DISCLAIMER: Ojamajo Doremi © Toei Animation, 1999-2004. Ojamajo Doremi 16, 17, 18 dan 19 series (light novel) © Kodansha, 2011-2015. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.

Author's Note:

1. Anak Momoko lahir di bulan Maret, jadi saat dia bersekolah nanti, kelasnya akan 1 tahun lebih tinggi dari anak-anak Ojamajo yang lainnya (Headcanon tanggal lahir mereka akan dicantumkan di beberapa chapter selanjutnya).

2. Di Jepang, perayaan hari ibu jatuh pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei (sesuai dengan tanggal update chapter ini), jadi bisa dibilang chapter ini adalah chapter spesial hari ibu. Fic ini memang ditulis dalam bahasa Indonesia, tapi tanggal-tanggal hari libur dalam fic ini disesuaikan dengan tanggal-tanggal hari libur di Jepang.


Our Future

.

Chapter 13 – All About Mothers


29 April 2018…

"Otousan, kenapa kau sudah membeli satu set koinobori untuk kami? Padahal kan, kedua cucumu masih belum lahir…"

"Memangnya kenapa, Doremi? Otousan kan ikut senang karena sebentar lagi anak-anakmu akan lahir," sahut Harukaze Keisuke, memotong perkataan sang putri sulung yang tidak lama lagi akan melahirkan, "Akhirnya otousan punya kesempatan untuk beli koinobori ini."

"Dengan kata lain, otousan sudah tidak sabar ingin menyambut cucu lelakinya, jadi otousan bisa membeli koinobori itu untuknya," jelas sang istri, Harukaze Haruka, "Kau tahu sendiri otousan tidak punya anak laki-laki, padahal sejak dulu otousan selalu ingin sekali bisa membelikan satu set koinobori jika dia memiliki keturunan laki-laki nantinya."

"Ya, aku dan Tetsuya sebenarnya tidak keberatan menerimanya, kalau memang itu alasannya, tapi tidakkah berlebihan kalau otousan membelinya sekarang? Mereka kan belum lahir," ujar Doremi, "Lagipula, dari kedua bayi yang kukandung, hanya satu yang berjenis kelamin laki-laki."

"Jadi? Otousan kan hanya ingin mempersiapkan semuanya untuk kalian, bukan berarti koinobori ini harus mulai dipajang tahun ini juga," kilah sang ayah, "Sama saja dengan hinazakari milikmu yang kalian bawa pulang ke rumah kalian hampir dua bulan yang lalu."

"Ya, waktu itu aku memang meminta hinazakari itu darimu, ayah mertua," aku Kotake, "tapi kan, aku memintanya supaya kami tidak perlu membeli satu set hinazakari yang baru lagi hanya untuk putri kami, karena kalian masih memilikinya disini saat itu, sedangkan satu set koinobori ini baru ayah mertua beli hanya untuk putra kami."

"Memangnya kenapa? Apa itu salah? Otousan kan hanya ingin menunjukkan rasa sayang otousan terhadap anak-anak kalian," sahut Keisuke, "Toh kamu sendiri juga sudah mengaku kalau kau sudah meminta hinazakari itu bahkan sejak hampir dua bulan yang lalu, artinya kau juga sama saja dengan otousan."

"Kalian berdua memang sama saja…" Doremi menghela napas, "Lebih baik sekarang aku istirahat di kamar saja."

Sesuai rencana mereka, Doremi dan Kotake mulai menginap di rumah keluarga Harukaze hari ini, karena tanggal kelahiran kedua anak mereka sudah semakin dekat. Sekarang, mereka sedang mengobrol di ruang keluarga, bersama dengan kedua orangtua Doremi, juga Pop.

"Jangan ngambek dulu dong, onee-chan. Itu kan artinya otousan dan onii-chan sama-sama sudah tidak sabar ingin menyambut dua anggota baru dalam keluarga kita yang akan segera lahir," ujar Pop, "Ngomong-ngomong, aku senang karena kalian memutuskan untuk menginap disini sejak hari pertama Golden Week. Kupikir kalian baru akan menginap disini tanggal 7 Mei nanti."

"Ya, aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan kalian," sahut Doremi, "Aku juga ingin kedua anakku bisa lebih dekat dengan kalian, bahkan sejak mereka belum lahir."

