Pagi di kediaman Hyuuga tidak terlalu dingin karena tidak turun hujan di malam harinya. Walau tetap saja sudah menjadi hal wajar jika udara pagi lebih terasa sejuk.

Dalam sebuah kamar, terlihat Naruto dan Hinata yang masih tertidur pulas dengan saling berpelukan. Jarum jam yang terus berputar memaksa mereka untuk bangun saat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Cukup siang untuk bangun pagi dibukan hari libur.

Mata mereka perlahan terbuka secara bersamaan, mempertemukan safir dan lavender dalam sebuah ilusi yang menyenangkan. Mereka bertatapan, mencoba mengenali suasana dan mencerna situasi yang terjadi.

Pada detik ke sepuluh, mata keduanya terbelalak dan teriakan kecil terdengar. Mereka langsung terduduk dan saling membuang muka.

"A-a-aku a-akan man-mandi." Ucapan terbata Hinata langsung diikuti gerak gesitnya yang turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

"Hinata," Naruto memanggil pelan saat tanpa sengaja matanya melirik sang istri yang berjalan. Hinata berbalik untuk merespon. "Kau … tidak memakai dalaman?"

Lavender Hinata melirik ke arah tubuhnya sendiri yang hanya memakai piyama setengah paha tipis tanpa memakai dalaman, sebelum kemudian matanya melebar dan berteriak.

Naruto berkedip saat pintu kamar mandi tertutup kasar setelah Hinata berlari cepat ke dalamnya. Menggeleng pelan, Naruto menarik napas guna menenangkan dirinya. "Oke, lari pagi tidak buruk juga," ucapnya langsung keluar dari selimut.

Lari pagi mungkin memang sangat dia butuhkan sekarang.

.

Ganti Status Kilat by Rameen

Naruto by Masasi Kishimoto

Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata

.

Shikamaru menguap dengan mata terpejam sembari berkata, "Aku lapar."

"Apa kau tidak sarapan?" Kiba bertanya tanpa minat, karena itu, Shikamaru juga tidak berminat menjawab. Apalagi saat mata hitamnya melirik sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari mereka yang duduk di taman depan kampus.

Dengan cepat dia berdiri dan menghampiri mobil tersebut.

"Oi, kau mau ke mana?" Teriakan Kiba tidak digubris olehnya.

.

Gaara keluar dari mobil dan berdiri seraya menunggu Temari yang juga ikut turun. Dia hanya diam dengan wajah sedikit risih saat sang kakak merapikan helaian rambut merahnya yang tertiup angin.

"Sudah cukup, Nee-san. Ini sudah rapi."

"Aku hanya merapikannya sedikit, tidak apa, 'kan?" Temari menjawab santai lalu menyodorkan sebuah kotak bekal pada adik bungsunya. "Nah, ini bekal hari ini. Dihabiskan seperti kemarin, ya."

Set

Shikamaru datang dan langsung merebut bekal itu lalu dengan kecepatan yang mengagumkan membuka dan memakan isinya.

"Sedikit asin," komentarnya.

"Apa?" Temari bersuara pelan karena masih merasa terkejut, dan saat dia mulai sadar, wajah lembutnya berubah menjadi sangar. "Dasar Rusa, kau pikir itu punya siapa? Seenaknya saja mengambil dan memakan punya orang tanpa izin. Apa kau tidak malu?"

"Hn, telurnya enak."

Temari mengepalkan tangan, kesal pada teman adiknya yang selalu membuatnya kesal dalam tiga tahun terakhir.

Temari tidak habis pikir kenapa adiknya yang imut-imut dan manis dan penurut dan lembut dan rajin itu bisa berteman dengan Shikamaru yang 180 derajat berkebalikan dari adiknya?

"Apa kau mau menghabiskan bekal orang lain?" Masih dengan nada sewot, Temari berkacak pinggang.

"Jika kau tidak ingin aku menghabiskan bekal adikmu, maka buatkan untukku juga."

