Mobil warna hitam dengan garis orange itu berhenti di depan gedung kampus jurusan sastra. Beberapa orang melirik mobil yang terasa asing di daerah gedung fakultas mereka, walau sebagian yang lain tak acuh.

"Kau juga kuliah di Universitas ini rupanya," ucapan Naruto membuat Hinata mengangguk pelan.

Gadis itu sudah tahu jika mereka satu Universitas, hanya saja beda fakultas.

"Iya, aku kuliah di sini," jawabnya singkat.

"Semester berapa?"

"Enam."

Naruto mengangguk, gadis itu ternyata satu tingkat dengannya walau usia mereka beda setahun. Naruto sudah bisa menebak jika Hinata masuk sekolah di usia yang lebih cepat.

"Terima kasih. Aku berangkat dulu."

"Hinata."

Gadis itu tidak jadi bergerak saat Naruto bertanya,"Jam berapa kau selesai?"

"Jam sebelas, tapi aku ingin ke rumah Ino dulu untuk mengerjakan tugas. Mungkin aku akan pulang sore."

"Rumah temanmu di mana?"

"Di kompleks Sarutobi, blok 8."

Naruto mengangguk, dia tahu kompleks itu. "Baiklah, aku akan menjemputmu nanti. Kau tunggu saja di depan lorong kompleks. Jam berapa?"

"Uhm, tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri."

"Baiklah, kau boleh pulang sendiri," ucap Naruto cepat sambil mengalihkan tatapannya, "Jika kau mau aku ditelan ibu hidup-hidup."

"Astaga!" Hinata berteriak tertahan, mengundang tatapan sang suami yang terkejut. "Jadi ibu suka makan orang?"

Naruto memejamkan matanya erat, pertanyaan macam apa itu? "Iya, ibu sangat suka memakan orang. Aku bahkan sering dimakannya hidup-hidup. Jadi lebih baik kau tidak melakukan hal yang membuat ibu memakanku lagi."

"Tapi kenapa kau masih hidup?"

"Kau ingin aku mati?"

Hinata terkekeh pelan atas tanggapan sewot Naruto. Membuat pria itu mendengkus kesal karena merasa dikerjai. Dia bahkan sampai melupakan misinya yang harus bersikap 'tenang'.

Gadis itu ternyata merepotkan.

Naruto tidak tahu jika Hinata kehilangan target setelah menikah. Hinata gadis yang cukup jahil. Kalau biasanya dia menjahili Neji dan Hanabi, maka setelah menikah dan pindah, dia sudah memutuskan untuk menjadikan Naruto target kejahilannya yang baru.

Cukup menyenangkan bukan?!

"Baiklah, aku berangkat dulu. Kau bisa menjemputku jam lima sore nanti."

Naruto hanya mengangguk sambil masih membuang muka. Membiarkan Hinata keluar tanpa melihatnya.

Safir Naruto melirik Hinata yang berjalan menjauh dan senyum tipis hadir di bibirnya. "Ternyata dia tidak terlalu membosankan juga." Menghela napas, Naruto mengangkat bahu untuk mengusir pikirannya tentang sang istri.

Bruk

Tubuhnya kaget saat ada yang menemplok di kaca mobilnya. Perlahan kepala dengan surai kuning itu menoleh dan mendesah lelah melihat seseorang yang tersenyum di sana.

"Naruto-kun." Panggilan manja itu membuat Naruto merinding. Segera saja dia menyalakan mobilnya dan berjalan mundur untuk kabur.

"Naruto-kun? Tunggu … Naruto-kuunn!"

Seorang gadis berambut pirang mengetuk-ketuk pintu kaca Naruto dan berlari menyamakan jaraknya dengan mobil yang mulai berjalan itu. Mobil itu berbelok dan akhirnya melaju ke depan dengan cukup cepat. Meninggalkan sang gadis yang memajukan bibirnya cemberut.

"Naruto-kun," teriaknya kesal.

Sementara Hinata yang mendengar teriakan itu menoleh dan tidak melihat lagi mobil sang suami yang telah jauh, lalu mengangkat bahu tak peduli dan kembali berjalan pergi.

Sementara, seorang pria berambut merah menghampiri sang gadis yang ditinggal pergi Naruto. "Sudahlah, Shion," ucapnya pelan dan mendapat lirikan malas dari Shion. "Kau tidak bosan jika terus ditolak oleh pangeran kampus itu? Denganku saja, aku tidak akan menolakmu."

"Tapi aku yang menolakmu, Sasori!"

