ATLA is from Nickelodeon

Warning: BL/Sho-Ai ZukoAang

Rated : T


Satu tahun setelah semua negara berdamai, perbaikan dunia terasa cepat terbukti dengan pemukiman manusia yang tak butuh waktu lama untuk diperbaiki dengan adanya pengendali elemen. Yah, pengendalian elemen sangatlah indah dan menyenangkan.

Namun rupanya suasana cerah sore hari ini tidak terlalu berpengaruh banyak bagi Sang Fire Lord muda saat ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Zuko. Raja muda nan tampan tersebut sedang menyandarkan kepalanya pada salah satu telapak tangan di atas pembatas balkon. Matanya memandang Sang Avatar yang sedang menunjukkan kebolehannya kepada anak-anak di halaman utama Istana Kerajaan Api, sambil sesekali mengajak bermain.

Avatar mungil itu kini telah mempunyai rambut lagi, setelah terakhir kali dicukur untuk pelantikan Zuko sebagai Fire Lord, dengan gaya rambut yang sama pula. Ia dengan lincahnya menari-nari menghibur anak-anak, sesekali menggunakan pengendalian udaranya.

Zuko lebih menyukai penampilan fisik Aang yang mempunyai rambut seperti ini. Lebih terlihat serasi melengkapi matanya yang bulat dan bibirnya yang tebal dan ranum-

Zuko langsung mencibir dirinya sendiri. Kenapa dia langsung mendeskripsikan Aang seperti itu?! Tanpa sadar tangannya memijat pelipis sambil memejamkan mata.

Dan dia baru membuka mata lagi kala sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.

"Iya, Paman Iroh?" respon Zuko.

"Malam nanti ajaklah Aang, Katara, Sokka, Toph dan Suki makan bersama. Oh iya, lebih banyak teman-teman lagi juga boleh," kata Paman Iroh sambil tersenyum hangat. "Ada suatu hal yang mau kubicarakan pada saat makan malam nanti."

Zuko menaikkan alisnya sekilas, penasaran ada kabar apa yang akan dibawa Paman Iroh nanti. Dia pun mengangguk.

"Baik, Paman."

Paman Iroh balas mengangguk dengan senyum yang semakin lebar, lalu berlalu.

Tepat sekali, Aang tampak sudah selesai bermain dengan anak-anak, dilihat dari beberapa anak terkhir yang berpamitan padanya. Zuko pun berjalan menuruni tangga.

"Aang."

"Hai, Zuko!" Aang membalas dengan riang.

"Malam ini kau diundang makan malam bersama kerluarga kerajaan. Katara juga, Sokka, Suki, dan Toph. Tolong kabari mereka sesegera mungkin."

"Wah, benarkah? Terima kasih, Zuko!" Mata Aang berbinar senang lalu berhambur untuk memeluk Zuko. Namun, ada yang beda kali ini. Aang--dan beberapa teman seperjuangannya yang lain--biasanya hanya memeluk salah satu lengannya. Namun kali ini, Aang memeluk badan Zuko.

Pelukan hangat itu terasa punya aliran listrik yang menyetrum jantung Zuko hingga otomatis berdetak lebih keras. Entah kenapa, tubuh Aang terasa pas di dalam pelukannya. Dan itu membuat perasaan Zuko campur aduk.

Kenapa perasaan ini tidak seperti biasanya?

"Hm, ehm..."

"Oops! Maaf..." Aang langsung melepaskannya cepat, semburat merah muncul di pipinya.

Zuko reflek terpana melihat wajah yang bersemu itu.

"Oh iya, haruskah aku pakai pakaian Kerajaan Api atau tidak?"

"Mana kutahu. Pakai saja senyamanmu," balas Zuko datar, tapi matanya tak lepas memandang Aang.

Aang menggembungkan pipi dan memajukan bibirnya cemberut. Pipi bulat itu kini semakin bulat ditambah bibirnya yang basah dan merah... baiklah, kali ini Zuko membiarkan pikiran-pikiran itu mencemari otaknya. Dadanya berdesir melihat pemandangan wajah itu dan dia terlalu gengsi untuk menunjukkan gestur salah tingkah. Yang penting masih bisa dia tutupi.

