Temaram itu ada, menyelusup menguasai kamar yang juga ditutupi hening tanpa suara. Lampu mahal diatas meja dibiarkan mati, tak digunakan kembali. Lambaian gorden putih yang digantung pada bagian sisi jendela melambai dengan gemulai, menari riang namun anggun bersama desau angin yang juga turut merangkulkan tangan. Didepannya, karya Tuhan tersaji begitu apik, memecah hitam pekat langit dengan bintik terang dari delapan arah mata angin. Cahayanya terpantulkan, pun tertuju pada dewi bulan yang bagian tubuhnya hanya setengah lingkaran. Emas cantik, dibarengi perak berkelip. Dan semua itu dimeriahkan oleh lampu dibawah gedung pencakar langit. Sungguh teramat cantik.
Dan pada sudut kamar, berhadapan langsung dengan jendela yang terbuka lebar, membiarkan sang bayu menghembuskan surainya hingga sedikit berantakan-seorang pemuda, duduk tegap diatas meja kayu miliknya, dengan sepucuk surat biru yang beberapa saat lalu dia cumbu dengan pena abu. Suaranya dalam menyapa, menghempaskan sepi ketika rungunya mendengar sendiri, bahwa angin mambalas untai kalimatnya. Seolah memberitahu, bahwa apapun yang dia rencanakan, akan dengan sukarela dibawa terbang hingga tujuan.
"Kita akan berjumpa kembali, rinduku akan segera bertemu denganmu."
Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi
Pairing : Akashi Seijuuro x Kuroko Tetsuya
A romance story
Fanfiksi ini dibuat semata hanya untuk merayakan hari jadi pasangan kesukaan saya. Tak ada keuntungan yang saya ambil dari menulis fanfiksi ini, semua hanya berdasarkan naluri dan hasrat saya yang telah lama mengerak untuk menulis dengan pair diatas.
Seorang sastrawan Inggris–Thomas Fuller–dalam kutipannya dia berkata,
"Ketiadaan mempertajam cinta, kehadiran memperkuatnya."
Mungkin ketika aku mendengar hal tersebut terucap tepat didepan mataku, aku takkan serta merta menyetujui begitu saja. Bagiku, cinta adalah kebersamaan, cinta adalah kebiasaan, dan juga kehadiran. Banyak orang yang mengatakan, cinta ada sebab kau terbiasa. Dan aku–tanpa berpikir panjang akan langsung menyetujui. Ini kisah romansaku, dimana aku dijatuhkan hatinya pada seseorang sebab presensinya yang selalu tertangkap retina. Aku dibuat mabuk kepayang karena kehadirannya yang selalu menenangkan jiwa. Seseorang itu, selalu ada, berdiri disampingku, selalu. Tak pernah sekalipun kurasakan hampa, atau sepi, atau bahkan sunyi. Dia selalu pandai melunakkan keheningan disekelilingku. Bagaimana tawa hangatnya terderai dan bagaimana dekapnya membuatku merasakan kehangatan. Sekali lagi, kutekankan–dia selalu ada untukku. Untuk diriku, dan hanya padaku.
Semua itu nyatanya membuatku lupa diri. Terlalu dimanjakan situasi hingga aku luput mengetahui bahwa segala macam kemungkinan bisa saja terjadi. Ya, saat itu dia masih berada disisiku. Tubuhnya masih bisa kurengkuh, aromanya masih bisa dihidu, kedua lengannya masih bisa kugenggam. Semuanya masih sama, sejak awal mula kami bersua hingga memutuskan untuk terikat lebih dalam. Sosoknya masih bisa kugapai, hingga akhirnya, aku tersadar. Bagaikan dijatuhkan ledakan mahadahsyat, kepalaku pening ketika pagi hari itu, dia mengumandangkan apa yang telah menjadi keputusan.
"Aku akan melanjutkan sekolahku diluar negeri, Sei-kun."
Kau tahu? Saat itu rasanya kedua telingaku tuli. Napasku rasanya tercekat hingga akhirnya kedua lengan menumpu pada sisi ranjang. Dengan suara lirih menahan getar, kuangkat kepalaku yang langsung bersirobok dengan manik biru jernih serupa laut dalam, "apa yang kau katakan?"
Kurasakan belaian lembutnya menyapa rahang. Mengusap perlahan dan penuh penghayatan. Ah, satu hal lagi yang aku suka dari dirinya, bagaimana jemari lentik itu selalu membuatku begitu terbuai, "maafkan aku, tapi ini sudah menjadi mimpiku. Bersekolah diluar negeri dan mencari banyak ilmu."
Jika mata memang bisa menggoyahkan pertahanan, maka itu benar. Karena ketika kupandangi manik biru yang selalu membuatku jatuh cinta, saat itulah semuanya menjadi awal penyesalan. Kedua lutut yang kusimpuh diatas lantai, beranjak berdiri, menghadap pada dirinya yang terduduk diranjang milikku. Saat itu, kutatap dalam kedua netranya, menyelami berbagai hal, hingga yang kutemukan hanya satu–kesungguhan.
Tak bisa diriku menjadi begitu egois ketika dengan mata kepalaku sendiri, aku mendapati bahwa dia begitu bahagia akan keputusannya. Bahkan gelegak semangat itu menguar dari tubuhnya dengan sangat kurang ajar.
