"almost"

A BoBoiBoy Fanfiction by Fanlady

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

Warning : Alternative Universe (AU), Taufan x Yaya, DEATH CHARA, hurt with no comfort? lmao, bahasa dialog non-baku.

.

.

.

"Oh, Hanna!"

Yaya berlari kecil, menghampiri Hanna yang menyambutnya dengan senyum terulas. Pot bunga kamelia merah muda diletakkan, berjajar dengan pot-pot lain yang tersusun di depan etalase.

"Tumben mampir pagi-pagi." Hanna mengelap tangannya yang kotor oleh pupuk, melirik penampilan Yaya. "Habis jogging?"

"Iya, nih." Yaya tertawa, mengusap peluh di keningnya. "Udah lama nggak olahraga. Badan rasanya kaku banget. Ini cuma jogging sebentar aja rasanya mau mati."

Hanna ikut tertawa. "Ya udah, ayo masuk dulu. Mama baru bikin teh, ada roti juga."

Yaya tersenyum dan mengangguk, menerima tawaran sepupunya itu. Mereka melangkah beriringan ke dalam toko bunga kecil yang dikelola Hanna bersama ibunya. Masih pukul tujuh kurang seperempat, belum waktunya toko dibuka. Namun bunga-bunga cantik dalam pot sudah disusun rapi, siap memanjakan mata para tamu yang mampir.

"Oh, iya. Aku pesan yang biasa, ya," kata Yaya selagi Hanna menuangkan teh untuk mereka berdua. "Aku ada kelas jam 8 nanti. Jadi sekalian mampir dulu sebentar."

"Oke," Hanna mengangguk, meletakkan teko tehnya. "Sebentar, ya."

Hanna menghilang di balik rak, dan Yaya menikmati roti dan tehnya selagi melihat-lihat ke sekeliling. Pemandangan hijau yang menyegarkan mata, juga warna-warni kelopak bunga yang tak akan bosan dilihat. Pantas saja Hanna begitu betah di rumah membantu ibunya, tidak sibuk dengan kegiatan lain di luar seperti Yaya.

Yaya pernah berpikir ingin membuka toko kecil miliknya sendiri suatu hari nanti. Mungkin ia bisa berjualan bunga, seperti Hanna. Pasti menyenangkan setiap hari melihat pemandangan seperti ini. atau sesuatu yang lain, yang lebih sesuai dengan hobi memasaknya. Rumah makan sederhana, atau kedai kopi, mungkin?

"Gimana kalau nanti kapan-kapan, kita bikin dan buka kedai roti berdua? Kita 'kan sama-sama suka buat kue! Lebih bagus kalau nanti juga kita sekalian nikah."

Guyonan lama, yang membentuk seulas senyum di sudut bibir Yaya, tapi juga menghancurkan sedikit bagian hatinya yang tersisa.

Benar, suara yang sudah tidak bisa didengarnya itu, masih kerap kali menghantui benak Yaya. merobek setiap kepingan perasaan yang pernah dipendam, yang kemudian dilukis dengan penyesalan sebiru samudera.

"Nih." Sebuah buket terbungkus plastik bening diletakkan di depan Yaya. "Purple Hyacinth kayak biasa, 'kan?"

"Iya." Yaya tersenyum, meraih buketnya dan mendongak. "Makasih, Hanna."

"Sama-sama." Hanna membalas senyum Yaya, menarik kursi di balik meja kasir. "Kamu ke sana sendirian lagi?"

"Ya." Yaya mengusap kelopak bunga ungu yang saling berdempet, seperti sekumpulan kemoceng. "Fang bilang mau mampir juga. Tapi mungkin nanti sore."

"Oh." Hanna menyesap teh, dan Yaya berpura-pura tidak menyadari gadis itu tengah mengawasinya. "Gimana kabar Bang Kaizo?"

"Nggak tau. Belum ketemu lagi."

Hanna hanya mengangguk, tahu untuk tidak bertanya lebih jauh. Nama itu cukup tabu bagi Yaya, meski hubungan yang dijalin hampir setengah tahun bersama sang empunya nama cukup meninggalkan bekas.

"Kalau gitu aku langsung balik aja," kata Yaya, mendorong kursinya untuk beranjak. Ia memeluk buket pesanannya, meletakkan dua lembar uang di meja kasir. "Makasih buat teh dan rotinya. Salam buat mama kamu, ya."

"Oke."

Hanna mengikuti Yaya berjalan keluar dari toko. Yaya membungkuk sejenak, mengencangkan tali sepatunya yang kendur. Hanna berdiri mengawasi, memandang bunga dalam dekapan Yaya.

"Orang yang meninggal nggak bakal balik, Ya. Gimanapun kamu nyesal," ucap Hanna pelan. "Mending kamu fokus sama yang masih ada."

Yaya mendongak, berdiri dengan goyah setelah selesai mengikat sepatu. "Iya, aku tau," ia tersenyum muram. "Aku pergi dulu, Han."

"Oke. Hati-hati di jalan."

Yaya melambai kecil, kemudian melangkah menyusuri deretan pertokoan yang masih sepi. Angin pagi membekukan pipinya, tapi kata-kata Hanna menggores lebih dalam.

Orang yang sudah meninggal tidak akan kembali.

Tentu saja Yaya tahu itu. Ia bukan orang bodoh. Meski kerap kali, saat malam menghampiri dan sisi bantalnya lagi-lagi lembab oleh air mata, Yaya berharap ada sedikit keajaiban. Satu lagi saja kesempatan. Hanya sebentar. Yaya berharap bisa melihatnya sekali lagi. Untuk terakhir kali.

