Away From you
Chapter 3 – Sick
Riza merasakan kemalasan yang luar biasa, bekerja tanpa ada Roy di sisinya. Kolonel Havoc terlalu rajin. Tidak ada tembakan yang bisa ia lepaskan. Tidak ada kata-kata makian yang bisa ia teriakan. Walau dengan begini, pekerjaannya semakin mudah dan ia bisa pulang pagi bertemu dengan black Hayate. Tapi justru itu membuatnya semakin rindu pada Roy. Padahal baru 1 minggu Roy pergi, dan ia sudah 7 kali pula mengganti seprainya yang setiap malam basah karena tangisannya.
Bagus juga hari ini ia bisa pulang cepat. Badannya panas sekali, dan Ia tidak bisa berkonsentrasi, karena yang dipikirkannya hanya satu, roy. Riza mengutuk kerjaannya kemarin yang membuatnya basah karena memandikan Buruha. Biasanya itu pekerjaan sehari-hari Roy.
Pasti ia masuk angin. Menyebalkan sekali.
"Lieutenant. Anda tidak apa-apa ?"
"ya, terima kasih, sir."
Betapa tidak enaknya memanggil Havoc dengan Sir, atau colonel, panggilan yang biasanya ia panggilkan pada Roy. Lagipula setelah naik jabatan menjadi colonel, Havoc menjadi lebih tegas, dan tidak main-main seperti biasanya.
Jujur, Riza rindu keadaan ketika roy masih menjadi colonel mereka. Ia rindu suara gaduh yang biasa membuatnya kesal (padahal dulu ia pernah bersumpah untuk mengerjakan satu container paperwork kalau mereka bisa tenang satu hari saja) Semuanya berubah…
----
riza berlari ke kamar mandi, menaruh tangannya di mulutnya, namun gagal. Ia muntah lagi. Kepalanya semakin pusing. Badannya panas. Ini semua gara-gara black Hayate…hm.. kenapa ya Roy tidak pernah masuk angin ketika memandikan anjing itu ?
Sepertinya sudah tidak dapat ditolong lagi. Badannya terlalu lemas untuk pergi ke kantor. Riza mengambil telepon dan memencet nomor kantor military. Setelah beberapa permintaan izin dan "ya.. saya tidak apa-apa, terima kasih" Ia menutup teleponnya.
Riza kembali menjatuhkan dirnya di atas ranjang, menutupi badannya yang menggigil dengan dua lapis selimut tebal.
Dingin…. Coba kalau roy ada di sini…
Ups. Dia tidak boleh begini larut dalam kesedihan. Roy juga pasti merindukannya di ujung sana.
Satu jam… dua jam…. Lima jam… Ia sudah tidak tahan lagi. Berbaring sambil tidak melakukan apa pun adalah hal yang paling membosankan di seluruh dunia. Riza bangkit, mencari makanan, namun ia tidak nafsu makan. Melihat makanan hanya akan membuat perutnya berputar kembali dan ia pasti akan muntah lagi.
Gracia.
Semoga wanita itu tidak sedang mengantarkan Elycia ke sekolah. Lumayan. Kata orang, kalau kita mengobrol dan berbicara, apalagi saling menggosip antar ibu-ibu (tapi ia bukan ibu-ibu, kan !) biasanya sakit kita akan cepat hilang dan sembuh. Moga-moga orang yang berkata itu benar.
"Halo, Gracia ?"
"Riza ? Kenapa suaramu lemas seperti itu ? Enggak masuk kantor ?"
"tidak.. sakit. Aku masuk angin…"
"Kalau begitu, mau kuantar ke dokter ?"
"tidak apa-apa.. aku bisa sendiri kok. lagipula hanya sedikit masuk angin gara-gara memandikan Black Hayate.."
Keduanya tertawa, dan pembicaraan pun berlangsung. Banyak sekali topiknya, dari keluarga, pekerjaan, Elycia… hingga sampai ke harga barang yang sedang murah di pasar. Satu jam Riza melupakan sakitnya, namun setelah gracia menutup telepon karena harus menjemput Elycia di kindergarten, kembali pusing dan ingin muntahnya kambuh lagi.
Sebaiknya aku harus ke dokter Minum obat dokter, sembuh, lalu besok bekerja lagi.
---
Riza menggeliat lagi di tempat tidurnya. Sakit. Bukan hanya badannya, tapi hatinya juga sakit. Dilihatnya sebotol obat yang dibelinya di apotek, satu botol penuh ia tuangkan ke tangannya. Ia masukan ke dalam mulutnya dan hendak ia telan dengan air.
BWHOEK !