"Dan kenapa aku harus melakukannya?"

"Karena kau akan melakukannya setiap hari setelah menikah."

Temari terdiam, dan tanpa sadar menurunkan tangannya. Shikamaru yang berbicara tegas dengan raut wajah serius membuatnya sedikit salah tingkah. Apalagi saat pria Nara itu mendekat dan berbisik di telinganya, "Kau akan membuatkannya untuk suamimu, dan itu bukan aku. Jadi tidak usah terlalu salah tingkah."

Ekspresi melembut Temari kembali garang dan dia hampir mencakar wajah Shika jika saja pria itu tidak menghindar dengan cepat. "Dasar rusa, si-siapa yang salah tingkah? Jangan terlalu percaya diri!"

"Jadi kau tidak salah tingkah? Baguslah, karena aku tidak mau menikah dengan wanita sepertimu?"

"Seperti apa maksudmu?"

Shikamaru menutup bekal di tangannya dan menatap Temari dari atas ke bawah lalu naik lagi ke atas. Membuat Temari kembali salah tingkah. "Merepotkan!" jawabnya dan langsung berjalan pergi.

"Aaaarrrggg." Temari berteriak tertahan karena tingkah Shika yang selalu saja membuatnya kesal jika mereka bertemu. "Dasar jelek, kau bilang tidak mau menikah denganku? Lihat saja nanti, awas kalau kau melamarku, akan langsung aku tolak," teriaknya.

"Nee-san mau dia melamar ke rumah?"

"Eh?" Temari tersentak dan terdiam akan pertanyaan Gaara. Dia menutup mulut saat sadar kalau dia baru saja berkata seolah mengharapkan Shika akan melamarnya. Oh, dia ingin masuk ke lubang saja rasanya. "Eng, itu … tidak penting."

Gaara hanya diam dan masih menatapnya biasa.

"Sudahlah! Nee-san pergi dulu ya, jaa ne." Dengan cepat Temari memasuki mobilnya dan melaju tanpa berpamitan kedua kali.

Membuat Gaara menatapnya dengan wajah datar. Namun semenit berikutnya, dia tersenyum tipis dan menggeleng pelan.

*NaruHina*

Suara dua orang yang bertabrakan, dan disusul dengan suara benda yang jatuh terdengar.

"Ya ampun, ponselnya." Sakura berseru pelan karena ponselnya jatuh setelah bertabrakan, dia mendongak dan akan meminta maaf saat ternyata orang yang ditabraknya adalah seorang Uchiha Sasuke. Kata maaf yang sudah di ujung tenggorokkan serasa tertelan lagi saat menatap mata onyc yang seolah bisa menariknya jatuh dalam sebuah ilusi.

"Uchiha Sasuke," ucapnya pelan. Saat tatapan onyc itu berubah risih, dia tersadar. "Oh, maaf. Aku tidak melihat jika ada orang yang berjalan di depanku. Maaf."

Sasuke hanya diam dan melirik ke arah ponsel yang terjatuh di dekat kakinya. Sakura juga melihatnya dan segera duduk untuk meraihnya. Gerakan mereka sama dan berbarengan, sehingga saat Sasuke ingin meraih ponsel itu, dia justru memegang tangan Sakura yang lebih dulu meraih ponselnya.

Mereka mendongak dan bertatapan. Seperti sinetron. Sebuah benda jatuh, mengambilnya bersamaan hingga tangan bersentuhan dan pandangan bertemu.

Waktu serasa berhenti bagi gadis musim semi itu. Wajahnya merona dan senyumnya tersimpul. "Te-terima kasih," ucapnya malu-malu karena Sasuke mau membantunya mengambil ponselnya yang terjatuh, dan dia semakin merasa malu karena tangan Sasuke belum juga terlepas.

"Milikku."

Wajah Sakura semakin memerah saat Sasuke mengucapkan satu kata yang membuat jantungnya berdetak. Miliknya? Aku bukan miliknya, batin Sakura ke-GR-an.

