DISCLAIMER: Ojamajo Doremi © Toei Animation, 1999-2004. Ojamajo Doremi 16, 17, 18 dan 19 series (light novel) © Midori Kuriyama, Kodansha, 2011-2015. Ojamajo Doremi 20's (light novel) © Kageyama Yumi, Kodansha, 2019. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.
Our Future
.
Chapter 20 – Mom's Secret and the New Home
"Jadi bagaimana? Menurutmu, sebaiknya kita pindah kesana atau tidak?"
Doremi sedang membicarakan tentang permintaan Majorika dan Hana-chan agar keluarganya pindah ke Maho-dou dengan Kotake di kamar mereka, tak lama setelah mereka menyuruh keempat anak mereka untuk tidur. Ia ingin memastikan kalau-kalau suaminya itu tidak menyetujui permintaan tersebut.
"Hmm, bagaimana ya?" Kotake berpikir sebentar sebelum melanjutkan perkataannya, "Habisnya, kesannya mendadak sekali. Aku jadi bingung harus bagaimana."
"Sebenarnya sih, kita masih punya waktu untuk memikirkannya, selambat-lambatnya sampai akhir bulan ini, jadi kita tidak perlu buru-buru memutuskannya," ujar Doremi, "Mungkin juga, sebaiknya kita tidur saja sekarang."
"Eh, tunggu dulu. Aku memang masih bingung untuk mengambil keputusan, tapi bukan berarti aku tidak ingin membicarakannya denganmu sekarang," bantah Kotake, "Kalau boleh jujur sih, menurutku ide mereka bagus juga."
"Menurutmu begitu?" tanya Doremi tak yakin, "Jadi maksudmu, kau tidak keberatan kalau kita semua harus pindah dari sini? Tetsuya, rumah ini kan sudah kaubeli dengan susah payah, bahkan sejak kita belum menikah dulu, dan kalau kita memutuskan untuk pindah dari sini, artinya kita juga harus menjual rumah ini."
"Yah, di satu sisi, aku sedikit keberatan untuk menjual rumah ini. Bagaimanapun, kita sudah tinggal di rumah ini sejak kita menikah sepuluh tahun yang lalu, jadi bisa dibilang, rumah ini sudah menjadi bagian dari keluarga kita," aku Kotake, "Belum lagi, selama sepuluh tahun ini, sudah banyak sekali kenangan yang terjadi di rumah ini."
"Karena itulah, aku tidak langsung mengambil keputusan tadi sore," sahut Doremi, "Maho-dou memang tempat yang penting buatku, tapi disisi lain, aku agak enggan meninggalkan rumah ini."
"Walaupun begitu, rasanya aku tertarik untuk tinggal di Maho-dou," Kotake melanjutkan komentarnya, "Selama ini kan, aku hanya pernah datang kesana sebagai pembeli, atau paling tidak, aku mengantarmu kesana atau menjemputmu dari sana, saat kau masih kerja sambilan disana. Setidaknya kan, aku juga ingin tahu bagaimana rasanya tinggal disana."
"Yang pasti, kalau kita jadi pindah kesana, artinya aku juga harus membongkar rahasiaku kepada anak-anak kita," Doremi tersenyum, "Bagaimanapun, aku harus memberitahu mereka tentang pintu penghubung itu, supaya mereka tidak terkejut kalau-kalau ada penyihir yang datang melewati pintu itu saat kita tinggal disana."
"Kau memang berencana untuk memberitahu mereka, kan?" Kotake menyahut perkataan sang istri, "Kurasa itu tidak jadi masalah."
"Ya, kalau boleh jujur sih, rencananya aku baru akan memberitahu mereka tahun depan, saat Tsuchiya dan Tsubomi sudah naik ke kelas empat sementara Nonchi dan Miura masuk SD, tapi kelihatannya, aku harus memajukan waktunya sedikit," timpal Doremi, "Aku jadi penasaran. Kalau nanti kita memutuskan untuk pindah ke Maho-dou, kira-kira Tsubomi dan Nonchi juga akan tertarik menjadi majominarai seperti aku dulu atau tidak ya?"