"Yosh... baiklah! Terima kasih sekali lagi, sampai jumpa!" pamit Aang ceria, sebelum berlari meninggalkan Sang Raja Api Muda.

Sedangkan Zuko masih terpaku di tempatnya. Ia masih tak menyangka terhadap dirinya sendiri yang tiba-tiba memandang dan berpikiran tentang orang lain 180 daripada biasanya, dan itu terjadi kurang dari satu jam saja. Maksudnya... yah, dia sudah sering bersama Aang, bertengkar, rebutan, berpelukan, menggendong...

Hei, otak. Ada apa denganmu?!


Ruang makan yang luas dan megah di dalam Istana Kerajaan Api itu malam ini sangatlah benderang. Berbagai hidangan lezat disiapkan besar-besaran oleh pelayan istana di atas meja yang sangat panjang dengan hampir puluhan kursi, dan Paman Iroh benar-benar terlihat puas dengan persiapan matang ini.

Aang dan kawan-kawan memutuskan untuk pakai busana Kerajaan Api, menunjukkan sikap hormat kepada tuan rumah dan simbol toleransi.

"Selamat datang, anak-anak yang kusayangi dan kubanggakan!" Paman Iroh membuka kedua tangannya lebar-lebar dan memeluk para tamu satu per satu, sebelum mempersilakan mereka duduk.

Zuko yang terlihat lebih tampan dan rapi malam ini justru bersemu melihat Aang yang berbusana Kerajaan Api. Tapi lagi-lagi, dia masih mau menjaga gengsi dan wibawanya untuk tidak menunjukkan salah tingkahnya. Namun tak ia sangka juga, dirinya jadi spontan agresif.

Dia menarik salah satu kursi lalu memanggil Aang.

"Aang."

"Ya?"

Zuko menunjuk kursi yang ditariknya tadi. Aang pun menurutinya, duduk di kursi itu. Lalu Zuko duduk di sampingnya.

"Terima kasih," kata Aang tersenyum manis.

Zuko kikuk. Dia merasa seperti pangeran yang habis membukakan pintu kereta bagi putri. Tapi, wow, Zuko tak menyangka bahwa perasaan salah tingkahnya ini malah membuatnya percaya diri. Diliriknya lagi ke arah Aang, yang sekarang sedang berbinar menatap banyak makanan lezat di hadapannya.

Zuko pun iseng nyeletuk. "Mingkem."

Itu membuat Aang terkejut dan segera mengusap bibirnya dengan sewot. Zuko pura-pura tertawa mengejek.

"Selamat Malam, orang-orang yang kusayangi sekalian. Terima kasih bagi para perwakilan bangsa elemen yang telah hadir pada malam hari ini. Oleh karena itu, jamuan makan malam pada hari ini saya buka. Selamat makan," salam Paman Iroh yang diakhiri dengan gestur hormat khas Kerajaan Api sambil berdiri, lalu sedikit membungkuk.

Para tamu pun membalas gestur hormat sambil membungkuk juga.

Aang yang sudah tidak sabar untuk segera melahap daging sapi panggang itu langsung saja mencomotnya. Zuko mendengus geli, sahabatnya ini memang selalu terlihat tak pernah makan selama berabad-abad.

Tapi kalau satu abad sih, benar.

Rupanya Katara juga merasakan hal yang sama dengannya. "Pelan-pelan, Aang," tegurnya setelah menelan satu iris tomat.

Aang yang tersadar seketika menghentikan kunyah. Dia pun meringis dalam keadaan mulut penuh makanan, kemudian menurunkan kedua tangannya.

Zuko menaikkan alisnya, sedikit kagum pada Katara yang dengan mudah membuat Aang menurut, betapa sikap Katara yang tenang dan keibuan itu juga enak didengar. Meskipun Zuko bukan yang ditegur tapi Zuko ikut merasa bersenang hati menuruti si penyuruh jika ditegur dengan cara seperti itu.

Dan gilanya lagi, Zuko ingin jadi seperti Katara. Dia ingin bisa menasehati orang dengan cara yang seperti itu, membuat orang-orang nyaman dengan kata-katanya yang merengkuh. Terutama... kepada Aang.

