"Di mana ratu, hah?! Cepat katakan!"

Dayang istana itu meringis. Saat cengkraman di rahangnya berubah menjadi tolakkan yang membuat tubuhnya terhempas ke belakang, dia tak mampu lagi menyembunyikan air matanya. Berteriak ampun pada sang raja yang menampakkan ekspresi marah yang kentara, nyatanya juga tidak menuai hasil selain ayunan pedang yang diarahkan ke depan dadanya. Menebas tubuhnya dengan keji hingga menyisakan jeritan yang melesak dari kerongkongannya.

Sang raja mencabut pedang yang tertancap di tubuh dayang malang itu, lalu menyibakkan jubah keemasannya saat langkah kaki menuntun dirinya yang tengah gusar keluar paviliun. Tanpa mempedulikan hujan yang mulai membasahi bumi, dia berjalan cepat melintasi gerbang istana. Menuju suatu tempat tak jauh dari istana yang ditunjukkan oleh salah seorang pengawalnya.

"Tidak ... Ratu ... "

Hatinya yang beku berdesir aneh. Saat langkah kakinya terhenti dan mendapati dirinya berada di sebuah tebing, perasaannya menjadi tak karuan. Terutama, saat matanya menangkap pancaran kebencian dari sepasang giok yang menatapnya di ujung tebing tersebut.

Uchiha Sasuke namanya. Raja dari Kerajaan Uchiha yang terkenal akan kekejaman dan kebengisannya. Raja yang tidak segan-segan membunuh semua yang menghalangi tujuannya. Raja pertama yang mampu membawa Uchiha menjadi kerajaan terbesar se-Asia Timur. Juga, raja yang tak mampu menaklukan hati istrinya sendiri.


Hidden Feeling


Disclaimer : Naruto and all characters inside are Masashi Kishimoto Ojisan's

Story by : stephanieekam

Genre : Romance (?)

#Project001events

Dont Like Dont Read

Enjoy!


"Ratu!"

Genggaman pada pedangnya semakin mengerat. Wanita itu mengangkat pedangnya, mengarahkan pada sang raja yang berada jauh di depannya.

"Akhirnya kau datang juga, Yang Mulia."

Kening Sasuke berkerut, menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Tubuhnya membeku. Entah kenapa, melihat mata pedang istrinya teracung padanya membuat sebagian hatinya mencelos. Juga tatapan penuh luka itu, ia tidak tahu alasannya, tapi ia tidak sanggup untuk balas menatapnya.

"Apa yang kau lakukan di tempat ini, ratu?!" teriaknya membentak. Saat ia menyadari bahwa ekspresi wanitanya tidak berubah sedikit pun, tangannya mulai mengepal erat.

"Ratu? Kau bilang aku ratumu?" Wanita itu tersenyum mengejek lalu tertawa keras. Suaranya menggema di tengah kesunyian pepohonan dan jurang yang berada tepat di bawahnya. "Tidak, Yang Mulia. Kau tidak pernah menganggapku sebagai ratu Kerajaan Uchiha. Aku bukan ratu untukmu. Aku ini hanya salah satu alat untuk memperluas kerajaanmu saja, bukankah begitu, hah?!"

Rahang Sasuke mengeras. Ia mencoba melangkah, mendekati istrinya yang nampak pucat setelah mengatakannya. Namun, wanita itu memundurkan langkahnya, membuat Sasuke menahan napas karena jarak istrinya dari jurang semakin menipis.

"Jangan mendekat!" Wanita itu kembali mengacungkan pedangnya dengan gemetar. "Kau ... kau pembunuh! Kau membunuh keluargaku! Kau pengkhianat!"

Sasuke tertegun. Netra kelam itu melebar.

"Dalam perjanjian antar kerajaan, bukankah sudah tertulis kalau kau tidak akan menyentuh Kerajaan Haruno jika kita menikah? Lalu kenapa ... kenapa kau membunuh keluargaku?!" teriakan pilu wanita itu menggema. "Kau menikahiku karena kau menginginkan Kerajaan Haruno menjadi milikmu, iya 'kan?"

Setelah mengatakannya wanita itu terjatuh bersimpuh, membuat pedang yang ia pegang erat juga ikut terhempas. Air matanya keluar tanpa bisa ia dibendung dan isakkan itu lolos dari bibirnya.

Hujan semakin deras dan wanita itu memeluk tubuhnya yang sudah mati rasa. Sasuke menatapnya nanar, saat rasa yang ia tidak tahu apa mulai menggerogoti dirinya.

