Sepucuk Surat
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta

Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada hal-hal ganjil diluar nalar, semua itu memang disengaja.

Enjoy reading~


Halilintar berjalan lesu keluar dari halaman Taman Kanak-kanak tempatnya bersekolah. Di depan pagar berwarna-warni, Tok Aba, kakeknya sudah menunggu bersama vespa antik berwarna biru yang bersih mengkilat. Wajah kakeknya diliputi tanda tanya besar. Sudah dua hari dia melihat wajah murung cucunya, mirip kertas terlipat-lipat.

"Aih, Hali kenapa?" tanya Tok Aba sambil memakaikan helm ke kepala Halilintar.

Setelah helm terpasang sempurna, Halilintar menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian langsung duduk di jok belakang dan berpegangan erat pada kemeja kakeknya, lantaran kedua tangannya belum bisa melingkari seluruh pinggang, dan naik vespa tanpa punya pegangan merupakan sebuah cara paling cepat jatuh terjengkang.

Halilintar sangat suka dijemput menggunakan sepeda motor, meskipun jarak rumah kakeknya dengan Taman Kanak-kanak tidak terlalu jauh. Dia menikmati wajahnya yang dibelai-belai semilir angin, bisa melambai-lambaikan tangan pada teman-temannya yang pulang jalan kaki, sampai akhirnya vespa kakeknya berhenti, tapi bukan di rumah, melainkan di depan gerobak es krim Paman Kumar di perempatan jalan.

"Hali mau es krim?" tawar Tok Aba.

"Nggak mau. Hali nggak suka es krim!" Lalu buang muka.

Tok Aba jadi bingung, sudah dua hari Halilintar tak mau dibelikan es krim. Biasanya Halilintar diam-diam suka mengunyah es batu kalau tak ada es krim, dan tidak ada anak-anak yang tidak suka es krim.

Sampai di rumah, Halilintar disambut suara berisik mirip speaker hajatan. Adik pertamanya, Taufan tersenyum cerah setelah melihat kakaknya pulang, dan adik bungsunya, Gempa tertawa-tawa melihat kakaknya pulang, Halilintar agak tersinggung, karena dia tidak sedang melawak.

Taufan berlari-lari serampangan dari ruang keluarga sambil membawa satu kantong berisik di tangannya, dan melambai-lambaikan kantong itu di depan wajah Halilintar. "Kak Hali, ayo main kelereng! Ayo main kelereng!"

Halilintar memekik, "Nggak mau. Hali nggak suka main kelereng!" Lalu berlari masuk ke kamar.

Tok Aba bingung, Taufan lebih bingung. Anak laki-laki yang keren suka bermain kelereng. Bagi Taufan, Halilintar adalah kakak laki-laki yang keren. Tapi, sudah dua hari ini Halilintar tak mau main kelereng.

Kalau itu belum cukup membingungkan, dua hari terakhir Halilintar juga menjadi bandel. Tidak mau makan sayur bayam, tidak mau menemani Gempa menonton bayi hiu, dan tidak mau tidur siang, bahkan setelah diiming-imingi tiga loli milkita sama dengan segelas susu.

"Nggak mau. Hali nggak mau tidur siang. Pokoknya nggak mau tidur siang!" gertak Halilintar. Lalu berlari ke halaman rumah Tante Mara, mencabuti bunga-bunga yang bermekaran di sana.

Sebenarnya, Halilintar bukanlah anak yang bandel. Biasanya dia lebih penurut dan kalem dibanding adik-adiknya, walau kurang bisa bersikap manis. Tapi, satu yang pasti. Tok Aba tahu, Halilintar adalah anak yang agak sulit dimengerti.

Tidak seperti Taufan yang bisa langsung mengatakan apa yang dia mau, Halilintar perlu ditanya berkali-kali untuk dimengerti apa maunya. Seringkali apa yang dia ucapkan berbeda dengan apa yang dia rasakan, sehingga mereka semua harus menebak-nebak seperti dukun untuk tahu apa yang dia inginkan dan dia rasakan. Dan Tok Aba juga tahu, hanya satu orang yang bisa menebak apa yang ada diinginkan dan dirasakan Halilintar, tanpa perlu menjadi dukun. Sayangnya, orang itu tidak ada di sini.

