Menma melirik ke arah Naruto yang menaruh kasar segelas cangkir kosong dan empat botol bir ke atas meja. Selanjutnya pria pirang itu mendudukkan dirinya ke sofa dan membuka satu botol bir dengan wajah menekuk kesal.
"Aku tidak mau peduli jika nanti kau mabuk," ujarnya Menma penuh dengan 'kasih sayang'. Dia sudah tahu kenapa kakaknya itu terlihat seperti kucing kehilangan ekor sekarang. Dan ketidakhadiran sang kakak ipar malam itu semakin memperjelas kenapa raut wajah Naruto kusut.
"Aku tidak akan mabuk hanya dengan empat botol bir." Dia menegak gelas pertama setelah berkata dengan nada ketus.
Menma menggeleng pelan melihat kelakuan kakaknya itu. Naruto pulang dengan wajah cemberut tadi sore. Membanting tas dan sepatu hingga kepala Menma jadi sasaran. Saat ditanya ada apa, maka kakaknya akan menjawab …,
'Dia pergi dengan seorang panda. Padahal aku suaminya. Dan dia mengataiku tukang tuduh. Dan hei … kenapa kau bertanya-tanya? Jangan ganggu aku.'
… sebaris kalimat yang menurut Menma sangat tidak dia mengerti. Dan karena Naruto selalu memarahinya jika bertanya, akhirnya Menma memilih diam.
"Kau mau minum?"
Menma melirik saat menjawab, "Aku masih delapan belas tahun. Walau sudah legal, aku tidak mau." Naruto mengangguk tak acuh dan kembali menegak birnya. "Aku tidak mau membereskan kekacauan yang kau buat saat mabuk!"
"Ck, berisik! Ke kamar sana, belajar lalu tidur. Bocah sepertimu harusnya tidak boleh tidur malam-malam."
"Ini masih jam setengah sembilan," Menma mematikan TV di hadapannya lalu berdiri, "Dan aku bukan bocah. Aku sudah delapan belas tahun!" ucapnya setengah merajuk sebelum berlalu menuju kamarnya.
Naruto menaikkan alisnya tidak mengerti. "Bukankah dia sendiri yang bilang 'masih delapan belas'? Lalu kenapa dalam waktu kurang dari semenit langsung berubah jadi 'sudah delapan belas'?" Naruto menuangkan minumannya lagi ketika memulai kembali gerutuan. "Seharusnya dia konsisten. Masih bocah atau sudah dewasa?!"
.
Ganti Status Kilat by Rameen
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata
Naruto by Masasi Kishimoto
.
Pagi kembali datang, memulai hari baru bagi setiap makhluk. Kecuali kelelawar yang justru akan mulai tidur. Udara terasa segar seperti halnya setiap pagi menyambut.
Uzumaki Naruto, pria 21 tahun, putra pertama dari Minato dan Kushina. Tampak masih lelap tertidur di ranjangnya yang besar. Keadaan ranjang yang berantakan pun tidak menjadikannya risih dan tetap tertidur dengan nyaman.
Sampai saat kesadaran mulai datang, safir biru yang tadinya tertutup mulai terbuka, menangkap kabur keadaan sekitar. Dan saat penglihatannya jelas, dia mengernyit saat mendapati hal ganjil di depan matanya.
"Kenapa ruangannya terbalik?"
Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, tapi tetap saja semua yang dilihatnya terbalik. Tak ambil pusing, dia mendudukkan dirinya dan sadar jika dia tadi berbaring dengan kepala yang tergantung di salah satu sisi ranjang. "Hm, ternyata kepalaku yang terbalik. Hoooaammhh."
Dia mengucek matanya sebentar lalu turun dari ranjang. Berjalan keluar, menuruni tangga dan berhenti saat bertemu dengan sang adik di ruang keluarga.
"Kau sudah akan pergi sekolah?" tanyanya sambil menggaruk rambutnya.
Menma melirik dan mengangkat alisnya. "Apa kau baik-baik saja?" Bukannya menjawab, dia justru bertanya.
"Tumben kau begitu perhatian padaku?"
Menma mengangkat bahu. Dia berbalik dan berjalan pergi sembari menjawab singkat. "Aku hanya sedikit khawatir dengan rasa malumu."
Kening Naruto mengerut. "Apa maksudnya? Rasa maluku?" Naruto mengangkat bahu ketika tidak mengerti dan kembali berjalan, dapur menjadi tujuannya, tapi baru saja lima langkah, dia berhenti.
Melihat gelas dan empat botol bir yang kosong ada di atas meja, Naruto menarik napas, berusaha mengingat sampai di mana acara minumnya semalam. Dan saat safirnya melirik ke arah sofa, tubuhnya kaku.
Di sana ada seseorang yang berbaring dan memeluk bantal sofa, seseorang berambut kuning, bermata biru, berkulit tan, dan memakai baju yang sama dengannya.
Itu refleksi dirinya tadi malam.
'Terkadang … kumenyesal … mengapa kukenalkan dia … padamu.'
Sosok halusinasi itu bernyanyi dan berteriak, sebelum menghilang dari pandangan Naruto, membuatnya menelan ludah yang menyiksa saat mengingat hal konyol yang dia lakukan semalam.
Sejak kapan dia hafal lagu-lagu Indonesia yang ada di HP Kiba?
Tidak salah lagi. Ini adalah kesalahan alkohol! Namun, belum sempat dia melangkah untuk mengumpati botol-botol bekas bir itu, tiba-tiba ingatan lain kembali datang.
Suara gebrakan terdengar dari arah TV. Dia menoleh, dan kembali melihat bayangan laki-laki bersurai pirang yang sedang sibuk menggebrak layar TV yang menampilkan drama.
Pada drama yang menunjukkan sepasang remaja yang berkencan, Naruto mengomel …,
'Kenapa kalian berdua berkencan, hah? Itu tidak boleh. Gadis itu sudah menikah, dan suaminya itu aku. Aku!'