Saat kepala berhiaskan helaian merah muda itu terangkat dan bibir kecil itu mulai membuka, wanita itu membisikkan dua kata yang membuat hatinya terasa seperti dihunus pedang.

"Bunuh aku, Yang Mulia Uchiha Sasuke."

Tidak bisa. Sebiadab apa pun dirinya, sekeji apa pun hatinya, dia tidak akan sanggup membunuh istrinya sendiri. Karena—

"Atau begini saja ... " Tubuh yang rapuh itu berdiri. Kaki-kakinya yang gemetar perlahan-lahan melangkah ke belakang. Sembari menyunggingkan senyum di wajah ayunya, dia menatap ekspresi kaku sang suami. Yang berubah menjadi tanpa daya ketika kakinya mencapai batas dan tubuhnya dia hempaskan ke belakang.

"Selamat tinggal, Yang Mulia."

Sasuke tidak dapat menahan tubuhnya yang bergerak spontan saat menyaksikan tubuh istrinya hilang ditelan bumi. Tanpa ragu kakinya berlari, hingga tanpa sadar turut melompat ke dalam jurang untuk menyusul wanita yang baginya adalah cinta sejatinya.

—dia mencintainya.


"Bukan begitu cara memegang pedang yang benar, bodoh!"

Haruno Sakura menoleh, menemukan sesosok lelaki yang kira-kira berusia sama dengannya melompat turun dari pohon dengan tangan berkacak pinggang. Kening gadis itu berkerut. Dia tidak mengenal orang itu sebagai salah satu pengawal atau anak juru masak di istananya, tetapi kenapa dia bisa muncul seenaknya di halaman istana Haruno?

"Hyaatt! Hyaatt! Hyaatt!"

Sakura memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan latihannya seorang diri saat tiba-tiba sebuah pedang kayu menangkis pedangnya hingga terhempas.

"Hei, kau siapa sih? Jangan ganggu latihanku. Aku harus bisa mengimbangi kakakku, tahu!" ucapnya dengan nada kesal. Dia membungkuk untuk mengambil pedang kayunya, namun tidak dapat karena laki-laki itu sudah duluan mengambil dengan kakinya.

Sakura benar-benar kesal sekarang.

"Kau tidak akan bisa mengalahkan kakakmu kalau pegangan tanganmu masih kaku seperti itu."

Laki-laki itu menyodorkan kembali pedang itu padanya dan Sakura mengambilnya dengan kasar.

"Aish, kau galak sekali sih."

Tidak mau ambil pusing dengan perkataan orang itu, Sakura berencana untuk menyudahi latihannya. Namun sebelum Sakura beranjak lebih jauh dari halaman itu, tiba-tiba saja orang itu mendekap tubuhnya dari belakang kemudian meraih tangannya. Kembali menempatkan pedang kayunya di genggaman tangan gadis itu.

Lelaki itu berbisik di telinganya. "Akan kuajarkan cara yang benar."

Yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana anak laki-laki itu mulai menguasai tangannya dari belakang tubuhnya. Membawanya pada gerakan-gerakan indah seperti tarian meskipun sebenarnya mereka sedang memainkan pedang. Dan Sakura kehilangan konsentrasinya secara penuh. Hanya terfokus agar bagaimana detak jantungnya tidak menggila. Ia juga tidak tahu mengapa, tapi ia menyukai sensasi itu. Lalu menyadari bahwa bukan hanya jantungnya saja yang tidak berfungsi normal, tetapi juga jantung laki-laki itu.

Kalau orang itu adalah anak seorang pengawal, bukankah lancang baginya untuk menyentuh seorang putri?

Jadi, siapa dia?

"Kau mengerti 'kan?" Sakura kembali pada kesadarannya saat suara bariton itu mengalun di telinganya. "Semuanya mengandalkan kekuatan. Kalau pergelangan tanganmu saja kaku—" Dia kembali menyentuh tangan Sakura. "—bukan kau yang berhasil menebas musuh, tapi kau yang tertebas."

Sakura mengangguk ragu tanpa suara. Detak jantungnya masih menggila.

"Sampai jumpa!" Dan dia melangkah pergi.

Menyaksikan bagaimana laki-laki itu tersenyum kecil membuat hatinya menghangat. Bukan senyum kecil sih, lebih terlihat seperti menyeringai. Namun, apa pun itu dia tidak peduli.

