Disclaimer: Masashi Kishimoto

Langit sendu di kota Konoha menyambut datangnya malam. Langit yang biasanya berwarna jingga kini terlihat awan-awan hitam yang menyelimuti. Mentari senja bersembunyi di balik awan kelam. Angin terus berhembus kencang meniup pepohonan. Burung-burung berterbangan bergegas pulang menuju sarang rumahnya. Sesekali terdengar kicauan seolah bernyanyi "hujan akan datang". Terbang bersamaan bersama kawanan lainnya.

Seorang gadis berambut coklat tersenyum tipis memandangi langit yang menghitam. Manik madunya menatap penuh harap agar hujan lekaslah turun. Gadis itu rindu hujan, rindu hujan yang tlah lama ia nantikan. Rindu hujan ataukah rindu sesuatu yang berkaitan dengan hujan?

Sepertinya hal kedualah yang benar. Gadis bernama Chocho itu berdiri menantang kencangnya angin atau dinginnya angin bercampur rintik hujan yang mulai mengguyur. Ia tidak peduli sebagaimana basahnya dirinya. Ia pun tiada peduli bila ia akan sakit karena tingkah lakunya saat ini. Yang ia pedulikan adalah ia ingin mengenang kembali hal-hal manis bersama 'dia. Ia sangat ingin menyesapi kehadirannya kembali. Ia sangat ingin memeluk 'dia meskipun ia hanya sebuah khayalan.

Memejamkan mata , Chocho menikmati dinginnya air hujan yang mengguyur lebat padanya. Guyuran hebat yang terkadang menyakiti dirinya. Ia tiada niat untuk berteduh ataupun sekedar membuka payung yang ia genggam. Seragam miliknya terlihat lunglai dan menempel pada tubuh tambun Chocho.

Bibir mungilnya mulai bersenandung kecil. Menyanyikan lagu yang begitu menyentuh hati. Lagu yang menurutnya begitu mewakili perasaannya saat ini. Terus memejamkan mata dan bersenandung, ia tetap membiarkan tubuhnya berdiri kaku.

Chocho tersenyum miris. Harapan? Benarkah harapan itu ada? Pertanyaan itu membuat bulir-bulir air mata menyelinap dari kelopak matanya yang tertutup. Hal seperti itu, seperti sebuah omong kosong. Chocho selalu berharap dan terus berharap 'dia akan melihatnya. Tanpa lelah Chocho selalu memberi perhatian ataupun secuil peduli untuknya, lalu kenapa 'dia tiada kunjung mengerti akan perasaan Chocho? Dia hanya berkata 'terima kasih' lalu ia pun berlalu. Hal seperti itu, Chocho masih bisa terima.

Lagi-lagi Chocho tersenyum di tengah tangisnya. Membayangkan 'dia, membayangkan saat pertama kali bertemu denganya. 'Dia bagai super hero yang menyelamatkan dirinya yang hampir terjatuh dari ketinggian. Lagi dan lagi, saat ia hanya berucap 'terima kasih', dan selalu berlalu pergi. Sungguh, saat itu Chocho sangat ingin berbicara banyak hal bukan hanya 'trima kasih' lalu pergi. Sungguh, Chocho sangat ingin berbicara lama dengan sosok dirinya.

Dan sejak saat itu, Chocho sadar bahwa dirinya jatuh cinta sejak pertama kali mengenalnya. Bahkan Chocho menemukan dirinya bertingkah konyol dengan menjadi sosok yang bukan dirinya agar menarik perhatian 'dia.

Ingin sekali Chocho tertawa kencang mengingat hal itu.

Bukan, bukan tawa yang keluar dari bibir mungilnya, melainkan tangis yang semakin menjadi hingga membuat bahu Chocho bergerak naik turun. Mencoba menghentikan tangisnya, ia menggigit kuat bibir bawah miliknya. Sia-sia, hal itu tak menyebabkan goncangan tubuhnya berhenti, justru semakin sakit. Chocho mencengkram dadanya kuat-kuat. Berharap dengan itu, sakit di dadanya segera sirna.