Matanya melebar, refleksi sosoknya semalam yang berdiri sambil menghentakkan kaki dan sibuk memarahi tokoh drama tertangkap di safirnya.
Lalu kemudian, sosok itu memanggil nama 'Hinata' sembari memeluk barang elektronik persegi empat itu.
Kontan, Naruto terduduk di lantai. Dia memijit kepalanya frustrasi.
Bagaimana mungkin dia bertindak seperti itu saat mabuk? Dia harus menjauhi segala jenis minuman beralkohol, benar-benar menjauhi—tunggu!
Dia tersentak dan berdiri tiba-tiba. Berlari cepat menuju kamarnya, lalu membuka kasar pintu sebelum mengelilingkan pandangan. Mencari benda persegi panjang yang tergeletak hampir jatuh di sudut ranjang.
Segera dia meraih ponsel itu dan membuka aplikasi Line yang ada di dalamnya. Tidak sampai tiga detik, terdengar gumaman dengan sorot mata ironis ke arah barisan pesan yang dia kirim tanpa sadar semalam.
[Hinata-chaan, kenapa tidak pulang?]
[Hinata-chan masih marah padaku?]
[Maaf maaf maaf. Pulanglah, Hinata-chaaannn…]
[Kenapa tidak dijawab? Pulanglah, Sayaaaang. Apa kau masih bersama panda merah itu?]
[Kau selingkuh, ya?]
[Ayo pulang, aku tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu.]
[Aku mau tidur denganmu, Istriku sayang.]
Bruk
Tubuh itu terjatuh miring ke atas ranjang dan menatap kosong depannya. "Aku sudah gila … aku sudah gila … aku sudah gila … aaaaarrggg …." Dia mengacak rambut pirangnya dan berteriak frustrasi.
*NaruHina*
Hinata turun dan tersenyum kepada supir taksi yang telah mengantarnya. Setelah mobil bercargo itu pergi, dia berbalik dan menarik napas sebelum melangkah memasuki area tempat tinggalnya yang baru.
Begitu memasuki rumah, dia tersenyum kepada bibi pembantu yang menyambutnya pulang.
Setelah mengetahui jika kedua mertuanya sedang pergi bahkan sejak kemarin, Hinata langsung melangkah ke kamar. Sedikit ragu karena tahu jika Naruto belum pergi ke kampusnya.
Di sinilah dia, berdiri diam di depan pintu kamar. Mengangkat tangannya ragu, tapi tetap mengetuk pintu bercat coklat itu. Setelah tiga kali mengulang, barulah pintu itu terbuka.
Menampilkan seorang pria yang berdiri canggung dengan penampilan acak-acakan dan berantakkan. Pria itu berdiri sambil menempel di pintu, mengetuk-ngetuk pelan sisi pintu sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain seperti seorang anak kecil yang ketahuan orang tuanya setelah menyembunyikan barang.
Hinata menghela napas dan berjalan melewati sang suami yang bahkan enggan bertatapan dengannya. Tentu saja, jika sang suami menyadari apa yang dia kirimkan padanya saat mabuk semalam. Sudah semestinya suaminya itu bersikap canggung dan malu. Hinata bahkan harus merasakan dampak dari Line yang dikirim Naruto semalam padanya. Bahkan dia memijit pelipisnya saat Menma menelponnya dan menceritakan keadaan Naruto yang … ah, sudahlah.
Melihat Hinata berjalan melewatinya menuju lemari. Naruto segera menutup pintu dan menggigit bibirnya singkat saat mengunci pintu. Safirnya melirik sang istri yang melepaskan sepatu serta tasnya lalu membuka lemari. Menelan ludah sebentar, dia berjalan mendekati orang lain di kamar itu selain dia.
"Kau … menginap di mana semalam?" Tangannya saling bertaut saat menanyakan hal itu kepada Hinata.
"Sudah kubilang, aku menginap di rumah Sakura-chan untuk mengerjakan tugas."
Naruto berjalan semakin mendekat dan berhenti tepat di belakang Hinata, tangannya terulur untuk mengambil baju di lemari, membuatnya seperti mengurung sang istri antara tubuhnya dan lemari.
Hinata menghentikan gerakannya dan tak bergeming dengan posisi mereka.
"Kau masih marah?" Suara itu hampir berbisik di telinganya. Hinata menggeleng sebagai jawaban. "Hari ini kau ada kuliah?"
"Jam sembilan nanti."
"Bolos saja."
Hinata melirik atas ajakan itu. Kenapa dia harus bolos?
"Dan kita … kencan."
Hinata diam tidak menjawab ajakan itu. Sebenarnya dia lelah. Dia tidur jam tiga semalam. Setelah mengerjakan tugas, Ino dan Sakura mengajak pesta piyama dan menghabiskan malam dengan saling curhat. Dan kedua sahabat itu dengan sopannya membuka pesan di ponselnya saat dia di kamar mandi.
Karena tidak terkunci, jadilah semua pesan yang masuk dari Naruto … dibaca oleh mereka. Sudah bisa ditebak apa yang terjadi setelah itu. Jika sebelumnya hanya Sakura dan Ino yang curhat dan bercerita, maka setelah itu, dia yang harus banyak bicara karena introgasi mematikan kedua sahabatnya itu.
Ugh, belum lagi tuduhan mereka yang bilang kalau Hinata menyembunyikan rahasia dan sejuta cara serta ancaman agar Hinata menjelaskan semua hal yang terjadi secara mendetail dan terperinci, termasuk kejadian malam pertama mereka. Hei … jangan tanyakan bagaimana wajahnya semalam.
"Hinata-chan?"
Panggilan Naruto memutus lamunan Hinata. Dia berbalik dan langsung menyesal saat menyadari betapa dekatnya jarak mereka, tangan Naruto yang masih terulur juga menambah dramatisnya suasana.