Kau ... belum menyebutkan siapa dirimu," ucapnya dengan nada tertahan.

Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya, berbalik padanya. "Ah, aku Sasuke. Uchiha Sasuke. Baiklah, sampai ketemu lagi, Haruno Sakura."

Dan Sakura menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak memekik terkejut. Uchiha Sasuke, putra mahkota Kerajaan Uchiha yang notabene adalah musuh kerajaannya yang kecil, bagaimana bisa dia di sini?


"Bagaimana kondisinya?"

"Yang Mulia Ratu beruntung karena Yang Mulia Raja melindunginya dari benturan. Patah tulangnya berangsur membaik. Tinggal menyembuhkan lebam-lebamnya saja. Tapi, Yang Mulia Raja ... "

Sakura mendengar samar-samar suara tabib itu dari mimpi indahnya. Mimpi masa lalunya. Saat perlahan dia mulai menggerakkan tangannya, para dayang ratu mulai mengerumuni tubuhnya yang terbaring di sebelah sang raja. Beberapa berbisik dengan nada gembira.

"Yang Mulia Ratu."

Sakura memegangi kepalanya yang terasa sakit ketika tubuhnya dibantu untuk duduk oleh dayang kepala. Perlahan menatap ruangan berwarna keemasan yang ia pikir tidak akan ia lihat lagi di kehidupannya ini. Dia menerima cangkir yang diberikan dayang kepala kemudian meneguk isinya.

"Yang Mulia Ratu, Dewa masih melindungi Anda. Yang Mulia Ratu, ini adalah berkah bagi Kerajaan Uchiha."

Sakura menoleh. Mendapati Uchiha Sasuke tengah terbaring di sebelah tubuhnya dengan kepala, dada, dan kaki penuh perban. Lalu otaknya kembali memutar pada potongan kisah sebelum tubuhnya terhempas ke jurang.

"Yang Mulia ... dia ... kenapa?"

"Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu ditemukan di sungai yang ada di bawah jurang. Yang Mulia Raja sepertinya mendekap Anda sesaat sebelum tubuh Anda menghantam air. Beruntung airnya cukup dalam, jadi tubuh Yang Mulia tidak menghantam dasar sungai."

Sakura menutup matanya lalu menghela napas panjang. Kenyataan kalau sampai saat ini ia tidak mati karena Uchiha Sasuke yang menukarnya dengan keselamatannya membuatnya tidak nyaman.

Dia memasang wajah dinginnya. "Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

"Dua minggu, Yang Mulia," jawab sang dayang kepala.

"Ah begitu," kata Sakura pelan. "Oh ya, kalau kalian sudah selesai mengobati Yang Mulia Raja bisakah kalian tinggalkan aku? Kepalaku masih sakit, aku ingin istirahat lagi."

"Baik, Yang Mulia." Para dayang dan tabib itu membungkuk sebelum akhirnya meninggalkan dirinya dan Uchiha Sasuke yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.

Sakura mencoba untuk kembali berbaring dan mengabaikan rasa sakit di lengan kanannya yang ia perkirakan terdapat lebam atau mungkin retak. Mencoba menatap ke langit-langit saat tatapannya berubah nanar. Kepalanya menoleh ke kiri dan mendapati Sasuke yang masih bergeming di tempatnya.

"Kenapa kau lakukan ini padaku? Harusnya kau biarkan saja aku mati menyusul keluargaku."

Tidak ada suara menyahut selain dari cicitan burung di luar.

Kota itu nyaris terbakar. Seluruhnya. Tidak ada satu pun rumah penduduk yang tersisa karena semuanya rata dengan tanah. Ini adalah akibat perang. Kerajaan Haruno dalam sekejap berubah menjadi kota hantu karena kekalahannya pada Uchiha.

Sakura meringis saat jenderal kerajaannya mati tertebas begitu saja di depan matanya. Saat tangannya diam-diam mencoba untuk menggenggam pedang bersarung dari balik tubuhnya, saat itulah matanya bertemu dengan pemilik senyuman yang dulu sempat membiusnya ke dalam debaran aneh.

Tidak, Sakura tidak akan jatuh dalam debaran itu lagi. Pria itu sudah menghancurkan kerajaannya maka dia harus membayarnya.

"Aku menyetujuinya."

Sakura menoleh mendapati sang ayah melangkah dengan wajah tenang ke hadapan Sasuke dengan hanya berbekal sebuah gulungan kertas kerajaan dan bukan pedangnya.