"Itu artinya kau juga tertarik tinggal disana," simpul Kotake, "Masalahnya, kita belum bisa menentukan pilihan sekarang. Bagaimanapun, baik Maho-dou maupun rumah ini sama-sama memiliki daya tarik tersendiri."
"Kau benar, Tetsuya," Doremi menyetujui perkataan sang suami, "Andai saja kita bisa menemukan satu hal yang dapat membantu kita mengambil keputusan yang tepat, jadi kita tidak perlu bingung memutuskannya."
"Hmm, kira-kira hal apa ya, yang bisa kita jadikan pertimbangan?" ujar Kotake sambil berpikir, "Kalau kita mempertimbangkan jarak dari rumah ke tempat kerja, kelihatannya tidak akan jauh berbeda."
"Aku sempat membandingkan jarak dari sini ke sekolah dengan jarak dari Maho-dou ke sekolah lewat smartphone, dan hasilnya sama saja," Doremi menghela napas, "Dalam hal ini, aplikasi peta kurang membantu."
"Mungkin tidak ada salahnya, kalau kita menanyakan pendapat anak-anak tentang hal ini," usul Kotake, "Setidaknya, kita juga harus melibatkan mereka saat membuat keputusan, jadi tidak akan ada yang keberatan nantinya."
"Belakangan ini sih, Tsubomi mulai sering memintaku supaya dia punya kamar sendiri. Dia sudah mulai bosan tidur sekamar dengan Nonchi," renung Doremi, "Terkadang, Tsuchiya dan Miura juga bertengkar di kamar mereka."
"Masalahnya, kalau kita memutuskan untuk pindah ke Maho-dou, apa kita bisa menjamin kalau mereka akan punya kamar tidur sendiri disana?" tanya Kotake, "Kelihatannya, luas bangunan di Maho-dou juga hampir sama dengan luas bangunan rumah ini."
"Sebenarnya, hal itu masih bisa diatur sih, karena selama ini kami selalu merenovasi bangunan itu hanya dalam waktu yang sangat singkat," Doremi kembali menyahut, "Tadi sore, Majorika juga bilang padaku, kalau kita memutuskan untuk pindah kesana, dia akan memperbolehkan kita untuk menata ulang bangunannya."
"Jadi begitu?"
Doremi mengangguk, "Semuanya terserah kita."
"Oke, mungkin kita juga bisa mempertimbangkan tentang hal itu…" Kotake tiba-tiba teringat sesuatu, "Sebentar. Kenapa mereka hanya menawarimu untuk pindah kesana? Bagaimana dengan sahabatmu yang lain?"
"Hana-chan bilang sih, mereka sudah mendatangi rumah yang lain, tapi tidak ada satupun diantara mereka yang bisa pindah ke Maho-dou," jawab Doremi, "Makanya, mereka akhirnya memutuskan untuk menawariku."
"Baik, kalau memang keadaannya seperti itu, kurasa tidak ada salahnya, kalau kita pindah kesana," akhirnya Kotake berkata dengan mantap, "Ayo pindah ke Maho-dou dan memulai hidup baru disana."
"Eh? Tetsuya, kau yakin?"
"Setidaknya, itulah keputusanku untuk saat ini," tutup Kotake, bersiap untuk tidur, "Keputusan finalnya ada di tangan anak-anak, dan kurasa, kita bisa menanyakannya kepada mereka besok saja. Sebaiknya kita tidur saja sekarang."
"Oh, baiklah…" simpul Doremi sebelum akhirnya ikut merebahkan dirinya di kasur, "Selamat tidur, Tetsuya."
.O.
Keesokan paginya…
Saat mereka sedang sarapan pagi, Kotake dan Doremi membicarakan tentang rencana kepindahan keluarga mereka kepada keempat anak mereka, lalu menanyakan pendapat mereka tentang rencana itu.