"Maaf," Naruto kembali membuka suara, "Maaf karena sudah menuduhmu kemarin. Aku menyesal, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maaf."
Hinata menahan senyumnya mendengar perkataan itu. Mengangguk pelan, dia menunduk karena merasa jika wajahnya memanas, tapi tangan Naruto sudah membawa wajah itu kembali mendongak dan kembali bertatapan.
"Jadi … kau mau kencan hari ini? Anggaplah ini sebagai permintaan maafku dan kau boleh meminta apa saja seharian ini, hm?"
"Tapi kuliahnya?"
"Bolos sehari saja, Hinata-chan."
Wajah memelas Naruto tentu tidak bisa Hinata tolak. Dari itu, Hinata lagi-lagi mengangguk dan disertai senyum manis di bibirnya.
Naruto akhirnya ikut tersenyum. Istrinya yang tersenyum adalah yang terbaik.
Menatap itu, Naruto kehilangan fokus. Tiba-tiba saja keinginan yang terlintas membuat pandangannya bergetar ketika suatu hal menggodanya.
Perlahan, wajahnya mendekat. Entah apa yang dia pikirkan, Naruto hanya tau, dia ingin mencium gadis dalam kurungan tangannya itu.
Namun, tangan Hinata terangkat dan menahan dada sang suami, menimbulkan gurat kekecewaan dan pertanyaan di wajah Naruto.
"Kenapa?" Suara Naruto berbisik.
"Kau …" Hinata mengalihkan tatapannya, "… bau."
"Hah?"
Lavender itu menatapnya dengan ekspresi polos dan berkedip ringan. "Mulutmu bau alkohol dan badanmu …."
Naruto langsung menarik diri dan mengendus-endus badannya. Oh, dia tidak tahu apa yang terjadi semalam hingga badannya sangat bau sekarang. "Haha." Dia nyengir dan tertawa hambar kepada sang istri sambil berjalan mundur. "Aku … mandi duluan, ya," ucapnya, dan segera berlari ke kamar mandi.
Hinata hanya terkikik geli melihat raut lucu sang suami ketika sedang malu. Tak lama, dia memegang bibirnya yang hampir memberikan pengalaman ciuman pertama.
Walau gagal, wajahnya memanas dan dia menutupnya dengan telapak tangan untuk meredam jeritan.
*NaruHina*
Esoknya, mobil itu kembali berhenti di area kampus. Hampir sebulan, dan orang-orang sudah mulai terbiasa akan kehadirannya.
"Terima kasih, Naruto-kun."
Naruto tersenyum. Senyum yang hampir tidak pernah hilang dari kemarin. Menghabiskan waktu seharian untuk berkencan dengan sang istri membuatnya sangat senang, walau harus bolos kuliah. Hanya sekali-sekali! "Oh ya, Hinata-chan."
"Kenapa, Naruto-kun?"
"Tentang tiket yang diberikan ibu, kau tidak masalah, 'kan?"
Wajah Hinata memerah saat mengingat tujuan dari tiket itu, dia mengangguk pelan dengan wajah menunduk. Membuat Naruto tersenyum gemas.
Cuph
Hinata tersentak dan memegang pipinya yang baru saja dikecup singkat oleh sang suami.
Naruto terkekeh dengan ekspresi kaget Hinata. "Mulai sekarang, kupikir tidak salah jika aku memberikan ciuman sebelum kita kuliah, 'kan?" Atau kapan pun untuk membiasakan diri, lanjut Naruto dalam hati.
Alarm batas memerahnya wajah Hinata seolah berbunyi mendengar itu, tapi mulutnya hanya terbuka tutup tanpa suara.
"Kau tidak menjawab? Kuanggap kau setuju."
Hinata memajukan bibir bawah karena Naruto yang seenaknya, walau sebenarnya dia memang tidak menolak. "Ehm, aku pergi dulu."
"Hinata-chan."
"Hm?"
"Jangan dekat-dekat Gaara lagi."
Hinata menatapnya dan berkedip polos dua kali. "Kalau dekat pria lain, boleh?"
"Tidak!"
Hinata tertawa saat Naruto menjawab dengan hampir berteriak. Oh, sifat jahilnya tetap ada ternyata, dan Naruto semakin kesal karena lagi-lagi dia termakan ulah jahil sang istri.
"Kau lucu, Naruto-kun."
"Diamlah, Hinata. Jangan tertawa."
Hinata kembali tertawa, tapi hanya dua detik, sebelum tawa itu seketika berhenti saat lagi-lagi pipinya menjadi tempat mendaratnya bibir Naruto. Baiklah, Hinata harus melarikan diri. "Aku pergi dulu."
Giliran Naruto yang terkekeh begitu Hinata buru-buru keluar dari mobil dengan wajah penuh dengan warna merah dan gadis itu langsung berlari tanpa menoleh. "Hahaha. Istriku memang sangat lucu."
.
Seseorang dari lantai dua memerhatikan mobil yang terparkir lama. Saat seorang gadis keluar dan langsung berlari, refleksi samar-samar seseorang yang tertawa dalam mobil terlihat oleh mata jadenya dengan wajah datar tanpa emosi.
Selanjutnya, dia berbalik dan berniat kembali ke gedung kampusnya.
Bruk … tapi harus berhenti karena menabrak seseorang.
"Ya ampun, kalau jalan lihat-lihat, dong." Orang yang dia tabrak duduk sambil memunguti barang-barangnya sambil menggerutu. Setelah selesai, dia berdiri dan menatapnya tajam. "Ah, Tuan Sabaku ternyata. Kenapa kau tidak hati-hati saat berjalan?"
"Aku sudah hati-hati. Kau yang menabrakku," ucap Gaara datar dan santai.
"Mana mungkin? Kau yang menabrakku."
"Baiklah. Aku minta maaf, Shion. Puas?"