"Aku akan menikahkan dia padamu, jadi hentikan semua peperangan ini."

Genggaman pedang di tangannya lepas begitu saja. Sakura menatap sang ayah dengan pandangan tak percaya kemudian menatap Sasuke yang berdiri dengan ekspresi tak terbaca.

"Tidak, Yang Mulia Raja! Anda tahu 'kan dia sudah—"

"Cukup Sakura! Ini demi Kerajaan Haruno." Haruno Kizashi berteriak padanya, membuat tetesan air mata itu mengalir begitu saja membasahi pipinya. Saat bibirnya mencoba untuk membuat suatu bentuk penolakan lagi, sang ayah memilih untuk meninggalkannya. Hanya berdua dengan pria yang kini kembali tersenyum menyeringai padanya.


"Kau egois. Kau membunuh mereka dan kau membiarkanku di sini, di sampingmu. Jika kau berniat menghabisi seluruh Kerajaan Haruno, kenapa kau tidak membunuhku juga?"

Sakura berpaling. Dia menyadari kalau suara yang meluncur dari bibirnya hanya bentuk kesia-siaan belaka. Nyatanya, pria itu tetap terlelap dalam mimpi yang entah sampai kapan merenggut kesadarannya.

"Bangunlah, Uchiha Sasuke. Bangun dan bertanggungjawablah atas apa yang kau lakukan pada hidupku."


Satu minggu sudah semenjak ia siuman dan kondisinya semakin membaik dari hari ke hari. Tangan kanannya yang retak sudah berangsur pulih. Sakura memutuskan untuk kembali ke paviliunnya setelah tertidur cukup lama di paviliun raja.

Pagi itu tidak begitu cerah dibandingkan hari-hari lainnya. Langit nampak kelabu dengan gumpalan putih yang jatuh menimbun tanah, menutupi hijaunya rumput, dan menyamarkan warna-warni bunga. Sakura memandangnya lamat dengan tatapan kosong sebelum dayang istana memanggilnya lembut. Memberikan sehelai jubah tebal berbulu yang akan menghangatkannya dari angin musim dingin.

"Bisakah kalian tinggalkan aku sendiri?" Suara Sakura mengalun pelan. Para dayang-dayangnya kemudian menatapnya ragu, sebelum akhirnya dia kembali bersuara, "Tenang saja. Aku tidak akan kabur seperti dulu."

Setelah mereka undur diri, Sakura kembali pada aktivitas baru yang ia lakukan belakangan hari ini. Melamun, membiarkan langkah kaki menuntunnya tanpa tentu arah dengan pikiran mengawang-awang. Hal yang berbeda hanya kini, ada salju yang menutupi helaian merah mudanya.

Tanpa sadar dia berdiri tepat di depan paviliun raja. Suara terkejut dari dayang kepala paviliun raja menyapa telinganya. Yang menatapnya khawatir karena salju di tubuhnya.

"Bolehkah ... aku menemui Yang Mulia?"

Dayang itu menganggukkan kepala cepat-cepat dan mempersilakannya masuk.

Paviliun raja begitu hangat di musim dingin. Sakura mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sebelum akhirnya matanya berhenti pada sesosok pria yang tengah terlelap. Melangkahkan kakinya perlahan mendekat sebelum akhirnya mencoba duduk di sampingnya.

Mendapati ratu membutuhkan waktu berdua dengan sang raja, para dayang itu diam-diam meninggalkan ruangan. Dan Sakura yang menyadarinya hanya menghela napasnya.

"Yang Mulia Raja–bukan–Uchiha Sasuke, aku datang untuk melihatmu."

Sunyi menjadi pemisah jarak di antara keduanya.

"Kau belum bangun? Kenapa tidak mau bangun? Kau tidak mau melihatku makanya kau memilih untuk larut dalam mimpi indahmu?"

Tanpa disadari tangannya bergerak menyusuri wajah Sasuke dengan perlahan. Merasakan desiran dalam dada yang membuncah karena pria itu tak merespon, Sakura memalingkan muka, menyembunyikan raut terlukanya.

"Ke mana Uchiha Sasuke yang kejam itu? Kenapa, kenapa di depanku kau berlaku tak berdaya seperti ini, hah?" Suara Sakura mulai gemetar.

Saat sesak di dadanya kian terasa, dia tidak dapat lagi menahan rasa perih di hatinya. "Kau tak seharusnya begini. Kenapa kau malah membuatku merasa begitu bersalah padamu, hah?! Kau menyelamatkanku, menukar nyawamu, tidak sadarkah kau malah membuatku semakin membencimu?"