"Ano ... aku bukan milik siapa-siapa, kok," jawabnya tersipu malu.

"Ponselnya," ucap Sasuke.

Sakura ber-hah saat Sasuke mengucapkan kata itu.

"Ponsel ini milikku, ponselmu yang itu," lanjut Sasuke sembari mengedikkan dagu ke arah ponsel lain yang terjatuh sedikit jauh dari mereka.

Sakura menoleh dan menatap ponsel hitam yang masih utuh di tangannya lalu beralih menatap ponsel biru tua yang kelihatannya mati karena baterai ponsel itu sudah terlepas dari tempatnya.

Sakura meringis menatap malang ponselnya dan meringis menyadari tingkahnya yang terlewat ke-GR-an duluan.

Set

Dia tersentak saat Sasuke merebut ponsel dari tangannya. "Jika berjalan, melihatlah dengan mata kepala, bukan dengan mata kaki." Ucapan ketus itu sanggup membuat Sakura menganga dan tidak menghiraukan Sasuke yang sudah berjalan pergi meninggalkannya sendiri di tengah lapangan kampus.

Syuuu

Angin berembus membelai surai pink-nya yang akhirnya membuat dia mendesah pelan. Meraih ponselnya dengan lesu sebelum kembali berdiri dengan tatapan tajam mengarah pada sosok pria berambut raven yang sudah sangat jauh darinya. Tangannya terkepal. "Dasar Ayam Jelek!" teriaknya kemudian.

Set

"Hg?" Sakura berkedip bingung saat di depannya sudah ada sebuah kertas yang terlihat terlipat dua. Dia menoleh ke samping dan terdiam melihat seseorang yang mirip dengan orang yang baru saja dia temui. 'Sasuke?' batinnya bertanya, 'Tidak, dia bukan Sasuke. Mungkin … Sasuke KW?' Sakura masih berkutat dalam pikirannya saat orang itu melambai tangan di depan wajahnya.

"Hei, kau kenapa?"

"Ah." Sakura tersentak dan keluar dari pikirannya. "Tidak. Aku tidak apa-apa."

"Hn." Pria itu mengangguk dan kembali menyodorkan selembar kertas terlipat padanya. "Untukmu. Anggap saja penghibur agar kau tidak kesal lagi." Orang itu tersenyum dan berjalan pergi.

Lagi-lagi Sakura terdiam. Dia menatap kertas itu dan membukanya, mulutnya terbuka takjub saat melihat lukisan seseorang di dalamnya. "Ternyata aku sangat cantik," gumamnya saat melihat lukisan dirinya di kertas itu.

*NaruHina*

Ino, Hinata, dan Tenten menatap terdiam sebuah lukisan yang di perlihatkan Sakura pada mereka. Mencoba mengenali sosok perempuan cantik di dalamnya. Pasalnya walau sudah tahu, mereka sanksi jika gambar di lukisan itu benar-benar Sakura. Kalau pun iya, maka bukan Sakura yang cantik, tapi pelukisnyalah yang hebat dan terlalu melebih-lebihkan kecantikan Sakura. Hm, itu batin mereka.

"Bagaimana, aku cantik, 'kan?" tanya Sakura dengan nada riang dan mata berbinar.

Ino dan Tenten menghela napas. "Aku yakin pelukis hebat itu matanya katarak."

"Atau bisa juga dia hanya ingin menghibur Sakura dengan mengedit sedikit lukisan dari yang aslinya." Tenten dan Ino mengangguk bersama menyetujui pendapat mereka masing-masing.

"Heiiii!"

Hinata terkikik saat Sakura berteriak kesal atas perkataan Ino dan Tenten. Ah, teman-temannya memang selalu lucu. Mengabaikan pertengkaran teman-temannya, lavender itu kembali melirik lukisan yang ada di atas meja di depannya. Insial yang berada di salah satu sudut kertas membuatnya mengerutkan kening karena merasa pernah kenal dengan insial yang sama. Tapi siapa dan kapan?