Shion mendengkus mendengar Gaara meminta maaf. "Kau tidak minta maaf dengan ikhlas."
"Memang," ucap Gaara, lalu berjalan pergi dengan tak acuh meninggalkan Shion yang mencak-mencak di tempat.
*NaruHina*
Tatapan safir itu menajam ke arah punggung seseorang yang duduk tak jauh di depannya. Tangannya terkepal dan bibirnya maju karena kesal. Dia masih ingat saat orang itu membuat dia dan istrinya bertengkar kemarin lusa.
"Kau ingin melubangi punggunya?" Naruto mengangguk atas pertanyaan sahabatnya. "Ck, mendokusai. Ngomong-ngomong, apa masalahmu dengan Hinata dan Gaara?"
"Hah?" Naruto menoleh seketika. "Kenapa kau bisa tahu masalahku dengan Hinata dan Gaara?"
"Apa kau tidak sadar dengan pandangan menusuk dari Sasuke dan Kiba sedari tadi?"
Naruto berkedip dan menoleh, mendapati tatapan tajam penuh selidik dari kedua sahabatnya yang lain. Dengan cepat dia tahu jika ada yang tidak beres. Dia kembali menatap Shikamaru dengan wajah penuh tanya.
"Apa kau lupa dengan yang kau lakukan jam dua malam kemarin?"
Safir itu berkedip bingung dan semakin membuat decakan Shika terdengar walau dosen masih terus mengoceh di depan. "Ingatlah lagi apa yang kau lakukan saat mabuk. Merepotkan!"
Naruto semakin tidak mengerti saat Shika membuang wajahnya dan memperhatikan dosen di depan. Dia memutar otaknya. Apa ada yang dia lupakan malam itu? Apa dia melakukan hal konyol lain selain bernyanyi tidak jelas, memarahi dan memeluk TV, dan mengirim puluhan Line kepada istrinya? Dia rasa sudah mengingat semuanya.
"Periksalah daftar panggilan keluar di ponselmu." Shikamaru kembali bersuara. Cukup kesal dengan kelemotan berpikir sang Uzumaki.
Naruto mengeluarkan ponselnya dan mengecek daftar panggilan keluar sesuai perkataan Shikamaru. Sedetik kemudian, keningnya berkerut, sedetik selanjutnya, matanya melebar.
.
Flashback
"Huwaaaa…."
Naruto masih menangis tidak jelas karena tidak satu pun Line-nya dibalas oleh Hinata. Dia meraih ponselnya lagi dan membuka kontak telepon. Memajukan bibirnya sambil menggeser ke atas daftar nama yang tersimpan di sana.
Dan saat matanya menangkap nama Gaara, dia segera menekan tombol 'call' dengan wajah menantang.
".…"
Dia mengernyit saat panggilan itu diangkat tapi tidak ada suara. "Oi, kau masih di sana?"
Tidak ada jawaban.
"Ck. Dengar ya, jangan dekati Hinata-chan lagi, kau mengerti? Aku akan menghajarmu jika kau mendekatinya lagi. Aku tidak suka, dasar Panda Merah."
Meracau marah-marah dengan mata yang hampir tertutup, dan merasa kesal karena tidak dijawab, dia mematikan sambungan itu. "Dasar jelek, kenapa tidak jawab, sih."
Naruto kembali menggeser ke atas nama-nama di kontak itu dan kembali menekan tombol 'call' di nama Kiba.
"Hallo."
"Yo, Kiba. Sahabatku yang paling baik."
"Kau menelponku tengah malam untuk memujiku? Terima kasih."
"Aku tidak memujimu," suara orang mabuk itu membuat helaan napas terdengar di sebrang panggilan, "Ne, Kiba. Aku akhirnya tau cara mudah untuk tidur. Hanya perlu memeluk istriku tersayang Hinata-chan, aku akan bisa tidur dengan nyenyak. Tapi malam ini dia tidak pulang, setelah tadi sore meledekku dan pergi dengan Panda Merah …."
Naruto sudah sibuk mengomel tanpa tahu jika Kiba sudah membeku di rumahnya karena info yang didengarnya secara mendadak.
Setelah puas mengoceh dan memutuskan panggilan, Naruto kembali menggeser ke atas kontak di ponselnya. Tersenyum lebar mendapatkan nama Sasuke.
"Hn."
"Selamat siang, Tuan Uchiha."
"Kau mabuk, Dobe? Jangan libatkan aku di waktu tidur malamku."
"Huh, aku tidak mabuk," tangannya menggerak-gerak menyangkal, "Aku … ingin bilang kalau istriku diculik, Temeeee. Dia diculik Panda warna Merah. Padahal aku warna Kuning, tapi dia lebih memilih warna Merah. Apa aku harus mengecat rambut?"
"Kau sangat mabuk rupanya. Siapa yang kau maksud istri?"
"Tentu saja Hinata-chan. Hinata-chan yang cantik, baik, lucu dan jahil. Kau tahu, kami menikah di restaurant loh. Hehehe."
Naruto berkedip saat sambungan itu terputus karena dia tidak sengaja menekan tombol merah di sana. Hah, menghela napas, dia kembali mencari nomor sahabatnya.
"Ketemu!" ujarnya senang dan kembali menelpon nomor yang dia dapatkan. "Selamat siang, Shikamaruuuu," ucapnya riang begitu panggilannya terangkat. "Kau sedang apa?"
"Tidur!"
"Kau memang selalu tidur ya, tapi aku tidak bisa tidur. Hinata-chan tidak ada jadi aku tidak bisa memeluknya. Dia pergi dengan Panda Merah dan meninggalkan aku.. Hiks hiks dia pergi, Shikaaa, huwaaa …."
Di seberang sana, Shikamaru menggaruk malas rambutnya. Ini pertama kali Naruto punya masalah sampai mabuk. Dan itu karena seorang Panda? Merepotkan!