"Jujur saja, aku semakin tidak sabar ingin melihat kedua keponakanku," Pop tersenyum, "Mereka pasti mirip sekali denganmu dan onii-chan."

"Aku memang tidak tahu pasti akan seberapa mirip mereka dengan kami, tapi pasti akan lucu sekali jika penampilan mereka benar-benar mirip dengan kami," Doremi tertawa kecil, "Apalagi kalau yang mirip denganku malah anak lelakiku, sementara anak perempuanku yang mirip dengan Tetsuya."

"Hati-hati lho, onee-chan, nanti perkataanmu jadi kenyataan, lho," goda Pop, "Orang bilang kan, ucapan orang hamil itu bisa dianggap sebagai doa."

"Memangnya kenapa? Kalau memang itu akan terjadi, tidak masalah buatku," balas Doremi, "Yang penting mereka bisa lahir dengan sehat."

"Baiklah, kalau memang onee-chan menginginkannya, kurasa aku hanya bisa mengharapkan yang terbaik untuk mereka," ujar Pop sambil memperhatikan perut sang kakak yang semakin membesar, "Yang penting aku bisa cepat-cepat melihat mereka dan menggendong mereka dalam dekapanku."

"Ya, kau boleh saja menggendong keponakan-keponakanmu ini begitu mereka lahir nanti, tapi jangan menggendong mereka berdua sekaligus, ya?"

"Tentu saja, onee-chan. Aku pasti akan menggendong mereka secara bergantian," kali ini Pop yang tertawa, "Kalau aku menggendong mereka berdua bersamaan, nanti malah aku yang repot sendiri. Belum lagi, kalau setelah itu mereka malah tidak merasa nyaman dalam gendonganku dan menangis bersamaan. Itu malah akan jadi merepotkanmu juga kan, onee-chan?"

"Memang itu maksudku," Doremi menyetujui perkataan sang adik, "Pasti kita semua akan bergantian ingin menggendong mereka."

"Bicara soal mereka, bagaimana hasil pemeriksaan terakhirmu, onee-chan?" tanya Pop, "Apa nanti… kau akan melahirkan dengan cara normal?"

"Hmm, kalau boleh jujur sih, aku lebih memilih untuk melahirkan mereka dengan cara normal, tapi kata dokter, kita harus melihat kondisinya dulu. Mudah-mudahan sih, aku masih bisa melahirkan dengan cara normal," Doremi mengutarakan pendapatnya, "Lagipula, kalau anak-anakku lahir dengan cara operasi, aku tidak akan bisa melihat proses kelahiran mereka secara langsung."

"Maksudnya, onee-chan ingin melihat langsung proses kelahiran anak-anak onee-chan?"

"Tentu saja. Aku ingin melihat dan merasakannya sendiri," sang calon ibu mengangguk, "Itu akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri bagiku."

"Bukankah itu akan menyakitkan buatmu?" Pop kembali bertanya, kali ini dengan khawatir, "Onee-chan, bagaimana kalau nanti kau merasa kesakitan?"

"Kurasa rasa sakitku tidak akan bertahan lama. Kalau nanti aku sudah melihat tubuh mungil mereka disampingku, rasa sakit itu pasti akan hilang dengan seketika," jawabnya sambil memejamkan mata dan mengelus-elus perutnya yang besar, "Suara tangisan mereka juga akan mengalihkan perhatianku dari rasa sakit itu, jadi kau tidak perlu khawatir."

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu di perutnya, membuka kedua matanya dan tersenyum, "Kelihatannya, anak-anakku juga setuju dengan perkataanku. Buktinya, mereka langsung 'menendang-nendang'."

"Eh?! Masa sih?" Spontan, Pop langsung mendekatkan telinga kanannya ke perut sang kakak, "Ah, iya. Aku bisa mendengar suaranya. Kedengarannya, mereka aktif sekali didalam sana."

Doremi kembali tertawa kecil, "Mereka selalu begini setiap kali aku mengajak mereka bicara, seolah-olah mereka mengerti apa yang sedang kubicarakan."

