DISCLAIMER: Ojamajo Doremi © Toei Animation, 1999-2004. Ojamajo Doremi 16, 17, 18 dan 19 series (light novel) © Kodansha, 2011-2015. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.
Revision Update Note: ada beberapa hal dari chapter ini yang akhirnya direvisi, untuk menyesuaikan apa yang benar-benar terjadi di awal tahun 2020 *uhukpandemicovid19uhuk*. Lebih tepatnya, hal yang direvisi berhubungan dengan Olimpiade Tokyo 2020 yang akhirnya ditunda karena pandemi virus korona yang mendunia. Disini, saya menganggap (dan berharap) bahwa pandemi baru (akan) berakhir pada bulan Juli tahun 2020, namun Olimpiade masih akan diundur ke tahun 2021.
Our Future
.
Chapter 15 – The New Child
14 November 2020
"Tanpopo, kenapa hari ini papa bawa mama ke dokter lagi? Mama sakit apa sih, sampai harus ke dokter tiap bulan?" tanya seorang gadis kecil berumur dua setengah tahun kepada tantenya. Rambut birunya yang panjang diikat tinggi-tinggi, "Kayaknya dari bulan kemarin, papa jagain mama terus."
"Mama kamu nggak sakit kok, Tsubomi-chan, jadi kamu tenang aja. Mama kamu cuma mau periksa kesehatan aja kok," jawab sang tante yang kemudian menambahkan dengan sedikit protes, "Ngomong-ngomong, kenapa kamu manggil tante 'Tanpopo'? Memangnya penampilan tante terlihat seperti bunga Dandelion?" (Tanpopo: Dandelion dalam bahasa Jepang)
"Ya… nggak juga sih. Biar lebih gampang aja manggilnya," Tsubomi tersenyum, "Sama aja kayak Zucchini."
"Namaku Tsuchiya tahu, dan aku lebih tua dari kamu!" seorang anak laki-laki berambut merah dengan cepat menimpali dengan kesal, "Panggil aku Tsuchi-nii."
"Nggak ah. Enakan manggil Zucchini," balas gadis itu, "Lagian kamu cuma lebih tua enam menit dari aku."
"Apa?!"
"Eh, sudah sudah. Kenapa kalian malah jadi bertengkar sih," Pop mencoba melerai kedua keponakannya itu, "Sebenarnya, boleh-boleh aja sih, Tsubomi-chan manggil tante begitu. Tante nggak keberatan kok, cuma…"
"Cuma apa, Tanpopo?"
"Tante cuma heran aja. Kok kamu bisa-bisanya kasih panggilan yang nggak biasa ke Tante dan Tsuchiya-kun?" tanya Pop ingin tahu, "Dapat ide dari mana?"
"Nggak tahu," Tsubomi menggeleng, "Tiba-tiba aku kepikiran aja buat manggil Tanpopo sama Zucchini."
"Namaku bukan Zucchini!" protes Tsuchiya lagi.
"Duh, kalian ini…" Pop menghela napas, "Ternyata kelakuan kalian juga mirip sama kelakuan mama dan papa kalian dulu."
"Masa sih, Tante Poppu?" tanya Tsuchiya tidak percaya, "Kupikir cuma warna rambut dan raut mukaku yang mirip mama…"
"Maksud Tanpopo, papa juga pernah kasih panggilan yang nggak biasa ke mama ya? Kayak aku gini?" simpul Tsubomi, "Terus mama nggak suka sama nama panggilan yang papa kasih?"
"Ya, begitulah…" Pop mengangguk, "Mereka juga sering bertengkar seperti kalian."