"Kalau aku sih setuju saja, tapi… justru karena hal ini, aku jadi penasaran," Tsuchiya mengutarakan pendapatnya sebelum ia bertanya kepada sang ibu, "Sepenting itukah tempat bernama Maho-dou itu di mata mama? Kelihatannya, ada sesuatu tentang tempat itu yang belum kami ketahui."
"Kau memang benar, Tsuchiya. Mama memang punya… satu rahasia besar yang ada hubungannya dengan Maho-dou," jawab Doremi, "Apa kalian masih ingat tentang cerita yang selalu mama bacakan malam hari sebelum kalian tidur, setiap kali kalian sulit tidur?"
"Aku ingat, ma. Itu cerita tentang Battle Ranger kan?" tebak Miura.
"Bukan itu, Miura," Doremi menggeleng, "Maksud mama adalah cerita mama tentang penyihir. Kalian masih ingat kan?"
"Oh, aku ingat sekarang!" seru Tsubomi, "Mama memang sering menceritakan tentang hal itu kepada kami, tapi… kalau mama langsung mengungkit tentang cerita itu saat Zucchini bertanya tentang Maho-dou, artinya…"
"Keluarga pemilik Maho-dou adalah keluarga penyihir!" simpul Nozomi, "Mama, apa aku benar?"
"Hmm, tidak juga sih, Nonchi," Doremi tersenyum, "Kelihatannya, kamu kurang bisa mengingat ceritanya secara detail."
"Rasanya aku bisa menjelaskannya. Aku ingat betul cerita itu, bahkan aku mempercayainya," sahut Tsubomi, "Intinya, toko milik penyihir di cerita mama adalah Maho-dou, dan penyihir yang tinggal disana adalah neneknya Tante Hana… atau mungkin sebaiknya aku harus bilang kalau beliau itu walinya Tante Hana, karena sebenarnya mereka tidak benar-benar punya hubungan keluarga."
"Kok bisa? Tsubomi-nee, mereka kan tinggal serumah…"
"Tidak," kali ini Tsubomi yang menggeleng, "Dulu memang keduanya tinggal di Maho-dou, tapi Nenek Rika sekarang tinggal di dunia penyihir, sementara Tante Hana tinggal di apartemen dekat Rumah Sakit."
"Kau pintar juga, Tsubomi," Doremi mengomentari tebakan sang anak, "Hanya saja, kalau kau sudah bisa menerka sampai kesana, seharusnya kau sudah tahu kalau Tante Hana…"
"Oh iya, secara tidak langsung, dia adalah kakakku," ujar Tsubomi sambil tersenyum bangga, "dan yang paling penting adalah, keenam anak yang jadi penyihir cilik didikan Nenek Rika sebenarnya adalah…"
"Murid mama di sekolah?" potong Nozomi tidak mengerti.
"Bukan, Nonchi. Jangan memotong apa yang ingin kukatakan," Tsubomi menghela napas sebelum melanjutkan pernyataannya, "Mereka berenam adalah mama, Tanpopo dan keempat sahabat mama."
"Wah, Tsubomi, tebakanmu benar semua," puji Doremi, "Kau benar-benar pintar menganalisa rupanya."
"Tentu saja. Dalam cerita mama kan, mama bilang kalau sang penyihir pemilik toko punya enam orang 'murid', dan mereka juga ditugaskan untuk merawat seorang bayi penyihir yang nantinya akan menjadi Ratu, tapi dihadapan manusia, bayi itu adalah cucu dari Nenek Rika yang juga bisa memanipulasi umurnya, supaya dia bisa bersekolah bersama keenam orang yang membesarkannya itu," jelas Tsubomi, "Saat aku melihat Nenek Rika bertamu kesini kemarin, aku langsung bisa menyimpulkan bahwa beliau memiliki wajah yang berbeda. Beliau bahkan membawa seekor kucing, dan mama juga pernah bilang kalau seorang peri pendamping dari seorang penyihir bisa menyamar menjadi seekor kucing."