Pagar besi hitam berderit begitu Yaya membukanya dan melangkah masuk. Sepatunya memijak tanah yang ditutupi rumput dan daun kering. Ia melewati deretan makam yang usang, beberapi ditumbuhi rumput tinggi, tak terurus dengan ukiran nisan yang tergerus cuaca.

Langkah Yaya berhenti di depan makam yang masih baru. Ukiran namanya masih berkilau di atas batu granit. Tanggal lahir diletakkan berdempetan dengan tanggal kematian, yang belum genap setahun.

Yaya berjongkok, menyingkirkan bunga hyacinth layu yang dibawanya dua hari lalu saat berkunjung. Ia meletakkan pengganti yang baru dibelinya di toko Hanna.

"Aku datang lagi," Yaya berujar lirih. "Taufan."

Kerudungnya pastilah sangat berantakan setelah berlari hampir satu jam, ditambah angin yang terus bertiup. Yaya lupa membenahinya di tempat Hanna tadi. Namun, siapa peduli? Tidak ada yang memperhatikannya di sini.

"Kamu baik-baik aja, 'kan, di sana? Yah, aku nggak tau persis kamu sekarang ada di mana. Tapi ... semoga kamu baik-baik aja."

Yaya termenung sejenak, memandang bunga yang diletakkannya di atas makam Taufan. Purple Hyacinth; lambang penyesalan.

"Aku kangen," Yaya berbisik. Namun kemudian ia tertawa pelan, setengah terisak. Itu kata-kata yang sering diucapkan Taufan padanya dulu, yang hanya dianggap Yaya sebagai angin lalu. "Aku kangen kamu ... beneran ..."

Yaya mengusap air mata dengan ujung kerudung, menahan suara isakan yang membuatnya terdengar seperti tengah tercekik.

"Bulan depan aku mau ke Jerman," ucap Yaya, masih tercekat tangisnya. "Kamu doain aku, ya? Aku takut bakal susah beradaptasi di sana. Tapi kamu selalu bilang aku bakal sukses di mana aja, 'kan? Jadi aku juga pasti bakal berhasil di sana."

"Ying sama Hali udah berangkat ke New York kemarin," Yaya lanjut bercerita, meski hanya rumput dan bunga-bunga layu yang mendengarkannya. "Kayaknya mereka bakal menetap di sana. Sama Angin dan Awan juga. Mereka sehat dan lucu-lucu banget. Mirip kamu."

"Ying sekarang udah bahagia, jadi kamu nggak perlu ngerasa bersalah dan menyesal lagi. Kamu juga harus bahagia, ya? Aku juga ... aku juga bakal cari kebahagiaan aku sendiri."

Meski tanpa kehadiranmu ...

Yaya kembali mengusap air mata, yang selalu saja enggan berhenti setiap kali nama Taufan terlintas di benaknya. Bukan terlintas, nama itu selalu melekat di sana. Menggoreskan luka yang semakin dalam di hatinya, luka karena penyesalan yang terlalu lama diabaikan.

"Seandainya dari dulu kita lebih jujur satu sama lain," bisik Yaya. "Mungkin ... mungkin bakal ada yang berubah, ya?"

Bisakah takdir berubah? Seandainya ia lebih berani berterus-terang. Seandainya mereka tidak terlalu lama bermain seperti kucing dan tikur. Seandainya Yaya tidak terlalu bersikeras mempertahankan egonya. Dan ribuan 'seandainya' lain, apabila salah satu dari mereka berusaha sedikit saja lebih keras.

"Aku sayang kamu," Yaya berbisik, selirih mungkin seolah ada orang lain yang bisa mendengarkan. Ia hanya ingin kalimat ini didengarkan oleh satu orang. "Dari dulu, sampai sekarang. Aku selalu sayang kamu, Taufan. Maafin aku."

Yaya menarik napas dalam-dalam, mencium aroma tanah basah dan bunga-bunga layu. Ia mengusap wajahnya, kemudian beranjak. Sekali lagi ditatapnya nama Taufan yang terukir di atas nisan.

"Sampai ketemu lagi."

Yaya tersenyum sendu, berbalik dan kembali berjalan di antara deretan makam. Seseorang berjalan ke arahnya dari gerbang, dan Yaya mengerjap.

"Gempa."

"Oh, Yaya." Gempa tersenyum menyapanya. "Kamu habis dari makam Taufan?"

"Iya," Yaya mengangguk. "Kamu sendirian aja? Udah sehat, 'kan?"

"Sehat, kok, sehat." Gempa mengibaskan tangannya, tertawa pelan. "Kamu mau langsung pulang?"

"Iya. Aku ada kelas habis ini," kata Yaya.

"Oh, oke. Sampai ketemu lagi."

"Sampai ketemu."

Yaya melambaikan tangan, lalu berbalik dan meneruskan langkah. Ada sedikit perasaan aneh yang tebersit. Tidak, itu tidak mungkin, 'kan?

Yaya menoleh, mendapati Gempa yang tengah menatap ke arahnya. Pemuda itu tersenyum, dan Yaya yakin ia melihat kerlingan yang familiar di sana. Langit biru yang terpantul di mata Gempa sejenak membuat Yaya menahan napas. Lalu Gempa melambai kecil, dan melangkah menjauh ke makam Taufan.

Yaya menghela napas panjang. Hanya perasaannya saja, mungkin karena wajah mereka yang begitu serupa. Namun sekali lagi Yaya mengingatkan dirinya.

Orang yang sudah tiada, tidak akan bisa kembali.

Dan Taufan, sudah pergi.

.

.

.

fin