Shion mendengkus kesal dan pergi meninggalkan pria babyface yang tersenyum itu.

.

Ganti Status Kilat by Rameen

Naruto by Masasi Kishimoto

Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata

.

"Hah." Naruto menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa yang ada di café itu. Mengundang tatapan aneh dari keempat sahabatnya. Tidak biasanya bocah konyol pembuat onar yang ceroboh itu mendesah lelah seperti orang kehilangan semangat hidup.

Ya, itulah Naruto di mata teman-temannya, bahkan julukan itu muncul dengan sendirinya dari mereka duduk di bangku SMA.

"Ada apa denganmu? Apa kau belum makan ramen tiga hari?" Pertanyaan Sasuke mendapat gelengan dari sang Uzumaki. Cukup mengejutkan karena sang Uzumaki tidak banyak bicara bahkan dari awal mereka berkumpul bersama. "Lalu kenapa? Bukankah biasanya kau akan tidur seharian di rumah jika tidak ada jadwal kampus?"

Naruto menghela napas lagi. "Aku memang berencana akan tidur seharian jika tidak takut dimakan oleh ibuku."

Kiba terkekeh mendengar keluhan itu. Naruto memang selalu memakai kiasan 'memakan' untuk amarah ibunya.

"Kalau kau ditelan hidup-hidup, bisa jadi kau keluar jadi bayi lagi."

Naruto hanya mendengus kesal.

"Lagipula kau sering sekali dimakan, kenapa kau masih hidup?"

Naruto mengernyit saat perkataan Kiba sama dengan perkataan istrinya. "Kau mau aku mati?"

Kiba terkekeh, mengingatkan Naruto jika istrinya tadi menunjukkan respon yang sama. Dia menekuk wajahnya, merasa tidak suka jika istrinya sama dengan orang lain.

Bletak

"Dasar baka, kenapa kau melempar sendok padaku? Sakit tau."

Naruto hanya menguap mendengar ocehan Kiba yang tidak penting dan kembali menyandarkan kepalanya sambil menutup mata. Dia ngantuk, tidur jam dua bukanlah style seorang Naruto.

"Kau kelihatan lelah, Uzumaki Naruto." Naruto mengeram kesal akan perkataan Shikamaru yang terasa menyindir. "Apa yang kau lakukan semalam?"

"Diamlah Shika atau akan kubotaki kepalamu."

"Kau cukup pemarah hari ini, ada apa?"

Naruto lagi-lagi menghela napas mendengar kata-kata tenang dari Gaara. Apa sahabatnya satu itu memang tidak memiliki ekspresi dan emosi? Meski sudah lebih dari enam tahun mereka mengenal, Gaara tetap tidak terpengaruh dengan sifat ceroboh Naruto, mulut bawel Kiba, kecuekan Shika, dan keangkuhan Sasuke.

Gaara tetaplah Gaara. Seorang pria yang tenang tanpa ekspresi yang berarti. Hanya ketika menerima perlakuan yang kelewatan dari kedua saudaranyalah dia terkadang risih. Bukan rahasia lagi jika dia menjadi anak paling dimanja dalam keluarga Sabaku, tapi walau seperti itu, dia adalah orang yang paling peduli dalam kelompok mereka.

Terbukti dari pertanyaannya tadi yang mengandung nada khawatir.

"Aku hanya merasa masih trauma atas apa yang terjadi," jawab Naruto singkat tanpa mau membahas lebih.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Naruto. Tapi yang aku tahu kau masih punya hutang padaku." Kiba kembali bersuara dan yang keluar dari mulutnya adalah hal yang mendapat gelengan dari yang lain. "Kenapa kalian menggeleng? Hei, hutang itu mungkin kecil bagi kalian, tapi itu besar bagiku yang tidak sekaya kalian."

"Aaiiissshh." Naruto menggaruk kepalanya kasar, kesal dengan ocehan Kiba. Sejujurnya dia masih tidak percaya jika sudah menikah, dan rasa kantuknya juga tidak membantu. Naruto meraih dompetnya dan melempar itu pada Kiba. "Ambilah dan diam. Kepalaku pusing!"

Kiba hanya menatap heran temannya yang terlihat benar-benar frustasi. Namun mengabaikan itu, dia segera membuka dompet sang Uzumaki, siapa tahu dia boleh mengambil lebih. Toh Naruto tidak bilang berapa yang harus dia ambil.

Namun, setelah uang yang dia ambil berjumlah cukup dengan hutangnya, Kiba menatap terdiam foto yang ada di sana. Selanjutnya dia tersenyum jahil. "Kau pusing karena apa? Seorang gadis?"