"Kau benar-benar punya daya ingat yang kuat, Tsubomi."
"Jadi… apa sekarang kami boleh mengetahui ceritanya dengan lebih rinci?" tanya Tsubomi, "Selama ini kan, mama hanya bercerita tentang garis besarnya saja. Mama tidak pernah bilang kalau yang mengalaminya adalah mama sendiri."
"Boleh saja, tapi sebelum itu, mama ingin tahu pendapatmu, Nonchi dan Miura tentang rencana kepindahan kita dari sini," ujar Doremi mengingatkan, "Bagaimanapun, hal itulah yang membuat kita membicarakan tentang rahasia ini."
"Tentang hal itu, aku juga tidak keberatan," Tsubomi kembali tersenyum, "tapi syaratnya, aku harus punya kamar sendiri."
"Ehhh?! Kok Tsubomi-nee nggak mau sekamar denganku lagi?" ratap Nozomi, "Nonchi kan takut tidur di kamar sendirian."
"Justru itu. Kita harus terbiasa punya kamar sendiri, supaya kita bisa jadi lebih mandiri. Kalau kamu tidur sekamar denganku terus, nanti kamu malah jadi manja," jelas Tsubomi, "Aku bukannya nggak sayang sama kamu, tapi kamu tahu sendiri kalau bahkan mama dan Tanpopo sendiri punya kamar masing-masing waktu mereka kecil dulu."
"Baiklah, aku juga mau pindah," sahut Nozomi pada akhirnya, "Aku juga mau lihat tempat yang namanya Maho-dou itu."
"Mama senang kalian menyetujuinya," Doremi menghela napas lega, lalu mengalihkan perhatiannya kepada putra bungsunya, "Jadi, apa pendapatmu, Miura? Kau juga setuju kan, kalau kita pindah ke Maho-dou?"
"Kedengarannya menarik juga," komentar Miura, "Aku juga mau pindah kesana."
"Setidaknya kan, walaupun kita pindah rumah, kita tidak perlu pindah sekolah," tambah Tsubomi, "Mama, letak Maho-dou dari sekolah juga dekat kan?"
"Iya, Tsubomi. Itu sudah pasti," Doremi mengangguk, "Kalau begitu, mama akan menghubungi Hana-chan sekarang juga."
"Tapi setelah itu, mama juga harus menjelaskan tentang rahasia mama, ya?" pinta Tsubomi, "Aku benar-benar ingin mengetahuinya."
"Tentu saja. Mama kan sudah berjanji," Doremi tersenyum, "Itu artinya, mama harus menepati janji mama."
.O.
28 November 2027
"Akhirnya, aku punya kamar sendiri!" seru Tsubomi begitu ia memasuki rumah barunya, yang dulu lebih dikenal sebagai Maho-dou. Hanya berselang sehari sejak keluarganya memutuskan untuk pindah kesana, mereka pun mulai memindahkan barang-barang yang masih mereka perlukan dari rumah tersebut ke Maho-dou secara bertahap, dan hari ini, mereka akan mulai tinggal disana.
Setelah melihat kesekitar rumah itu, Tsubomi bertanya kepada sang ibu, "Mama, kamarku ada di lantai dua kan?"
"Iya, Tsubomi. Kamarmu di sebelah kamar Nonchi," jawab Doremi, "Mama sengaja meminta Majorika untuk membuat pintu penghubung diantara kamar kalian, jadi kalau Nonchi memerlukan bantuanmu, dia bisa langsung datang ke kamarmu. Kamu nggak keberatan kan?"
Tsubomi menggeleng, "Itu nggak jadi masalah buatku, ma. Yang penting sih, pintu itu cuma dibuka kalau memang diperlukan. Aku memang ingin punya kamar sendiri, tapi bukan berarti aku tidak peduli sama sekali dengan Nonchi."
