Kami bertemu di bar Samantha di salah satu hotel bintang tiga di kawasan Roppongi. Mungkin tempat itu bukan yang terbaik. Tapi aku selalu menyukai tempat yang tidak ramai, memiliki live musik dan pemandangan malam jika kebetulan kondisi rumah membuatku jenuh selain itu pemilik bar ini juga berhutang pada ayahku sehingga tempat ini salah satu checkpoint yang biasa Kurogiri atau aku gunakan. Dunia mungkin lebih berdamai dengan keluargaku, tapi aku selalu waspada jika ada pahlawan naif berpikir menangkap ku akan mengubah banyak keadaan.
Ketika aku datang Himiko sedang mengaduk ginger ale yang es-nya hampir cair semua dengan sedotan. Aku duduk di sampingnya dan meminta bartender untuk memesan minuman yang sama, malam ini aku masih punya urusan dan sedikit alkohol jauh lebih baik.
"Kukira kamu tidak jadi datang," Himiko berkata dengan sedikit lega.
"Aku tidak pernah ingkar janji. Lagipula mana mungkin aku melewatkan malam terakhir bersamamu sebelum lusa kamu akan menikah?"
"Kupikir Hitoshi yang mengurus semua berkas-berkas itu."
"Memang, tapi pekerjaanku punya banyak jenis dan ada beberapa yang tidak bisa kuberikan pada sembarang orang."
"Termasuk kepercayaanmu sekalipun."
"Ya."
"Pasti berat. Kau setahun lebih tua dariku dan sudah jadi bos segala macam urusan. Aku sekarang mulai berpikir untuk berhenti jadi penyanyi… entahlah, aku merasa lelah akhir-akhir ini."
"Serius?"
"50:50."
"Sudah bicara dengan Natsuo?"
"Justru karena Natsu-kun aku berpikir untuk berhenti. Dia memang tidak menyuruhku, tapi kamu tahu kan adik kecil Touya satu itu sedikit membenci sorotan media."
Aku tertawa kecil. Di saat yang sama minuman pesanan ku datang. Aku menawari Himiko gelas baru, tapi ditolak. Tidak ingin minum banyak-banyak malam ini.
"Aku bisa paham," kataku setelah menyeruput sedikit rasa dingin ginger ale. "Dia masih aktif menerima beberapa job sampingan. Ku pikir setelah insiden dengan Nighteye Kak Touya akan memarahiku karena membuat adik-adiknya terlibat. Tapi kau tahu siapa yang dulu yang mengajukan lamaran."
Dia terkikik.
"Kak Touya memegang Eropa, Fuyumi di Komisi, Natsuo bawah tanah dan Shoto kecil publik figur yang baru," Aku tersenyum. Para Todoroki benar-benar aset paling berharga. Bahkan ayahnya memberi ku Quirk api yang selalu menjadi urutan paling atas dari 13 unsur Quirk yang kupakai dalam wujud Dragon.
"Aku tidak keberatan. Tapi sekarang Natsuo-kun adalah mainan ku. Jadi~?"
"Tentu Hime… aku akan berhati-hati."
Himiko kembali mengaduk-aduk ginger ale-nya dengan sedotan.
"Kalau aku benar-benar berhenti dari dunia hiburan… menurut mu apa yang bisa kulakukan setelahnya?"
"Tergantung kau mau apa?"
"Bekerja bersama Natsu-kun?"
Aku menoleh. Himiko pandai menipu dan itu yang membuatnya menakutkan. Pertama kali aku bertemu dengannya aku selalu tahu perempuan ini lebih dari sekedar gadis manis yang bernyanyi di atas panggung. Aku mencari background Himiko sesudahnya, dan itu bukan arah yang ingin aku dapatkan. Darah dan adrenalin adalah cara Himiko menikmati hidup.
"Apa stok mingguan mu jelek? Aku tahu cara ku berbeda dari cara Jin. 10 top mungkin ada di pihakku, tapi banyak pahlawan di luar sana bersedia menyeret ku jika mencium hilangnya beberapa petarung garis depan… maaf."
Himiko menyukai darah. maksudku dia benar-benar menyukai darah segar dan untuk kebutuhannya. Dia perlu merasakan darah dari tubuh hidup yang segar. Uniknya Himiko punya kriteria untuk itu, biasanya para pahlawan yang suka bertarung tanpa peduli dirinya sendiri. Ada banyak jenis pahlawan seperti itu di dalam kotak hartaku, tapi sifat burukku adalah tidak suka membagi mainanku dengan orang lain, bahkan itu termasuk anggota keluargaku sendiri.
Jin tewas ketika tim gabungan pahlawan menggerebek pusat penelitian salah satu milik dokter, Jin ada di waktu yang salah. Dokter selamat, beberapa Nomu harus dikorbankan, tapi insiden itu melahirkan kreasiku yang paling menawan. Kini Kouta jauh lebih siap menggantikan posisi Gigantomachia.
Tentu aku berhutang atas kematian Jin. Pro Silverwing berpikir dia adalah penerus tekad kuno Yagi dan penyerangan pabrik nomu adalah cara menunjukkan dunia bahwa Jepang di korupsi. Bodoh pikirku, dia menang di luar tapi sisanya hanya jatuh ke jurang. Istri dan dua anak laki-lakinya kuberikan pada Himiko sebagai balas dendam lalu Kawara Mukoro identitas Silverwing harus menyaksikan 48 jam keluarganya di siksa di depan matanya sebelum memohon padaku untuk kematian. Aku menolak, 24 jam lagi dia kubiarkan menonton neraka sebelum kusuruh Dark shadow mencabik-cabik hama itu.