Aku terdiam sejenak, untuk sekejap saja, aku ingin menjadi seorang penjahat. Aku ingin mengurungnya tetap disini bersamaku, mendekapnya dengan erat, kalau perlu merantainya hingga dia tak bisa pergi kemanapun. Aku ingin menjadi seorang bajingan, aku ingin menolak apa yang dia katakan dan memaksanya untuk tetap tinggal.
Tapi nyatanya, aku tak bisa. Rasa cintaku besar adanya. Betul-betul terasa hingga aku rela menjadi yang paling menderita hanya karena tak ingin dia kecewa.
Maka hari itu, disertai senyum tipis, aku lepaskan genggaman tangannya, membiarkan kedua sayap kecil dipunggungnya membawa tubuhnya pergi menjauh, merenggangkan kehadirannya dari sisiku dan merebutnya hingga hanya tersisa aku.
Pada akhirnya, dia pergi mengejar sejuta mimpi miliknya. Membawa separuh hatiku turut bersamanya, dan meninggalkan aku disini sendirian bersama asa yang selalu susah payah aku rajut perlahan.
"Pergilah, kejar mimpimu. Aku mendukung, hingga nanti kau akan menjadi seorang bintang yang senantiasa berpijar, Tetsuya."
•••••
Tokyo, 26 Agustus 2021
"Bagaimana keadaanmu disana? Inggris ramah padamu, bukan?"
Sebuah ponsel pintar milikku, kuapit diantara pundak dan telinga. Sedangkan kedua tangan, kugunakan untuk menyimpulkan dasi hitam. Pagi ini, sebuah rapat diadakan diperusahaan besar milik keluarga. Sebagai seorang pewaris tunggal, aku dituntut untuk selalu bisa meluangkan waktu dan menjalankan kerajaan bisnis yang sejak dulu telah ayahku rintis.
Terlahir sebagai seorang putra satu-satunya dari keluarga Akashi, membuatku dianugrahi banyak sekali hal menakjubkan. Mulai dari penampilan hingga seluk-beluk begian dalam, semuanya menuai pujian. Tidak, aku tak bermaksud untuk besar kepala ataupun menyombongkan apa yang telah menjadi milikku. Disini, aku hanya menjabarkan apa-apa saja mengenai putra tunggal Akashi ini.
Banyak orang yang mengatakan, bahwa aku begitu tampan. Wajah rupawan dan memesona ini aku dapatkan atas percampuran gen dari kedua orang tuaku. Lalu, aku terlahir kaya raya dengan pundi-pundi uang yang melimpah ruah. Semua bisa aku dapatkan dengan mudah. Hanya sekedar mengacungkan satu jari telunjuk, maka apa yang aku inginkan sudah berada dalam jangkauan. Sebab itulah aku tak pernah bersusah payah mengais tanah hanya untuk mencari selembar uang. Aku tak pernah merasakan menjadi begitu miskin hingga harus meminta-minta pada orang lain. Namun, bukan berarti kedua orang tuaku tak pernah mengajari aku pembelajaran sosial. Justru, orang tuaku selalu menekankan bahwa aku harus menjadi pribadi yang dermawan dan ramah. Maka dari itu, kekayaan itu tak pernah serta merta aku pamerkan hanya untuk membuat khalayak tersinggung.
Ayah dan Ibu juga selalu mendidikku menjadi seorang pemuda dengan etika dan tata krama yang sempurna. Sopan dan santun yang selalu dijaga pun performa yang senantiasa tanpa cela. Memang, aku takkan menyangkal jika terkadang ayah terlalu memaksakan kehendaknya padaku. Terlalu menuntut banyak hal tanpa mau tahu bahwa sebenarnya aku pun sama menanggung beban. Beliau ingin segala sesuatu sesuai rencana, maka dari itu didikannya terlampau keras bahkan kepada seorang anak yang usianya saat itu belum menginjak lima tahun. Dan Ibu, selayaknya penyejuk ditengah kegersangan, selalu menjadi tempatku untuk berpulang. Selalu menjadi tempatku untuk mengadu dan mencurahkan segala keluh, resah, dan gelisah. Wanita cantik itu adalah cinta pertamaku, yang akan selalu aku perlakukan ibaratnya seorang ratu.
Namun, percayalah, dibalik sikap otoriter ayah, aku paham bahwa dia pun sama menyayangiku. Tak ada seorang ayah yang tak menyayangi putranya. Pernah sekali aku mendengar, ayah berkata pada ibu bahwa dia merasa begitu bangga terhadapku ketika aku berhasil menjadi juara satu dalam setiap lomba. Seraya menepuk dadanya kencang, ayah dengan lantang berseru, "dia putraku, putra kebanggaanku. Dan akan selalu begitu." Dibalik pintu kayu mahoni, kurasakan mataku mulai basah dan dadaku menghangat. Boleh jadi diluar ayah nampak dingin dan kejam, namun jika menyangkut keluarga kecilnya, maka dia akan menjadi pribadi pengertian meski masih tertutup rapat oleh raut datarnya. Sebab itu pula lah, apa yang ayah titahkan padaku, sekalipun terasa menyulitkan, aku selalu percaya, bahwa kelak hal ini lah yang akan membantuku mencapai puncak.
Terakhir, kejeniusan yang aku miliki membuat banyak orang semakin merasa iri. Aku tak mengada-ngada, atau beniat hiperbola. Namun begitulah kenyataannya, aku pandai, cekatan, dan tak pernah melakukan kesalahan yang tak bisa diperbaiki. Hal itu tentu saja aku dapatkan setelah perjuangan lama nan panjang dari ayah. Setelah semua pengorbanan aku lakukan, aku berhasil menjadi diriku yang sekarang. Tertempa dan tanpa cela. Aku bersyukur akan hal itu.
