DISCLAIMER: Ojamajo Doremi © Toei Animation, 1999-2004. Ojamajo Doremi 16, 17, 18 dan 19 series (light novel) © Midori Kuriyama, Kodansha, 2011-2015. Ojamajo Doremi 20's (light novel) © Kageyama Yumi, Kodansha, 2019. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.


Our Future

.

Chapter 21 – The Children's Friendship and Crush


6 Desember 2027, di kelas 3-2…

"Alex!" seru Tsubomi sambil memegangi rambut panjangnya yang dikuncir dua, "Jangan memainkan rambutku begitu!"

"Habisnya, tumben sekali kau mengikatnya seperti itu," sahut Alex, "Biasanya kan, rambutmu diikat tinggi-tinggi kebelakang."

"Memangnya kenapa, kalau aku mau mengubah gayaku? Ini kan rambutku sendiri," gadis berambut biru itupun lalu mengalihkan perhatiannya kepada Tono yang memang sedang mampir di kelas itu, "Ngomong-ngomong, Tono-kun, kenapa kamu mampir ke kelasku? Ada apa?"

"Ya… aku hanya ingin mengobrol saja dengan kalian, kau, Tsucchi, Alex dan Alice," jawab Tono, "Lebih tepatnya, Nami-nee, Monica dan Kirari sudah menunggu kita di atap sekolah."

"Di atap?" tanya Tsubomi kebingungan, meskipun pada akhirnya ia mengerti tentang apa yang dimaksud oleh Tono dan menambahkan sambil tersenyum, "Kalian pasti ingin membicarakan tentang rahasia mama-mama kita, kan?"

"Kelihatannya, kepindahan kami membawa perubahan yang besar ya?" sambung Tsuchiya, "Akhirnya orangtua kalian juga membeberkan rahasia itu kepada kalian."

"Begitulah," Tono mengangkat bahu, "Jadi bagaimana? Apa kalian mau ikut membicarakannya bersama kami?"

"Tentu saja, Tono-kun! Dengan senang hati!" jawab Tsubomi riang. Iapun menarik tangan Tono dan bergegas menuju ke atap sekolah, "Ayo kita susul yang lain!"

Melihat tingkah sang adik kembar, Tsuchiya menghela napas, "Maaf ya, Alex. Kelihatannya Tsubomi benar-benar tidak menaruh perhatian padamu sama sekali."

"Iya, aku mengerti," keluh Alex, "Padahal aku hanya ingin memberitahunya kalau dia lebih terlihat imut dengan gaya rambut seperti itu."

"Sudahlah, Ale-nii. Yang lainnya pasti sudah menunggu kita di atap sekolah," ujar Alice mengingatkan sang kakak kembar, "Tsuchiya-kun juga, ayo kita ke atap sekolah."

Akhirnya mereka bertiga pun meninggalkan kelas mereka, menaiki tangga menuju ke atap sekolah.

"Wah, ada Moni-senpai rupanya ya?" sapa Tsubomi, "Tumben senpai yang satu ini menyempatkan waktu hanya untuk mengobrol bersama kami disini."

"Tsubomi-chan, jangan panggil aku 'senpai'. Umur kita tidak jauh berbeda," protes Monica, "Kita kan mau membicarakan tentang rahasia mama, jadi tentu saja aku harus ikut bicara."

"Iya iya. Aku kan hanya bercanda, Moni-chan," Tsubomi melambaikan tangannya, "Lagipula ini kan di sekolah, jadi tidak ada salahnya kan, kalau aku memanggilmu begitu. Kau kan senior kami semua disini."

"Terserah kaulah," Monica menghela napas, "Lebih baik sekarang kita mulai bicara saja."

"Sebelum itu, aku jadi ingin menanyakan sesuatu padamu, Tsubomi-chan," ujar Kirari, "Apa mamamu sudah cerita, kalau beliau dan mama pernah tukar tempat waktu seumuran kita dulu?"

"Ya, mama sudah menceritakannya padaku sih," jawab Tsubomi, "tapi entah kenapa, setelah menceritakan hal itu, mama langsung memperingatkanku supaya tidak tukar tempat denganmu, kalau suatu hari nanti aku ingin menjadi majo minarai."