Himiko mungkin puas, tapi aku tahu hubungannya dengan Jin seperti hubunganku dengan Kak Touya. Saudara. Balas dendam tidak akan membawa Jin kembali.
Sejak itu aku menggantikan Jin untuk memasok kebutuhan Himiko dan mungkin selama itu juga Todoroki Natsuo mencuri perhatian Himiko.
"Jangan khawatir, aku bahkan sudah bosan. Aku punya mainan baru."
"Oh ya? Apa itu?"
"Wanita selalu menyimpan rahasia."
"Ayolah. Apakah kamu mau membuatku mencari sendiri?"
Dia berpikir selama 15 detik.
"Kamu ingat mutan belalang lulusan UA kan? Nah kami berdua berbagi fantasi bersama."
Aku memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh.
"Aku akan masih tetap membantumu jika kamu ingin, itu janjiku," kataku.
"Manis. Tapi kamu juga sudah harus berpikir untuk mencari perempuan lain Izuku, aku menyadari rasa perasaanmu padaku, aku senang, tapi aku ingin kita hanya sebagai teman dekat."
"Itu kata-kata kejam untuk malam perpisahan kita."
"Salahmu sendiri terlalu muda dibaca perempuan."
Dia tertawa lalu menyalakan rokok. Selama tiga kali menghembuskan asap rokok, dia tetap diam sembari memandangi fitur kayu yang ditempel di kantor.
"Mungkin kamu sudah dengar dari Touya… tapi biar aku luruskan. Bukan dia yang membunuh ayahku, tapi aku yang membuat kesempatan dia melakukannya. Aku mengintip dari balik pintu saat Touya menggorok leher ayah. Jujur selama ini aku kadang berpikir apakah itu membuatku sedih atau senang. Di sisi lain Ayah mengajari ku cara menikmati darah tapi di sisi lain dia melecehkan ku dengan fantasi nya yang gila."
Aku menangguk. Touya mengatakan jika itu adalah aksi pertamanya yang mengundang saksi mata. "Bagaimana dengan ibumu?"
"Dia masih hidup. Tapi entah di mana. Soalnya kartu ucapan selamat ulang tahun baru dari dia selalu datang."
"Kamu suka dia?"
"Tidak."
"Oh."
"Tapi wajah cantiknya menurun padaku dan itu membuatku bisa jadi penyanyi sampai sekarang."
Setelah berkata demikian, dia tertawa gugup dan menggeser ginger ale-nya ke samping.
"Kamu ragu dengan pernikahan mu?" tanyaku tiba-tiba.
"Natsu-kun memang sudah tahu luar dalam diriku. Tapi apa itu bisa bertahan jika kami menjadi pasangan suami istri? Maksudku aku memang menerimanya, tapi akhir-akhir ini aku berpikir kalau ini bukan ide baik."
"Dari semua Todoroki, Natsuo yang paling normal. Kebenciannya pada Enji adalah murni anak kecewa pada ayah dan kasih sayang yang dibumbui rasa iri adalah normal karena dia tidak istimewa. Percayalah kamu tidak salah memilih Himiko."
"Kuharap.
Dia tertawa riang. Tapi aku tahu itu tawa untuk menunjukkan isi hatinya yang sesungguhnya. Aku sudah berpacaran dengan Himiko selama hampir setahun. Aku akan berani bilang jika aku adalah laki-laki yang bisa membahagiakan nya, tapi Himiko sudah memilih Natsuo. Aku kalah untuk pertama kali.
"Ayolah minum bersamaku. Ini malam terakhir kita bukan."
"Kenapa kamu sendiri tidak memesan seperti biasa?"
"Karena perempuan yang mengajak minum selalu menceritakan kisah sedih."
"Itu ejekan?"
Aku mengedipkan mata dan memasang seringai.
"Kalau begitu aku pesan anggur putih."
Aku memanggil bartender dan memesan bir kesukaanku dan anggur putih.
"Ada sesuatu yang kamu inginkan?" tanyaku.
"Serius? Kamu bertanya kado pernikahanku? Mana kejutannya?"
"Aku tahu banyak kesukaanmu, tapi aku ingin kali ini spesial. Hitung-hitung aku masih belum puas dengan hasil perang ini."
"Baik, tapi ada dua."
"Oke pertama?"
"Pilih dua orang ini yang harus kamu habisi. Pertama sahabat kecil mu si ledakan atau pemilik OFA yang baru si rambut merah keras itu? kamu boleh saja sudah hampir memenangkan semua perang, tapi jika bagian ini tidak bisa kamu hadapi, kamu tidak lebih baik dari ayahmu."
Aku diam memandangnya lalu bertanya kado kedua.
"Nikahi Ochako. Dia memang pahlawan, tapi aku lebih percaya dia menjadi istrimu dibanding semua wanita di dunia ini."
Pesanan kami berdua datang dan dia memadamkan rokoknya, lalu menatap wajahku lekat-lekat seperti orang tua sedang memarahi anaknya.
Satu hal malam itu yang aku sadari kenapa menyukai Himiko bukanlah aku merasa kami berbagai penderitaan karena Quirk yang kami miliki, tapi rasa kepedulian Himiko seperti sosok kakak perempuan lebih tua. Aku merasakan ketenangan jika Himiko memberikan ku jawaban meski kadang cara penyampaiannya agak aneh.
"Ada keringanan?"
"Tidak ada, bodoh."
Tentu saja. Aku mendesah, rupanya kehilangan Himiko bukan awal kesedihan ku malam ini, tapi kenyataan jika aku terlalu lembut untuk tujuanku sendiri.
Pengorbanan itu penting.