Karena itu Tok Aba menyusul Halilintar ke Halaman rumah Tante Mara. Tok Aba mendapati Halilintar tengah berjongkok di depan pot bunga bugenvil ungu, mencabuti bunganya satu per satu. Tante Mara hanya memperhatikan dari jauh. Meskipun berkata tidak apa-apa dan terlihat sabar, bisa jadi kalau bukan anak temannya, Halilintar sudah dipentung sejak kemarin.

Tok Aba berjalan sepelan mungkin mendekati Halilintar, khawatir anak itu akan berlari lagi ke halaman rumah orang. Tapi, Halilintar bisa mendengar suara langkah kaki kakeknya. Jadi, karena itu dia tahu Tok Aba mendekatinya.

"Atok kenapa ada di sini?" tanya Halilintar.

Kemudian Tok Aba ikut berjongkok di sebelahnya. Tangan hangat Tok Aba membelai-belai kepala Halilintar. Wajah Halilintar tampak tidak bahagia, padahal seharusnya semua anak akan bahagia kalau kepalanya dibelai-belai.

"Hali lagi mikirin apa?"

Halilintar menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi, wajahnya terlihat semakin sedih.

"Kalau Hali mau nangis, ayo nangis sama Atok."

"Hali bukan mau nangis," cicitnya.

"Terus Hali kenapa?"

Halilintar menggigit bibir bawahnya, nafasnya agak naik turun. Dia memandang kakeknya sekali lagi, lalu menghela nafas seperti bapak-bapak yang terlilit banyak hutang.

"Hali mau sambut hari ibu sama Ibu, sama Taufan, sama Gempa, sama Ayah, sama Atok," kata Halilintar. "Tapi, Ibu nggak pulang-pulang, Ayah juga kerja terus."

Esok adalah hari ibu, tapi baru kali ini Halilintar kebingungan saat akan menghadapinya. Padahal katanya hari ibu diperingati setiap tahun. Sepanjang apa yang Halilintar ingat, dia sudah dua kali menyambut hari ibu bersama keluarganya.

Dua tahun lalu keluarganya menyambut hari ibu sambil berekreasi ke taman safari. Memberi makan rusa kerempeng, mengendus kentut sigung, mencoba berbagai metode berbicara dengan babirusa, dan menjadi pemandu sorak bagi ikan-ikan lumba-lumba saat lomba maraton.

Kemudian tahun lalu mereka menyambut hari ibu dengan membuat kue bersama di rumah lantaran perut Ibu mulai membesar seperti kura-kura. Katanya, di dalam perut Ibu ada adik bayi yang suka menendang-nendang. Halilintar mencoba memahami, mungkin adik bayi di dalam perut ibunya bercita-cita menjadi pemain sepak bola di masa depan.

Karena itu, Ayah bertugas membuat kue, sementara Halilintar dan Taufan bertugas menghias kue, dan Ibu menjadi juri yang menilai kue. Tapi, karena Ibu tidak dilibatkan dalam membuat kue, semuanya menjadi kacau. Ayah membuat kue keju berubah menjadi kue coklat. Untungnya Taufan sangat pintar menghias kue, kemampuan tipu menipu yang dia pelajari secara otodidak sudah terlatih selama berbulan-bulan, bahkan Halilintar hampir saja terkecoh.

Dan tahun ini Ayah tidak bilang apa-apa tentang rencana menyambut hari ibu. Beberapa hari belakangan, Halilintar selalu bertanya tentang rencana itu dan Ayah menjawab: "Nanti, ya. Ayah mau kerja." Lalu ayahnya baru pulang kerja setelah Halilintar menguap tiga puluh kali. Sementara itu, sudah satu bulan Halilintar tidak pernah lagi melihat Ibu, entah apa alasannya, Halilintar tidak mengerti.