Well, dia 17 tahun, ngomong-ngomong.

"Anda semua bisa makan sambil mendengarkan. Saya punya berita bagus bagi semua bangsa elemen," kata Paman Iroh tiba-tiba. Semua mata pun tertuju padanya. Aang, yang terbelalak terkejut karena keadaanya sekarang sedang rakus melahap makanan, terburu-buru meletakkan makanan yang hendak disendoknya dan meneguk air banyak-banyak. Akan sangat memalukan jika orang lain bisa menyimak dengan tenang sedangkan Aang terlihat paling rakus.

"Dalam rangka Perayaan Tahunan Titik Balik Matahari, Sun Warrior mengundang semua Bangsa Elemen untuk turut hadir." Paman Iroh tersenyum dan berhenti sebentar. Mempersilakan para tamu untuk bereaksi kagum sejenak. "Kepada masing-masing bangsa, dipersilakan untuk menyiapkan pertunjukan hiburan yang nantinya ditampilkan pada saat perayaan. Sun Warrior mengundang kita semua pada tiga hari ke depan. Jadi, silakan persiapkan segala jenis seni pertunjukan dengan matang."

Tepuk tangan pun riuh merespon kabar baik yang disampaikan Paman Iroh.

"Tapi tidak hanya pengendali elemen saja yang boleh membuat pertunjukan. Non-pengendali pun juga boleh. Maka dari itu aku juga mengundangmu ke jamuan makan hari ini, Suki yang cantik."

Suki yang dipuji dua hal sekaligus, mengatupkan kedua tangannya sambil tersipu. "Saya merasa sangat terhormat, Paman Iroh."

Acara perdamaian, ya? Zuko tak terlalu merasa indah tentang itu. Baginya semua negara berdamai saja sudah cukup. Tanpa sadar, lagi-lagi dia menoleh ke arah Aang.

Di bagian bibir bawah itu, ada setitik sisa makanan dan minyak yang menggenang di sudut. Si pemilik sedang fokus menyimak Paman Iroh dengan mulut sedikit membuka.

Zuko pun menyenggol pelan. Lalu menunjuk bibirnya sendiri sambil mengangguk pada Aang, mengisyaratkan bibir Aang sendiri.

Aang menyentuh titik yang dimaksud Zuko dengan jari sekilas, lalu membersihkan sisa makanan itu dengan cara...

Menjilat, dan mengulum bibir bawahnya.

DEG! Zuko berdesir lagi melihat pemandangan itu. Kedua kakinya langsung bergetar, dan dengan susah payah ia meneguk ludah. Zuko jadi kapok memperhatikan Aang lagi. Ia berpaling dan mencoba fokus ke Paman Iroh yang berbicara, tapi pikirannya terlanjur linglung.

Apa itu tadi? Eh, harusnya... kenapa dengan otaknya? Kok gitu doang dia gelapan?

Tidak tahu. Dirinya sendiri tidak tahu.

"...Zuko?"

"Ah?" Zuko tersentak kaget. Ada yang memanggilnya.

"Bagaimana, Zuko? Ada yang ingin kau tambahkan?" tanya Paman Iroh.

"Oh, hm..." Zuko pun berdiri di tempatnya. Setidaknya, gerakan berdiri ini bisa menjaga wibawa dan mengenyahkan segala pikiran aneh tentang Aang yang sedang menggerogoti. "Kita... harus memberikan yang menunjukkan simbol perdamaian kita sesempurna mungkin. Namun, mengingat tatanan dunia sekarang sedang kita perbaiki perlahan-lahan, aku tak mengharuskan bagi para bangsa untuk mempertunjukkan sesuatu yang terlalu meriah. Cukup sederhana, namun sempurna."

Tepuk tangan para tamu menyambut kata-kata dari Zuko. Dia pun tersenyum simpul, lalu duduk lagi.

Wow, kau keren, Zuko, pujinya ke diri sendiri. Kau semakin cepat menguasai diri meskipun barusan saja dihantam pikiran aneh tentang Aang.