"Kamarku dan Miura juga begitu kan ma?" Tsuchiya ikut bertanya, "Semua kamar ada di lantai dua?"
"Iya, Tsuchiya. Kamarmu juga punya pintu penghubung ke kamar Miura," Doremi mengangguk, "Intinya, walaupun disini kalian punya kamar sendiri, kalian tetap harus saling membantu. Jangan sampai itu membuat hubungan persaudaraan kalian jadi renggang, ya?"
"Ok!" seru keempat anak itu sebelum bergegas memasuki kamar mereka masing-masing sambil membawa koper berisi pakaian mereka.
"Jadi, kau benar-benar sudah memberitahu semuanya kepada mereka?" tanya Majorika kepada Doremi sambil memperhatikan Tsuchiya, Tsubomi, Nozomi dan Miura yang sedang menaiki tangga dengan hati-hati, "Kau serius dengan rencanamu?"
"Tentu saja aku serius, karena aku yakin bahwa mereka akan mempercayainya, dan mereka sendiri juga bisa dipercaya," Doremi tersenyum, "Buktinya, mereka masih bisa menyapamu dengan akrab sampai hari ini, bahkan mereka juga menganggapmu seperti nenek mereka sendiri."
"Baiklah, sekarang aku benar-benar paham kenapa kau merencanakan hal itu, Doremi," Majorika menghela napas, "Sekarang, kita hanya perlu berharap bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja sampai nanti Hana menjadi Ratu."
"Aku yakin semuanya akan berjalan lancar," sahut Doremi dengan yakin, "Karena itulah aku setuju tinggal disini."
"Ngomong-ngomong, terima kasih karena selama beberapa hari ini, kau telah membantu kami memindahkan barang-barang kami kesini, juga mengatur semuanya menjadi seperti ini," Kotake angkat bicara, "Jujur saja, aku sempat kebingungan memikirkan cara untuk memindahkan piano kami."
"Tidak perlu seperti itu. Setidaknya, akulah yang meminta kalian untuk pindah kemari, jadi aku juga yang harus bertanggung jawab memfasilitasi kalian supaya kalian bisa pindah kesini dengan mudah," balas Majorika, "Justru kamilah yang harus berterima kasih kepada kalian, karena kalian telah bersedia menjaga pintu penghubung ke Majokai yang ada disini."
"Kuharap dengan begini, kami bisa sedikit membantu Hana-chan dalam menjalankan misinya untuk menjalin kembali hubungan antara Majokai dan Ningenkai, supaya suatu saat nanti, penyihir dan manusia bisa hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis, seperti dulu."
"Memang itu yang kita harapkan, Doremi," Majorika lalu mengganti topik pembicaraan mereka, "Bagaimana kalau kita membicarakan tentang hal lain sekarang? Rasanya aku ingin membicarakan tentang sesuatu yang lebih penting kepada kalian."
"Tentang apa?"
"Yah, apa kalian yakin tidak ingin membuka usaha apapun disini?" tanya Majorika, "Kalian tahu sendiri kalau rumah baru kalian ini letaknya sangat strategis."
"Ya… kurasa untuk sementara, kami tidak perlu membuka usaha apapun disini," jawab Doremi, "Setidaknya, sekarang kami masih aktif bekerja, jadi rasanya masih belum memungkinkan untuk membuka usaha disini."
"Kalau menurutku sih, mungkin suatu saat nanti, kami akan membuka usaha disini, tapi bukan sekarang," tambah Kotake, "Kalau boleh jujur, rasanya aku tertarik untuk membuka usaha suatu saat nanti, saat aku memutuskan untuk 'gantung sepatu'."
"Baiklah, aku menghargai keputusan kalian," sang penyihir tua kembali menghela napas, "tapi jika suatu saat nanti kalian berubah pikiran, jangan sungkan untuk membicarakannya kepadaku dan Hana."
"Itu sudah pasti, Majorika," ujar Doremi mantap, "Kami akan memberitahumu."