Rasa sakit ini sungguh teramat sakit. Bagaikan seribu jarum menghujam terus menerus ke arah jantung miliknya. Sakit, namun tiada setitik darah yang mengalir dari tubuhnya. Sakit, hingga ia tiada mengerti bagaimana menghentikan rasa sakit ini. Ia hanya tersenyum di tengah kesakitannya. Ia hanya bisa menikmati racun yang terus mengaliri seluruh aliran darahnya.

Dari mana rasa sakit ini datang?

Sebuah pertanyaan terlintas begitu saja.

Bila diingat, ia merasakan sakit ini saat dia mengatakan bahwa dirinya telah resmi menjadi kekasih Suika. Di situlah awal mulanya rasa sakit mulai menerpa tubuhnya. Saat pertama mendengar kabar itu, Chocho merasakan tubuhnya tenggelam ke dasar laut. Sesak tiada bisa bernafas. Lagi-lagi Chocho hanya tersenyum getir mengingat hal itu.

"Shinki,"

Brug

Sekuat apapun keinginannya untuk tetap berdiri menentang hujan, tapi tubuhnya tidaklah sanggup menahan itu semua. Hingga tubuh Chocho ambrug di antara kubangan air.

"Chocho"

Hal yang terakhir ia lihat adalah sosok pemuda berambut putih yang sangat ia kenal. Mitsuki, teman satu kelasnya.

Chocho mulai menutup matanya. Dan tiada sadarkan diri.

.

.

.

Mitsuki x Chocho

.

.

.

Saat kesadaran mulai teraih, Chocho mengerjap beberapa kali. Membiasakan bias cahaya yang mulai memasuki retina matanya.

Kepalanya berdenyut pusing. Efek menangis di bawah hujan, mungkin?

Berapa lama ia tiada sadarkan diri?

Chocho menghela nafas, mengingat kelakuan bodohnya.

Ketika tenggorokan terasa mengering, Chocho mencoba menggerakkan tubuhnya untuk bangkit.

Ia mengernyitkan dahinya saat merasakan tangannya terasa terasa berat ditimpa sesuatu. Matanya bergulir ke samping dan ia menemukan rambut putih yang menimpa tangannya.

Mitsuki

Oke, ia harus mengucapkan banyak terima kasih pada pemuda ini. Kalau tidak ada dia, mungkin ia akan mati kedinginan dengan hujan deras yang masih mengguyur.

Chocho mencoba menggerakan tangan kanannya berharap dengan pergerakannya mampu membangunkan Mitsuki.

Berhasil!! Pemuda itu menggeliat dan mengucek matanya. Chocho berusaha melengkungkan senyum.

"Kau sudah siuman?" tanya Mitsuki dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Um," Chocho hanya mengangguk lemah.

"Kau mau minum?" tawar Mitsuki. Tanpa menunggu jawaban Chocho, ia meraih segelas air putih dan menyodorkan ke arah gadis bermarga Akimichi itu.

Chocho berusaha duduk dengan bantuan Mitsuki, lalu ia menerima gelas itu dan meminumnya hingga habis.

"Apakah sudah lebih baik?" entah kenapa Chocho menemukan Mitsuki banyak bertanya. Biasanya dia lebih banyak terdiam.

Chocho mengangguk sebagai jawaban.

"Kalau begitu, akan ku panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu," baru saja Mitsuki mau beranjak dari tempatnya, namun lengannya dicekal oleh tangan Chocho. Ia menoleh ke arah gadis itu.

"Antarkan aku pulang saja,".

"Kau yakin kau sudah baikan?"

"Aku baik-baik saja, Mitsuki. Hanya butuh waktu untuk istirahat,".

Mitsuki menghela nafas dan mengangguk yang disambut senyuman Chocho.

Akhirnya mereka berdua pulang dengan Chocho dibonceng Mitsuki. Tiada obrolan, hening menyelimuti. Mitsuki sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya ini.