Tapi naasnya, malam itu Zuko tak bisa tidur. Benaknya sedang terselimuti oleh kilas balik petualangannya bersama Tim Avatar. Memori-memori silih berganti menari dalam otak, bagaimana dia beranjak remaja dengan rasa marah dan dendam, gagal, jatuh, kehilangan Aang, mencarinya lagi ke seluruh penjuru dunia, tersadarkan, dan akhirnya memilih untuk melawan ayahnya sendiri.

Setiap dia bersama keluarganya sendiri di dalam kerajaan, rasa di hatinya hanyalah satu, yaitu terprovokasi. Kata-kata yang menimbulkan rasa benci dipaksa masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Dia merasa tidak nyaman, tapi dia masih terlalu muda untuk merenungkan apa itu baik dan buruk, dan apa yang membuatnya tak nyaman. Yang jelas, dia hanya merasa tak nyaman saja selama tumbuh di dalam keluarga ini.

Namun ketika dia bertemu dengan Tim Avatar untuk pertama kalinya, dia tak merasa terprovokasi lagi. Rasanya damai, melihat anak-anak seumurannya yang sama-sama berjuang, meskipun terutama untuk membantu Aang.

Untungnya dia masih punya orang-orang yang selalu di sisinya. Paman Iroh yang sangat bijaksana, dan Mai yang setia bersamanya. Apalagi ketika sudah diizinkan bergabung pada Tim Avatar, dia akhirnya bisa membedakan antara perkelahian yang mengeratkan persahabatan dan perkelahian yang hanya ada kebencian di dalamnya.

Bertengkar dengan Aang. Meskipun dia juga sering bertengkar dengan Mai, entah kenapa pertengkaran itu terasa berbeda kalau dengan Aang.

Ingin mengalahkan Aang. Meskipun dia juga sering saling ingin mengalahkan dengan Azula, entah kenapa rasanya berbeda kalau dengan Aang.

Berbicara dari hati ke hati dengan Aang pertama kali. Meskipun Paman Iroh takkan bosan berbicara dari hati ke hati dengannya, entah kenapa rasanya berbeda kalau Aang yang berbicara.

"Ugh..." Zuko mengernyit sambil meremas rambut coklatnya. Kenapa lagi-lagi Aang lagi, sih?

Apalagi kejadian yang itu. Saat dia diselamatkan Aang meskipun Aang tahu bahwa dia adalah The Blue Spirit. Karena Zuko tak bisa tak ingat hal yang terjadi setelah itu. Yaitu Zuko malah menyerang Aang mentah-mentah, yang langsung pergi tanpa sepatah kata lagi.

Saat merenunginya lagi, Zuko baru sadar betapa pekanya Aang. Selain menyelamatkan Zuko, respon Aang yang langsung pergi melompati ranting pepohonan juga menunjukkan bahwa Aang peka terhadap perasaan orang. Itulah yang membuat Zuko langsung merasa nyaman dan mudah bergaul padanya meskipun dia biasanya tak punya banyak teman.

Zuko membelalak. Tersadar bahwa dia berpikir "aneh" lagi, dia pun bangkit duduk lalu mengacak-acak rambut.

Nyaman? Huh... benarkah?

Kemudian matanya tertuju pada sebuah lukisan tergantung di dinding hadapannya. Sebuah lukisan kecil hasil karya Sokka yang menggambarkan dia dan Aang, sedang berdiri berdampingan.

Masalahnya, dia meminta Sokka membuat lukisan itu secara diam-diam...

Zuko pun merasa lucu. Refleks dia tertawa simpul tanpa suara. Ini sudah sangat ironi, Zuko, katanya pada diri sendiri. Bukti sudah di depan mata, tapi sampai kapan kau mau terus mengelak?

Baiklah, Zuko mengakui.

Dia pun berbaring menyamping lagi. Dia ingin menunjukkan rasa ini pada Aang. Ingin menunjukkan semua perasaan gila yang dalam kurun waktu 24 jam sudah membuatnya berdesir, berdebar, kikuk, dan banyak perasaan lain yang tak mau Zuko sebutkan.

Tapi, bagaimana caranya? Dan kapan? Pada saat perayaan Sun Warriors?

