.

Pengakuan Sasuke menunjukkan jika apa yang ia rasakan berbalas, hanya saja, ia tahu, apa yang mereka rasakan hanya akan menghancurkan.

Hatinya tak lagi tergerak akan pengakuan Sasuke. Yang tersisa hanya sesal karena ternyata bungsu Uchiha berkubang dalam dosa yang sama dengan dirinya. Dan jika Naruto tak mundur, mereka akan semakin tenggelam.

Meski Sasuke mengakui ia punya perasaan untuknya, Naruto terlanjur menghamba pada seorang gadis yang tempo hari menolaknya.

Haruskan ia sekali lagi kehilangan cinta? Atau memang ia tak berhak bahagia?

"Naruto…"

Sasuke mengejar.

Langkah Naruto semakin melebar.

Sasuke mencekal lengan Naruto dan Naruto menepisnya kasar.

"Naruto-san?"

.

Kyuubi baru saja sampai di apartemen dan mendapati Gaara yang duduk manis di ruang tengah dengan buku-buku berserakan disekitar bocah itu.

"Tadaima." Gumam Kyuubi, membuat Gaara mengalihkan perhatiannya dari buku yang tengah ia kerjakan.

"Okaeri." Bocah berambut merah itu menjawab datar, kemudian kembali pada buku dan pensilnya.

Kyuubi duduk disofa dibelakang Gaara dan mengamati pekerjaan anak itu. "Apa yang kau lakukan?"

Gaara menggumam, gumaman yang tak terdengar oleh Kyuubi. Memebuat Namikaze sulung mencondongkan badannya dan mengintip buku tentang aljabar yang seingat Kyuubi itu milik Naruto semasa SMA dulu.

"Kau suka matematika?"

"Hm,"

"Jawab aku, Gaara. Jangan hanya menggumam."

Gaara melirik Kyuubi singkat. "Aku menemukan buku ini di perpustakaan. Karena bosan menunggumu pulang, aku membacanya."

Kyuubi tersenyum tipis dan mengacak rambut bocah yang baru masuk sekolah dasar itu. "Akhir pekan nanti, bagaimana kalau kita ke toko buku?"

Gaara menoleh, maniknya berkilat jenaka dan seolah bertanya pada Kyuubi apakah lelaki itu serius dengan ucapannya.

"Kau boleh membeli buku yang kau suka."

Wajah anak itu merona, ia kembali menekuni bukunya. "Baiklah." Ucapnya lirih.

"Dimana pamanmu?" Tanya Kyuubi. Seingatnya tadi siang Naruto sudah meninggalkan kantor dan seharusnya ia berada di apartemen.

"Paman bilang ingin keluar sebentar." Jelas Gaara.

"Jam berapa dia keluar?"

"Sekitar jam 3."

Kyuubi mengernyit. Kemana adiknya pergi dengan suasana hati seperti itu? Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Naruto.

Terdengar nada sambung beberapa kali sebelum panggilan tersebut dijawab.

"Hn?"

Kyuubi berdecak. "Kau dimana?"

"Makan." Sahut Naruto singkat.

Kyuubi mengumpat. "Aku tanya kau dimana, bukan sedang apa."

"Aku ada di Akimichi's cook and dining. Dan tak perlu khawatir, aku baik-baik saja." Ujar Naruto, sebelum sempat Kyuubi menjawab, Naruto sudah lebih dulu mematikan sambungan.

"Sialan." Umpat Kyuubi.

Gaara mengernyit. "Jangan mengumpat, Kyuu." Tegur bocah itu.

Kyuubi berdecak. Gaara memang tidak seperti bocah seusianya.

"Kau sudah makan, gaki?"

Gaara menggeleng. "Kau lupa kalau Ayame sedang cuti." Ia menyebut nama perempuan yang biasanya memasak untuk mereka.

"Ganti pakaianmu, kita makan diluar."

.

Naruto menutup panggilannya dan beralih pada wanita yang duduk didepannya. "Terima kasih sekali lagi, Shion."

Wanita yang biasanya mengenakan dress itu, malam ini memakai jeans dan kaos yang tampak santai. "Bukan masalah besar," ia meletakkan gelas minumannya. "Aku tak tahu kau masih berhubungan dengan Uchiha."

Naruto tersenyum, "tidak sengaja bertemu."