"Kau yakin? Bukankah itu artinya mereka tertarik menjadi pemain sepak bola seperti ayahnya?" tanya Kotake agak protes, "Kalau mereka menendang-nendang begitu kan…"

"Tetsuya, kau tidak mengerti. Yang dimaksud dengan tendangan disini adalah respon mereka terhadap apapun yang bisa mereka rasakan dari dalam sini," Doremi menggeleng sambil memberitahu sang suami, "Bilang saja, kau berharap bahwa anak lelaki kita juga akan tertarik menjadi pemain sepak bola sepertimu."

"Ya, tentu saja aku mengharapkannya. Tidak salah, kan?" Kotake akhirnya mengaku, "Setidaknya, aku bisa melatihnya supaya bisa jadi pemain yang profesional seperti diriku sendiri."

"Dasar narsis," sahut Doremi sambil tertawa, "Memang ya, Tetsuya. Semakin lama kamu jadi semakin narsis."

"Memangnya kenapa? Ada yang salah kalau aku membangga-banggakan diriku sendiri?" balas Kotake dengan agak menantang, "Lagipula kan, siapa lagi yang bisa menilai kemampuanku dengan jujur, kalau bukan diriku sendiri?"

"Hei, jangan sembarangan membicarakan tentang 'penilaian' denganku, ya? Kau tahu sendiri kalau itu sudah menjadi bagian dari pekerjaanku sebagai seorang guru."

"Ya, kau kan guru SD, bukan pelatih sepak bola, jadi yang kaunilai hanyalah tugas dan ulangan yang dikerjakan oleh murid-muridmu, bukan kemampuanku."

"Siapa bilang? Sebagai seorang istri yang baik kan, aku juga harus memperhatikanmu, dan mau tidak mau, aku juga membuat penilaian untukmu."

"Tapi kan…"

"Kalian ini kebiasaan, ya…" potong Pop sambil menggeleng, "Selalu saja adu argumen. Padahal sudah mau punya anak."

"Mau bagaimana lagi, Poppu? Kau tahu sendiri kalau dari dulu, kakak iparmu yang satu ini sering belagu."

"Apa? Aku? Belagu?" Kotake kembali menyahut perkataan istrinya, "Kamu sendiri gimana?"

"Eh, sudah cukup. Onee-chan dan onii-chan kenapa malah jadi bertengkar sih? Sampai seperti itu?" Pop kembali mencoba melerai, "Tadinya kan, kita sedang membicarakan tentang anak-anak kalian disini. Kenapa jadinya malah begini?"

"Baiklah. Aku sebenarnya juga tidak ingin bertengkar disini," Kotake menghela napas, lalu berkata kepada sang istri, "Lagipula, walaupun kau bilang aku ini belagu, toh waktu kita masih sekolah dulu, akhirnya kamu naksir aku juga, kan? Malah sekarang, kau jadi istriku."

"Terserah kamulah, Tetsuya," balas Doremi pasrah, "Aku juga tidak ingin bertengkar disini. Lebih baik sekarang kita bicara tentang hal yang lain saja."

"Bagaimana dengan nama anak-anak kalian? Apa sudah kalian persiapkan?" tanya Pop, "Pasti kalian berdua sudah merencanakannya, kan?"

"Dalam hal itu, kami memutuskan supaya aku bisa menamai anak pertama kami, sementara Doremi akan menamai anak kedua kami," jelas Kotake, "Yah, mudah-mudahan saja, yang lahir duluan adalah yang laki-laki, karena jujur saja, aku belum punya ide untuk menamai anak perempuan."

"Untuk sementara sih, aku sudah menyiapkan dua nama, masing-masing satu untuk tiap jenis kelamin, sementara Tetsuya baru bisa memikirkan satu nama anak laki-laki," tambah Doremi, "Meski begitu, kami masih belum ingin memberitahu siapapun tentang nama yang sudah kami siapkan, jadi… kau tidak keberatan kan, kalau kami baru akan memberitahumu tentang nama-nama itu setelah mereka lahir?"

"Tentu saja aku tidak keberatan," Pop tersenyum, "Akan sangat menarik jika kalian menjadikan nama-nama tersebut sebagai kejutan, meskipun kemungkinan besar aku hanya akan mengetahui nama yang sudah pasti akan kalian berikan kepada mereka."

"Terima kasih, Poppu. Aku tahu kau akan mengerti."

.O.