Semua obat itu ia muntahkan kembali. Tidak bisa… ia tidak sanggup. Riza meremas perutnya erat-erat. Sakit sekali… Satu butir obat pun tidak bisa ia telan.
Pandangan Riza beralih ke sudut ruangan. Di atas meja telah ada sepucuk senapan. Tapi ia tidak berani.. ia takut.
Tok..tok..tok..
Gawat. Siapa yang mengetuk pintunya sekarang ? berani apa dia mengganggunya yang sedang kesal seperti ini ?
Perlahan, Riza membersihkan mulutnya, lalu membukakan pintunya. Matanya yang memerah dan bengkak tidak dapat ia sembunyikan.
"lieutenant ? Ada apa ?"
"Tidak, sir" ia berbohong. "ada apa anda kemari ?"
"tidak…kami hanya khawatir sebab biasanya kau yang paling jarang sakit."
Andai ia tahu… ini bukan sekedar sakit biasa…
Havoc masuk, duduk di ruang tamu dan memandang sekeliling ruangan. Ditatapnya sebotol obat yang hampir kosong, beberapa pil yang berjatuhan di lantai dan karpet yang basah.
"LIEUTENANT ELIZABETH RIZA HAWKEYE !" panggilnya geram.
Kontan, riza kaget sekali. Pertama kalinya Havoc memanggil namanya lengkap dari jabatan, nama dan nama keluarga. Lalu… mengapa nada bicaranya seperti itu ? "ya, sir?"
"aku memerintahkan kamu untuk tidak mencoba bunuh diri lagi !" matanya yang kuning itu lekat menatap Riza yang penuh ketakutan. Badannya bergetar, dan ia hampir menangis lagi.
"sir…. Saya.. tidak bisa… hidup…"
"kenapa ?"
"Colonel Mustang…."
Havoc menarik nafas, dan melembutkan pandangannya. "aku tahu… aku tahu hubungan kalian selama ini… Tapi dia juga pergi karenamu, kan. Lagipula…. Bukannya kalian sudah bertunangan ? cincin itu ?"
"Bukan begitu, sir !" Riza terisak. Kupingnya ingin menutup dari kata-kata yang terus mengaung di telinganya. Ia ingin lari dari kenyataan. Ia benci dirinya sendiri… "saya... Roy…"
Lelaki berjambul kuning tua ditengah itu mengerutkan keningnya. "roy ?"
"positif…. Dan ini anaknya roy."
Inilah yang namanya membunuh lewat perkataan. Kalau ada orang yang kau benci dan kau tahu, ia punya kelainan sedikit pada jantungnya, silahkan buat karangan bohong terhebat di dunia dengan acting yang paling menjanjikan di Hollywood. Dijamin, orang itu akan mendapat serangan jantung seketika dan kau tidak akan ditangkap polisi. mustang ?"
riza mengangguk sedih. Tapi ia tidak bisa mengelak. Ia tahu apa yang mereka lakukan selama ini. Ia tahu apa resikonya. Namun mereka terlalu buta karena adanya debaran nafsu dan cinta. Ia mencoba untuk bunuh diri dengan menelan pil obat tidur, namun tidak bisa. Sebelumnya pun ia ingin menembak dirinya sendiri…. Tapi pistol itu sudah terlalu banyak mengingatkannya kenangan-kenangan bersama Roy.
"jadi… itu sebabnya kau mau bunuh diri ?"
riza tidak bisa menatap Havoc. Ia tahu kira-kira bagaimana mukanya yang pasti marah sekali. "Riza… kau tahu mengapa Roy pergi ?" Baru sekali ini ia memanggilnya Riza. Rasanya tenang… seperti Roy ada di sini dan memanggilnya seperti itu.
"ia ingin kau hidup… hingga melakukan proses transmutasi manusia itu.. Supaya kau hidup ! Sekarang kau yang mau bunuh diri… Apa yang akan diperbuatnya ketika pulang dan hanya mendapati kuburanmu ?"
Benar kata Havoc. Yang harus ia lakukan sekarang ialah menunggu. Menunggu Roy hingga ia pulang, sambil menjaga pemberiannya di dalam dirinya sekarang.
"terima kasih, sir.." riza tersenyum, dan tak lama kemudian jatuh tertidur. Havoc tersenyum melihat Riza yang kembali normal lagi seperti biasanya. Lalu ia mengangkatnya ke atas ranjang, menyelimutinya, dan memberikannya sebuah kecupan di keningnya.
"selamat tidur…"
Lalu Havoc mematikan lampu, menutup pintu dan keluar dari ruangan itu.
"Ah… iri betul pada roy…"