"Ne, Hinata-chaaan, bukankah aku memang cantik seperti di lukisan itu?" Kini Sakura meminta dukungan Hinata yang dari tadi hanya diam saja.

"Hm?" Hinata melihatnya dan berkedip, kemudian mengangguk. "Iya, kau cantik Sakura-chan."

"Oh, Hinataaaa … kau memang paling tahu tentang kecantikan. Mereka saja yang matanya katarak," ejek Sakura menyidir Ino dan Tenten yang mencibir ke arahnya.

"Tapi …." Gumaman kata tapi dari Hinata memudarkan senyum Sakura dan menimbulkan tatapan penasaran dan dua yang lain. Apa Hinata akan mengubah pendapatnya dan bilang kalau Sakura jelek? Atau dia akan menambahkan poin yang memudarkan pujiannya sebelumnya?

"Tapi apa, Hinata? Kau tidak berubah pikiran tentang pujianmu untukku tadi, 'kan?" Sakura was-was karena takut Hinata juga mengejeknya seperti Ino dan Tenten.

"Bukan itu Sakura-chan. Kau cantik, kok. Hanya saja siapa yang memberikan lukisan ini padamu?"

"Sasuke KW."

Ngiiiing

Suasana tiba-tiba sunyi saat mendengar jawaban Sakura. Bukan hanya teman-temannya, tapi beberapa orang yang ada di kelas juga terdiam.

"Dasar Jidat, mana ada Sasuke KW."

"Adak, kok, dia mirip dengan Sasuke. Berambut hitam, mata hitam, tingginya juga sama, walau kulitnya terlihat lebih pucat dan juga dia tersenyum aneh walau aku tahu senyum itu memang tulus."

"Tersenyum aneh?" Tenten mengernyit, bagaimana senyum aneh yang dimaksud Sakura?

Hinata terdiam, dia kembali melihat goresan lukisan itu dan juga insialnya, dia pun mengingat ciri-ciri yang disebut Sakura. Dia merasa kalau orang itu mirip dengan … "Sai-kun."

Ino, Tenten, dan Sakura menoleh kepadanya saat Hinata mengucap nama asing itu. "Sai?"

"Uhm," Hinata mengangguk, "Mungkin itu Sai-kun, temanku saat kelas tiga SMP."

"Dari mana kau tahu?"

"Ciri-ciri yang disebut Sakura mirip dengannya. Dan juga, goresan dasar lukisan serta inisial ini adalah gaya khas yang dia ciptakan sejak dia SD. Aku ingat sekarang, ya, dia mungkin benar-benar Sai-kun."

*NaruHina*

"Oi Sai, bagaimana? Aku benar, 'kan?"

Sai berjalan sambil tersenyum kepada teman yang berjalan di sampingnya. "Ya, kau benar, Choji. Ternyata di kampus ini banyak perempuan cantik yang bisa dijadikan model lukisanku."

"Aku setuju, dan kau tahu? Anak sastra memiliki lebih banyak perempuan cantik."

"Hm, aku akan melihatnya nanti. Tapi apa kau mengenal seorang gadis yang kucari?"

"Siapa?"

"Hinata. Hyuuga Hinata."

*NaruHina*

"Hinata, kau yakin tidak ingin pulang bersama?"

"Iya. Kalian duluanlah, aku sudah ada yang menjemput."

"Kau sering sekali diuemput akhir-akhir ini. Siapa sih yang menjemputmu?"

"Uhm itu .…"

"Apakah Neji?"

"Neji itu siapa, Tenten?"

"Dia kakak Hinata. Dan ehm … orangnya … sudahlah sebaiknya kita pulang."

"Hei, kenapa kau mengalihkan pembicaraan dan kenapa wajahmu memerah?"

"Wajahku tidak memerah."

"Iya wajahmu merah. Hei tunggu. Ah, sudah dulu ya Hinata-chan. Kami duluan."

"Iya."