Memang berkat Shion, ia bisa lolos dari Sasuke. Dan sebagai ucapan terima kasih, ia menawarkan makan malam pada wanita pewaris keluarga Blanc tersebut.

"Jadi, bagaimana kabarmu?"

Naruto menatap Shion, "menurutmu?"

"Kau tampak kacau, Naruto-san, ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanya Shion.

Naruto menatap keramaian kota Tokyo dari jendela disamping tempat duduk yang merak pilih. "Kupikir aku sedang patah hati."

Shion tak menanggapi.

Naruto pun tampakknya terlalu enggan untuk bicara lagi. pikirannya melayang pada Sakura, dan pertunangan gadis itu malam ini.

"Sepertinya aku memang tidak punya kesempatan." Ujarnya dengan nada biasa, Shion tersenyum tegar. "Sebegitu cintanya dirimu pada orang yang mematahkan hatimu?"

Naruto belum mengalihkan pandangannya. "Mungkin saja," Naruto terkekeh, "bahkan setelah ia mematahkan hatiku, aku tak bisa membencinya."

Ah, Naruto sadar. Inilah cinta yang sebenarnya. Seberapapun ia terluka karena ditolak, ia masih saja menginginkan Sakura.

Dan ia mungkin saja salah mengartikan perasaanya pada Sasuke selama ini. Karena ia pernah begitu membenci bungsu Uchiha tersebut.

"Ah, maafkan aku." Naruto menatap Shion, "aku bicara yang tidak-tidak padamu."

Shion tersenyum lembut. "Tidak masalah, Naruto-san, jika kita tidak bisa terikat dalam pernikahan, tapi tak ada salahnya bukan jika kita berteman?"

Naruto membalas senyum Shion. "Tentu saja." Ia berdehem, "terima kasih."

Shion mengangguk anggun.

"Aku akan menemui ayahmu dan meluruskan masalah ini."

Shion lagi-lagi mengangguk, "tapi, ketahuilah, aku sudah tidak mempermasalahkannya." Ujar Shion. Makanan pesanan mereka terhidang didepan keduanya. "Sekarang aku lebih tertarik dengan kerja sama yang kau dan father bahas terakhir kali."

"So, we will talk about business now?"

Shion tertawa, "tidak, tidak, hari ini kau sedang mentraktirku makan malam dan ini bukan jam kerja."

"Jadi kau sedang kencan?" Ujar seseorang dengan nada ketus.

Naruto dan Shion terkejut mendapati Kyuubi yang merengut ketus sambil menggandeng Gaara.

"Kami tidak kencan." Gerutu Naruto dan menarik kursi di sebelahnya dan mengundang Gaara untuk duduk disampingnya. Bocah merah itu menurut dan duduk disebelah Naruto, meninggalkan ayah angkatnya yang masih berdiri dengan wajah tak bersahabat.

Shion diam terpaku, mendapati kakak Naruto yang baru kali ini ia temui.

"Duduklah, Kyuu, kau ingin menjadi pusat perhatian?"

Kyuubi berdecak, dan mau tak mau duduk di satu-satunya kursi yang tersisa disamping Shion.

"Good evening, CEO of Breeze Japan." Sapa Kyuubi pada satu-satunya perempuan disana.

Shion tersadar dari lamunannya dan tersenyum, senyum yang Naruto kenali sebagai senyum yang digunakan untuk menghadapi klien. "Belum resmi diumumkan, Namikaze-san."

Naruto mengangkat alisnya, "aku belum mendengar apa-apa soal ini?" Ia bertanya pada Shion setelah bertanya pada Gaara ingin makan apa dan memanggil pelayan.

Shion tersenyum, senyum yang berbeda dengan senyum yang lempar pada Kyuubi. "Baru akan diumumkan bulan depan dan tentu saja aku pasti mengundangmu saat pesta perayaan." Ujarnya.

"Selamat kalau begitu." Sahut Naruto.

Kyuubi tampak tidak peduli dan memesan makanan. Kemudian melihat Gaara yang menatap Shion dengan mata bulatnya.

"Gaara?"

Gaara mengalihkan perhatiannya pada Kyuubi. "Siapa dia?"

"Dia…"

Shion tersenyum manis pada Gaara, "halo, aku Shion, siap namamu tuan kecil?"