"Kenapa Hinata bisa bersama Gaara?"
"Hei, jangan menyebut namanya! Kau menyebalkan."
Naruto langsung memutus kembali sambungan itu. Melempar ponselnya asal dan meraih guling sebelum mulai kembali bernyanyi dan akhirnya tertidur karena kelelahan.
Tanpa dia sadari jika kelakuannya itu membuka rahasia mereka. Baik kepada teman Hinata, maupun kepada temannya sendiri.
Flashback off
.
Raut wajah nelangsa hadir di wajah tan itu. Dia menatap Shikamaru dan hanya menerima tepukan prihatin di bahunya. Dia menatap Sasuke dan Kiba yang masih menatapnya, dan hanya menelan ludah saat menerima tatapan yang siap menyerbu.
"Kau kemarin tidak masuk, jadi bersiap-siaplah hari ini, oke."
Ucapan seorang Shikamaru yang biasanya penuh dengan solusi, sekarang terdengar seperti polusi. Dalam hati, dia kembali menangis.
*NaruHina*
Shikamaru memberikan selembar uang 1000 yen kepada kasir minimarket itu setelah sang kasir menyebut harga satu rokok yang dia beli.
"Terima kasih."
Ucapan ramah itu tidak digubrisnya dan langsung melenggang pergi. Berdiri santai di depan minimarket itu untuk menunggu seseorang yang mungkin sekarang masih menghitung barang di kasir.
Lalu saat orang itu keluar dan berjalan menuju mobilnya, Shikamaru membuntuti. Suara kunci mobil yang dibuka membuat Shikamaru berjalan memutar. Sembari orang itu memasukkan barang ke jok belakang, dia segera membuka pintu kemudi dan duduk di dalamnya.
"Hei ka—" Umpatan kesal orang itu terhenti ketika menangkap seorang Rusa duduk dibalik setir mobilnya. "Apa yang kau lakukan? Mau merampok mobil orang?"
"Aku lapar. Cepatlah masuk dan kita cari makan."
Huh, orang itu mendengkus dan segera menutup pintu setelah memasukkan semua barang belanjaannya. Dia memang lebih suka belanja di minimarket daripada supermarket yang akan menghabiskan waktu saat pembayaran.
Orang itu berjalan dan masuk ke kursi penumpang samping pengemudi sebelum mobil itu melaju pergi. "Kalau kau lapar, beli saja sendiri. Kenapa mengajak orang lain?"
"Itu salahmu yang tidak lagi membuatkan aku bekal."
"Aku bukan ibumu yang harus membuatkan bekal untukmu setiap hari."
Shikamaru menganggap ucapan itu angin lalu, dan menyalakan rokoknya.
"Hei, aku tidak suka asap rokok."
Berdecak pelan, Shikamaru mematikan rokok yang baru dinyalakannya itu. "Cerewet!" ejeknya kepada orang itu dengan mata yang tak sedetik pun teralih dari jalanan di depan.
"Kenapa kau malah memakai mobil orang cerewet? Dan kenapa kau di sini, bukankah ini masih jam kuliah?"
"Kau sangat perhatian padaku rupanya, sampai tahu jadwal kuliahku."
"Aku tahu karena kau sekelas dengan Gaara. Aku hanya perhatian pada Gaara saja."
"Hm, aku kasian kepada suamimu nanti."
Temari mendelik saat Shikamaru kembali membahas tentang suami. Hei, dia masih single, kenapa harus terus membahas tentang itu? Dia membuang muka dan perjalanan mereka jadi diam. Hanya sesekali terdengar suara saat Shikamaru menanyakan mau makan apa, dan dijawab 'Terserah!'
Temari mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada adiknya. Apa memang jam kuliah berakhir atau pria di sampingnya bolos. Lalu saat balasan itu dia dapatkan, dia hanya mendengkus.
"Kau memang membolos. Dasar pemalas!"
"Aku malas dengan pelajaran selanjutnya. Lagipula aku juga malas kumpul dengan yang lain sekarang."
Temari mengernyit mendengar itu, bukankah lima sahabat itu akan kumpul jika ada waktu? Lalu kenapa pria itu bilang malas? Apa persahabatan mereka sedang ada masalah?
"Tidak ada masalah apa pun," jawab Shika seolah bisa membaca pikiran Temari. Lalu melanjutkan, "Sasuke dan Kiba sedang mengintrogasi Naruto sekarang, dan aku tidak ingin terlibat, sedangkan Gaara, entah ke mana, mungkin perpustakaan."
"Kau cukup rajin menjelaskan, padahal aku tidak bertanya."
Shikamaru tersenyum tipis akan sifat tsundere perempuan itu. Jelas sekali jika perempuan itu penasaran dengan cerita yang selalu dia lontarkan jika mereka bersama.
"Tapi … mengintrogasi apa?"
Senyum itu melebar saat akhirnya rasa penasaran sang perempuan menimbulkan pertanyaan. "Tentang pernikahannya dengan seorang Hyuuga."
"Oh, pernikahan itu."
Untuk pertama kalinya, Shikamaru menoleh saat mendengar jawaban santai yang terlontar. "Kau tahu tentang pernikahan itu?"
Temari mengangguk. "Aku, Gaara, dan Kankurou berada di restaurant itu saat tiba-tiba acara pernikahan mendadak digelar dengan uniknya."
Ckiiittt … mobil itu direm mendadak.
Mengabaikan protesan Temari, Shikamaru menatapnya dengan raut yang tidak bisa dibaca. "Jadi Gaara tahu tentang pernikahan itu dari awal?"
"Tentu saja dia tahu. Kami menyaksikan semuanya dari awal walau tidak ikut bergabung. Dan kenapa kau menghentikan mobil ini seenaknya?"
Mulai mengerti situasi, Shikamaru mengumpat kesal. "Panda Merah sialan!" desisnya.