6 Mei 2018…

"Halo, Monica-chan. Hari ini ulang tahun mama, ya?"

Bayi mungil bernama Monica itu menjawab pertanyaan seorang sahabat ibunya dengan tertawa riang, kemudian menoleh kearah sang ibu yang sedang menggendongnya, yang juga sedang berulang tahun hari ini, Momoko.

"Hazuki-chan, jangan tanyakan hal itu padanya. Moni-chan kan masih belum mengerti," ujar Momoko sambil tersenyum geli, "Umurnya saja baru mau dua bulan."

Ya. Hampir dua bulan yang lalu, lebih tepatnya, pada tanggal 18 Maret, Momoko melahirkan putrinya itu, yang kini sedang menatap wajah sang ibu sambil tersenyum manis. Hari ini, Momoko mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan di rumahnya, yang hanya dihadiri oleh para mantan ojamajo lainnya.

"Aku jadi penasaran. Kalau nanti kedua anakku sudah lahir, kira-kira Moni-chan bisa akrab dengan mereka tidak, ya?" Doremi memperhatikan sang bayi mungil sambil berandai-andai, "Bagaimanapun, mereka kan lahir di tahun yang sama."

"Sayangnya Moni-chan lahir sebelum bulan April, jadi saat dia masuk sekolah nanti, dia tidak mungkin sekelas dengan anak-anakmu, Doremi-chan," Momoko menghela napas, "Padahal aku ingin sekali mereka bisa sekelas seperti kita dulu."

"Mau bagaimana lagi? Kau tahu sendiri kalau aku juga mengharapkan hal yang sama," sahut Doremi, "Kalau boleh jujur, aku juga sedikit menyesal, tapi apa boleh buat? Kurasa memang ini yang terbaik."

"Benar juga, ya? Setidaknya, walaupun mereka tidak bisa sekelas, Moni-chan bisa jadi kakak kelas yang baik untuk anak-anakmu nanti, Doremi-chan," Momoko merenungkan perkataan Doremi, kemudian menambahkan sambil tersenyum, "Mudah-mudahan sih, mereka punya minat yang sama, jadi mereka bisa masuk klub ekstrakurikuler yang sama, seperti saat kita masuk ke klub musik dulu."

"Bagaimana dengan anakku, juga anak Hazuki-chan?" protes Aiko, "Momo-chan, aku dan Hazuki-chan kan juga sedang hamil. Kenapa kau hanya bicara tentang anak-anaknya Doremi-chan?"

"Ya, tapi kan kelahiran anak kalian belum akan terjadi dalam waktu dekat, sementara anak kembar Doremi-chan akan segera lahir beberapa hari lagi," timpal Momoko, "Kehamilanmu kan baru masuk trimester kedua, sementara Hazuki-chan masih di trimester pertama."

"Memangnya kenapa kalau begitu, Momo-chan?" tanya Doremi, sedikit tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Momoko, "Yang penting kami bertiga sama-sama sedang hamil."

"Baiklah. Intinya, aku ingin sekali melihat anak-anak kita bersahabat baik, seperti kita," sang ibu muda kembali tersenyum, "Menarik juga kalau persahabatan kita bisa diwariskan kepada anak-anak kita."

Tiba-tiba Onpu berdehem, "Apa kalian sudah selesai bicara tentang Moni-chan dan kehamilan kalian? Kalau kalian bicara terus begini, kapan pesta ulang tahun Momo-chan akan dimulai?"

"Ah, Onpu-chan, maafkan kami. Kami tidak bermaksud…"

"Tidak apa-apa, Hazuki-chan. Kalian boleh saja membicarakan tentang kehamilan kalian, hanya saja, jangan terlalu lama membicarakannya. Lagipula kan, kita disini untuk merayakan ulang tahun Momo-chan, bukan untuk membicarakan tentang kehamilan kita."

"Benar juga, ya…" Doremi mengangguk setuju, tapi kemudian menyadari sesuatu, "Tunggu dulu, Onpu-chan. Tadi kaubilang… kehamilan kita?"

"Ya, tanggal 30 kemarin, aku memeriksakan diriku ke dokter, dan hasilnya positif. Aku juga sedang hamil, dan usia kandunganku baru sekitar sebulan," jelas Onpu sambil tersenyum, "Kemungkinan besar sih, anakku akan lahir akhir tahun ini."