Gaara merona, membuat pipi bulatnya makin menggemaskan. "Gaara." Bocah itu melirik Shion, "salam kenal, Tante."

"Dia adikmu?" Tanyanya pada Naruto.

"Dia anakku." Sahut Kyuubi tanpa menatap wanita itu.

Shion sedikit terkejut namun tak bertanya dan keempatnya menghabiskan makan malam bersama.

.

Kyuubi menyemburkan jus jeruk yang ia minum, membasahi meja makan dan tablet yang ia pegang. Gaara yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya mengeryit jijik melihat Kyuubi. Keduanya tengah menunggu Naruto yang masih mandi untuk sarapan bersama.

Kyuubi terbatuk dan membelalak tak percaya dengan berita yang dilaporkan Sai padanya.

Gaara mengambil lap dari dapur dan membersihkan meja. Sementara Kyuubi masih terpaku pada benda digital yang dipegangnya.

Kyuubi berdiri, kemudian menyeret Gaara keluar dari apartemen. "Kau membolos saja, hari ini." Ucap Kyuubi.

"Aku ada ulangan." Ucap Gaara, namun masih membiarkan ayah angkatnya menarik dirinya menuju lift.

"Kau tak akan dikeluarkan hanya karena membolos saat ulangan." Kadang Kyuubi bisa lebih kekanakan daripada Gaara.

"Memang kita mau kemana?"

Kyuubi menyerahkan tablet yang ia bawa pada Gaara dan menaikkan bocah itu ke kursi disamping kemudi. "Kita harus bertemu seseorang."

"Aku harus ikut?" Tanya Gaara sambil melihat foto-foto yang ada disana. Menampakkan pesta yang kacau dan foto seorang perempuan muda.

"Ya." Kyuubi membawa mobilnya menuruni jalanan Tokyo yang mulai ramai pagi itu. "Lagi pula kau belum pernah bertemu dengan kakek Jiraiya kan?"

Atensi Gaara masih terpaku pada layar perangkat elektronik ditangannya. "Siapa dia?" Tanyanya sambil melihat foto seorang gadis cantik berambut sewarna permen kapas.

"Dia perempuan yang disukai Naruto."

"Dia cantik." Gumam bocah itu.

Kyuubi tersenyum tipis dan mengacak surai merah putra angkatnya.

"Lalu mana perempuan yang kau sukai?"

Kyuubi nyaris menabrak mobil didepannya. Ia sungguh tak menduga pertanyaan macam itu terlontar dari mulut bocah ingusan macam Gaara.

Kyuubi berdehem canggung.

"Kau tak menyukai seseorang, Kyuu?" Gaara menatap Kyuubi, ada kilat penasaran dimatanya.

"Aku belum menyukai siapapun saat ini."

Gaara mengerjab. Kemudian mengangguk..

"Kenapa kau bertanya?"

Bocah itu menunduk, "karena Nee-chan meninggalkanku karena ia menyukai seseorang."

Kyuubi mengernyit.

"Nee-chan bilang, ia tak bisa menjagaku karena ia harus tinggal dengan orang yang ia sukai. Karena itu dia memberikanku pada ibu panti." Gaara tak menatapnya.

Kyuubi masih fokus mengemudi, namun ia juga memperhatikan tiap kata yang diucapkan Gaara dan setiap perubahan ekspresi bocah itu.

"Itu artinya, kau juga akan meninggalkanku jika kau menyukai seseorang, kan?" Lirih Gaara.

Kyuubi menghela nafas, ia mengusap kepala bocah itu, lembut. Seseuatu yang jarang ia lakukan. "Dengar, Gaara, meskipun aku menyukai seseorang, aku tak akan pernah meninggalkanmu." Tegasnya. "Sejak awal aku sudah mengatakan padamu jika aku akan terus bersamamu, sampai kau bosan padaku."

"Janji?" Suara bocah itu bergetar.

Kyuubi memberikan jari kelingkingnya untuk Gaara dan bocah itu menyambutnya.

"Janji."

.

"Kyuubi-sama?" Kepala pelayan di rumah utama keluarga Namikaze agaknya terkejut mendapati tuan mudanya berkunjung di pagi hari dan ditemani seorang anak lelaki.

"Kakek didalam?" Tanya Kyuubi sambil menggandengan Gaara memasuki rumah.