Dan semua hal baik dalam hidupku bertambah ketika seseorang diseberang sana hadir ditengah-tengah cerita hidupku.
Ini dia, kekasih hatiku, si penyuka sastra dan minuman berperisa vanila. Seorang pemuda manis nan menggemaskan yang telah dengan lancang menerobos kehidupanku dan memporak-porandakkannya sesuka hati. Kuroko Tetsuya–pemuda sederhana dengan sifat keras kepala yang terkadang membuatku jengah hingga ingin marah. Meskipun begitu, dia adalah sosok yang amat lembut, pengertian pun peduli. Walaupun tak jarang, hal baik itu justru tak nampak karena hawa keberadaannya yang tipis dan juga air wajah yang krisis ekspresi.
"Tak perlu khawatir, Sei-kun. Inggris ramah padaku. Begitupun rakyatnya."
"Kau tak jatuh cinta pada salah satu manusia putih itu bukan?"
Gelak tawa terdengar diujung sana. Mengalun merdu bagaikan simfoni indah dipagi hari. Bahkan ditelingaku merdunya mengalahkan kicau burung yang bertengger didahan besar depan halaman rumah.
"Kau mengenalku dengan baik," seulas senyum tipis terpulas diwajahku. Entah bagaimana, hatiku tetiba saja terasa hangat ketika mengetahui bahwa Tetsya tetap pandai menjaga hatinya disana. Simpul dasi telah selesai, mataku melirik pada satuan waktu didinding kamar. Satu jam sebelum rapat dimulai. Selalu seperti ini, jika sudah bercengkerama dengan Tetsuya, aku selalu lupa pada waktu. Terlalu terlena diriku.
"Kurasa perbincangan kita harus terhenti disini, rapat pagi memaksaku untuk segera pergi."
Dan pagi itu, percakapan kami terhenti. Nada sambungan yang terputus menjadi yang terdengar setelah Tetsuya menyisipkan satu ungkapan semangat.
Ini baru lima bulan sejak kepergian Tetsuya menyusul ribuan mimpinya. Namun rasa-rasanya aku akan mati akibat serangan rindu dan kehilangan yang begitu mendalam. Setiap pagi, selama lima bulan ini, sebelah ranjangku kosong tak berpenghuni. Dingin dan kaku. Tak lagi ditempati. Ucapan-ucapan manis yang sudah menjadi sarapan sehari-hari dengan terpaksa turut pergi bersama pemiliknya. Tak ada lagi ungkapan sayang secara tindakan dan afeksi penuh perasaan. Rumah besar yang aku huni, mendadak begitu sepi hanya karena kehilangan satu kehidupan. Bahkan, aku mulai merasa gila ketika setiap kali berangkat atau pun pulang bekerja, selalu kuucapkan kalimat yang sama, 'aku berangkat' dan 'aku pulang' padahal seharusnya aku tahu dan mulai terbiasa bahwa kebiasaan kecil itu tak akan lagi sama. Bahwa kalimat-kalimat sederhana itu takkan menuai balasan yang serupa.
Ada banyak hal yang berbeda, banyak hal yang berubah, tak lagi sama hingga membuatku merasa begitu asing ditengah-tengah sekeliling yang tak mengalami perubahan barang secuil.
•••••
Tokyo, 31 Desember 2022
"Hei, kembalikan kembang api milikku!"
"Berhenti menghabiskan makanan orang lain, bodoh!"
"Jangan menarik pakaianku!"
"Hei Akashi, cepat bergabung bersama kami!"
Malam ini perayaan tahun baru dirumahku. Banyak sekali yang hadir disini, meramaikan halaman belakang yang telah berganti fungsi menjadi tempat berkumpul. Sejenak, kuabaikan seruan panjang yang memanggil namaku meminta bergabung. Aku terpekur, menatap banyak kembang api yang melayang dilangit. Tahun baru pertamaku tanpa keberadaan Tetsuya disampingku. Terasa sepi meski aku dikerubungi banyak nyawa. Terasa dingin dan sama sekali tak pernah terbayangkan olehku.
Sebuah ponsel genggam aku remat dengan kuat. Tak ada pesan apapun disana. Beberapa bulan terakhir Tetsuya mulai sering menghilang. Sulit untuk kuhubungi dan susah terjangkau meski aku mengiriminya pesan berkali-kali. Mungkin dia sibuk, itu yang selalu aku gumamkan pada diri. Hingga kedua telingaku rasa-rasanya akan tuli sebab terlalu sering aku berkata begini. Satu lagi hal yang perlahan berubah, kami tak lagi bertelepon ria setiap pagi. Tak lagi saling bercerita pada petang hari. Tak ada lagi ucapan-ucapan manis yang menggelitik sanubari. Bahkan ungkapan singkat berisi ucapan 'selamat tahun baru, Sei-kun' pun tak aku dapatkan. Aku tak tahu apa yang telah terjadi namun yang pasti, aku rasakan getar aneh pada dadaku. Sesak merayapi hingga aku tak tahu cara mengobati. Terasa perih dan nyeri ketika seraut wajah manis Tetsuya memunculkan delusi dalam jarak pandangku. Senyumnya setipis kertas, namun begitu manis. Bagaikan biang candu. Dan kini, bahkan delusi itu memudar. Hilang serupa debu kecil yang terbawa angin. Kembali menyadarkanku bahwa Tetsuya tak ada disini. Hanya aku sendiri, dengan berbagai perasaan rancu dan pikiran yang berkecamuk. Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu tak karuan hanya karena pesan yang tak kunjung datang.