Tiba-tiba sebuah ide menghantam otaknya. Itu ide yang sangat gila dan nekat, tapi sepertinya menarik.

Baiklah, kau menang, Aang. Kau menang. Tapi nanti... aku akan mengalahkanmu. Kau akan tahu rasanya dikalahkan, Aang.


Zuko berjalan pelan menuruni tangga beranda istana yang sangat lebar. Dia menuju ke Aang, yang saat ini tengah bermain bersama anak-anak seperti kemarin. Tapi kali ini, Aang terlihat diam dan menonton permainan yang dilakukan anak-anak.

Zuko menepuk bahunya.

"Hei, Zuko!" Seperti biasa, Aang selalu terlihat riang.

"Hai, uhm... bisakah aku bicara denganmu?"

"Oke. Katakan saja, Zuko."

"Tapi... berdua saja." Zuko sudah berdamai dengan dirinya sendiri sejak malam tadi jadi dia tak terlalu merasa gengsi mengucapkan kata "berdua saja". Justru dia menikmati perasaan kikuk itu sekarang. Dia langsung berbalik dan mengisyaratkan Aang agar mengikutinya.

Mereka berdua berbelok ke halaman samping istana yang tidak terlalu ada banyak orang.

"Jadi... apakah kau masih melatih pengendalian apimu sampai sekarang?"

Aang yang mendengar pertanyaanya terlihat sangat kaget. Lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Eh, ehehe... kurasa, semakin berkurang..."

"Coba kulihat."

Aang ragu.

"Santai saja. Kan aku cuma mau lihat."

"Uhm, baiklah." Sang Avatar pun memasang kuda-kuda lalu menarik napas panjang, sebelum meninju udara.

Boff!

Hanya segumpal bara kecil yang keluar.

Setelah itu Aang terlihat merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, karena aku sendiri merasa berkurang juga," kata Zuko. Dia pun melakukan gerakan yang sama seperti Aang.

Boff!

Besar gumpalan apinya sama pula.

"Well, aku juga berkurang." Dia mengedikkan bahunya. Lalu dia berjalan mendekati Aang, dan sedikit berbisik.

"Kau ingin melihat naga menari lagi tidak? Aku berencana meminta izin untuk naik ke atas jembatan pengadilan lagi saat perayaan nanti."

"Wah...," gumam Aang kagum. "Oke. Kau ingin naik bersamaku? Ehm, baiklah... eh-"

Kali ini jelas sekali terlihat Sang Pengendali Udara salah tingkah. Zuko jadi gemas.

"Sama-sama. Ayo kembali," tutupnya sebelum mendahului Aang. Aang pun bergegas menyusul di sampingnya.

Tanpa Aang ketahui, Zuko tadi berbohong. Dia sebenarnya tak merasa kemampuannya berkurang. Dia hanya tak mengerahkan banyak tenaga untuk membuat api yang besar. Tapi tak Zuko sangka juga loh, bahwa rencana awalnya ini bisa berjalan semulus poni Mai.


Zuko langsung mendekati Sang Kepala Sun Warrior begitu ia tak melihatnya sibuk menyambut orang-orang lagi.

"Terima kasih telah datang, Tuan Zuko."

"Terima kasih atas undangannya," balas Zuko sambil membungkuk dan berhormat. "Ngomong-ngomong, apakah nanti ada yang naik ke atas jembatan dan mengundang Dancing Dragon?"

"Itu biasanya dilakukan oleh Kepala. Tapi, jika ada yang ingin berguru, dia juga boleh naik untuk diadili oleh Dancing Dragon."

"Apakah aku dan Aang boleh naik lagi? Kami merasa kemampuan kami menurun pasca dunia damai." Zuko memandang kesana-kemari, ada sedikit rasa malu saat ia mengatakannya. "Apalagi ternyata, kami juga perlu mengajari banyak anak-anak calon pengendali api generasi selanjutnya..."

"Tentu saja. Dancing Dragon mungkin senang jika sering dikunjungi."

Zuko tersenyum lega. Kemudian berterima kasih lagi sambil berhormat.