"Apa?" Pertanyaan itu muncul bersamaan dari yang lain termasuk Naruto.

"Lihatlah ini, gadis manis berambut indigo." Kiba menunjukkan selembar foto dari dompet Naruto. "Wah, ternyata kau pandai memilih ya."

Saat gambar dalam foto itu tertangkap oleh safir Naruto, seketika dia membeku.

.

"Hinata, kau bilang sudah mengerjakan tugas ini setengah." Sakura bersuara setelah pusing karena harus melihat rumus-rumus yang ada di bukunya. Demi apa, dia mengambil jurusan sastra karena tidak suka dengan hitung-hitungan, tapi kenapa hal yang menyangkut hitungan, bahasa, dan budaya masih tetap ada?

Teman berambut indigonya hanya menggeleng dan meraih sebuah buku. "Aku sudah meringkas beberapa materi penting dari buku cetak. Kalau tidak salah … hm … halaman … 134 … ah, ini dia," ujarnya senang karena menemukan apa yang dia cari, tanpa menyadari selembar foto yang jatuh ke atas meja.

"Hm, apa itu?" Ino penasaran dan mengambil foto itu. Lalu … "Kyaaa … Hinata kenapa kau bisa berfoto dengan pangeran kampus kita?"

"Nani?" Pertanyaan itu muncul bersamaan dari yang lain termasuk Hinata.

"Lihatlah ini, Uzumaki Naruto dari fakultas ekonomi yang menjadi pengeran kampus bersama Sabaku Gaara dan Uchiha Sasuke." Ino menunjukkan foto itu kepada teman-temannya yang lain. "Apa hubunganmu dengannya?"

Saat gambar dalam foto itu tertangkap lavender Hinata, seketika dia membeku.

.

Itu foto mereka berdua setelah pernikahan.

.

"Jadi Naruto? Siapa gadis manis ini?"

.

"Dia siapamu, Hinata? Ceritakan pada kami?"

.

"Engg … itu …" Kedua orang yang berbeda di tempat yang berbeda itu terlihat bingung dalam berbicara. Apa yang harus mereka katakan? Selintas mereka mengingat kalau tadi pagi, Kushina yang memberikan tas dan dompet mereka yang tertinggal di ruang makan.

Jadi, menahan kekesalan, mereka menjawab. "Itu … anak teman ayahku."

.

"Anak teman ayahmu? Siapa namanya? Hei, bisakah kau mengenalkannya kepadaku?" Kiba kembali bertanya dengan antusias.

"Ck, merepotkan!" Shikamaru sudah bisa menebak jika itu adalah foto Naruto dengan istri yang dia bicarakan semalam. Memang, Naruto hanya menceritakan hal itu kepada Shikamaru, itupun terpaksa karena dia ingin meminta solusi.

"Cukup manis dan cantik."

Satu komentar dari Gaara membuat Naruto hampir terjungkal ke belakang. Apa maksudnya itu? Gaara tidak pernah tertarik kepada gadis manapun. Setiap kali ditanya tentang seorang gadis, dia pasti menjawab 'tidak tahu'. Lalu kenapa kali ini dia berkomentar tanpa diminta?

"Wah, bahkan Gaara pun sepertinya tertarik. Jadi Naruto, siapa gadis ini?"

"Engg … namanya Hinata." Dia tidak ingin mengatakan marganya. Hei, bagaimanapun gadis itu sudah menjadi Uzumaki sekarang.

"Apa kalian ada hubungan? Apa kau menyukainya?"

Naruto ingin sekali menyumpal mulut Kiba yang hari ini lebih bawel dari biasanya.

"Ayolah, jawab saja, teman. Apa akhirnya kau move on dari bandul kalungmu itu?"

Keempat yang lainnya melirik, bahkan Shikamaru. Memang, selama ini Naruto tidak pernah melirik dan dekat dengan gadis lain. Jika di tanya, 'aku sudah memiliki calon untuk memakai cincin ini'—itulah jawabannya.

Sebenarnya Naruto sendiri juga tidak tahu kenapa dia begitu santai menjawab begitu padahal dia tidak memiliki siapa pun yang dia sangka pantas untuk memakai bandul kalungnya. Tapi dari jawaban Naruto yang selalu sama, maka yang lain mengatakan kalau Naruto berpacaran dengan cincin di kalungnya sendiri.

Dari itulah mereka cukup kaget saat melihat foto seorang gadis di dompet Naruto.