"Wah, aku ikut senang mendengarnya. Selamat ya, Onpu-chan," seru Momoko, "Dengan begini, artinya kita semua sama-sama menikah dan mempunyai anak di tahun yang sama. Kita semua sama-sama menikah di tahun kemarin, dan sekarang… kita sama-sama dikaruniai anak tahun ini."

"Jadi, apa kita sudah bisa memulai pestanya sekarang, Momo-chan?" tanya Onpu. Momoko mengangguk, kemudian memulai pesta ulang tahunnya tersebut.

Beberapa lama kemudian, setelah menikmati kue ulang tahun Momo-chan dan minum teh, mereka kembali mengobrol tentang kehamilan mereka masing-masing. Momoko pun membagikan pengalamannya saat melahirkan Monica di Yokohama hampir dua bulan yang lalu.

"Sayangnya, aku melahirkan Moni-chan lewat operasi caesar. Habisnya, posisi Moni-chan agak sungsang, jadi sulit bagiku untuk melahirkannya dengan cara normal," jelas Momoko, "Untungnya, dokter hanya memberiku anestesi lokal, jadi aku masih bisa melihat Moni-chan saat ia baru lahir."

"Eh, jadi kau masih bisa melihat Moni-chan saat ia baru lahir, walaupun kau melahirkannya lewat operasi caesar?" tanya Doremi tidak percaya, "Kupikir kalau melahirkan lewat operasi begitu, sang ibu tidak akan bisa melihat anaknya lahir…"

"Dulu memang begitu, karena saat itu yang digunakan masih anestesi umum, bukan anestesi lokal," jawab Momoko, "Dengan anestesi lokal, aku masih bisa melihat Moni-chan dan mendengar tangisan pertamanya, hanya saja, aku tidak merasakan sakit sedikitpun saat melahirkannya."

"Begitu ya?"

Momoko mengangguk, "Kalau kau tidak mau merasa sakit sedikitpun saat melahirkan anak kembarmu, sebaiknya kau melahirkan mereka lewat operasi caesar saja, Doremi-chan."

"Entahlah… aku hanya ingin punya ikatan batin yang kuat dengan anak-anakku, dan ada yang pernah bilang padaku bahwa melahirkan dengan cara normal bisa memperkuat ikatan batin antara seorang ibu dengan anaknya," Doremi menghela napas, "Lagipula yang kudengar, walaupun saat operasi lukanya tidak akan terasa sakit, begitu efek anestesinya hilang, bekas sayatan operasinya pasti akan terasa sakit sekali, kan?"

"Iya sih. Waktu itu aku juga sempat susah buang air besar selama beberapa hari," aku Momoko, "Sebenarnya sih, semuanya tergantung keadaannya. Kalau memang keadaannya memungkinkan buatmu untuk melahirkan dengan cara normal, dan kau benar-benar ingin melahirkan anak-anakmu dengan cara itu, boleh saja kau melakukannya. Aku kan hanya memberimu sedikit saran."

"Aku tahu kau akan mengerti, Momo-chan," Doremi tersenyum, "Mungkin saranmu akan kupertimbangkan nanti, kalau memang keadaannya tidak memungkinkan bagiku untuk melahirkan mereka dengan cara normal. Setidaknya, sekarang aku tahu kalau operasi caesar tidak seburuk yang kupikirkan sebelumnya."

"Ngomong-ngomong, Doremi-chan, apa belakangan ini perutmu sudah sering terasa sakit?" tanya Momoko, "Soalnya, beberapa hari sebelum aku melahirkan Moni-chan, aku sering merasakan sakit di perutku, seakan-akan Moni-chan akan lahir hari itu juga."

"Maksudmu kontraksi palsu, ya?" sahut Doremi, "Untungnya sih, aku belum pernah mengalaminya. Belakangan ini, aku hanya merasa cepat pegal saja. Mungkin aku baru akan mengalaminya dalam beberapa hari kedepan."

"Baguslah kalau begitu," ujar Momoko lega, "Mudah-mudahan sih, kau tidak akan mengalaminya."

"Memangnya kenapa?"