Pada akhirnya aku hanya mampu tersenyum satir, merapal banyak penguatan diri atas apa yang terjadi hari ini. Mungkin, tahun baru tahun ini harus rela aku lalui sendiri.
"Selamat tahun baru, Tetsuya."
•••••
Tokyo, 12 Juli 2023
"Kendalikan dirimu, Akashi!" satu tamparan telak aku dapatkan. Pening kepala semakin menjadi ketika pandanganku berputar dan menemukan kenyataan bahwa kini diriku sedang menjadi pusat perhatian. Atensiku teralih pada rekan sejawatku, pemuda tinggi yang berprofesi sebagai seorang dokter diusianya yang masih sangat muda itu tampak mengatur napasnya yang tak beraturan. Sejenak aku merasa bingung, tak tahu-menahu apa yang terjadi hingga temanku itu, menampar pipiku begitu kencang. Hal pertama dalam hidupku, aku mendapatkan kekerasan fisik dari seseorang
"Kau mengecewakan, Akashi!" suara penuh desis amarah membuat kesadaranku perlahan terkumpul kembali. Bahkan, dia tinggalkan kebiasaannya dalam berbicara. Sepenuhnya menatap penuh murka pada diriku. Tak ada lagi teman seperjuangan yang aku kenal, dirinya nampak begitu asing sekarang. Atau justru, aku lah penyebab mengapa dia bertindak begitu. Tubuhku yang rebah diatas lantai dingin mulai berdiri. Kuusap perlahan perih dipipiku, beruntung tak menghasilkan cairan berasa karat. Ketika pandanganku mulai terasa jelas, seketika itu pula aku rasakan tubuhku mematung dengan tenggorokan yang tercekat. Tak mampu berbicara atau bahkan bernapas dengan baik, ketika kusadari bahwa aku telah melakukan hal yang sungguh hina.
Berdiri dibelakang temanku, seorang wanita cantik yang nampak ketakukan menatap kearahku. Dengan pakaian yang terkoyak luar dalam, dan wajah basah serta beberapa luka lebam.
Tak perlu ditelisik atau ditilik, dalam sekali pandang pun aku sudah tahu, apa yang baru saja terjadi. Bahkan sama sekali tidak aku pedulikan, gunjingan atau bahkan cercaan yang melayang kearahku. Tepat ketika kerumunan itu mulai membubarkan diri, aku temukan diriku selayaknya keparat yang pantas mendapat kecaman.
Aku terdiam, tergugu ditempatku berdiri. Kedua kaki yang semula tegak, kini terasa lemas kembali. Sejenak kutarik surai merah milikku. Merutuki dalam hati apa yang telah aku lakukan, bagaimana bisa aku melakukan hal menjijikkan disaat aku tengah meronta merindukan seseorang.
Perasaan menyesal merebak pada seluruh tubuh. Bayangan wajah Tetsuya yang terlihat kecewa menyakitiku lebih buruk lagi. Rasanya, malam itu aku ingin menangis. Didalam bar yang telah menjerumuskanku hingga hilang kesadaran. Didalam sekumpulan banyak orang yang menatap rendah kearahku kerena baru saja aku sadar bahwa aku hampir melakukan tindakan asusila.
"Tenangkan pikiranmu, rasa rindu membuatmu hilang akal." kurasakan satu tepukan pada bahu, dan kulihat temanku mulai pergi dari sana. Meninggalkaku dengan banyak perasan marah dan menyesal. Kulirik wanita yang hampir menjadi pelampiasan, kubisikkan kata maaf meski tak kuucapkan secara langsung. Lantas, kubawa langkahku pergi dari sana. Memilih menenangkan diri.
Rasa rindu hampir membuatku melakukan hal bodoh. Dan semua itu Tetsuya penyebabnya.
Karena rasa rinduku yang tak bisa lagi kutahan. Tak bisa ku bendung, ditambah eksistensinya yang semakin samar. Memudar dan membuatku kelimpungan sendirian.
•••••
Tokyo, 20 Desember 2024
Hari ini ulang tahunku. Sejak pagi kedua orang tuaku sibuk mengurusi pesta besar demi merayakan ulang tahun putranya yang ke dua puluh lima. Bahkan teman-temanku sudah berada dirumah sejak kemarin. Katanya, ingin membantu persiapan untuk pesta perayaan. Suara rumah yang biasa aku tempati bersama Tetsuya mendadak riuh. Gemerlapnya lampu berwarna-warni yang dipasang seolah mengalahkan kilauan lampu jalanan. Lagu bernada lembut diputarkan dari pengeras suara yang diletakkan dipojok ruangan. Berbagai ucapan aku dapatkan, bergantian berjabat tangan dan tersenyum ketika perlahan satu demi satu doa aku terima. Rumah ini sedikit banyaknya telah menghangat. Dingin yang selama ini aku rasakan tertelan oleh keramaian yang diciptakan oleh banyak orang. Namun, sekali lagi, hal itu tetap yang bisa mengisi kekosongan dihati. Rasanya masih tetap hampa. Bagaikan sebagian diriku tak pernah kutemukan. Secara perlahan aku pun mulai mengasingkan diri dari banyaknya kegaduhan dirumah milikku.