Semua ini karena Shinki, murid pindahan Suna beberapa bulan lalu. Tepatnya saat ketika Chocho menuruni tangga tiba-tiba kakinya terpeleset dan saat itu Shinki ada untuk menolongnya.

Mitsuki tahu, dari tatap mata Chocho, gadis itu sudah terpikat pada pandangan pertama dan entah kenapa itu membuat hatinya tercubit. Entah ada apa dengan dirinya. Yang jelas ia merasa risih jika Chocho dan Shinki saling bicara, apalagi gadis yang suka makan keripik kentang itu bisa tertawa lepas.

Tapi dia bukanlah tipe egois yang bertindak frontal menghalangi Chocho. Dia hanya diam dan memperhatikan. Bagaimana tingkah Chocho dan perhatian gadis itu pada Shinki. Ataupun pandangan netra yang selalu pada Shinki.

Mitsuki tidak tahu dan belum begitu mengetahui tentang emosional masa remaja seperti dirinya. Apalagi soal percintaan, hal itu seperti awam baginya. Meskipun begitu, bukan berarti dia bodoh.

Dan ia juga mengakui bahwa ia memiliki ketertarikan pada Chocho. Awalnya rasa kagum, karena Chocho tipe yang tidak mudah insecure. Tidak memperdulikan apa kata orang tentang fisiknya. Dan Chocho juga cenderung lebih dewasa dan sangat memahami perempuan. Itu sebabnya kenapa Sarada dan Sumire menjadikan Chocho tempat berbagi kisah mereka.

Tapi sejak kejadian White day beberapa bulan lalu. Saat dimana ia dan Chocho berbagi keripik kentang. Chocho menyuapinya dan tersenyum sangat manis. Jantung Mitsuki bergetar, aliran listrik merasuki nadinya hingga rona merah menggantung di kedua pipinya.

Mitsuki tidaklah bodoh menyadari kekagumannya kini menjelma menjadi perasaan lain. Yaitu rasa suka.

Dan ia tidaklah rela melihat gadis yang disukainya menangis sedih karena cinta. Ia berjanji dalam hatinya, ia akan berusaha membuatnya tersenyum dan melupakan patah hatinya.

Mitsuki menghentikan sepedanya di depan rumah Chocho. Melirik gadis itu yang masih berwajah muram mulai turun. Ia menghela nafas.

Chocho tak mengatakan sepatah kata pun, bahkan ia melupakan untuk mengucapkan terimakasih kepada seseorang yang rela direpotkannya. Hatinya masih berkabut kesedihan, bohong jika ia bisa bersikap biasa saja. Meski teman-temannya mengatakan bahwa ia seorang mood booster, tetap saja ia bisa merasa galau. Memang dipikir ia siapa? ia manusia juga kan? siapa yang akan berani menertawainya?

Saat Chocho telah sampai pada undakan pertama depan rumahnya, ia merasakan seseorang menyentuh lengannya dan memaksa menghadap orang tersebut. Saat wajah tampan Mitsuki tersaji di depan netranya, Chocho tersentak kaget. Ah, ia melupakan Mitsuki. Dasar, ia seperti manusia tidak tahu terimakasih.

"Maaf, tadi aku mengabaikanmu, " ucapnya tersenyum dipaksakan. Menarik senyumnya selebar mungkin hingga matanya menyipit. "Dan terimakasih atas bantuanmu, " lanjutnya, masih dengan senyum palsu.

Wajah Mitsuki menyendu memandang wajah palsu Chocho. Dengan cepat ia menarik Chocho dalam pelukannya.

Chocho tersentak kaget dengan perlakuan Mitsuki. Ketika Mitsuki menarik dan mendekapnya dengan lembut, ada perasaan yang begitu nyaman. Air mata yang tadinya ia tahan, menyeruak lepas membanjiri pipinya. Ia tersedu-sedan, tangan lembut Mitsuki membelai rambutnya. Seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Maka Chocho tidak ragu kala ia masih menangis menumpahkan rasa sedihnya.