Hinata tersenyum melihat Ino yang berlari dan masih menggoda Tenten. Sakura sudah pulang lebih dulu karena ada urusan. Awalnya Ino mengajak pulang bersama, tapi Hinata masih ingat kalau dia sudah menikah dan selalu harus dijemput sang suami. Itu kata ibu mertuanya.

Hinata menghela napas saat kedua temannya sudah hilang dari balik gerbang. Dia mendudukkan dirinya di kursi semen di bawah pohon taman kampus untuk menunggu jemputannya datang. Naruto sudah bilang kalau pria itu sedang ada quiz, jadi tidak tentu bisa cepat atau tidak.

Dia mendongak menatap langit yang terlihat sedikit mendung. "Apa akan hujan lagi?" tanyanya pada diri sendiri, "Kenapa sering sekali hujan?"

Dia menghela napas menikmati angin yang berembus.

Ingatannya kembali saat pagi tadi dia terbangun dengan lagi-lagi berada dalam pelukan Naruto. Namun tadi dia sadar jika bukan hanya Naruto yang memeluknya tapi dia juga memeluk suaminya itu. Dia bahkan merasa kalau semalam dia bermimpi saling berpelukan dengan Naruto.

"Ya ampun," Hinata memegang dadanya, "Kenapa aku jadi deg-degan? Sudah seminggu lebih, tapi pernikahan ini masih tidak ada perubahan. Apa memang harus terus begini?" Hinata mengingat kembali mimpinya tentang pernikahan yang dia harapkan.

Menikah dengan seorang pria yang sangat dia cintai dan mencintainya. Dia akan bangun di pagi hari untuk membuat sarapan lalu membangunkan suaminya dengan penuh cinta. Membantu suaminya bersiap untuk pergi kerja lalu sorenya menunggu suami pulang kerja dengan makan malam enak yang sudah dia sajikan.

Sungguh, tidak pernah terpikirkan sekalipun jika dia menikah saat statusnya dan suami masih seorang mahasiswa. Bagaimana mungkin dia membantu suami berangkat kerja dan menunggu suami pulang kerja?

"Hinata?"

Gadis itu tersentak dan menoleh.

"Namamu Hinata, 'kan?" Hinata mengangguk dan sedikit bergeser saat pria yang menghampirinya itu duduk di sampingnya. "Kau ingat aku?"

"Ehm, Sa-Sabaku Gaara?"

Gaara mengangguk. "Apa yang kau lakukan? Kau tidak pulang?"

"Aku menunggu seseorang yang menjemputku," jawab Hinata pelan, dia tidak tahu harus berkata apa kepada pria yang dia kenali sebagai teman suaminya itu. Apalagi pria itu pernah dengan tanpa sungkan membagi sayur kepadanya. Dia ingat, karena hal itu Naruto jadi banyak tanya padanya.

Apa dia kenal Gaara? Apa hubungannya dengan Gaara? Kenapa Gaara mau berbagi sayur dengannya? Dan masih banyak pertanyaan lain yang ditanyakan Naruto hari itu.

Demi Tuhan, dia saja baru mengenal yang namanya Sabaku Gaara, walau Ino sudah sering menyebut nama itu sebagai salah satu nama pangeran kampus yang terkenal dari semester satu.

"Apa ada sesuatu?" Hinata memberanikan diri untuk bertanya setelah cukup lama mereka hanya terdiam.

Gaara mengeluarkan ponselnya dan menatap Hinata datar. "Boleh aku minta nomor ponselmu?"

"Hah?" Hinata berkedip mendengar itu. Apa dia tidak salah dengar? Kenapa Gaara meminta nomor ponselnya? Oke, Hinata yakin jika teman-teman Naruto tidak tahu tentang pernikahan mereka. Jadi, itu berarti kalau Hinata tidak ada hubungan apa-apa dengan mereka yang berarti juga kalau Hinata hanyalah mahasiswi biasa di kampus.

Lalu apa alasan sang pangeran kampus meminta nomornya?

"Aku ingin meminta nomor ponselmu, apa tidak boleh?"