"Hoi Naruto."

"Ck, berisik Kiba. Lebih baik kau tidak usah mendekatinya."

"Kenapa?"

.

"Ayolah Hinata, kalau kalian tidak ada hubungan apa-apa, kenalkan dia padaku. Dia sangat tampan, bahkan tidak kalah dari Sasuke dan Gaara."

"Hei Pig, bukankah kau menyukai pria yang berambut raven?"

"Iya sih, tapi Sasuke terlalu cuek. Gaara terlalu dingin. Hanya Naruto yang orangnya cukup hangat dan ceria."

Hinata mengangguk dalam hati. Hangat? Naruto memang hangat, apalagi saat pria itu memeluknya tadi pagi.

Astaga! Apa yang dia pikirkan? Hinata menggeleng pelan untuk mengusir bayangannya.

"Ya, Hinata. Kenalkan dia padaku."

Sakura dan Tenten hanya menggeleng mendapati tingkah Ino yang selalu kalah dengan pria tampan. Membuat mereka berpikir, pria seperti apa yang akan didapatkan Ino.

"Hinata-chaaann."

Hinata sedikit kesal dengan rengekan Ino. Tak tahukah kalau dia itu istri dari orang yang tengah dibicarakan? Kalau dia mengenalkan Ino dan Naruto. Bagaimana jika Naruto menyukai Ino? Bukan cemburu, Hinata hanya tidak ingin dimadu atau justru menjadi janda.

"Hah, sebaiknya tidak perlu berharap padanya Ino-chan."

"Kenapa?"

.

"Karena dia sudah menikah." Lagi—kedua suami istri itu menjawab dengan jawaban yang sama.

.

"Hinata sudah menikah?"

.

"Aku tidak mendengar apapun jika pangeran kampus itu menikah?"

.

"Jangan bercanda, Naruto."

"Aku tidak bercanda, dia sudah menikah." Naruto mengalihkan tatapannya. "Dengan seorang pria yang tampan."

"Tampan?"

"Ya, suaminya adalah pria yang tampan, keren, baik, pintar dan sempurna. Yang jelas kalian semua pasti kalah," ujar si pirang dengan sangat sangat sangat bangga.

"Khe." Lalu mendapat dengkusan geli dari Shikamaru

.

"Kapan dia menikah? Kenapa tidak ada kabar? Apa istrinya cantik?"

Hinata mengangguk sambil tersenyum kikuk. "Pernikahannya tidak terlalu dibuka karena ada alasan untuk dirahasiakan sampai dia lulus, mungkin. Dan istrinya," Hinata memainkan jari telunjuknya di depan dada, "is-istrinya seorang gadis ya-yang cantik, ramah, baik, dan juga anggun."

Bukan hal aneh jika Naruto narsis, tapi pengetahuan baru jika Hinata juga narsis.

.

"Hah, aku patah hati," ucap Kiba dan segera menyetel lagu mellow di ponselnya. Lagu yang membuat temannya yang lain memutar mata bosan, lagu aliran dangdut dari Indonesia. "Tidak kusangka, gadis ini sudah bersuami. Padahal aku jatuh cinta pandangan pertama padanya."

Shikamaru melirik dari sudut pandanganya saat samar mendengar Naruto mendecih. Melihat raut tidak suka Naruto saat Kiba terus saja memuji kecantikan Hinata.

"Setidaknya dia beruntung karena mendapat suami sempurna." Sindir Naruto dengan nada mulai kesal.

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Kiba tak terima, "Suaminya yang beruntung karena mendapatkan dia."

Dan Naruto tersentak. Dia beruntung karena mendapatkan Hinata?

.

"Benar-benar gadis yang beruntung karena bisa memiliki pria seperti Naruto," ucap Ino lebay.

Membuat Hinata terdiam. Dia beruntung karena mendapatkan Naruto?

"Ino-chan, bukankah kau belum mengenalnya? Kenapa kau bisa bilang istrinya yang beruntung. Bisa saja kalau Naruto yang beruntung karena dapat istri ya-yang … seperti kusebutkan tadi."

Ino menggeleng. "Instingku tidak pernah salah, Hinata-chan," ucapnya yakin.

"Apa kau lupa?" Tenten menyela. "Ino mempunyai kemampuan untuk membaca kepribadian dan karakter seseorang dalam sekali lihat."

.

Naruto dan Hinata terdiam. Dalam pikiran mereka, satu hal penting sedang berputar-putar. Apa mereka memang beruntung? Apa mereka mendapatkan takdir yang terbaik? Apa mereka harus mencoba menjalani semua dengan sepenuh hati? Mereka bahkan belum saling mengenal.