Mitsuki masih membelai penuh sayang rambut Chocho. Hanya ini yang bisa ia lakukan saat ini, agar beban yang ditanggung gadis ini sedikit berkurang. Ia tahu, menahan perasaan sedih itu tidaklah mudah. Tersenyum kala ingin menangis itu sangat sulit. Bukankah kita butuh menangis untuk mengurangi beban di dada? agar lebih ringan untuk kita melengkungkan senyum.

Mitsuki melepaskan dekapanya saat tangisan Chocho mulai mereda. Ia menangkup wajah Chocho, mempertemukan netranya dengan manik gadis itu. Ia menatap Chocho dengan lembut.

"Tidak apa-apa. Aku ada di sini-, " ucap Mitsuki tersenyum lembut, "untukmu," lanjutnya kembali.

Wush

Bagai mantra sihir yang berhembus meniup segala kesedihan Chocho. Hingga membuat Chocho terkesima dengan rona merah menggantung di pipinya. Ia tersenyum lembut dan mengangguk, "terimakasih, Mitsuki," balasnya.

Mitsuki melepaskan tangannya dan memberi jarak di antara mereka. "Tenang saja, akan ada banyak pria yang tertarik padamu, " gurau Mitsuki hingga membuat Chocho tersenyum geli.

"Tentu saja, banyak pria yang tidak bisa menolak pesonaku, " Jawab Chocho sambil tertawa lebar, kali ini tawa lepas bukan tawa palsu. Tentu saja itu membuat Mitsuki juga tertawa kecil.

"Jadi, apa kau tertarik padaku dan ingin mengatakan cinta?" goda Chocho mengedipkan matanya dengan genit.

"Dugaanmu semakin ngawur saja, " balas Mitsuki. Ia memalingkan wajahnya demi menutupi rona merah di wajahnya.

Chocho terkekeh geli, "hai... hai, aku hanya bercanda,". Ia berdeham sekilas, "em, apa kau mau mampir? kebetulan papa mamaku sedang pergi ke rumah paman Chobee, jadi tidak ada siapapun di rumah, " tawar Chocho. Bagaimana pun ia merasa hutang budi kepada Mitsuki, mungkin membuatkan segelas jus dan cemilan adalah tindakan baik. Mitsuki mungkin juga kelelahan setelah membonceng dirinya yang lumayan berat.

"Apa kau sedang menggodaku?" Mitsuki mengerling jahil.

"Hei, apa maksudmu? aku hanya menawarimu karena mungkin saja kau kelelahan setelah membonceng diriku, " jawab Chocho menyangkal pernyataan Mitsuki. Wajahnya merah padam karena malu. Ia merutuk kebodohannya. Meskipun ia bermaksud baik, tetap saja dia itu Mitsuki. Yang kadang sangat polos dan bisa menjadi sangat jahil.

"Aku akan pulang saja langsung, terimakasih tawarannya," ujar Mitsuki tersenyum lebar hingga kelopak matanya menutup.

Pemuda itu melangkahkan kakinya menuju ke tempat dimana sepedanya berada.

Sebelum ia benar-benar pergi, ia memandang Chocho yang masih setia berdiri di sana. Gadis itu melambaikan tangan ke arahnya dengan ceria.

"Sampai jumpa, Mitsuki. Hati-hati di jalan," teriak Chocho.

Mitsuki tersenyum lembut dan mengatakan hal yang sedari tadi ingin ia katakan bahkan sedari dulu ingin ia ungkapkan.

"Jangan menangis lagi!!! Tersenyumlah! karna kau cantik saat tersenyum,".

Setelah mengatakan hal itu dengan suara keras, Mitsuki mengayuh sepedanya meninggalkan Chocho dengan wajah merah padam dan debaran jantung yang bertalu-talu.

'Ish, laki-laki itu!!"

.

.

.

selesai

.

.

.

duh, lagi kesensem sama Chocho nih. jadinya pengen banget bikin fic untuk dia. terimakasih yang udah mau mampir.