"Eh, uhm ... itu .…" Hinata tersenyum kikuk karena keterkejutannya tadi. "Memang u-untuk ap-apa?"

"Hanya ingin memilikinya, apa perlu alasan lain?"

Hinata hanya bisa melongo mendengarnya. Apa itu bisa disebut alasan? Hinata baru tahu jika orang yang disebut pangeran kampus ternyata cukup aneh baginya. Termasuk sang suami, Uzumaki Naruto.

"Uhm, bo-boleh kok."

Gaara menyodorkan ponselnya agar Hinata bisa menyimpan langsung nomornya di sana. "Baiklah, terima kasih. Oh ya, apa aku boleh meminta tolong jika nanti perlu bantuanmu?"

"Ya, jika aku bisa membantu."

"Baiklah, Hinata. Aku pergi dulu, kuharap jemputanmu segera datang."

Hinata hanya mengangguk dan melihat diam Gaara yang berjalan pergi. Dia masih tidak mengerti dan mengangkat bahu tak acuh, memilih mengabaikan hal yang mungkin terlalu dia pikirkan secara berlebihan. Mungkin saja Gaara berpikir jika perlu untuk menyimpan nomor ponsel orang-orang yang dikenal sahabatnya. Dalam hal ini, Hinata adalah orang yang dikenal Naruto. Jadi tidak salah, bukan?

"Hinata."

Dia menoleh dan langsung berdiri saat mobil Naruto sudah ada agak jauh di depannya. Mobil itu langsung berputar dan melaju keluar gerbang setelah Hinata masuk ke dalamnya.

Sementara Gaara yang masih ada di sana menatap datar Hinata yang masuk mobil Naruto dan pergi melaju. Satu fakta. Orang yang ditunggu Hinata untuk menjemputnya adalah sahabatnya sendiri, Uzumaki Naruto.

Setelah cukup lama berdiam diri, Gaara melangkah pergi dengan senyum tipis di bibirnya. Sangat tipis.

*NaruHina*

Hinata tersenyum saat gerimis kembali datang. Seperti biasa, dia menadahkan tangan dan wajahnya untuk merasakan tetesan gerimis itu di wajahnya. Dia kembali bergerak berputar dan terus berputar sampai …

Set

… dia membuka matanya dan menoleh, mendapati Naruto yang menatapnya datar sembari menahan bahu gadis itu.

"Kau suka sekali menabrak tiang listrik ya?"

Hinata berkedip dan menoleh ke depan, mendapati sebuah tiang yang berada sejengkal dari wajahnya. Dia menoleh ke atas dan menemukan satu fakta yang harus dia beritahukan kepada sang suami. "Naruto, ini tiang lampu biasa, bukan tiang listrik."

Hah, Naruto hampir menepuk jidatnya. Apa nama tiang itu penting? "Terserahlah!" jawabnya sambil berlalu, "Kita pulang."

"Iya." Hinata menjawab dan mengikuti langkah Naruto dari belakang.

Sebelum pulang ke rumah, mereka memutuskan untuk mampir sebentar ke mini market karena ingin membeli beberapa camilan. Hinata yang menunggu di luarlah yang merasakan gerimis tadi hingga hampir membuatnya menabrak tiang listrik lagi. Tapi kali ini, Hinata bersyukur karena Naruto menyelamatkannya.

Belum sampai di sana perjalanan mereka, sekarang Hinata harus mendengar umpatan kesal Naruto di sampingnya. "Ya ampun, kenapa mobil ini mogok sekarang?"

"Dia juga tidak ingin mogok di sini, tapi dia juga tidak bisa memaksakan diri untuk tetap berjalan, 'an. Berhentilah mengoceh, Naruto. Apa kau tidak kasian dengan mobilnya?"

"Tidak!" jawab Naruto ketus.