Acara itu berlangsung khidmat. Para tamu--yang mengejutkannya bagi Zuko--sangat mudah diatur, tak banyak berbicara sendiri dan penuh penghayatan. Berbagai pertunjukan persembahan dari tamu pun bisa dengan nyaman ditonton karenanya. Kepala Sun Warrior terlihat sangat terhibur dan bertepuk tangan sama kerasnya pada setiap pertunjukan.

Kini tibalah saatnya Zuko untuk mengundang Dancing Dragons. Dia langsung menarik Aang untuk bersiap.

"Bisakah anda membuat api sendiri? Kalau tidak, nanti saya beri," kata Kepala Sun Warrior.

Zuko, yang masih berpura-pura tidak bisa pun meringis hebat kala mengeluarkan elemen apinya, yang tentu saja bisa, biar tidak merepotkan.

Kemudian dia memberikan sebagian apinya pada Aang.

Awalnya dia biasa saja, tapi entah kenapa, saat dia sudah berada persis di depan anak tangga bersama Aang, dia mulai berdebar-debar. Semakin kencang. Zuko menutup mata dan menghela napas sejenak. Dia gugup setengah mati. Takut gagal. Bagaimana Kalau ternyata Dancing Dragon itu tak menyemburkan api pelangi lagi seperti dulu?

Apalagi dia juga ragu akan keberaniannya sendiri melakukan hal itu. Bisakah dia?

Sial kau, Aang. Kau sangat merepotkan.

Satu per satu anak tangga pun mereka naiki. Sahut-sahutan genderang yang ditabuh bisa serasi dengan debaran jantung Zuko saat ini. Tapi untungnya, Zuko bisa menikmatinya. Dia yakin bisa sukses.

Mereka berdua sampai di atas jembatan. Saling membelakangi dan menunggu Dancing Dragon keluar dari gua tempat bersemayam.

Naga kembar yang gagah pun muncul. Mereka berputar-putar, menyilang, saling melingkari, mirip gerakan menari.

"Sekarang, Aang." Zuko menghempaskan apinya, lalu menyiapkan posisi menari.

Zuko dan Aang menari seirama dengan Dua Naga Kembar. Jantungnya masih berdebar-debar tapi dia yakin para penonton sekarang sangat takjub menontonnya, karena dia berusaha menari sesempurna mungkin. Zuko pun tersenyum sombong.

Kemudian tiba saatnya pengadilan. Zuko dan Aang saling membelakangi lagi seperti tadi. Debaran jantungnya semakin keras. Zuko pun menutup matanya. Mencoba menguatkan mental dan rasa nekadnya, sambil terus bergumam dalam hati.

Harus bisa... harus bisa... harus bisa...

Akhirnya, Dua Naga Kembar itu pun menyemburkan api berwarna pelangi. Semburannya sangat kuat sehingga api yang dihasilkan berputar mengelilingi Zuko dan Aang, terbang ke atas seperti puting beliung.

Sekarang!!

Zuko berbalik dan membalikkan tubuh Aang. Aang yang terkejut refleks latah, "Eh, Appa Momo-"

Belum sempat Aang menyelesaikan latahnya, Zuko sudah merengkuhnya ke dalam ciuman lembut.

Aang memejamkan mata erat dan mendorong dada Zuko, tapi Zuko sudah menduganya jadi dia sudah lebih dulu menahan pinggang dan tengkuk Aang dengan kedua tangannya.

"Emngh... mmh.. Zuk-"

Zuko tak peduli, dia justru senang mendengar itu. Tak dia sangka, ternyata bibir Aang terasa beribu-ribu kali lebih lembut daripada bibir Mai atau Jin. Padahal mereka cewek, yang pada dasarnya sering merawat diri dan lebih lembut. Tapi tidak. Aang justru lebih lembut, kenyal, tebal, manis, yang naasnya malah bikin malapetaka bagi Aang karena Zuko semakin dibuat tak bisa lepas darinya.

Perlahan, perlawanan Aang semakin melemah. Tangannya tak lagi memukul-mukul bahu Zuko (meskipun Zuko senang dipukul seperti itu) dan itu membuatnya menyeringai dalam ciumannya. Akhirnya kau kalah juga, Aang.