Dan tetesan air mata itu meluncur deras membasahi pipinya.

"Aku membencimu, Sasuke. Kau dengar? Sejak kita menikah, aku sangat membencimu! Sangat, sangat—"

Ucapan Sakura terhenti saat sebuah tarikan keras membuat tubuhnya terjatuh tepat di atas dada pria itu. "Kau ... Berhenti mengatakan itu, aku benci kata-katamu."

Sakura mengangkat kepalanya dan mendapati sepasang netra kelam memandanganya dengan tatapan dingin. Dia tertegun. Mencoba bangkit dari atas tubuh pria itu namun gagal karena Sasuke menahan punggungnya.

"Sasu–Yang Mulia! Lepaskan!"

Sasuke tetap bergeming dan Sakura mulai meronta di atas dadanya. "Tidak akan kulepaskan sebelum kau mendengar ini dari mulutku."

Sakura terdiam. Masih dalam posisi sama di mana kedua mata itu saling bertemu, Sakura memilih untuk mendengarkan kata-katamu pria itu.

"Orang tuamu. Saat mereka menikahkan kita, mereka sudah berencana untuk menghancurkan dan merebut Uchiha. Saat anak pertama kita lahir nanti, saat itulah mereka akan membunuh bukan hanya aku, tapi juga kau dan seluruh keluarga Kerajaan Uchiha. Lalu menjadikan anak kita sebagai pion untuk menjadikan ayahmu sebagai kakek calon raja dan membuatnya memiliki pengaruh di kerajaan ini."

Sakura menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Tidak mungkin, tidak mungkin ayahku—"

"Sadarilah Sakura, keluargamu tidak pernah menganggapmu! Bagi mereka hanya ada Sasori, kakakmu, anak laki-laki penerus mereka. Dan kau hanya seorang wanita yang hanya akan berakhir sebagai istri orang. Sebagai pion untuk menguatkan Kerajaan Haruno. Buka matamu!"

Air matanya mengalir lagi, kini lebih deras. Mengabaikan rasa ngilu yang teramat, tangannya bergerak untuk menghapus air mata dari wajah istrinya.

"Itu terjadi pada ayahku. Keluarga Haruno membantai habis keluargaku dan menjadikan Itachi, anak mendiang Ratu Haruno Natsumi sebagai pion mereka. Namun ayahku memiliki selir yang tidak mereka ketahui, itu ibuku. Sebelum ayahku mati, dia menjadikan aku putra mahkota dan bukan Itachi untuk menyelamatkan Uchiha."

Sasuke melepaskan kungkungan tangannya dari punggung Sakura. Wanita itu mengangkat tubuhnya perlahan diikuti Sasuke yang mencoba untuk memasang posisi duduk.

"Maafkan aku. Harusnya kau tidak menikah denganku kalau kau tahu kita akan berakhir begini." Sakura menghela napas panjang. "Kau hanya menyakiti dirimu sendiri, termasuk ketika kau ikut terjun ke jurang itu."

Sakura menengadah, menatap ke arah jendela di mana salju turun dengan lebatnya. Saat itu, suara bariton Sasuke kembali terdengar. "Bahkan jika kau mencoba untuk melompat ke dalam jurang sekali lagi, aku juga akan melakukan hal yang sama sekali lagi."

"Tapi ... kenapa?" Sakura menoleh ke arahnya.

"Karena kau istriku, ratuku. Sampai aku mati nanti, hanya kau satu-satunya ratu."

Sakura memandangnya dengan dahi berkerut. Saat jemari pria itu terulur untuk menyentuh pipinya yang memerah, Sakura tidak dapat lagi menahan degup jantungnya yang menggila. Persis seperti waktu lalu saat mereka bertemu pertama kali.

"Akhirnya ada saat di mana kau tidak menatapku dengan penuh kebencian." Sasuke berbisik ketika jarak mereka sudah semakin menipis. "Tapi, tak peduli betapa kau membenciku, aku tidak bisa menghilangkan degup jantungku yang menggila karenamu. Aku mencintaimu, ratu."


—End—


Stephanie's NoteHalo, mungkin beberapa dari kalian tidak asing dengan cerita ini. Cerita ini pernah dipublikasikan di aplikasi oranye dengan judul yang sama dalam sebuah ajang perlombaan. Saya hanya mempublikasikan ulang di platform yang berbeda.

Terima kasih sudah membaca.