"Tentu saja. Selama ini kan hanya kamu saja yang protes terus, gara-gara mama nggak pernah jadi wali kelas kita," timpal Tsuchiya, "Kalau nanti kamu tukar tempat sama Kirari, kamu pasti memanfaatkan kesempatan supaya kamu bisa belajar di kelas mama, sekaligus mendekati Tono disana."

"Zucchini!"

"Menurutku wajar saja sih, kalau mamamu bisa menduganya," Alice terkikik, "Dia kan ibumu, Tsubomi-chan."

"Bicara soal majo minarai, mama bilang padaku kalau sebenarnya, untuk sekarang ini kita tidak perlu menjadi majo minarai dulu," Nami memulai pembicaraan lain, "Hanya saja, kalau memang suatu saat nanti kita menginginkannya, kita boleh menjadi majo minarai seperti mama-mama kita."

"Mamaku juga mengatakan hal yang sama," sahut Monica, "Meski begitu, apa tidak sebaiknya kita menjadi majo minarai saja sekarang? Lagipula, dulu mama-mama kita juga menjadi majo minarai saat mereka seumuran kita, kan?"

"Sayangnya, ayah bilang tidak ada yang namanya mahotsukai minarai, jadi aku, Tsucchi dan Tono tidak bisa punya kesempatan untuk menggunakan sihir," Alex menghela napas, "Padahal ayah dan Om Tooru dulu terlahir sebagai mahotsukai."

"Apa boleh buat? Papa bilang, Om Leon dan papa mau tidak mau harus membuang kekuatan sihir mereka dulu, sebelum mereka menikah dengan Tante Aiko dan mama," Tono mengangkat bahu, "Kalau saja mereka seperti Om Akatsuki…"

"Om… siapa?" tanya Tsubomi pura-pura ingin tahu, "Tono-kun, siapa yang sedang kaubicarakan tadi?"

"Om Akatsuki, suaminya Hikaru-sensei yang juga sahabat papa, Om Leon dan Om Fujio, papanya Taneshiro," jelas Tono, "Kamu ingat kan?"

"Oh, maksudnya papanya Taiyou si anak ingusan itu," sahut Tsubomi ketus, "Kupikir orang itu tidak punya nama."

"Tsubomi, kamu kok ketus banget sih ngomongnya?" Tsuchiya menanggapi perkataan sang adik kembar sambil meliriknya dengan tajam, "Waktu itu kan mama juga sudah cerita tentang Om Akatsuki."

"Zucchini, kamu nggak sadar dia itu siapa? Dulu orang itu sempat berniat merebut mama dari papa. Dia sempat bikin papa cedera."

"Itu kan dulu, waktu mereka belum menikah. Sekarang hubungan papa dan Om Akatsuki sudah baik-baik saja. Mereka sudah berteman," koreksi Tsuchiya, "Bahkan waktu papa dan mama menikah dulu, Om Akatsuki bersedia menjadi pendamping pengantin pria menggantikan Om Itou."

"Tetap saja aku tidak menyukainya, bukan berarti aku tidak pernah mencoba menyukainya," Tsubomi bersikeras, "Belum lagi, sekarang aku sudah tahu kalau dia pernah menyakiti hati mama, meskipun cuma sebentar."

"Tsubomi…"

"Oh maaf, apa sekarang kita bisa membicarakan hal yang lain saja? Maksudku, yang tidak ada hubungannya dengan orang itu," potong Tsubomi, "Ya, aku tahu kalau dia memang mahotsukai yang paling beruntung di dunia ini, karena dia tetap bisa mempertahankan kekuatan sihirnya meskipun dia sudah menikah, tapi entah kenapa, rasanya aku ingin marah tiap kali aku mendengar namanya."

"Baiklah, aku mengerti. Maafkan aku, Tsubomi-chan," akhirnya Tono meminta maaf, "Seharusnya aku tidak membicarakan tentang dia dihadapanmu."

"Tidak apa-apa, Tono-kun. Aku mengerti tentang alasanmu berkata begitu, hanya saja aku sudah terlanjur membenci orang itu," Tsubomi memelankan suaranya, "Kurasa, justru seharusnya aku yang meminta maaf padamu."