Zuko pun mencoba menggigit bibir bawah Aang, mencoba membuka mulut itu untuknya masuk. Gemas karena Aang tak kunjung memberi izin, Zuko pun mengelus tengkuknya sensual, sehingga Aang tersentak dan tanpa sengaja membuka mulut.

Zuko mengajak lidah Aang berlilitan seperti yang dilakukan Dua Naga tadi. Sesekali mengecup-ngecup bibir, Zuko juga menjelajah isi mulut Aang. Deretan gigi rapi dan parahnya lagi terasa seperti buah stroberi, membuat Zuko semakin mabuk kepayang dan agresif melahap habis isi di dalam bibir itu.

Sedangkan si pemilik mulut rasa stroberi, sekuat tenaga mencengkeram bahu Zuko karena sudah tak punya tenaga untuk memukulnya.

"Nngh~... hng..." karena erangan tersebut sudah terdengar seperti isak tangis, maka Zuko berbaik hati menahan nafsunya. Aang langsung menghirup udara sebanyak mungkin layaknya orang habis tenggelam.

Tapi Zuko tak melepas rengkuhan. Dekapannya masih erat untuk mencegah Aang melawan, sambil menyaksikan wajah bulat itu bersemu merah dan mata sayu mengerjap lemah.

Kemudian Zuko mengecup-ngecup lagi bibir bengkak Aang yang malah semakin menggoda. Aang tak mengeluarkan kata-kata protes, tapi mendorong dada Zuko dengan kekuatan lemah. Zuko yang menyadari kepayahan Aang pun melepaskannya.

Dia menunggu Aang protes atau balas dendam, tapi rupanya Aang tak melakukan apa-apa. Mungkin dia masih terlalu shock dengan kejadian di luar nalar yang menimpanya tiba-tiba.

Zuko berbisik di telinga Aang, "Kau berdebar?"

Aang menunduk dalam-dalam mendengar itu, sambil memainkan ujung bawah bajunya.

Baiklah, Zuko asumsikan itu iya. Dia pun mengambil salah satu tangan Aang dan diletakkan pada dadanya. Aang mendongak lagi dan terbelalak saat menatap Zuko, yang dia asumsikan mungkin karena wajah Zuko ikut merona sekarang.

"Aku juga."

Beruntung sekali, pusaran api pelangi itu habis tepat pada saat Zuko melepaskan tangan Aang. Yang sekarang bisa penonton saksikan mungkin cuma dia dan Aang yang sedang berdiri berhadapan.

Mereka berdua pun turun.

"Kau mau menceritakan ini pada teman-temanmu? Bukankah itu akan mempermalukan dirimu sendiri?" goda Zuko sambil melirik ke arah Aang. Dilihatnya respon Aang adalah mengerjapkan mata cepat sambil meneguk ludah, yang bisa Zuko simpulkan yaitu Aang sudah menyerah di dalam dominasinya.

Sang Raja Api tak bisa lagi menahan seringai puas.

Mereka berbincang sebentar dengan Kepala Sun Warrior setelah selesai turun tangga yang sangat tinggi itu. Meskipun sebenarnya Zuko saja yang berbicara dengan Sang Kepala, karena Aang tak lagi mengeluarkan suaranya sejak insiden menyenangkan di atas jembatan.

Zuko terus bersorak dalam hati. Kau berhasil, Zuko. Kau berhasil. Bagaimana rasanya berhasil menaklukan Sang Avatar yang bisa mengendalikan semua elemen, sedangkan kau sendiri hanya bisa elemen api? Pasti puas banget, dong, hahaha.


Epilog

Acara Perayaan yang sempurna itu pun selesai. Zuko yang sudah selesai berpamitan, bersiap untuk kembali ke istana bersama Bangsa Api.

Tapi, Toph tiba-tiba menahan sebelah tangannya.

"Aku tahu yang kau perbuat pada Aang, Zuko." suaranya bervolume normal karena suasana sekarang sedang sangat berisik dengan orang-orang.

Zuko sudah tidak kaget, sih.

"Bagus." Seringainya terukir lagi. "Bantu aku untuk menjadikan Aang milikku, Toph."

Fin.