"Oh…"
Tsuchiya dan Tsubomi sedang berada di ruang keluarga, di rumah keluarga Harukaze, sedang menunggu kedua orangtua mereka yang sejak setengah jam yang lalu pergi ke Rumah Sakit. Tsuchiya lalu teringat kalau akhir-akhir ini, sang ibu sering terlihat kelelahan setiap kali putranya itu melihatnya pulang dari sekolah tempatnya mengajar. Anak itu pun khawatir kalau-kalau sebenarnya sang ibu seharusnya masih tetap di rumah saja sampai sekarang, seperti apa yang dilakukannya disekitar awal tahun ini karena menyebarnya sebuah virus baru yang berbahaya, jadi ia bertanya kepada Pop, "Tante yakin kalau mama baik-baik aja? Kalau ternyata mama kena virus dan sakit keras, gimana?"
"Mama kamu baik-baik aja, Tsuchiya-kun. Lagipula kan, sekarang keadaannya sudah aman dan terkendali," Pop tersenyum, "Memangnya mama dan papa belum kasih tahu sesuatu ke kalian?"
"Kasih tahu… apa?" Tsubomi balik bertanya sambil memiringkan kepalanya dengan bingung, "Mama nggak pernah ngomong apa-apa. Papa juga nggak pernah ngomong apa-apa."
"Jadi begitu…" Pop berpikir sebentar, kemudian bertanya kepada si kembar, "Menurut kalian, ada sesuatu yang berbeda nggak, tentang mama kalian akhir-akhir ini?"
"Hmm, mama ya…" Tsuchiya mencoba mengingat-ingat sesuatu, "Kayaknya sejak papa ngajakin kita ke Belanda nengokin kakek buyut, mama dan papa jadi sering berduaan deh."
"Iya. Sepulangnya kami dari sana, mama dan papa jadi sering jalan-jalan berdua aja, nggak ngajak aku dan Zucchini. Makanya kita jadi sering kesini buat ketemu nenek, kakek sama Tanpopo," tambah Tsubomi, "Mama curang banget sih. Padahal kan yang mau jalan-jalan sama papa bukan mama aja."
Tsuchiya membuka mulutnya, bersiap mengutarakan protesnya kepada adik kembarnya, tapi kemudian Pop menyelanya dengan berkata, "Kalau menurut apa yang mama kalian kasih tahu ke tante, justru papa kalian yang sering ajak mama pergi."
"Masa sih?" tanya Tsubomi tidak percaya, "Papa ngajak mama jalan-jalan berdua aja? Memangnya papa nggak mau jalan-jalan sama aku?"
"Papa juga mau kok, jalan-jalan sama kamu," jawab Kotake yang baru tiba disana bersama Doremi. Rupanya mereka mendengar perkataan Tsubomi saat keduanya membuka pintu depan rumah itu dan masuk kesana.
"Papa…" Tsubomi menghampiri sang ayah, "Kalau papa mau jalan-jalan sama aku, kenapa papa malah lebih sering ajak mama pergi berduaan aja? Aku kan juga mau jalan-jalan sama papa."
"Jadi kamu juga mau diajak jalan-jalan?" tanya Kotake yang kemudian menggendong putri kecilnya itu dalam dekapannya, "Kalau begitu, mumpung sekarang keadaannya sudah aman, mulai besok kita sekeluarga akan pergi jalan-jalan tiap akhir pekan. Kamu setuju kan?"
Tsubomi mengangguk, lalu memeluk sang ayah dengan erat sambil tersenyum, "Papa memang yang terbaik."
Mereka lalu meneruskan pembicaraan itu di ruang keluarga.
"Anou, mama…" dengan nada khawatir, Tsuchiya bertanya kepada sang ibu yang duduk disebelahnya, "Mama baik-baik aja kan? Mama nggak sakit keras kan? Habisnya, akhir-akhir ini mama kelihatan capek banget, jadi aku takut…"
"Kamu tenang aja, Tsuchiya. Mama baik-baik aja kok," Doremi mencoba meyakinkan anaknya itu, "Sebulan yang lalu, kesehatan mama memang agak terganggu, tapi sekarang mama sehat-sehat aja kok."
"Terus, kenapa hari ini… mama sama papa malah harus ke dokter? Pasti ada yang nggak beres kan?"