"Kau merindukannya?" aku tak berniat membalas satu pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban. Sudah pasti, jelas, aku merindukannya. Teramat sangat merindukannya.
"Sudah lebih dari tiga tahun dan kau perlahan kehilangan sosoknya."
"Diamlah, Shintaro. Aku tak memintamu untuk berbicara."
Aku menukas cepat. Ponsel milikku semakin aku genggam erat. Menyalurkan banyak rasa gelisah yang sudah lama mengulitiku hidup-hidup. Sesaknya bahkan masih sama terasa, tak hilang. Jujur saja, banyak hal yang telah aku lakukan untuk setidaknya mengurangi perasaan pekat itu. Menenggelamkan diri dalam kegelapan, menguburkan perasaan milikku, bahkan berganti topeng menjadi sosok yang tak dikenali. Semua aku lakukan agar aku bisa bernapas sedikit lebih lega. Terlepas dari belenggu Tetsuya yang mencekikku tanpa belas kasih.
Dan seolah seperti mencemooh, semua hal itu tak berguna sama sekali. Semakin lama waktu yang telah aku habiskan, selama itu pula aku semakin terpuruk. Bagaikan mempecundangi diriku, kenangan manis itu merangsek masuk dan membuatku semakin tak terkendali.
"Aku hanya bisa berdoa, semoga kalian bisa berjumpa. Bukannya aku peduli padamu, hanya saja satu hal yang perlu kau tahu, terkadang rasa rindu dan kehilangan itu akan mejadi guru paling sempurna agar perasaanmu tak tumpul."
"Omong kosong!" dapat kulihat dari ujung mataku, bahwa Shintaro membulatkan kedua matanya terkejut begitu mendengar perkataanku. Kubalikkan tubuhku untuk menghadap padanya. Dengan begitu dingin, aku berseru tepat didepan wajahnya, "tahu apa kau soal hubunganku? Kau bahkan sama sekali tak pernah berada diposisiku. Aku yang menjalani, maka aku yang paling memahami." Wajahku memerah menahan amarah. Dengan susah payah, dengan pahit kulanjutkan perkataanku, "bagiku cinta ada karena kebersamaan. Aku tak bisa melakukan apapun jika suatu saat aku tak lagi bisa mempertahankan perasaanku."
"Jadi kau akan lebih memilih menyerah?" kurasakan rasa dalam tenggorokanku semakin kecut, semakin tajam dan seolah-olah menusuk kerongkongan. Kering kerontang bibirku, tak lagi bisa membalas apa yang dikatakan oleh Shintaro. Tak ingin sebetulnya diriku berkata begitu, namun aku rasa seseorang harus tahu apa yang tengah aku rasakan dan aku pikirkan.
Dan malam itu, lagi lagi aku terdiam membisu ditengah-tengah kegembiraan yang seharusnya aku nikmati. Perkataan Shintaro telah menjatuhkanku. Membuatku terpaku ketika satu kenyataan sempat terlintas dalam benak. Tanpa undangan, perih itu menperdaya otak agar cepat meyerah pads harapan. Ya, mungkin suatu waktu, aku pernah berpikir demikian. Menyerah terhadap keadaan meski pada akhirnya aku tak tahu apa yang terjadi–karena aku mendapati diriku masih setia berdiri disini untuk menunggu pujaanku kembali.
Layar gelap pada ponsel semakin membuatku tersungkur. Tidak tahu harus dengan cara apalagi aku berdiri dan memperbaiki diri yang mulai goyah ini. Bahkan setelah perdebataanku dengan Shintaro beberapa saat lalu, aku masih tak bisa menemukan jawaban atas apa yang akan aku lakukan dan apa yang sebaiknya aku putuskan. Perdebatan itu berakhir, tanpa jalan keluar. Hanya semakin membuat pening kepala.
Dan malam itu pula, aku kembali menjadi si menyedihkan yang akan termenung sendirian didalam kamar. Ditemani secangkir kopi susu yang mendingin sebab tak pernah aku sentuh. Hanya untuk sekedar menemani, dan menjadi saksi mati bahwa aku kembali terjaga hari ini hingga esok hari.
•••••
Tokyo, 15 Juni 2025
Selamat malam Tetsuya, bagaimana kabarmu disana?
Sudah empat tahun lebih, sudah cukup lama.
Malam ini, ijinkan aku ungkapkan segala hal yang sudah lama menawanku. Biarkan aku curahkan banyak hal yang selalu menjadi alasanku untuk tetap berdiri disini, menunggu dengan tegap punggung menanti kepulanganmu.
–untuk Tetsuyaku yang berada jauh denganku. Selamat membaca untai frasa yang kurangkai menggunakan kertas lusuh dan pena abu pemberianmu. Dibingkai oleh gemerlap kota Tokyo sebagai buah tangan untuk negara Albino.
Kepada kamu,
Sunyi senyap kamar temaram menghinggapiku hingga aku terlena. Pada riuh redam kemeriahan kota yang penuh suara begitu padan pada kotamu disana. Laut begitu kejam, memisahkan dua benua dengan dua insan yang percaya pada hubungan. Begitu miris ketika mengetahui kenyataan bahwa kita bernaung dibawah langit yang sama namun pijakan yang berbeda.