Hinata menghela napas pelan. Sebenarnya ada apa dengan suaminya itu. Dari saat mereka keluar kampus, Hinata sudah merasa jika suaminya itu sedang kesal. Bahkan saat tadi dia hampir menabrak tiang, Naruto hanya berbicara dengan nada dingin. Apalagi saat mobil yang mereka naiki tiba-tiba mogok di tengah hujan begini, Hinata rasanya ingin berlari saja untuk sampai rumah.

"Kau kenapa, sih? Dari tadi kau terlihat kesal. Apa aku punya salah?"

Naruto hanya membuang muka ke samping, enggan untuk menatap Hinata. Bolehkah dia bercerita dan mengatakan kalau dia tidak suka saat Hinata membicarakan pria lain kepada teman-temannya saat di kelas tadi, berbicara lancar tentang seorang pria yang dia sebut teman SMP dan juga mengatakan seluruh hal yang dia hafal tentang pria itu.

Pria yang bahkan Naruto tidak tahu siapa.

Dan haruskah Naruto mengatakan kalau dia tidak suka melihat Hinata berbicara berdua saja dengan Gaara seperti tadi? Naruto tidak tahu kenapa, tapi dia tidak suka.

Tapi jika dia mengatakan itu, apa Hinata akan menganggapnya penguntit? Ayolah, dia hanya tidak sengaja mendengar dan melihat hal-hal tadi hingga membuatnya kesal sendiri.

"Naruto." Pria itu masih tidak menoleh saat Hinata memanggilnya. "Apa kau benar-benar marah? Apa aku ada salah? Aku minta maaf." Suara gadis itu sedikit merengek. Hinata bukanlah orang yang tahan jika ada orang yang sedang marah padanya, apalagi jika dia tidak tahu kesalahannya.

Terjebak berdua dengan Naruto dalam mobil mogok di tengah hujan juga bukan hal yang bagus untuk hanya saling berdiam saja.

"Naruto, setidaknya katakan sampai kapan kita di sini? Apa yang harus kita lakukan?"

Naruto meraih ponselnya dan menelepon seseorang. Dari percakapannya, Hinata tahu kalau Naruto meminta tolong Menma untuk menjemput mereka. Tapi setelah itu, suaminya diam lagi.

Hah, Hinata menghela napas lelah. Dia hanya memajukan bibirnya sambil melihat hujan dari kaca depan mobil. Tak sadar jika tangannya yang bergerak jahil membuat satu foto terjatuh.

Hinata tersentak saat Naruto menatapnya. "Maaf!" ucapnya pelan. Dia tidak sengaja menjatuhkan foto yang terpajang di dashbor mobil. Itu bukan kesalahannya.

Naruto hanya diam dan menunduk untuk mengambil foto itu. Hinata juga berniat membantu walau justru menjatuhkan minuman kaleng yang ada di antara tempat duduknya dan tempat duduk Naruto hingga membasahi kepala Naruto.

"Maaf!" ucapnya lagi dengan ekspresi takut saat Naruto menatapnya lagi. "A-akan ku-kubersihkan." Hinata meraih beberapa lembar tissue dan mengelap kepala Naruto yang basah juga merembet ke wajah Naruto yang ikut terkena basah.

Naruto hanya diam saat Hinata masih fokus mengelap wajahnya. Seketika kekesalannya hilang, jantungnya terasa berisik melihat wajah Hinata yang terlihat panik dari dekat. Bayangan wajah Hinata yang jauh lebih dekat saat dia bangun tadi pagi kembali terlintas. Membuat dia harus mundur dan kembali membuang muka untuk menutupi rona wajahnya.

"Na-naruto, kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Hinata hanya ber-oh, setidaknya sekarang Naruto menyahuti perkataannya.

Mereka kembali terdiam, menciptakan keheningan yang terasa canggung. Hujan semakin deras dan Menma tidak kunjung muncul. Membuat Naruto kembali menghubungi adiknya itu.

"Tenang, dia sedang di jalan, mungkin sebentar lagi sam—Hinata?"