"Semuanya baik-baik aja," sang ibu lalu teringat sesuatu sebelum menambahkan, "Mungkin seharusnya mama udah kasih tahu hal ini ke kamu dan Tsubomi dari sebulan yang lalu, tapi sayangnya, karena kondisi mama masih kurang fit, mama jadi nggak sempat kasih tahu kalian deh."
"Kasih tahu apa sih?" tanya Tsubomi ingin tahu, "Apa ini hal yang diungkit sama Tanpopo tadi?"
"Tanpopo?"
"Itu nama panggilan dari Tsubomi-chan untukku," sahut Pop saat ia menyadari bahwa sang kakak dan suaminya belum mengetahui tentang nama panggilan tersebut, "Ya, aku memang bertanya kepada Tsuchiya-kun dan Tsubomi-chan kalau-kalau kalian sudah memberitahu mereka tentang hal itu."
"Begitu…" Doremi kembali menoleh kearah Tsuchiya, "Jadi begini, tadi mama ke Rumah Sakit untuk memeriksa kehamilan mama."
"Hamil?" tanya Tsuchiya dan Tsubomi secara bersamaan. Keduanya memiringkan kepala mereka dan menatap ibu mereka dengan bingung, "Maksud mama apa sih?"
"Sekarang, di dalam perut mama, ada calon adik kalian," jelas Kotake, "dan dia akan menemui kita tahun depan."
"Eh? Jadi sebentar lagi, aku akan punya adik?" simpul Tsubomi dengan mata yang berbinar, "Aku akan jadi kakak?"
"Iya Tsubomi."
"Mudah-mudahan aja dia nggak manggil aku Zucchini…" Tsuchiya menghela napas, "Lebih bagus lagi kalau dia laki-laki. Aku jadi bisa main bola bareng dia."
"Memangnya kenapa, Zucchini? Kalau ternyata nanti adik kita perempuan dan akhirnya manggil kamu Zucchini juga, gimana?" balas Tsubomi, "Lagipula kan, anak perempuan juga bisa main bola."
"Kalau dia juga tertarik main bola seperti kamu sih, nggak jadi masalah buatku, Tsubomi," Tsuchiya menyilangkan kedua lengannya, "tapi kalau ternyata dia nggak tertarik main sepak bola…"
"Kan kamu masih bisa ajak aku main bola bareng, Zucchini."
"Maksudku bukan begitu, Tsubomi," Tsuchiya menggeleng, "Kita kan biasanya main satu lawan satu, tapi kalau nanti adik kita laki-laki, dia bisa jadi partnerku."
"Oh, jadi maksudnya, biar nanti adik kita bisa bantuin Zucchini supaya bisa menang dari aku?" simpul Tsubomi sambil tersenyum mengejek, "Kamu kan tahu sendiri kalau biarpun aku ini perempuan, aku cukup jago main bolanya. Buktinya, Zucchini sering kalah dari aku."
"Terserah kamulah," sahut Tsuchiya jengkel, "Yang penting sih dia nggak manggil aku Zucchini, titik."
"Oi oi, kenapa kalian malah ribut begitu sih?" tanya Kotake kepada kedua anaknya, "Memangnya, kalian tidak mau menyapa adik kalian yang ada di perut mama?"
"Eh? Memangnya kita sudah bisa menyapanya?" Tsubomi balik bertanya, "Papa, adikku sudah bisa dengar suaraku dari perut mama?"
"Iya," Kotake mengangguk, "Adik kalian juga bisa dengar waktu kalian bertengkar, jadi kalau kalian mau bertengkar, kalian harus menjauh dari mama dulu."
"Hah? Memangnya kenapa?"
"Kata dokter yang periksa mama di Rumah Sakit, kalau ada yang bertengkar dekat adik kalian, nanti adik kalian bisa sedih," jelas Kotake, "Kalau adik kalian sedih, bisa-bisa dia ngambek, nggak mau keluar dari perut mama."
"Begitu ya? Baiklah," Tsubomi akhirnya mengelus-elus perut sang ibu, "Jangan ngambek ya, dik. Tsubomi-nee sama Zucchini cuma lagi ngobrol tentang sepakbola kok."
