"Iya, ini hujan deras, loh! Gin-san sudah mendapatkan tempat berteduh, jadi tidak usah khawatir."
Saat sahut-sahutan di telepon itu terdengar rusuh, namun terasa begitu hidup, Hijikata Toshiro mendengus tipis.
Sakata Gintoki meretas panggilan, lalu menaruh ponsel di atas meja nakas berpelitur cokelat muda. Ia tak membual—memang kini tirai hujan tengah menguasai bumi dan isinya, diiringi oleh udara dingin yang merasuk sukarela.
"Kalau hari ini tak mendadak hujan, kamu akan beralasan gimana?"
Gintoki menyengir. Ia merayap ke atas kasur, lalu menghela napas lega kala tubuhnya terbaring di atas alas empuk. "Bilang saja lagi sama kamu. Lagian anak-anak sudah dewasa—mana mungkin tidak paham."
Toshiro merotasi bola mata. Lalu, iris biru itu berlabuh pada kerah kimono Gintoki yang sedikit menganga. Untuk reflek, serta impulsi dari ujung sanubari, tangannya terangkat, menyingkap kimono. Ujung jemarinya menyentuh kulit sang perak, membuatnya tersentak.
"Apa?" tanya Gintoki, mengedip.
Gelengan. "Tidak," sahutnya menyusul. Meski begitu, tetap saja hal yang tadi telah dirumuskan dalam kepala untuk disuarakan, kini betulan menjelma verbal, "Aku sudah tahu ini, tapi … bekas lukamu memang sangat banyak."
Pemilik manik sewarna merah darah termenung. Selanjutnya, Gintoki mengukir kurva tipis pada bibirnya. Ia melonggarkan fabrik yang melekat pada tubuhnya dan dengan nada usil serta sepenuhnya bergurau, ia menunjuk satu garis bekas luka pada bahu dan berujar, "Dan ini, adalah bukti cinta dari Hijikata-kun. Bagus, kan?"
Dengkusan. Toshiro ingat itu—kali pertama mereka bertemu dan ia tidak ragu-ragu untuk memberi sabetan pada si helai perak, hanya untuk berakhir kalah. Pertemuan pertama yang serupa bola salju menggelinding, membawa mereka pada setiap kejadian yang ada, hingga akhirnya ada di titik ini.
Bola salju yang amat, sangat—besar, hingga rasanya musim panas selama apa pun tak akan melelehkan.
Memori yang menyenangkan, meski mengesalkan di saat yang sama, benar?
Lalu, Toshiro kembali menyentuh garis luka yang ada di dekat klavikula. Cukup besar dan bentuknya bergerigi. Tampak menyakitkan. "Kalau ini? Ini tidak terlihat seperti kena pedang."
"Ohh, ini waktu Perang Joui," Gintoki mulai memberi eksplanasi. "Waktu itu ada amanto yang membawa kapak dan melukaiku. Kupikir itu senjata biasa, ternyata sudah dimodifikasi dan korosif begitu kena kulit manusia."
Toshiro meringis tanpa bisa ditahan. Terdengar perih dan amat ngeri. Gintoki terkekeh tipis—menyatakan itu sudah lama dan menepuk-nepuk puncak kepala sang helai sepekat jelaga. "Tapi, segera kucabut kok. Hanya saja, karena materialnya menempel di dagingku, Zura menghabiskan waktu banyak untuk mencabuti sisanya."
Toshiro bahkan tidak habis pikir bagaimana proses penyembuhannya, atau analgesik macam apa yang ditelan. Toshiro tidak yakin mengapa pria di hadapannya ini masih bisa hidup setelah segala hal itu.
Gintoki menyadari hening yang merengkuh. Ia selalu tak terbiasa dengan ini. Afeksi, maksudnya. Terutama mereka yang memberikannya dalam diam.
(Oh, bukan—Gintoki selalu tak terbiasa dengan yang namanya kasih sayang. Ia sadar ia menerima banyak, tapi terkadang ia tak merasa pantas mendapatkannya. Meski kini ia perlahan belajar untuk menerima itu.)
Namun, bukan sifatnya juga untuk membuat orang di sekitarnya terlalu banyak khawatir terhadapnya. Maka, Gintoki tersenyum tipis, lalu kembali mengusili, "Cium, dong, biar lukanya sembuh?"
Toshiro menatapnya cepat. Ekspresinya seperti tengah berkata yang-benar-saja-bola-bola. Gintoki tergelak mendapati respon itu.
"Ah—sudahlah," Gintoki merespon. Ia mengistirahatkan matanya, lalu membetulkan posisi kepala di atas bantal. "Tidur, yuk, Gin-san lelah."
Namun, sekon berikutnya, Toshiro berpindah tumpuan. Ia biarkan tubuhnya menduduki perut sang surai perak. Gintoki sontak membelalak, lalu menatap iris biru samudra dalam yang menatap ke arahnya dari sudut pandang yang lebih di atas.
"Hijikata-kun?"
