Away From you

Chapter 2 – automail leg

A/n : untuk membuat lebih jelas lagi, akan aku jelaskan, kalau cerita ini mengambil setting ketika perang ishbar & sesudahnya, NAMUN mereka tidak bertemu dengan Ed & al. Maes tidak meninggal (benci envy yang membunuhnya !) karena dia penghangat suasana !

Amestris 1907

Ishbar war

Letusan senapan dan dentuman meriam di mana-mana. Debu asap beterbangan, menghalangi penglihatannya. Riza menarik kain tipis berwarna cokelat debunya itu menutupi seluruh punggungnya. Dari jauh ia membidik… Dilihatnya Roy sedang berhadapan langsung dengan para pemberontak.

Dor…

Tepat bagaikan mata elang. Itulah dia. Kembali ia menarik pelatuknya dan menembakannya dari jauh. Mau tidak mau, ia telah menyerahkan dirinya bagi colonelnya, mau mengotori tangannya dengan darah para pemberontak, demi kolonelnya.

----

1 Hari merupakan hari yang panjang bagi seorang tentara. Dari pagi hingga malam terus berjaga-jaga. Untunglah hari ini riza tidak dapat shift malam. Dengan tenang ia berusaha memejamkan matanya, namun adegan bagaimana orang-orang tersebut mati, tidak dapat terhapus dari memori otaknya. Bukan pertama kalinya ia berperang. Namun setiap kali ia membunuh banyak orang, terutama dalam perang, trauma itu terus ada dan menghantuinya.

"boleh aku masuk ?" Seorang lelaki menyibakkan tendanya dan menengok ke dalam. Riza memberi anggukan kecil padanya dan mempersilahkannya masuk.

"belum tidur, roy ?"

Hanya di tenda saja mereka berani saling memanggil nama. Kedua tentara ini baru saja jadian sebelum keduanya dipanggil ke medan perang. Yah.. biarlah 2 lovebird ini bersenang-senang, ditengah sulitnya perang.

"belum. Aku memikirkan penyerangan besok."

"Besok kita akan menyerang ke daerah C5,6 dimana ada kota kecil dengan penduduk kurang dari 1000 orang. Satu tim dengan 6 orang saja cukup, mungkin…"

"aku minta kau ikut turun bersamaku…. Apa itu mungkin bagimu ?"

"tidak masalah"

"Ya sudah… terima kasih" ia memajukan kepalanya, lalu mengecup jidat wanita itu dengan lembut. "selamat tidur…"

---

Mungkin itulah kecupan selamat tidur terakhir yang diterima Riza. Kejadiaan berikutnya yang beruntun sama sekali tidak menguntungkannya. Tidak sama sekali.

Ketika mereka melakukan penyerangan, seorang pemberontak yang sudah hangus terbakar dan setengah mati, mengarahkan pistolnya pada Roy dari jauh. Lelaki itu tidak awas. Ia sibuk mencetak-cetik ibu jarinya dan menghabiskan orang-orang yang mau melawannya.

Riza melihatnya. Ia tahu percis. Tapi orang itu sudah terlebih dahulu melepas tembakannya dan tidak ada jalan lain untuk menembaknya dengan lebih cepat.

Ia melompat ke arah Roy, melindunginya. Sebuah peluru tepat menerobos jantungnya. Darah mengucur cepat dari dadanya, dan tidak lama kemudian badannya mulai dingin.

"RIZAAAAA !"

Hari itu, satu kota hangus. Tidak tersisa apa pun. Entah itu para pemberontak, penduduk biasa, hingga seluruh bangunan hangus terbakar. Ia hanya mendapat teguran keras dan skors balik ke markas dari atasannya, yang dinilai tindakkan itu juga membahayakan bagi dirinya sendir, tapi ia tidak perduli.

Sesampai di East, segera ia berlari ke perpustakaannya, mengobrak-abrik buku-buku itu dan menemukan buku yang ia cari. Dipandanginya Riza yang tergeletak tak bernyawa di sofanya. Tunggu aku Riza…. Aku HARUS membawamu kembali ke dunia…. Bukan salahmu kau mati…. Pikirannya kelam oleh bisikan yang menyalahkan dirinya sendiri.

Kapur dan silet.

Lingkaran besar ia buat di basement rumahnya, lalu Roy menorehkan silet di jarinya. Ia sudah tidak lagi perlu air, semen, dan lain-lain, sebab Rizanya sudah ada di situ. Yang ia perlukan tinggal sebuah nyawa. Nyawa yang terenggut gara-gara dirinya.

----

Cahaya terang menyelubungi basement itu. Roy tidak dapat melihat hasilnya. Ia masih terbatuk-batuk dan pandangannya tertutup asap tebal. Untunglah gerbang itu mengembalikannya ke sini….

Ia merasakan tangannya yang basah… dan berwarna merah. Kakinya ! Kaki kirinya hilang- lenyap sama sekali… darah banyak mengucur dari sana.

Terpincang-pincang ia menyeret tubuhnya ke tengah lingkaran. Tubuh Riza sudah tidak sedingin tadi, dan ia merasakan ada denyut nadi di pergelangan tangannya.

"roy…?"

"Riza ! Riza ! Riza ! kamu hidup !" suaranya parau dan tergetar.

Lelaki itu lalu terjatuh ke lantai, menghabiskan total semua energi yang dimilikinya.

----

"Bagaimana dengan automail barumu, Roy ?"

"Lumayan.. setidaknya aku bisa jalan, dan mengembalikanmu lagi.." ia tersenyum, lalu menggenggam tangan Riza yang kecil. "jangan tinggalkan aku seperti tadi lagi…"

----

"AKu tahu… batu penyembuhan.. batu itu bisa mengembalikan kakimu seperti semula, roy…"

"tapi bukankah batu itu sama seperti batu bijak yang hanya legenda ? lagipula aku tidak mau jauh-jauh mengelilingi dunia hanya untuk diriku sendiri…" ucapnya santai sambil bersandar ke bangku kantornya. "aku sudah puas cukup di sini, yang penting bisa bersamamu…"

"Please, roy… aku akan terus merasa bersalah kalau melihat kaki automailmu…."

----

dan satu peryataan final Roy yang menghantar kita ke awal cerita….

"Riza… aku sudah menetapkan. Aku akan mencari batu penyembuhan itu…"

TBC

a/n : Sengsaranya membuat chapter yang tidak banyak percakapannya…. ! Bener-bener aku ingin cepat-cepat selesaiin chapter yang hancur ini dengan memotong-motong bagian yang harus kudeskripsikan baik-baik… ah… males bener ! Makanya, chapter ini pasti terasa ngebut dan lompat-lompat banget… sori…sori…