"Saat aku mengalaminya sekitar dua bulan yang lalu, kami semua langsung panik. Semuanya kerepotan mengurusku supaya bisa masuk ke Rumah Sakit hari itu juga, tapi ternyata, dokter kandungan yang menangani proses kelahiran Moni-chan memberitahu kami kalau waktu kelahiran Moni-chan masih beberapa hari lagi," kali ini, Momoko yang menghela napas, "Akhirnya, aku malah menghabiskan waktu lebih lama di Rumah Sakit, karena aku sudah berada disana sejak kontraksi palsu itu terjadi."

"Maksudmu, kau langsung menginap disana?"

"Iya," Momoko lalu menyadari sesuatu, "Ah, tapi maaf ya, semuanya. Waktu itu aku lupa bilang pada kalian kalau aku akan melahirkan di Yokohama. Habisnya, kebetulan nenekku memintaku untuk melahirkan disana. Dia ingin sekali melihat cicitnya yang satu ini."

Sang ibu muda berambut pirang itu menggosokkan pipi kanannya dengan pipi kiri bayinya yang masih digendongnya sejak tadi, membuat bayi itu tertawa riang.

"Tenang saja, Momo-chan. Kami semua mengerti, kok," Doremi mencoba meyakinkan Momoko, "Lagipula bulan Maret kemarin, aku sedang sibuk mengurusi kelulusan murid-muridku."

"Aku juga baru bisa pergi bulan madu dengan Masaru-kun bulan Maret kemarin, jadi kalaupun toh kau melahirkan di Misora, aku tidak akan bisa datang menjengukmu," tambah Hazuki.

"Khusus tentangmu, aku memang sudah mengetahuinya, Hazuki-chan," sahut Momo-chan dengan senyuman menggoda, "Setidaknya, dari sana kau bisa membawa pulang oleh-oleh yang terindah sepanjang masa, yaitu kehamilanmu."

"Momo-chan…"

"Kau benar juga ya, Momo-chan. Setidaknya dengan begitu, Hazuki-chan tidak perlu merasa iri kepada kita," komentar Aiko sambil tersenyum, "Tentang kelahiran Moni-chan di Yokohama, kau tidak perlu menyesal begitu. Kami semua maklum kok, kalau memang kau harus melahirkan disana. Lagipula, kau melahirkan saat aku masih sering pusing dan mual-mual gara-gara kehamilanku. Apalagi saat itu, Leon-kun bahkan memintaku supaya beristirahat di rumah saja."

"Jadwal kerjaku juga sedang padat-padatnya bulan Maret kemarin," tambah Onpu, "Kau tidak perlu minta maaf pada kami."

"Baiklah. Aku lega kalau kalian memang mengerti keadaanku."

Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari arah depan rumah. Terdengar pula suara seseorang memanggil salah satu dari kelima wanita yang sedang berkumpul di dalam rumah, "Sayang, ayo kita pulang. Sekarang kan, kau perlu cukup istirahat. Aku takut si kembar kenapa-napa."

"Cie cieee, Doremi-chan…" goda Momoko, "Kotake-kun sampai segitunya bela-belain jemput kamu kesini."

"Mou, ayolah Momo-chan. Kau selalu saja menggodaku," protes Doremi. Ia pun mulai berjalan ke arah pintu depan setelah berpamitan dengan Momoko dan para sahabatnya yang lain.

.O.

13 Mei 2018…

Di rumah keluarga Harukaze, Doremi dan Pop memberikan hadiah yang spesial untuk ibu mereka. Sejak pagi hari, keduanya saling bekerja sama membuat kue hari ibu yang spesial. Selain itu, Doremi juga membeli sebuket anyelir merah untuk sang ibu, sementara tanpa diduga, Kotake juga membelikan sang istri sebuket mawar merah.

"Yah, karena anak-anak kita belum lahir, tahun ini aku ingin mewakili mereka untuk memberikanmu ini," ujar Kotake sambil menyodorkan sebuket mawar merah itu kepada Doremi, "Aku yakin, kau bisa jadi ibu yang terbaik untuk mereka."

"Pantas saja kau tidak mau pulang bersamaku saat kita membeli anyelir merah untuk okasan…" sahut Doremi sambil tersenyum, "Baiklah, aku akan menerimanya."