Semua orang bilang ibunya pergi ke suatu tempat. Halilintar pernah bertanya pada Tok Aba, apa ibunya sudah tidak sayang lagi padanya dan adik-adiknya? Tok Aba menjawab, ibunya sangat sayang padanya dan adik-adiknya. Halilintar semakin tidak mengerti.

Setelah mendengarnya, Tok Aba berkesimpulan, hal itulah yang membuat wajah Halilintar murung, tak mau dibelikan es krim, tak mau main kelereng bersama Taufan, tidak mau makan sayur bayam, tidak mau menemani Gempa menonton bayi hiu, mencabuti bunga-bunga di halaman rumah Tante Mara, dan tak mau tidur siang.

"Dah, nanti Atok tanyakan. Sekarang Hali tidur siang dulu. Kalau nggak mau tidur siang, Atok nggak mau tanya ke Ayah."

Meskipun masih ingin mencabuti bunga-bunga Tante Mara, Halilintar menuruti Tok Aba agar pertanyaannya ditanyakan pada Ayah. Mereka keluar dari halaman rumah Tante Mara setelah berpamitan pada Tante Mara yang masih terlihat sabar. Keduanya berjalan ke rumah sambil bergandeng tangan.

Tok Aba membuka pintu kamar pelan-pelan supaya Taufan dan Gempa tidak bangun. Halilintar tidur di kamar yang sama dengan Taufan dan Gempa. Tempat tidurnya terletak di dekat pintu, kasurnya dilapisi seprai kuning bergambar kilat PLN yang akan terlihat berkilau ketika ditimpa cahaya dan selimutnya berwarna merah polos. Tok Aba menepuk-nepuk bantal sampai empuk, membaringkan Halilintar di tempat tidur, memakaikan selimut.

Siang itu, Halilintar baru tertidur setelah lelah membayangkan dirinya menjadi bajak laut di luar angkasa bersama dugong terbang.

~o0o~

"Memangnya kalian mau sambut hari ibu yang bagaimana?" tanya Mechabot, sebuah robot futuristik yang berasal dari planet antah berantah setelah Halilintar, Taufan, dan Gempa bangun dari tidur siang.

Mereka berempat duduk-duduk di depan televisi yang menayangkan keluarga hiu yang menari-nari sambil bernyanyi. Sebenarnya Halilintar masih menganggap sekumpulan hiu dalam tayangan itu adalah sekumpulan dugong bersirip. Tentu saja hal itu dibantah habis-habisan oleh Taufan dan Gempa yang merupakan penggemar keluarga hiu garis keras. Halilintar tak ambil pusing, ini hanya masalah keyakinan.

"Upan mau bikin kue!" seru Taufan bersemangat. Tak sabar memamerkan kemampuan tipu menipunya yang sudah naik level.

"Kita udah pernah bikin itu tahun kemarin."

"Upan mau bikin kue lagi."

"Nggak boleh!"

Ucapan Halilintar membuat Taufan marah. Untungnya Mechabot sudah lebih dulu melerai mereka sebelum terjadi pertengkaran tak penting. "Gimana kalau buat surat?" usulnya.

Halilintar, Taufan, dan Gempa mengernyit berjamaah. Mereka saling pandang, lalu Taufan bertanya, "Apa itu surat?"

"Surat itu surat."

"Jadi surat itu apa?" tanya Halilintar.

Intel prosesor Mechabot mendadak macet. "Ah pokoknya kertas, nanti ditulis-tulis."

Mulut Halilintar dan Taufan membentuk huruf 'O'.

"Kenapa harus buat surat?" tanya Taufan lagi.

"Karena Ayah kalian sibuk kerja. Jadi, kalian bisa tulis surat, biar nanti bisa dibaca waktu pulang kerja. Kan sama-sama menyambut hari ibu, bukan?"

Mulut Halilintar dan Taufan membentuk huruf 'O' lagi. Ide Mechabot tidak jelek-jelek amat. Akhirnya mereka setuju, termasuk Gempa yang sejak tadi duduk diam sambil menggigit jari.