Tokyo kini sepi tanpa hadirmu. Tak seramai dan tak seindah dulu. Aku bahkan mulai lupa, kapan terakhir kali kita saling menyandarkan bahu demi menatap langit senja. Tokyo hampa tanpa dirimu, Tetsuya, sampai-sampai aku merasa sendiri ketika mengetahui bahwa kita memang terenggang oleh jarak.
Sepucuk surat lewat layar kaca rasanya tak mampu menepis rindu yang menggulung selayaknya lembayung. Pun nyanyian merdu rasanya hambar pada rungu yang terfokus pada dirimu.
Kini kehadiranmu mulai terasa samar. Pesan-pesan manis darimu tak pernah lagi datang. Percayalah, aku menunggu. Entah kapan untaian kalimat penuh cinta itu akan sampai.
Bahkan setelah empat tahun lamanya, setelah segala kesulitan yang aku rasakan, perasaanku masih tetap sama, masih tertuju padamu. Pemuda manis impianku yang selalu kuharapkan untuk selalu berada dalam genggam tanganku.
Aku terlampau paham, kita hanyalah makhluk Tuhan yang terjebak keadaan dimana tak bisa bersua. Tak bisa bertatap muka pun saling tukar rupa.
Kita hanya mampu bercerita lewat layar kaca, melemparkan sapa dan segala sedu sedan atas dunia yang suka sekali membuat kita bercerita umpamanya kawan lama.
Kita hanyalah makhluk tak berdaya yang akhirnya memutuskan terikat.
Tapi Tetsuya, segala hal yang membuatku gundah, penawarnya hanya satu. Ketika aku mulai lelah, pengobatnya hanya satu. Kamu selalu disini, tepat dimana jantungku berdetak serupa genderan bertalu.
Selayaknya rindu yang mencari tuannya, rasa ini pun mengeluh bertanya dimana pemiliknya.
Sekali lagi, Tokyo akan selalu jatuh cinta pada kamu yang tinggal jauh disana.
Jika surat ini sampai padamu, cepatlah pulang, rumahmu menunggu disini. Jangan ditinggal terlalu lama, atau penghuninya akan bertambah tanpa kau duga. Jangan dibiarkan kosong, jangan dilupakan begitu saja. Ingatlah, masih ada satu nyawa yang terpaku pada dirimu. Jika kau terlalu jauh melangkah, maka aku tak bisa menjamin bahwa rumah ini masih akan tertera namamu.
Sampaikan salamku pada mimpi-mimpimu,
Dari yang paling mengasihi,
Akashi Seijuuro
•••••
Tokyo, 4 November 2026
Hari itu, tepat lima tahun kami terpisah. Menahan rindu selama bertahun-tahun. Dan selama lima tahun pula, aku menderita. Gejolak rindu itu terkadang tak bisa kutahan. Semua perihal rindu dan rindu. Kejamnya kentara terasa melebihi terhimpit batu. Sakitnya sungguh tak ada dua, ketika dia mampu merajammu hingga tak berdaya. Bayangkan saja, rindu itu akan selalu membawa kenangan pada kepala. Mengingatkan akan berbagai peristiwa lampau hingga pada akhirnya menimbulkan halusinasi disaat perasaan sudah nyeri tak terperi. Kedatangannya begitu tak terduga, tanpa disangka-sangka. MMenyambangi hati lantas bertanda pada jiwa. Rindu itu umpamanya benalu, racun namun sialnya menghadirkan candu, ketika kenangan itu terbawa, maka penjeratnya lebih kuat dari yang dirasa.
Terkadang mengikis harapan yang tiap detiknya aku bangun. Menggores hati yang kini entah sudah seberapa bengkak akibat terlalu banyak mendapat memar tak kasat mata. Bahkan ketika malam menjemput, aku mendadak mengalami insomnia. Tidurku tak pernah lagi nyenyak dan nyaman. Semua begitu berantakan begitu Tetsuya memutuskan untuk hidup dibenua yang berbeda denganku. Entah, aku tak tahu apakah dia juga merasakan hal yang sama atau justru sama sekali tidak.
Banyak hal yang telah terjadi. Baik yang aku rencanakan, ataupun semata telah digariskan. Jujur saja, lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Segala hal perlahan seperti mulai pergi, meskipun banyak pula sesuatu yang menunggu untuk datang. Hari ke minggu ke bulan bahkan hingga sampai pada tahun, semua perubahan yang tak lagi sama itu seolah melayangkan tatapan sinis padaku yang setiap harinya begini-begini saja.
Rinduku tetap satu, tetap terikat untuk kekasih hatiku. Namun tahukah kamu? Satu kejadian mungkin–akan–merubah jalan hidupku. Tepat ketika seluruh teman-temanku sudah memiliki pendamping dan terikat satu sama lain diatas altar, hanya tinggal diriku yang masih jauh tertinggal. Ketika mereka semua mulai menapaki kehidupan baru dan selalu bersuka cita, maka hanya aku yang masih tetap ditempat yang sama.
Hingga suatu malam menuju tanggal empat dibulan November. Tanggal yang bagiku begitu istimewa sebab ditanggal itulah awal mula aku dan Tetsuya terikat. Satu keputusan membuatku diyakini akan semakin terperosok jatuh.
Helaan napas terdengar. Mengusap surai merahku kebelakang, lantas aku memutuskan untuk segera beranjak. Perihal rindu yang disinyalir tertuju pada Tetsuya, biarlah waktu yang mengurusnya.
"Undangan pernikahan itu sudah disebarkan. Mungkin hanya kerabat saja yang hadir."