Itulah yang mereka pikirkan tentang pasangan mereka masing-masing yang mereka dapatkan secara kilat.

.

.

Drrtt drrtt.

Shikamaru berdecak kesal lantaran ponsel Naruto yang terus saja berbunyi pelan dan bergetar, sementara sang pemilik masih asik bermain game.

Setelah dari café tadi, mereka memutuskan untuk bermain futsal. Dan jika mereka sudah bersama dalam satu hari, maka akan lupa segalanya. Di sinilah mereka, sedang berkumpul di apartemen Kiba yang sederhana, tapi tetap nyaman. Apalagi jika tentang game, Kiba sangat suka mengoleksi PS dengan berbagai versi sekaligus kaset permainannya.

Dan itu terbukti jika melihat Naruto dan Kiba yang sedang tanding di depan layar TV sekarang.

Drrrttt drrrtt

Lagi ponsel itu bergetar, dan Shikamaru sudah berpikir untuk membantingnya sebelum dia melihat nama yang tertera di layar. "Naruto, ponselmu berbunyi."

"Hm, nanti."

Jawaban singkat Naruto mendapat decakan yang semakin keras dari Shika. "Sebaiknya kau angkat sekarang sebelum kami harus melayatmu besok."

Klik

Game itu langsung di-pause oleh Naruto. Dia menoleh dan melihat Shika yang mengendikkan dagunya ke arah ponsel yang berbunyi di atas meja. Dari perkataan dan ekspresi sahabatnya itu, apalagi ancaman yang mungkin terjadi, Naruto sudah bisa menebak siapa yang menelpon.

Dia dengan cepat meraih ponsel itu, "Hal–"

'Di mana kau, bodoh?!'

Naruto langsung berjengit saat suara sang ibu terdengar bagaikan terompet sangkakala baginya. "A-aku di tem-tempat Kiba, Bu."

'Pulang sekarang, atau kukebiri kau.'

Tut tut tut

"Ada apa, Dobe?"

Yang lain mengernyit heran saat Naruto terdiam bagai patung dengan wajah memucat.

Pemuda pirang itu menelan ludah dan menoleh pada teman-temannya. "Sepertinya aku harus pulang, jika tidak ingin dikebiri oleh ibu."

Ppfftt

Kiba terkekeh mendengar itu, sementara yang lain hanya mengernyit heran. Sudah biasa jika Naruto kena marah dengan ancaman mematikan, tapi tidak biasanya wajah Naruto memucat begitu.

Sementara Naruto sendiri takut setengah mati. Dia tidak tahu apa salahnya, yang jelas perasaannya benar-benar buruk sekarang. Ibunya tidak pernah mengeluarkan suara semengerikan tadi. Dia tidak takut ancaman sang ibu, tapi nada marah bercampur kecewa dari Kushinalah yang membuatnya tidak tenang.

Tanpa banyak bicara dia segera meraih kunci mobilnya dan cepat pulang.

*NaruHina*

"Tadaima. Ibu!" Naruto langsung berlari memanggil sang ibu. Saat melihat adiknya yang berdiri di anak tangga, dia berhenti. "Menma, di mana ibu? Ada apa?"

"Tidak ada hal penting kecuali kau yang hampir menjadi duda."

Safir Naruto berkedip bingung akan jawaban adiknya

Menma lanjut menjawab, "Ibu di dapur."

Tanpa dua kali, Naruto melangkah ke sana. Kemarahan ibunya yang menyangkut status pernikahannya bukanlah hal yang bagus.

"Ibu?" Naruto melangkah takut-takut saat menghampiri Kushina. "A-ada apa?"

Saat Kushina berbalik dan melemparnya dengan tatapan maut, Naruto baru bisa merasakan sesak napas. "Kau," desis Kushina pelan dengan nada tajam, berjalan mendekat dengan sebuah nampan di tangannya. "Bawa ini!" Dia langsung menyerahkan nampan itu pada Naruto.

Seakan belum cukup, Kushina menaruh mangkuk kecil berisi air dan handuk di atasnya. "Lakukan tugasmu dengan baik jika kau masih ingin tinggal di sini."

"Ibu, ada apa sebenarnya? Aku tidak mengerti."

"Kau tidak mengerti?!" Nada Kushina naik, membuat Minato dan Menma menyusul. "Kau pikir di mana istrimu sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa kau lupa jika sudah menikah?"