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak!"
Dia kembali menjalankan mobil. Sekarang otaknya sedang bekerja. Ini mungkin bukan masalah darurat, tapi tetap saja masalah. Naruto bahkan sampai stress karena Gaara mendekati Hinata. Dan apa maksud panda merah itu dengan mendekati Hinata sementara sudah tahu kebenarannya.
Oh, Shikamaru tidak akan diam saja jika sudah terlanjur memikirkan sesuatu.
*NaruHina*
Itachi tersenyum saat sang adik masih memasang wajah kesal padanya. "Kau masih marah padaku?"
Sasuke membuang muka, tidak menjawab.
"Kau lucu jika merajuk, seperti kau 13 tahun lalu yang masih suka menagis jika aku tidak mau main bersamamu. Ah, coba gembungkan pipimu seperti dulu."
Itachi terkekeh saat bukan raut imut yang dia lihat, justru delikan dari sepasang mata sang adiklah yang menyambutnya. "Matamu tetap indah, Sasuke."
Sasuke terdiam dan raut kesal itu menghilang seketika. Itachi masih mengenali titik lemahnya. Yah, setiap pujian tulus Itachi tentangnya masih menjadi senjata ampuh untuk membuat bungsu Uchiha itu terdiam.
"Diamlah!" ucapnya kemudian.
Itachi menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap langit-langit cafe. "Jadi, kapan kau akan menyusul Naruto dan membawa menantu ke rumah?"
"Darimana kau tahu?"
Itachi menyeringai. Tidak sulit baginya untuk tahu kegiatan sang adik termasuk apa pun masalahnya. Tentu saja termasuk introgasi yang dilakukan adiknya kepada Naruto tadi sampai ditelinganya yang juga pasti membuatnya tahu jika Naruto sudah menikah. "Kapan kau menikah?" Mengabaikan pertanyaan Sasuke, Itachi justru kembali bertanya.
"Setelah kau menikah."
"Berarti kau akan menikah tiga bulan lagi?"
"Apa?"
Itachi kembali tertawa melihat respon sang adik yang menurutnya lucu. Apalagi jika wajah datar itu terlepas. "Kenapa kau terkejut?"
"Kau tidak bilang akan menikah secepat itu."
"Sekarang aku sedang bilang padamu. Ibu bahkan sudah tahu." Tatapan Itachi beralih dan dia tersenyum. "Aku akan melamarnya minggu depan."
"Huh, Izumi-neechan akan tertimpa sial jika menerimamu."
"Hei, seharusnya kau mendukung dan mendoakanku." Itachi berdiri dan meraih kunci mobil serta ponselnya. "Aku pergi dulu ya, Izumi sudah menungguku."
"Makananmu bahkan belum datang."
"Untukmu saja."
Sasuke semakin menatap kesal pada kakaknya. Padahal kekesalannya karena Itachi menjadikannya pewaris tunggal perusahaan masih terasa. Dia yang harusnya masih bisa bebas, akan langsung terjebak di perusahaan setelah lulus kuliah. Dan Itachi itu malah seenaknya jadi fotographer setelah melimpahkan tugas berat padanya.
"Permisi, ini pesanannya." Seorang pelayan datang memberikan pesanannya dan pesanan Itachi. Membuat moodnya semakin jelek karena harus makan sendiri, tapi dia juga malas jika harus pergi dan mencari tempat lain untuk sekedar duduk.
Setelah pelayan itu pergi, dia mengelilingkan pandangannya. Berhenti pada seorang gadis berambut pink yang terlihat sedang mencari meja kosong.
"Kau," panggilnya, lalu beberapa orang—khususnya para gadis yang dari tadi menatapnya—langsung menoleh, termasuk Sakura. "Kemari!"
Sakura berkedip bingung dan menunjuk dirinya, Sasuke berdecak. "Iya, kau yang berambut pink. Ke sini!"
Sakura berkacak pinggang dan melangkah maju, siap untuk menyemprot Sasuke yang selalu membuatnya kesal jika bertemu. "Kau—"
"Duduk dan makan!"
"Eh?"
"Kau tidak dengar? Duduk di sini dan kau boleh memakan makanan itu."
Sakura melirik makanan yang tersaji. Errr … itu gratis, 'kan? Dia tidak harus bayar untuk itu, 'kan? Baiklah, dia duduk dan menurut.
Siapa yang menolak makanan gratis? Kecuali jika yang menawarkan adalah teroris.
Sasuke menatapnya malas dan dibalas Sakura dengan tatapan acuh tak acuh sambil terus makan.
"Jangan diam saja, bicara!" ujar Sasuke.
"Bicara apa?"
"Terserah!"
Sakura mengangkat alis, dan mulai bercerita, atau tepatnya menggosip. Membuat raut wajah Sasuke semakin kesal, dan itulah yang memang Sakura inginkan. Heh, seenaknya saja menyuruh ini-itu kepadanya. Rasakan jika ratu gossip berbicara.
*NaruHina*
Malam Selasa, Hinata diintrogasi Ino dan Sakura.
Rabu, Naruto di introgasi Sasuke dan Kiba.
Kamis, pukul sebelas siang, di kantin kampus, keduanya terduduk dengan wajah memelas melihat berbagai makanan tersaji di atas meja. Tak tanggung, Kiba memesan semua jenis makanan dan minuman dari beberapa kedai di kantin itu.
Keberadaan Sasuke, Shika, Gaara, Sakura, Ino, dan Tenten juga pasti membuat semakin banyak jumlah makanan yang tersaji dan harus dibayar. Kata mereka sih, itu pesta selamatan untuk pernikahan Naruto dan Hinata. Karena resepsi seharusnya datang dari pihak pengantin, maka pesta itu juga harus dibayar oleh sapasang pengantinya.
Naruto mendekat ke arah sang istri yang duduk di samping. "Hinata-chan, kau membawa uang lebih?"