"Hg?" Hinata menjawab singkat sambil memeluk dirinya sendiri. Baju berlengan pendek yang dia pakai hari ini ternyata membuatnya cepat kedinginan dalam situasi sekarang.

"Ya ampun, kau kedinginan?" Naruto melepaskan jaketnya saat Hinata mengangguk. "Pakai ini!" Tanpa ragu, Naruto langsung menyampirkan jaket itu ke bahu Hinata untuk menghangatkan tubuh istrinya.

"Tapi, kau bisa kedingi-nan." Suara Hinata lemah walau belum gemetar. Dia kedinginan tapi tidak terlalu dingin.

"Tidak apa, aku pakai baju yang lumayan tebal. Kau saja yang pakai jaketnya."

Hinata mengangguk dan merapatkan jaket kain itu di tubuhnya. Dasar kain yang hangat yang untungnya tidak ikut basah karena tumpahan air tadi. Hinata melirik, melihat rambut Naruto yang masih sedikit lembab. "Rambutmu masih basah, apa kau tidak dingin?"

"Benar," Naruto mengusap rambutnya, "Tidak apa, ini tidak terlalu dingin, lagipula sebentar lagi Menma sampai."

Hinata mengangguk. "Na-naruto?"

"Hm?"

"Terima kasih." Naruto hanya tersenyum menjawabnya. "Tapi kenapa tadi kau marah?" lanjut Hinata dengan takut-takut.

Senyum Naruto memudar dan dia menatap istrinya dengan intens. Saat itu juga Naruto menghela napas dan menyesali sikapnya tadi. Istrinya bahkan tidak tahu kesalahannya, tapi dia marah-marah tidak jelas. "Hanya sedikit stress karena tidak bisa menjawab quiz yang diberikan dosen. Maaf karena kesalnya terbawa sampai sekarang."

Hinata tersenyum. "Oh, tidak apa. Apa sekarang masih kesal?"

Naruto mengangkat bahu santai. "Tidak lagi." Hinata mengangguk senang, safir Naruto kini beralih ke jari Hinata. "Kau memakai cincinya, apa tidak ada yang bertanya?"

Hinata juga menatap cincin di jari manisnya kemudian tersenyum. "Tentu saja teman-temanku bertanya."

"Apa yang kau jawab?"

Hinata menatapnya hingga pandangan mereka bertemu. "Kalau Naruto? Apa yang Naruto jawab ketika teman-teman Naruto bertanya?"

Sama seperti Hinata. Naruto juga terdiam dan hanya bisa menatap. Sejujurnya mereka ragu dan tidak menjawab apa-apa saat teman-teman mereka bertanya. Tapi untuk mengatakan kalau mereka tidak bisa menjawab, mereka merasa sedikit aneh.

'Aku tidak menjawab apapun saat mereka bertanya.'

Keduanya tidak bisa mengatakan itu. Entah kenapa, kalimat itu terasa seperti penolakan terhadap pernikahan mereka. Dan tiba-tiba mereka merasa tidak ingin menolak pernikahan itu meski mereka tidak pernah mengakui jika mereka menerimanya.

"Hinata,"

Tatapan mereka kembali bertemu setelah cukup lama terdiam dengan pandangan masing-masing. Lama Naruto diam tidak melanjutkan perkataannya hingga membuat Hinata mengerutkan kening menunggu.

"Apa?" tanyanya pada akhirnya.

"Bagaimana," Naruto menelan ludah terhadap keputusan yang tiba-tiba saja ingin dia coba. "Bagaimana jika kita .…"

"Jika apa, Naruto?"

"Bagaimana jika kita berpacaran?"

"…."

"…."

"Hah?"

.

.

Bersambung

.

Yosh, minna.

Udah update chapter baru. Selamat membaca dan semoga terhibur.

Di chapter ini kayaknya mulai terlihat beberapa pasangan lain selain NaruHina, ya ?

Bisa menebak? Silakan menebak.

Makasih untuk yang sudah membaca, fav, foll, dan review.

Sekian.

Salam, Rameen

10 Februari 2022