Naruto tersentak. Hinata. Benar, dia lupa tentang istrinya. Bukankah tadi istrinya bilang akan ke tempat temannya? Dia akan menjemput sang istri pulang jam lima di .…

Jam lima?

Safir Naruto melirik jam yang tergantung di dapur. Jam tujuh malam.

Oh astaga! Dia melupakan hal sepenting itu ternyata. Tapi apa itu masuk akal jika ibunya semarah ini? "Hi-Hinata, di mana dia sekarang, Bu? Apa dia baik-baik saja?"

Kushina mendengkus pelan sembari mengatur kembali emosinya agar tidak memarahi Naruto sekarang, setidaknya kondisi sang menantu lebih penting. "Dia ada di kamar," jawabnya dengan suara merendah, membuat Naruto cukup lega karena sang istri sudah pulang. "Badannya panas karena kehujanan. Jadi kau harus merawatnya sampai dia sembuh. Sebelum dia sembuh, kau tidak akan dapat makanan."

"Kehujanan?" Ancaman Kushina tidak dipedulikan oleh Naruto, dia hanya heran kenapa Hinata bisa kehujanan. Apa dia tidak sadar karena terlalu larut bermain game dengan Kiba?

"Iya kehujanan, aku dan ayahmu menemukan dia pingsan di bawah hujan di depan lorong kompleks Sarutobi saat kami melewati jalanan itu untuk pulang. Untung dia hanya pingsan, jika kami tidak menemukannya, bisa-bisa kau menjadi duda besok, bodoh!"

Mata Naruto melebar.

Pingsan. Istrinya pingsan di bawah hujan.

"Dan kau harus merawatnya. Bawa semua ini ke kamarmu. Air hangat dan handuk ini untuk membasuh tubuhnya, kau harus membasuh seluruh tubuhnya dengan rata. Ini obat penurun panas, tapi sebelum itu, dia harus makan nasi dulu. Sedikit juga tidak apa dan pastikan kau melakukan semua dengan benar."

Naruto terdiam mematung, perkataan sang ibu tidak dia dengarkan walau masih masuk ke dalam indra pendengarnya. Dia mengangguk pelan dan segera berjalan lesu menuju kamarnya. Membuat Minato dan Menma menatapnya prihatin.

"Kushina, apa kau harus memarahinya sampai begitu?"

"Huh, kalau dia tidak mendapat teguran yang pas di kesalahan pertamanya, maka dia akan melakukan kesalahan kedua nantinya."

*NaruHina*

Naruto duduk di samping istrinya yang tidak sadarkan diri di atas ranjang. Tangan mereka terpaut dan Naruto bisa merasakan panasnya tubuh itu. "Maaf, Hinata."

Dia meraih handuk dan mengelap keringat di dahi Hinata. Sedikit mengernyit saat melihat kening Hinata yang terlihat memar, tapi dia hanya diam dan terus melanjutkan tugasnya. Dia membasahi handuknya dengan air hangat pemberian ibunya tadi dan kembali membasuh wajah Hinata.

Wajah, leher, dan seluruh tubuh. Yah, itu yang dikatakan ibunya. Dia kembali membasahi handuk dan akan membasuh tangan Hinata saat dia terhenti karena menyadari sesuatu.

Wajah, leher, dan … selu–oh shit! Apa yang ibunya katakan? Seluruh tubuh? Maksudnya Naruto harus ….

Hah, Naruto memejamkan matanya agar tenang. Kegugupan datang seketika, tapi lenguhan kecil Hinata membuatnya menoleh. Menatap Hinata yang terlihat gelisah dengan napas terengah pelan dari mulutnya. Gadis itu masih tidak sadar. Membuat Naruto mengusap pelan kepalanya dan saat itulah Naruto menyadari kalau dia harus melakukan tugasnya.

"Astaga! Tubuhnya panas sekali." Tanpa pikir banyak dia membuka selimut yang menutupi tubuh Hinata. Melihat piyama yang dipakai oleh Hinata. Piyama berlengan panjang sepaha. Naruto fokus melihat dan menghapal letak kancingnya.

Dia menggulung lengan baju Hinata dan mengusap handuk tadi di sana. Setelah selesai, dia kembali menutupi tubuh Hinata dengan selimut lalu membuka piyama gadis itu tanpa melihat. Bagaimanapun, hubungan mereka yang belum apa-apa membuatnya sungkan untuk bertindak di luar nuraninya. Dia masih sangat memikirkan perasaan istrinya.