Halilintar sempat berharap Mechabot akan membelikan kertas surat yang bagus dan wangi. Rupanya dia malah memberi tiga lembar kertas hvs hasil minta dari penjaga warnet kurang ramah di seberang kedai kakeknya.

Tanpa banyak protes, Halilintar dan Taufan meraut pensil sampai setajam silet, lalu mulai menulis sesuatu di atas kertas. Halilintar menulis surat tentang teman-temannya, guru-gurunya, abang-abang penjual mainan sampai tukang rujak. Taufan menulis surat tentang jumlah kelerengnya yang mencapai satu juta butir, dan kegiatannya menonton keluarga hiu di rumah bersama Gempa. Sedangkan Gempa sibuk mengganggu kakak-kakaknya.

Taufan memamerkan tulisannya yang sudah rampung pada kakak dan adiknya. "Bagus ya tulisan Upan. Bagus."

Kedua mata Halilintar menyipit setelah sebelumnya matanya sempat keseleo akibat membaca tulisan Taufan, berbanding terbalik dengan kedua mata Taufan yang berbinar dan tersenyum lebar sekali.

Sejak Halilintar masuk TK, Taufan sudah menemukan jati dirinya dan berencana mengikuti jejak sang kakak. Ikut rusuh ketika kakaknya akan berangkat sekolah dan sering ikut-ikutan sibuk belajar ketika Halilintar sibuk belajar. Sayangnya, tulisan Taufan baru bisa dipahami oleh dirinya sendiri. Huruf a dan huruf e yang sering terbalik, huruf b dan huruf d yang sering tertukar, dan huruf i dan huruf j yang sering mendapat perlakuan diskriminasi karena Taufan kurang suka ada titik di atas huruf-huruf tersebut.

"Nggak bagus." Kata-kata yang diucapkan Halilintar mengandung tingkat kepedasan level sepuluh. Sangat tidak disarankan bagi mereka yang kurang menyukai kalimat pedas.

Taufan langsung murung (karena kurang suka kalimat pedas) dan hampir menangis. Padahal kalau dilihat-lihat, tulisan kakaknya tidak jauh berbeda.

Gempa yang baru bisa merangkak ikut-ikutan berpendapat dalam bahasa bayi. "Nstbdt." Lalu bayi kecil itu mencoba merebut pensil dari tangan Taufan.

"Ini punya Upan, jangan diambil!"

"Jsbrwiz." Sayang, pendapatnya tidak didengar kakaknya.

Andai saja Gempa lancar berbicara dengan bahasa yang baik dan benar, tentunya dia akan memekik: "PINJAM WOI!" dan kakak-kakaknya akan memahami bahwa dia cukup tersinggung karena tidak ada yang mengajaknya menulis surat juga. Padahal kalau cuman memegang pensil, Gempa juga bisa.

Sayangnya, Gempa adalah bayi pada umumnya yang suka berbicara menggunakan bahasa bayi dan kedua kakaknya tidak lagi mengerti bahasa bayi setelah mereka berusia dua tahun. Ketersinggungan itu membuat Gempa merangkak menjauhi kakak-kakaknya, mendekati sofa dan menggigit ujung bantal kursi sampai puas.

"Mana coba lihat tulisan Kak Hali?" tanya Taufan. Dia penasaran dengan tulisan kakaknya, sampai-sampai kakaknya memberi kata-kata pedas.

Halilintar memperlihatkan kertas surat miliknya, lalu Taufan tertawa. "Tulisannya kecil-kecil kayak upil."

Ucapan Taufan membuat Halilintar tak terima. Dia pernah mendengar ibu-ibu guru mengobrol di ruang guru. Mereka memuji tulisan Halilintar yang bagus sekali sampai-sampai tak terbaca. Wajah Halilintar berubah semerah tomat. Dia melompat dan menggigit Taufan. Kemudian keduanya mulai bergulat di karpet sambil menangis.

Tangisan mereka terdengar sampai dapur. Tok Aba tergopoh-gopoh datang ke depan televisi. Mechabot yang melihat pertengkaran itu sejak awal hanya diam menonton sambil memakan karipap, dia suka keributan.