Hinata menggeleng. "Naruto-kun, punya uang yang cukup untuk ini?"
"Kebetulan sedang kosong."
Mereka berbicara dengan suara rendah sambil menatap tak lepas kepada makanan yang tersaji di depan mereka. Naas, keduanya sedang tidak bawa uang dan letak mesin ATM jauh dari kampus. Lalu? Apa sepasang pengantin baru harus mencuci piring untuk pesta mereka?
"Nah, makanan special untuk orang special dalam acara ini," ujar Kiba menyajikan makanan kepada Naruto dan Hinata.
Yang hanya bisa membuat dua orang itu menelan ludah. Bukan karena tergiur, tapi karena makanan yang dipesan Kiba adalah makanan dengan porsi lengkap dan ukuran jumbo.
"Kau mau membunuh kami, ya?" Naruto akhirnya bersuara kesal. Membuat orang-orang di sana menahan tawa mereka.
"Tidak mungkin kami membunuh sahabat terbaik kami yang baru jadi pengantin. Kalau kami membunuhmu, siapa yang akan membayar semua ini?"
Yang lain mengangguk setuju, dan tatapan Hinata serta Naruto semakin miris.
"Pengantin … baru?" Suara terbata itu terdengar. Membuat mereka menatap, mendapati Shion yang berdiri dengan mulut menganga, mata berkaca-kaca dan tubuh kaku mendengar ucapan Kiba barusan. "Siapa yang jadi pengantin baru? Dan kenapa kau menyebut pengantin baru ke arah Naruto-kun?" Dia bertanya pada Kiba dengan wajah … menyedihkan.
"Sudah jelas, bukan? Naruto dan Hinata yang jadi pengantin barunya."
1
2
3
"Huuuuwaaaaa…."
Dan tangisan itu kembali terdengar menjauh saat Shion berlari pergi dengan berurai air mata.
Semuanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Sebenarnya aku kasian padanya," ucap Kiba penuh prihatin.
"Tenang saja, dia punya dua orang yang akan selalu di sampingnya," ucap Shikamaru sambil mulai memakan makanannya.
"Boleh kami bergabung?"
Kembali mereka menatap tamu tak diundang, dan pandangan Naruto ngeri melihat siapa yang datang. Satunya sih tidak apa walau membahayakan dalam jarak jangkau istrinya, sedangkan satunya … membahayakan dalam jarak jangkau makanan.
"Sai-kun?"
Telinga Naruto memanas mendengar pengucapan penuh kegembiraan dari Hinata masuk ke indra pendengarannya. Pandangan tajam dia arahkan kepada makhluk pucat yang duduk di samping istrinya dan Ino.
Sementara Ino, tidak perlu ditanyakan bagaimana bintang-bintang di matanya muncul.
"Hm. Aku temanmu, 'kan? Jadi aku harus ikut dalam pesta ini."
Hinata hanya tersenyum mendengarnya.
"Baiklah, yang itu teman Hinata. Lalu kau siapa?" Pertanyaan Kiba ditujukan untuk seorang pria lain yang datang bersama dengan Sai yang duduk di sampingnya.
"Oh, aku Chouji. Aku teman Sai dan dia mengajakku ke sini karena bisa makan gratis katanya." Chouji menoleh ke arah penjual dan mengangkat tangannya, "Paman, aku pesan tiga prosi lagi, ya."
Gubrak
Naruto sukses terjungkal dalam imajinasinya.
.
Sepuluh menit cukup membuat Gaara jengah. Walau awalnya dia tidak peduli, tetap saja tatapan itu mengganggu. Dia menoleh, balas menatap kepada sepasang mata onyc yang dari tadi memerhatikannya. "Ada sesuatu di wajahku?" tanyanya.
Semua perhatian kini beralih pada Gaara, dan saat yang lain menyadari tatapan itu mengarah pada Sai, maka mereka hanya diam.
"Tidak." Sai menjawab santai.
"Kau suka padaku?" tanya Gaara lagi. Kini semua orang di sana hampir tersedak.
"Tidak." Lagi—Sai menjawab santai.
"Oi oi, ada apa dengan kalian? Gaara, kenapa kau bicara begitu pada Sai?" Kiba menengahi sorot pandang Gaara dan Sai yang sepertinya tidak bersahabat, tapi kedua orang itu lebih tertarik saling pandang daripada menanggapi pertanyaan Kiba.
"Sabaku Gaara, anak 9-A SMP Miroshiku."
Pegangan Gaara mengerat di sendoknya walau wajahnya tetap datar saat mendengar kalimat itu dari Sai
"Anak laki-laki yang sering diejek anak mama karena selalu membawa bekal setiap hari, menghabiskan waktu istirahat di taman belakang sekolah …," Sai tersenyum lebar, "… dengan mata yang memerhatikan seseorang dari jauh."
Tangan Gaara terkepal dan dia kembali melihat makanannya, enggan melihat Sai yang menjelaskan detail kegiatannya di sekolah saat SMP.
"Waaahh, Gaara memperhatikan seseorang? Itu hal yang langka, siapa yang dia perhatikan? Dan hei, apa kau kenal dengan Gaara sebelumnya?" Kiba justru terlihat antusias.
"Temanku," Sai tersenyum saat jade Gaara meliriknya, "seorang gadis yang cantik. Dia melirik temanku." Sai mengabaikan pertanyaan kedua.
"Waaahh Gaara, kau ternyata suka seseorang juga, ya?"
Gaara mendelik saat Kiba tak berhenti mengoceh.
"Apa lebih cantik dari 'Barbie'?" Ino bertanya pelan kepada Sai yang duduk di sampingnya.
Sai menoleh dan tersenyum. "Tentu saja 'Barbie' lebih cantik."
Ino merona dan tersenyum malu-malu sambil mengaduk-aduk makanannya, membuat Sakura dan Tenten menatapnya geli.