"Demi Hinata," gumamnya. Dengan pelan mengusap tubuh Hinata yang ada di balik selimut, semua secara rata bahkan sampai ujung mata kaki. "Kau harus cepat sembuh, Hinata, agar aku bisa minta maaf secara langsung!"

*NaruHina*

Pagi itu, Hinata membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi semakin jelas setelah beberapa kali kedipan. Dia merasa sedikit pusing dan hangat di seluruh tubuhnya. Saat kepalanya menoleh, teriakannya tertahan dalam hati saat melihat Naruto duduk di sampingnya, menatapnya tajam dengan mata yang memerah. Jangan lupakan rambut dan wajahnya yang acak-acakan dan terlampau kusut.

"Na-na-naru-to?" Dia cukup ragu sebenarnya. Bukankah suaminya tampan, lalu kenapa bisa jadi seperti zombi? "Kau kenapa?"

"Kau sudah bangun." Pria pirang itu berkata datar dan menggaruk rambutnya tanpa minat. Hinata melirik ke samping dan melihat banyak sekali barang di atas nakas. Piring, gelas, baskom, handuk, dan hal-hal kecil lainnya. "Semalam kau demam," ucap Naruto menjelaskan.

"Ja-jadi kau menjaga dan merawatku semalaman sampai tidak tidur?"

Naruto melirik malas dan menghembus napas. Dia mengangguk pelan agar hal itu tidak lebih panjang. Akan memalukan jika dia harus menjawab … 'Ya, aku merawatmu semalaman. Tapi yang membuatku tidak bisa tidur adalah karena setiap kali aku menutup mata, maka bayangan aneh dan khayalan liar tentang tubuhmu yang akan melintas. Apa kau tahu itu sangat menyiksa? Padahal aku hanya merasakan kulitmu tanpa melihatnya, lalu kenapa aku bisa jadi bodoh sendiri?'

Naruto menyadari kalau dia bodoh, tapi tidak sebodoh itu sampai harus mengaku.

"Maaf." Hinata berucap pelan seraya berusaha untuk duduk. "Maaf sudah merepotkanmu."

Naruto menghela napas karena tidak enak juga jika membuat Hinata jadi merasa bersalah. "Akulah yang salah," ucapnya kemudian memeriksa kening Hinata. "Panasmu sudah cukup menurun. Dan Hinata," pria itu menghentikan ucapannya dengan menatap intens mata lavender di depannya, "maaf karena aku melupakan janjiku kemarin."

Hinata hanya bisa diam mendengar itu. Setelah sedikit berpikir, gadis itu ingat jika kemarin Naruto memang sudah ingkar janji, tapi dia tidak mengerti "Kenapa aku bisa sakit, Naruto?"

"Huh? Kau kehujanan sampai pingsan. Ibu yang menemukanmu lalu membawamu pulang."

Hinata mengernyit dan kembali mengingat kejadian kemarin, dan tak lama dia bergumam pelan seraya menampilkan wajah malunya.

"Tapi Hinata, kenapa kau tidak berteduh atau pulang saja?"

Gadis itu tersenyum kikuk karena pertanyaan itu. Apa yang harus dia jawab?

"Itu … sebenarnya …."

.

Flaschback

Hinata menghela napas saat tanda-tanda kedatangan Naruto belum juga terlihat. Dia melihat jam tangannya dan menyadari kalau sudah menunggu setengah jam di sini.

Tes

Air itu jatuh, membasahi pipi gembil sang nyonya Uzumaki, tapi cepat dihapusnya dan mendongak, itu bukan air mata tapi air hujan.

Hujan? "Ya ampun, kenapa malah hujan?"

Hinata sudah akan berlari mencari tempat berteduh jika saja pikiran kekanakannya tidak muncul. "Tapi … aku sudah cukup lama tidak mandi hujan. Aku nikmati saja dulu." Dia tersenyum dan mulai menadahkan tangan serta wajahnya menyambut hujan.

Tanpa sadar dia mulai bergerak berputar menikmati hujan yang membasahi wajahnya, sampai …

Duakk

Dia menabrak tiang listrik, lalu …

bruk

dia pingsan di tempat, di bawah guyuran hujan.

Dan begitulah bagaimana dia bisa kehujanan sampai demam.

Falshback off

.

Hinata duduk canggung sekarang, jari telunjuk dan jempolnya menarik-narik kecil ujung sarung bantal yang berenda di pangkuannya. Tatapannya tidak fokus dan raut wajahnya innocent seolah mengatakan 'aku tidak tahu apa-apa'. Sesekali lavendernya melirik cepat ke arah sang suami yang terlihat menahan sesuatu.