"Kalau masih berkelahi, nggak ada yang dapat es coklat spesial," ujar Tok Aba menengahi.

Gempa protes karena ikut terkena imbasnya, padahal dia tidak ikut-ikutan berkelahi. Sementara itu, Halilintar dan Taufan berhenti berkelahi, keduanya mengelap jejak air mata dan ingus masing-masing.

Dengan bijak, Tok Aba meminta penjelasan keduanya satu per satu. Setelah mendapat penjelasan yang dia mau, Tok Aba meminta keduanya saling meminta maaf, dan kalau mereka tidak mau saling meminta maaf, Tok Aba tidak akan memberi es coklat spesial lagi (Gempa kembali protes.)

Melihat permasalahan pelik itu, Tok Aba punya ide lain. "Begini aja, Hali yang nulis—"

"Upan mau tulis surat juga!" sela Taufan.

"Upan yang buat gambar. Upan suka gambar kupu-kupu, kan?" Tok Aba buru-buru menambahkan. "Nanti suratnya diberi gambar kupu-kupu di bagian-bagian yang kosong."

Taufan mengangguk-angguk sambil mengerucutkan bibir. Giliran Gempa yang berpendapat. Meski Tok Aba tidak paham-paham amat apa yang dikatakan cucu bungsunya, tapi dia cukup mengerti bahwa Gempa juga ingin terlibat dalam proyek pembuatan surat itu.

Satu masalah telah selesai, tapi ada masalah baru. Kertas hvs yang Mechabot beri sudah habis. Halilintar dan Taufan masing-masing sudah memakainya, satu kertas hvs lagi sudah disobek-sobek Gempa.

"Nggak mau. Penjaga warnetnya kurang ramah," kata Mechabot ketika diminta mencari kertas hvs lagi.

Tok Aba memutar otak mencari cara lain. Lalu bangkit berdiri, mengambil buku hutang miliknya dan membuat sobekan kertas dari sana. Tok Aba memberikan sobekan kertas itu pada Halilintar. Mereka kembali menulis dengan damai. Tok Aba tetap duduk di depan ruang televisi sambil memangku Gempa, mengawasi kedua cucunya agar tak ada perkelahian selanjutnya.

~o0o~

Amato menemui istrinya di suatu tempat. Amato berdiri di depan istrinya, membawa seikat bunga anyelir merah tua, bunga lily putih dan bunga baby breath di tangannya.

"Kamu apa kabar? Pasti kamu kesal karena aku datang tanpa membawa anak-anak." tanya Amato sambil menatap istrinya.

Istrinya tak menjawab. Amato berdeham.

"Kamu tahu sendiri Halilintar harus sekolah," katanya membela diri. "Taufan masih sering merusuh ingin sekolah juga, dan Gempa kadang-kadang rewel. Aku nggak bisa membawa mereka bertiga sendirian. Sedangkan Tok Aba harus menjaga kedai."

Istrinya diam saja. Amato mencoba tersenyum.

"Kamu tahu? Anak-anak membuat surat untuk menyambut hari ibu. Halilintar yang menulisnya sendiri, Taufan yang menggambar, dan Gempa juga ikut merusuh. Aku dapat surat itu tadi pagi dari Aba, tapi belum kubaca. Aku mau membacanya bersamamu."

Amato menendang-nendang tanah di dekat kakinya. Dia ingat pertama kali tahu Halilintar tertarik belajar menulis adalah saat si sulung membuat benang kusut di dinding rumah menggunakan lipstik ibunya. Saat itu, istrinya memuji gambar abstrak yang Halilintar buat. Meskipun begitu, tanpa sepengetahuan si sulung, Amato harus pasrah mendengarkan omelan istrinya sepanjang malam, dan baru berhenti saat menjelang tidur. Amato tertawa mengingat hal itu.