"Ino, kau seperti cacing kepanasan." Sakura mengejeknya, tapi hanya dibalas kedipan polos dari Ino yang hampir membuat gadis musim semi itu terjungkal ke belakang.
"Jadi, kau punya pacar?" Kali ini nada malas Sasuke yang bertanya kepada Gaara, dia cukup penasaran dengan temannya yang satu itu, yang dia anggap terlalu datar.
"Kurasa tidak," Sai menjawab lagi, "apalagi jika gadis itu sekarang sudah jadi milik orang lain."
Gaara kembali menatap makanannya dan malas meladeni Sai. Sementara di sudut yang lain, tatapan Shika tidak lepas dari gerak-geriknya, Gaara yang menyukai teman Sai, Gaara yang masih mendekati Hinata walau tahu gadis itu sudah menikah, dan Gaara yang tidak ingin mendebat apa pun serta ekspresinya saat menghindar, semua sudah tercatat dan terekam jelas oleh Shikamaru.
Puzzle tinggal dihubungkan.
*NaruHina*
"Nah, ingat, 'kan? Kalian harus santai, tidak boleh memikirkan kuliah, tugas, atau yang lainnya. Nikmati saja liburan kalian. Kalian juga akan pulang seminggu lagi, lebih dari itu tidak masalah asal kalian membayar sendiri sisanya. Jadikan waktu kalian di sana sebagai pendekatan diri, aku tahu kalian masih belum terlalu mengenali satu sama lain. Makan malam bersama setiap hari, dan yang paling penting, bawakan oleh-oleh untukku. Tidak perlu barang, tapi CUCU, paham?"
Naruto dan Hinata meringis pelan akan ocehan Kushina yang terasa lebih berat dari koper mereka.
"Ibu, kami pergi liburan, bukan berperang."
"Tepatnya kalian bulan madu, jadi tidak boleh protes!"
Menma hanya tersenyum melihat ekspresi nanar sang kakak, sementara Minato hanya menggeleng pelan akan kelakuan istri yang seribu kali lebih antusias daripada Naruto dan Hinata sendiri. "Sudahlah Kushina, kalau kau terlalu banyak memberi nasihat, yang ada mereka stress dan tidak bisa memberimu cucu."
"Benarkah?" Kushina berjengit panik. Minato mengangguk. "Oh, baiklah. Ibu tidak akan banyak bicara lagi. Jadi kalian jangan stress ya, oke?!"
Naruto sweatdrop mendengarnya. Hei! sebegitu inginnyakah Kushina akan CUCU…?
Dan hari itu, pasangan pengantin baru itu berangkat ke Amegakure yang kata sang ibu sih dalam rangka 'bulan madu'. Pergi dengan berbekal nasihat, dan pulang dengan pesanan oleh-oleh istimewa untuk kelangsungan keluarga Uzumaki. Tidakkah itu berlebihan?
Hei Kushina, kau sukses membuat mereka jadi lebih stress dari apa yang dibayangkan.
.
.
To be continued
.
Cut … syuting dilanjutkan beberapa hari lagi.
Maaf, updatenya lama. Lagi ada musibah sama keluargaku jadi nggak sempet.
Untuk kisah bulan madu mereka, akan aku ceritakan di chapter depan dengan full NaruHina scene … eitttzzz … nggak janji deh. Yang jelas, chapter depan akan aku banyakin lagi scene NaruHina-nya.
Di sini teman-teman mereka sudah mengetahui hubungan mereka. Proses introgasi sengaja nggak aku ceritakan, memberi para readers kesempatan untuk berpikir sendiri bagaimana ironisnya nasib mereka saat diintrogasi.
Untuk kasus Gaara … bagi yang mengira cewek kuda pony yang disukai Gaara adalah Shion, sepertinya kalian harus kecewa. Di chap ini mungkin sudah jelas siapa cewek itu, tapi bisa juga masih samar-samar.
#Untuk yang penasaran tentang Gaara.
Untuk MenmaHanabi, sama seperti yang lain, kisah mereka akan selintas saja, tapi jika banyak yang suka maka akan aku usahakan tambah scene-nya.
Untuk yang menunggu SasuSaku, maaf karena aku nggak pernah dapat feel mereka. Jadi maaf karena scene mereka justru garing dan tidak hidup. SaIno, mereka akan aku lintaskan scene yang manis-manis aja. ShikaTema, anggaplah keduanya tsundere, saling suka tapi saling gengsi. NejiTen masih sedikit, yang ini juga aku masih kesulitan untuk nemuin celanya. Jadi bagi pair lain mungkin akan tiba-tiba dekat atau bahkan tanpa cerita mereka udah bersama.
Kembali ke NaruHina. Hubungan mereka sudah lebih baik dan chap depan hubungan mereka akan naik derajat. Dan untuk cucu … kita lihat saja nanti kapan jadinya.
Oke, segitu aja.
Olaf : Oke, apakah di sini sudah menjawab kegalauan Anda tentang Gaara? :D tenang, Gaara bukan antagonis, kok.
uzunami28 : Iya, Hinata emang minta dimarahi. Polosnya kelewatan.
Guest : Sorry lama update. Gimana tragedi yang terjadi? Nggak bikin sedih, kan? Ini bukan sad-romance, kok :V sekligus yang tau rahasia mereka.
tomas69 : Awalnya 2016 lalu sih, aku tulis 'dasar kuning', sekarang rada aneh bacanya :'v jadi aku ubah gitu. Makasih.
Q : Lagi stress nulis dan baca cerita yang buat esmosi, jadi buat cerita yang santai, ceria, dan aneh :'v oh, udah pernah baca ya, aku ubah sedikit, kok.
Big thanks untuk yang udah komen 9 chap kemarin.
Dan untuk seeeemuuuaaanyaaaa yang sudah selalu membaca dan fav follow.
Salam, Rameen.