"Mau dicium? Sini."
Gintoki sedikit berjengit kala kedua tangan Toshiro menggenggam sisi-sisi tubuhnya. Akibat cuaca, jemarinya serasa membekukan.
Toshiro menundukkan tubuh. Ia memberi kecupan sederhana pada bekas luka di bahu—luka yang dibuat olehnya beberapa tahun lalu. Gintoki terdiam—merapatkan bibir.
Kekasihnya, seorang Wakil Komandan Iblis dari Shinsengumi—tak pernah petah lidah, lebih-lebih lihai dalam mengungkapkan rasa. Namun, tindakannya membuktikan jauh lebih efektif dan dilaksanakan nihil ragu—harusnya ia tahu.
Dan ini, kali ini—betul-betul membikin jantungnya meliar. Detakan yang terburu-buru, darah yang naik hingga ke wajah.
"Hijikata-kun, kamu membuatku malu!" sembur Gintoki akhirnya, menatap kepala dengan juntaian hitam yang berdiam diri di dadanya.
Toshiro tersenyum timpang. Bibirnya kembali menyapa sisi dada Gintoki, melabuhkan cium yang lain. Gintoki mengeraskan rahang kala ibu jari si perokok menyentuh satu titik kecoklatan pada dadanya.
"Terus? Ini luka apa?" Toshiro bertanya, turun pada perut.
"Tidak tahu," Gintoki menjawab jujur, menahan rasa yang berakumulasi pada pangkal perutnya, yang segera turun pada organ di antara kakinya. "Sepertinya tertikam waktu perang bersama Utsu—mhh!"
Gintoki menengadahkan kepala saat merasakan satu tempat pada perutnya diberi hisapan kecil. Decak, serta gigitan lembab.
Kimono terbuka sepenuhnya sudah. Menyisakan dalaman yang masih menyangkut pada pangkal paha. Toshiro mundur dengan lutut di sisi tubuh sang Shiroyasha, hingga mencapai lutut. Berikutnya lelaki itu berujar, "Buka kakimu."
Gintoki mengerjap beberapa kali. Tidak—ini aneh, kan? Tidak biasanya Toshiro bersikap begini dan ia mulai bingung. Meski hati yang menghangat, serta desiran yang terkumpul, berkabut pada hasrat duniawi dan primitif miliknya terasa begitu menyenangkan.
"Aku tidak akan menawarkan dua kali."
Oh. Baiklah.
Toshiro menurunkan dalaman sang surai perak hingga tergantung pada salah satu mata kaki. Gintoki melebarkan lutut, membuka akses. Sang surai sepekat jelaga menunduk, membiarkan jemarinya perlahan menyentuh organ yang menegak.
Aliran elektrik mengalir dari kejantannya, berlarian hingga ke setiap syaraf. Toshiro tersenyum tipis. Kini, tangannya membalut lembut organ yang menegak. Likuid kental merembes dari ujungnya sedikit-dikit.
Toshiro membuka rahangnya.
Gintoki berusaha meraih si surai sepekat jelaga. "Tung—nghh!"
Kepalanya melayang begitu dirasa hangat dan lembab membungkus dirinya. Bagian dari dirinya. Membikin gila. Mengikis sisa ketenangan yang ada, merusak seluruh akal sehat. Gintoki merasakan pulsasi-pulsasi pada tubuh, hingga jari kaki yang menekuk.
"Ah—ah, Hi—"
Kuluman itu terasa—nikmat. Jilatan serta hisapan lembut dikirimkan. Toshiro menjulurkan lidah, menyeret organ tak bertulang miliknya pada ereksi yang ada di hadapannya.
Gintoki megap meraih udara, bahkan satu kata pun tak mampu terucap jelas. Bola mata merah hanya bisa memandang langit-langit ruangan, mengerjap dalam tempo anomali.
"Toshi—ro!"
Gintoki menggelinjang, merasakan kompulsi pada seluruh tubuh yang menegang. Akumulasi segala rasa ada pada titik puncaknya. Napas berat diempas, tak berapa lama, ia melepas, dan seluruh euforia tumpah-ruah seiring tubuhnya merileks.
Toshiro menaruh ibu jari di hadapan bibirnya, lalu meneguk apa yang ada di dalam rongga mulut. Berikutnya ia merangkak dan mengulum bibir sang surai perak. Gintoki melenguh dalam kecupan, menangkup kedua pipi Toshiro. Merasakan cairannya sendiri yang meleleh. Kala ciuman itu terlepas, Gintoki tersenyum tipis.
Toshiro membalas dengan senyum yang sama, lalu menaruh kepalanya pada perpotongan tengkuk si perak. Menghidu aroma vanilla yang khas.
Betapa, betapa—ia selalu berharap tak akan ada lagi luka yang menggores baik tubuh mau pun hati insan yang, tak akan ia akui dari mulutnya, ia sayang sebegitunya.
Gintama © Hideaki Sorachi
Scars by Saaraa