Amato juga ingat bagaimana Taufan selalu menempel dengan kakaknya. Apa saja diikuti. Kadang-kadang Amato merasa punya anak kembar. Amato pikir, itu wajar. Taufan lahir ketika Halilintar masih berusia satu tahun setengah. Kehadiran Taufan membuat Halilintar tidak terlalu bergantung pada kedua orang tuanya dalam hal bermain dan melakukan sesuatu.

"Gempa sudah bisa merangkak sekarang." Amato tercekat sendiri. Dia tak mengerti mengapa Gempa bisa tumbuh secepat itu. Seingatnya, Gempa masih ditimang-timang, masih sering bangun tengah malam, masih diam-diam menggigit telinga Cattus—boneka kucing pemberian Pian, ataupun rewel seharian. Rasanya tiba-tiba sudah bisa merangkak, bahkan mungkin tak lama lagi bisa berjalan.

Amato beralih pada istrinya yang sejak tadi diam saja. "Semenjak nggak ada kamu, semuanya terasa berbeda. Aku tinggal bersama Aba lagi. Aku sudah cari kesibukan seperti yang kamu bilang, tapi rasanya percuma. Sekarang aku mengerti perasaan Aba selama ini."

Istrinya tak menjawab. Amato memainkan cincin kawin di jari manisnya. Dia bingung harus berkata apa lagi. Lalu Amato ingat surat yang dia terima tadi pagi. Akhirnya Amato berjongkok, menaruh seikat bunga yang dibawanya, dan mengeluarkan surat itu dari kantongnya.

Amato tersenyum melihat amplop yang diterimanya pagi ini, berisi sepucuk surat yang terbuat dari sobekan buku hutang ayahnya, tulisan di atasnya miring-miring, keruwel-keruwel seperti kambing yang tertiup badai angin topan. Akan tetapi, isi surat itu terasa getir sampai ke lidah.

'Selamat Hari Ibu

Hali, Upan, Gem nakal ya bu … kalau gitu Hali, Upan, Gem minta maaf. Janji nggak nakal lagi. Hali, Upan, Gem sebenarnya sayang sekali sama Ibu, Ibu juga sayang Hali, Upan, Gem kan? Kenapa Ibu nggak pulang? Hali rindu, Upan juga rindu, Gem juga rindu kayaknya. Ibu cepat pulang, ya.
I love you, Ibu.

Salam,
Hali, Upan, Gem.

Amato memandang istrinya lama, tangannya bergerak menyentuh bongkahan batu di depannya, mengusap-usap batu itu seakan sedang mengusap pipi istrinya.

"Aku juga merindukanmu," bisiknya.

Satu bulan sudah berlalu setelah istrinya meninggal. Amato belum juga memberitahu anak-anak mereka. Baginya, tidak semudah itu membuat anak-anak mengerti bahwa sejatinya dunia tempat tinggal mereka tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Seseorang yang telah meninggal tidak akan pernah kembali lagi dan sebanyak apapun rindu yang dimiliki tidak akan pernah berbalas. Sulit memberi mereka pengertian akan hal itu untuk saat ini, kecuali saat mereka mulai berhenti menjadi anak-anak.

.

.

.

-Tamat-


Halooo.
SkyLi datang membawa sesuatu yang tidak jelas. Btw ini eksperimen pertamaku pakai gaya bahasa yang rada … ngadi-ngadi wkwk. Aku nggak tau pesannya tersampaikan apa nggak, feel-nya kerasa apa nggak. Semoga tersampaikan dengan baik deh.

Melalui cerita ini, aku sadar ternyata menulis dua cerita berbeda di waktu yang hampir bersamaan itu tidak mudah, dan aku juga baru sadar ternyata aku nggak se-multitasking itu. Multitasking nggak, multi pusing iya :'))

Tadinya mau aku upload pas hari ibu, tapi apa daya, ternyata kebiasaan jelekku kambuh (a.k.a amnesia sesaat), dan aku baru sadar pas H-1. Jadinya dua hari terakhir ini ketar-ketir sendiri wkwk. Anyway, semoga suka~

Sampai ketemu di cerita selanjutnya, bye~
SkyLi