Ya, masa depan memang tak pernah bisa diduga, bukan?
•••••
Tokyo, 12 November 2021
Jika kau bertanya padaku, apa yang selalu aku kagumi dari Tetsuya, maka jawabanku–aku tidak tahu. Terlalu banyak hal mengejutkan yang senantiasa membuatku terbuai olehnya. Sejak masih bersekolah kami telah bersama. Bertahun-tahun terlewati dengan deru napas yang sama. Aku menyayanginya, dan dia pun begitu. Dan kini, seolah-olah perasaanku sendiri yang membunuhku ketika saduran kalimat yang selalu terngiang ditelingaku membuatku ingin tuli seketika,
"ketiadaan mempertajam cinta, kehadiran memperkuatnya."
Dulu, mungkin aku akan menolak tanpa berpikir dua kali atas kalimat itu. Namun sekarang, entah mengapa, aku seperti orang idiot ketika kalimat itu yang justru terasa sesuai dengan realita.
Pesta pernikahan dalam sekejap berubah menjadi gedung yang dipenuhi haru biru. Ledakan tangis dimana-mana dan ungkapan bahagai penuh rasa rindu kental terasa. Bahkan, dalam pijakanku, aku merasa melayang ketika seuntai kalimat sapa mengalun merdu mengetuk rungu,
"Aku pulang, Sei-kun."
Dia berdiri disini, tepat didepanku. Dengan kemeja putih yang celana biru kesayangannya. Mengulas senyum paling manis setelah bertahun-tahun menghilang dengan dalih mengejar impian. Surai sebiru langitnya masih sama, aqumarine bulatnya masih sempurna, masiu penuh puja dan damba. Tubuhnya tak berbeda, tetap kecil dan seolah nyaman untuk dilindungi. Tak banyak yang berubah dari dirinya. Rupa rupawannya pun masih ama, masih semanis dan secantik perjumpaan kita yang pertama.
Bahkan sentuhannya masih seringan kapas, masih terasa memabukkan dan selalu membuatku kepayahan.
Tubuhku tersentak ketika Tetsuya menubrukkan diri. Menenggelamkan wajah meronanya pada dadaku dengan kedua lengan kurus yang erat melingkar. Samar, kudengar dia terisak. Bahkan beberapa kali meremat bagian belakang tuksedo hitam yang kugunakan. Sedangkan aku, tetap diam seperti patung. Membeku dan tak tahu mesti melakukan apa.
Perlahan kuangkat kedua tanganku yang gemetar, aku tenggerkan pada bahu kecil yang bergerak naik-turun. Dan dalam sekali gerakan, kudorong bahu ringkih itu hingga sang empunya terlonjak.
"Kau masih ingat jalan pulang, Tetsuya?"
Bodohnya aku, kuucapkan kalimat sarkas yang membuat Tetsuya terpekur menatapku. Rona dalam wajahnya memudar. Senyum bahagianya luntur tergantikan oleh seraut wajah yang menegang kaku.
Aku tak tahu apa yang telah terjadi. Seharusnya aku membalas peluknya, mengecup dahinya dan membisikkan padanya betapa aku begitu rindu. Namun yamg terjadi, justru tanganku dengan kejam mendorong upayanya untuk menunaikan perasaan gundahnya. Selepasnya aku berikan sarkas kalimat yang bahkan membuat raut wajah Tetsuya yang biasanya tenang menjadi kecewa penuh keterkejutan.
"Kukira kau sudah lupa padaku, pada hubungan kita. Lantas mengapa kau kembali?" aku arahkan telunjukku. Menunjuk seorang pemuda manis diatas altar yang menatap kami dengan raut yang sulit terbaca. Begitu mendapati Tetsuya menggulirkan matanya sesuai arah aku menunjuk, saat itu pula, kukatakan satu kalmat yang aku yakini setengah mati akan meremukkan pertahanannya.
"Lihatlah, disana, mempelai yang akan segera menikah. Keturunan keluarga Akashi akan mengucap ikrar sehidup semati hari ini." kukatakan hal itu dengan lantang. Bahkan gema suaraku memantul dan merambati dinding hingga gelombangnya mampu membuat Tetsuya pucat pasi.
"Kau terlambat, kau telah lama pergi." Kekehan kecil kukeluarkan. Seraya menatap tajam dirinya, aku kembali berseru, seolah tak peduli pada keadaan hatinya yang mungkin saja bisa membusuk setelah hari ini, "pada akhirnya rinduku tak berhasil membawamu kembali."
"Kau berbohong padaku!" Aku mengalihkan wajah ketika Tetsuya berteriak tepat didepan mataku. Napasnya tersengal karena itu kali pertama dia berbicara dalam intonasi setinggi itu. "Jangan membual Sei-kun. Aku kembali karena suratmu, karena suratmu sampai kepadaku!" aku tertegun. Ah benar, surat itu, aku tak menyangka suratnya akan sampai pada Tetsuya. Aku kira surat itu akan hilang tak tahu kemana ketika selama satu tahun lamanya tak mendapatkan balasan apapun. Aku sungguh tak menyangka setelah semuanya, suratnya sampai dan mengantarkan Tetsuya kembali kesini.
Aku memutuskan melangkah pergi. Tak kubalas kembali seruan tajam penuh kekecewaan dari Tetsuya. Tidak, kupikir ini sepadan, aku pun sama merasakan sesak. Bahkan bertahun-tahun lamanya. Berjuang seorang diri menunggu kepulangan yang tak pasti. Lantas, setelah aku mencoba untuk membuka diri, mengapa Tetsuya kembali disaat aku mulai percaya bahwa kehadirannya hanya ilusi.