Sesuatu yang membuat pria itu ingin menyerang sang istri sekarang juga. Menyerang bukan dalam arti negative, tapi menyerang dalam arti positif alias Naruto setidaknya ingin mengumpat kesal kepada gadis itu.

Ayolah, dia tidak makan dari semalam, tidak tidur, dan bahkan kena amuk ibunya. Tapi semua itu ternyata karena ulah konyol Hinata sendiri? Kalau saja Hinata berteduh atau pulang, setidaknya kondisinya masih sedikit fit pagi ini. Tapi apa tadi, bermain hujan dan menabrak tiang listrik?

Itu adalah hal terkonyol yang mungkin bisa menjadi referensi baru untuk seseorang bisa jadi sakit.

"A-an-anooo, Na-naruto?"

"Baiklah." Menghela napas sejenak, Naruto sudah kembali ingat jika dia harus bersikap tenang, walau dia ingin sekali berteriak dan menyayangkan nasibnya karena mendapat istri yang sama konyol dengan dirinya. Yah, ternyata saran Shikamaru banyak membantu. "Setidaknya demammu sudah turun, tapi kau masih harus minum obat lagi."

"Lagi? Apa semalam aku minum obat?"

"Tentu saja, kau tidak tahu seberapa sulitnya aku membangunkanmu dan membuatmu makan walau hanya tiga suap. Aku juga yang menyuapimu agar minum obat. Kau tidak ingat?"

Hinata menggeleng karena memang dia setengah sadar saat Naruto membangunkannya semalam. Dia tersenyum tipis saat menyadari jika Naruto benar-benar orang yang baik. Apa perkataan Ino kemarin memang benar? Dialah yang beruntung karena mendapatkan Naruto.

"Hina-chan?"

Mereka menoleh saat pintu itu terbuka dan menampilkan sosok wanita berambut merah yang berjalan mendekat, sedikit menggeser tubuh Naruto sebelum duduk di samping menantunya. "Bagaimana keadaanmu, kau baik-baik saja?"

"Uhm," Hinata mengangguk, "Aku sudah lebih baik, Bu. Karena Naruto merawatku bahkan sampai tidak tidur."

Kushina tersentak dan melirik putranya yang pura-pura tidak tahu jika sedang di puji. Dia tersenyum tipis karena merasa jika Naruto pasti sudah minta maaf pada Hinata, walau dia ingin mendengarnya sendiri. "Naruto, kau sudah salah, jadi sekarang kau harus minta maaf."

"Ak—"

"Ibu," Hinata memotong perkataan Naruto lebih dulu, "Yang kemarin bukan sepenuhnya kesalahan Naruto. Aku saja yang bodoh karena ma—"

"Masih mau menungguku yang ingkar janji, jadi aku yang salah. Aku minta maaf, Hinata. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan aku akan memasang alarm agar tidak lupa jika ada janji denganmu."

Kushina tersenyum semakin lebar dan memeluk Hinata dengan sayang. Sementara Hinata hanya terdiam menatap Naruto dengan pandangan sulit diartikan. Tidak salah lagi, dia memang sangat beruntung karena mendapatkan Naruto. Suaminya tidak mengatakan kepada orang lain apa kesalahannya, tapi justru menanggung semua kesalahan sendiri.

Naruto menatap senang kedua wanita dalam hidupnya. Dia senang karena bisa membuat ibunya senang, dan entah kenapa, setelah membela Hinata, dia juga merasa ada perasaan senang dan bangga tersendiri dalam hatinya.

Biarlah dia saja yang dimarahi sang ibu karena semua itu kesalahannya seorang, tidak perlu memberitahu orang kalau sebagian kesalahan adalah akibat kecerobohan istrinya. Itulah yang Naruto pikirkan.

Mereka saling menatap dalam diam. Mengingat setiap proses bagaimana hubungan mereka terasa semakin dekat dengan cara saling melindungi dan saling membela.

.

Bukan awal yang buruk, bukan? Rasa saling melindungi adalah dasar dari suatu hubungan yang tercipta.

Bahkan saat kau memilih untuk menolong atau melindungi seseorang yang kau temui di jalan, meski tidak kau kenal sebelumnya, maka hal itu akan membuatmu setidaknya saling tahu, mengenal, bahkan menciptakan hubungan baru.

.

.

To be continued

Thanks untuk semua yang udah baca, vote, dan komen.

Moga terhibur ?

Sekian.

Salam, Rameen.