"Maaf ya, kalau tadi suara kakak terlalu kencang," tambah Tsuchiya yang juga ikut mengelus perut ibunya, tidak mau kalah dengan adik kembarnya, "Kakak cuma ingin supaya kamu jadi adik yang sopan, baik dan nggak asal-asalan manggil kakaknya sendiri, ya?"
Sang ibu tertawa kecil melihat tingkah laku kedua anak kembarnya itu, "Ada-ada saja, kalian ini…"
"Oh iya!" seru Tsubomi yang tiba-tiba teringat sesuatu, "Ngomong-ngomong soal adik, aku jadi mau tanya sesuatu."
"Mau tanya apa?" sahut Doremi.
"Kok tiba-tiba adik udah di dalam perut mama aja?" tanya gadis kecil berambut biru itu dengan polos, "Gimana bisa?"
"Hmm, gimana jelasinnya, ya…" sang ibu muda berpikir sebentar sebelum menambahkan, "Tsubomi, Tsuchiya, sejak setahun yang lalu, kalian sering ngeluh mau punya adik kan?"
"Ngg, sebenarnya sih, aku cuma ngerasa bosan aja. Habisnya, cuma Zucchini aja yang bisa aku ajak main di rumah," ralat Tsubomi, "Makanya kupikir, akan lebih bagus kalau aku punya adik, jadi kita bisa main bertiga. Atau paling nggak, aku punya pilihan lain kalau aku lagi bosan main sama Zucchini."
"Hei!" Tsuchiya mulai protes, namun ia mengurungkan niatnya untuk berteriak. Iapun menambahkan dengan pelan, "Kalau aku boleh jujur, kadang-kadang aku juga bosan main sama Tsubomi terus. Kupikir, nggak ada salahnya kalau aku punya satu adik lagi."
"Awal tahun ini, waktu kita pergi ke kuil, kalian sampai berdoa supaya punya adik kan?" kali ini, Kotake yang bertanya kepada kedua anaknya.
"Iya," jawab mereka sambil menganggukan kepala dengan kompak.
"Sekarang, Kami-sama mengabulkan doa kalian," sang ibu memulai penjelasannya, "Hanya saja, karena adik kalian masih terlalu kecil dan rentan sakit, jadi untuk sementara, adik kalian berada di perut mama dulu."
"Jadi begitu…" Tsuchiya berpikir sebentar, lalu bertanya, "Kapan adik masuk ke perut mama?"
"Malam hari, waktu semua orang lagi tidur," balas Kotake, "Awalnya, dia cuma sekecil tetesan darah, tapi lama kelamaan, dia tumbuh besar. Begitu adik kalian sudah cukup kuat untuk bertahan hidup, baru dia bisa lahir."
"Apa dulu aku dan Zucchini juga begitu?" tanya Tsubomi.
"Iya," Doremi tersenyum, "Sekarang kalian mengerti, kan?"
"Untuk kali ini, papa dan mama baru bisa menjelaskannya sesingkat ini," tambah Kotake, "Suatu saat nanti, waktu kalian sudah masuk sekolah, kalian akan diajarkan lebih lanjut mengenai hal ini, tapi untuk sekarang, kalian cukup tahu hal yang paling dasarnya saja, ya?"
Kedua anak itu mengangguk.
"Nah, bagaimana kalau sekarang, kita makan siang diluar?" tawar Kotake kepada kedua anaknya, "Bareng kakek, nenek sama Tante Poppu."
"Setuju!" seru Tsubomi, "Aku mau panggil kakek di ruang kerjanya."
"Kalau begitu, aku aja yang panggil nenek di kamarnya," tambah Tsuchiya yang mulai berjalan kearah tangga, "Mama dan papa tunggu disini, ya?"
Tak lama kemudian, mereka pun bergegas pergi ke sebuah restoran yang agak jauh dari sana untuk menikmati makan siang.