Sakit yang Tetsuya rasakan, tak berbeda jauh dengan kepiluan yang selalu menyerang. Meninggalkan gereja tempat pernikahan itu terlaksana. Mengabaikan sepenuhnya jeritan Tetsuya yang memanggil namaku. Mengacuhkan parau suaranya dann langkah gontainya yang mencoba mengejar demi meraih punggungku.
Hari itu aku menjadi seorang pecundang, tak tahu apa yang harus kulakukan.
OMAKE
Saat ini
"Tak ada yang istimewa, hanya undangan perjumpaan diakhir pekan, demi menunaikan raungan rindu pada tuan dengan acara kencan sederhana dipelosok kota."
Salam, AS
catatan : gunakan pakaian sederhana saja, tak perlu yang mahal ataupun berkelas. Cukup sepotong kaos disertai celana longgar, dengan senyum manis sebagai bonusnya.
Aku tersenyum tipis menatap surat biru diatas meja kerjaku. Surat manis itu kuselipkan pada sepucuk amplop berwarna biru langit. Sejenak aku menarik napas dalam lalu memasukkan surat itu dalam saku jas merah yang aku kenakan.
Kutatap sendu pena abu, menyenggolnya sedikit dan terkekeh pelan ketika pena itu menggelinding pelan. Tatapan mataku beralih pada satuan waktu yang tergantung pada dinding, lantas bergumam selirih angin.
"Sampai berjumpa diakhir pekan, sayang."
•••••
"Hari ini kau akan membawaku kemana?"
"Hanya berjalan mengelilingi Tokyo."
Aku tersenyum ketika melihat dia mengangguk pelan, nenyetujui rencanaku. Lagipula, ini hanya kencan biasa, sederhana. Kencan pertama kami setelah kejadian digereja pada saat itu.
"Hei, aku meminta maaf atas apa yang aku katakan,"
Kulihat pemuda disampingku menoleh, menggelengkan kepalanya hingga surainya turut bergoyang. Senyumnya terpoles tipis namun manis, setelah berhasil mencuri satu kecupan seringan kapas diatas hidungku, kudengar dia berkata, "tak apa, bukan salahmu. Dengan begitu, bukankah aku pun merasakan sakit yang selama ini kau pendam?"
Hatiku bagaikan diselimuti kehangatan ketika mendengar kekasihku berkata begitu. Tak ada sedikitpun amarah dalam netra matanya atas apa yang kulakukan digereja tempo lalu. Diraih kedua tangannya. Mengusap cincin perak yang melingkar pada jari manisnya, lantas kutarik dirinya dalam dekapan paling nyaman yang aku miliki.
"Lain kali jangan begitu Sei-kun. Kau menyakitiku." Dalam rengkuhan itu kudengar nadanya merajuk. Kukecup dahi putih ketika dia mendongak kearahku, "itu salahku, Tetsuya. Jangan merajuk, lagipula yang menikah sepupuku."
Ah, hari itu, hari pernikahan digereja hari itu. Sejujurnya aku merasa bersalah telah melakukan hal seperti ini. Namun yang menikah ketika itu bukanlah aku, melainkan kakak sepupuku. Aku sengaja berkata demikian untuk setidaknya memberikan sedikit 'hukuman' pada Tetsuya atas apa yang telah dia lakukan. Ketika mengingat hari itu, rasanya aku ingin meringis, sedikit bertepuk tangan dalam hati bahwa aku bisa mengatakan hal kejam bahkan mampu melukai Tetsuya–meskipun dalam tajuk bercanda. Sungguh, tak mungkin bila hal itu aku lakukan. Bukankah sudah kukatakan? Aku begitu mencintai pemuda dalam rengkuhanku ini. Rinduku bahkan sudah meraung, menggonggong, ingin menarik Tetsuya dalam pelukan ketika mendapati sosoknya berada dalam hadapan.
"Mengapa kau lakukan hal itu?" aku meringis untuk kesekian kali. Mengeratkan pelukan, aku lantas berssrue ringan, "tak ada alasan. Hanya ingin menghukum Tetsuya karena sudah berani menghilang tanpa kabar hingga membuatku menderita sendirian."
"Padahal aku pun sama menderitanya. Sei-kun kira aku tak rindu? Aku rindu sekali, bahkan ingin secepatnya kembali ketika interaksi kita semakin sulit. Aku begitu sibuk, belum lagi perbedaan waktu semakin membuatku kesal karena tak mampu melampiaskan."
"Maafkan aku, sungguh." Ku kecup sekali lagi surainya. Menjauhkan tubuhnya ketika kurasakan Tetsuya semakin merajuk dalam dekapan. "Lagipula, bukankah aku masih disini? Bersama Tetsuya," wajahnya perlahan merona. Menundukkan kepala sebagai gerakan pasif, aku lantas menarik tengkuk miliknya. Meremat pelan lalu mencium bilah plum sewarna ceri yang begitu menggoda.
"S-sei-kun," dan kuindahkan gumaman itu. Semakin aku nikmati kebersamaan kami. Dibawah langit biru, dibawah gumpalan awan yang berarak seirama, kuungkapkan satu kata penuh cinta padanya.
"Aku mencintaimu, Tetsuya."
Ending
Bandung, 8 Desember 2021
Salam, saya