Mereka lalu memutuskan untuk memakan kue hari ibu berukuran besar itu bersama-sama setelah makan siang.

Malam harinya, Doremi dan Pop juga berencana ingin menyiapkan makan malam yang spesial bersama-sama, tapi pada akhirnya hanya Pop yang jadi menyiapkan makan malam untuk mereka semua.

"Poppu, kenapa kau melarangku membantumu memasak untuk makan malam? Aku kan juga ingin menyiapkannya bersamamu," protes Doremi kepada sang adik yang sedang berada di dapur, "Kalau hanya memasak untuk makan malam saja, aku masih bisa membantumu. Kau tidak perlu terlalu khawatir begitu."

"Tidak bisa, onee-chan. Tanggal kelahiran anak-anakmu sudah semakin dekat, dan aku tidak ingin melihatmu kelelahan hanya gara-gara kau membantuku di dapur," sahut Pop dengan tegas, "Onee-chan kan sudah membelikan sebuket anyelir merah untuk ibu, jadi sekarang giliranku memasak makan malam untuk 'para ibu' dan pasangannya yang ada disini."

"Kau bisa saja, Poppu," ujar sang ibu sambil tertawa kecil, "Kau yakin bisa menyiapkan semua makanan itu sendiri?"

"Tentu saja, okasan. Aku kan dari dulu sudah sering membantu okasan menyiapkan makan malam, jadi aku sudah tahu apa saja yang harus kulakukan," jawab Pop dengan mantap, "Aku jamin okasan dan onee-chan, juga otousan dan onii-chan, pasti akan menyukai masakanku yang spesial ini."

"Padahal kan, aku juga ingin membantu," keluh Kotake. Ia menghela napas, "Poppu, kau yakin tidak perlu bantuan siapa-siapa? Aku kan juga ingin memberikan sesuatu yang spesial untuk ibu mertuaku dan istriku yang tercinta ini."

"Hmm… baiklah. Onii-chan boleh membantuku," sahut Pop. Ia menahan tawanya saat ia memberi perintah kepada sang kakak ipar, "Onii-chan, tolong potong-potong bawang bombainya, ya?"

"Eh? Kenapa harus bawang bombai sih?"

"Lho, tadi katanya onii-chan mau bantu aku…" goda Pop yang pernah diberi tahu oleh sang ayah tentang Doremi dan Kotake yang saat di kelas enam dulu pernah disuruh memotong bawang bombai saat membuat kare untuk makan siang mereka di perkemahan musim panas, sampai mata mereka perih dan membuat mereka 'menangis', "Masa hanya gara-gara onii-chan tidak mau memotong bawang bombai, onii-chan malah nggak jadi bantuin aku?"

"Yah, gimana ya? Kalau mataku perih kan, bisa-bisa aku jadi nggak ganteng lagi…"

Mendengar perkataan Kotake, Doremi melirik sang suami sambil mengernyitkan dahi, sementara Keisuke dan Haruka tersenyum dan Pop menghela napas, "Onii-chan kan bisa pakai kacamata supaya matanya tidak terasa perih, atau kalau tidak, onii-chan juga bisa menggunakan bungkus plastik gulung, yang biasa dipakai buat melapisi makanan yang mau dimasukkan ke microwave itu lho."

"Ya, kalau di dapur ada bungkus plastik itu sih, aku juga mau," Kotake akhirnya berjalan ke dapur, "Kupikir tidak ada…"

Pop lalu menyuruh kedua orangtuanya dan sang kakak untuk menunggu di meja makan yang tadi sudah dilapnya sampai bersih. Mereka bertiga pun akhirnya memulai pembicaraan baru sementara menunggu Pop dan Kotake yang sedang memasak di dapur.

Tak lama kemudian, makan malam mereka pun telah siap disajikan. Mereka berlima pun menyantapnya dengan lahap sambil sesekali mengobrol, mengomentari masakan yang sedang mereka santap.

Baru saja Doremi ingin membantu sang adik yang bersikeras ingin mencuci sendiri semua piring, mangkuk nasi dan gelas yang tadi mereka gunakan untuk makan dan minum, saat ia tiba-tiba merasakan sakit yang hebat di perutnya.

"Sudah tidak ada waktu lagi! Ayo kita ke Rumah Sakit!"