"Tuan besar sedang berada di taman belakang."

Kyuubi melangkah dikoridor yang menghubungkan ke taman belakang.

"Anda sarapa disini?"

Kyuubi ingat ia dan Gaara belum sempat sarapan. "Ya, Paman Iruka."

Iruka undur setelah Kyuubi mengatakan jika ia tak perlu ditemani.

"Apa yang membuatmu mau menemuiku, Kyuubi?" Sapa Jiraiya sambil memberi makan ikan koi dikolam.

Kyuubi menarik kursi untuk Gaara, dan ia sendiri menghampiri kakeknya.

"Hyuuga membatalkan pertunangan?"

Jiraiya masih fokus pada ikan-ikannya. "Hm, lalu?"

Kyuubi berdecak, "benar atau tidak?"

Jiraiya menyerahkan wadah makanan ikan pada pelayan yang menemaninya sedari tadi dan beranjak menghampiri Gaara yang memperhatikan dua ornag dewasa itu.

"Selamat pagi, gaki." Sapa Jiraiya.

"Selamat pagi, Ojii-san." Jawabnya. Jiraiya menyodorkan sekantung permen padanya dan bocah itu menolak. Ia lebih memilih menggigit sandwich yang baru saja diantar Iruka.

"Kek?"

Jiraiya duduk disamping Gaara dan mengambil cangkir teh yang dibawakan untuknya. "Kau mau repot-repot menemuiku hanya untuk memastikan berita itu? Kau tak mempercayai Sai?"

Kyuubi berdecak. "Sarutobi dan Hyuuga tak akan mau membatalkan pertunangan itu begitu saja. Terlalu merugikan untuk mereka." Tandasnya.

Jiraiya terkekeh. "Bagaimana jika mereka ternyata masih memakai hati mereka?"

Mata Kyuubi menyipit. "Yang benar saja."

Jiraiya memberi isyarat pada Kyuubi untuk duduk, dan lelaki itu pun menurutinya. "Meski terlihat kejam begitu, Hiruzen masih menyayangi Sakura."

Kyuubi melemparkan tatapan tak percaya.

"Aku tahu memang terdengar mustahil, hanya saja, Hiruzen bukan orang yang akan mengabaikan begitu saja jika cucunya meminta padanya."

"Sakura memintanya?"

Jiraiya tersenyum misterius, "menurutmu?"

"Tak mungkin."

"Memang." Jiraiya menusap kepala Gaara dengan sayang, "yang jelas, Hyuuga Neji membatalkan pertunangan mereka dan Sakura tidak diketahui keberadaannya sejak semalam.

"Jadi, Naruto sudah mendengar berita ini juga?"

Kyuubi menggeleng. "Aku belum mau memberitahunya."

Jiraiya terkekeh. "Kau takut adikmu akan melakukan tindakan ceroboh?"

Kyuubi tersenyum masam, "aku hanya tak ingin memastikan, gadis itu memang menyimpan perasaan pada adikku atau tidak."

Kyuubi bangkit.

"Ayo, Gaara," ia mengulurkan tangannya pada Gaara dan disambut oleh bocah itu.

Jiraiya menatap cucunya. "Mau kau bawa kemana cucuku?"

Kyuubi menyeringai, "memperkenalkannya pada kehidupan sebagai penyandang nama Namikaze."

Dan Kyuubi berlalu bersama Gaara.

.

TBC

.

Hai, saya kembali lagi. Rasa-rasanya saya ingin segera menamatkan yang satu ini dan fokus sama oneshoot yang menumpuk. Tapi, ya, susah, idenya lari-lari diotak tapi nggak tau gimana nuanginnya ke tulisan.

Dan berhubung mood saya lagi mendung, fic ini juga kayaknya makin mendung. #plaks

Thanks to HyperBlack Hole, AmmaAyden,konohamidori, CEKBIOAURORAN, Ollanaruu, Aion Sun Rise, Acchan48, eleorans, guest, ame, Guest, NenkCchubby, Guest, Namikaze Tobi Lucifer, namikaze chaerim, Namikaze Yohan396, shernsl, dan Sakurai Uzuka untuk review dan masukannya. Sungguh bisa naikkin semangat nulis. ^^ Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan pen name.

Dan doakan saya semoga segera dapet kerja.

Sampai jumpa chapter depan~