"Aku sih tidak heran melihatmu marah seperti itu," komentar Alex, "Kamu itu mirip banget sama Om Kotake, sementara Om Kotake sendiri juga pernah saingan sama Om Akatsuki. Mungkin aura persaingan mereka masih ada di kamu."

"Terserah kamulah, Alex," Tsubomi menghela napas, "Aku hanya ingin supaya kita membicarakan hal yang lain."

"Yah, terlepas dari apa yang kaukatakan tadi, Tono, menurutku tidak apa-apa kalau kita tidak punya kesempatan untuk menggunakan sihir," Tsuchiya mengutarakan pendapatnya, "Bukan berarti aku tidak tertarik, hanya saja… menurutku hal ini juga bisa membuat kita jadi lebih mandiri. Lagipula, rasanya tidak akan seru kalau kita berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan dengan menggunakan sihir."

"Aku mengerti. Kau memang tipe orang yang lebih menghargai proses, Tsucchi," simpul Tono, "Meski begitu, tidak ada salahnya kan, kalau ada diantara aku, kamu dan Alex yang penasaran bagaimana rasanya punya kekuatan sihir?"

"Ya, nggak ada salahnya sih," Tsuchiya tersenyum, "tapi setidaknya, kita harus selalu berpikir positif atas semua yang terjadi dalam kehidupan kita."

"Itu dia sohib kita yang paling bijak," puji Alex, "Tsucchi, kelihatannya lain kali, kamu harus mencalonkan diri jadi ketua kelas."

"Mungkin aku akan mempertimbangkan usulmu suatu saat nanti, Alex," sahut Tsuchiya, "Terima kasih atas pujiannya."

"Ngomong-ngomong, Tsubomi-chan, kenapa kau mengikat rambutmu seperti ini?" tanya Kirari, "Tidak biasanya…"

"Ya, aku hanya ingin jadi sedikit lebih mirip mama," jawab Tsubomi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Rambutku memang tidak digulung, tapi setidaknya, aku bisa mengikatnya begini."

"Kalau boleh jujur sih, kamu kelihatan lebih cantik seperti ini, Tsubomi-chan," puji Nami, "Hampir saja aku tidak mengenalimu tadi."

"Benarkah? Terima kasih, Nami-chan," Tsubomi tersenyum manis, "Kurasa mulai hari ini, aku akan terus mengikatnya seperti ini."

"Oh iya, aku baru ingat," tiba-tiba Tsuchiya menepuk dahinya, lalu berkata kepada Kirari, "Aku sudah membawa kado ulang tahunmu, Kirari, hanya saja… aku lupa membawanya kesini. Kadoku masih ada di kelas."

"Tidak apa-apa, Tsuchiya-kun. Kau kan masih bisa memberikannya saat kita pulang sekolah nanti," Kirari melambaikan tangannya, "Nanti sore kita akan pulang sekolah sama-sama seperti biasa, kan?"

"Ngg, sebenarnya sih, aku ada janji dengan Akari sore ini," aku Tsuchiya, "Nanti saja kadonya aku berikan kepadamu, saat jam istirahat makan siang."

"Oh, baiklah," Kirari kelihatan agak kecewa, "Datang saja ke kelasku nanti."

Tsubomi memperhatikan perubahan raut muka Kirari lalu berpikir, 'Kelihatannya, Kirarin tidak suka kalau Zucchini dekat sama Akari-chan. Jangan-jangan… Kirarin suka sama Zucchini…'

Baru saja Tsubomi ingin menanyakan sesuatu kepada Kirari saat tiba-tiba bel masuk kelas berbunyi.

"Wah, sudah bel rupanya," ujar Tsuchiya, "Kirari, Nami, Tono, aku titip salam buat mama, ya?"

"Buat apa sih, Zucchini?" tanya Tsubomi tidak mengerti, "Kita memang tidak berangkat bersama mama tadi, tapi tetap saja bukan hal yang wajar untuk kita titip salam buat mama."

"Tapi kurasa aku paham maksud Tsuchiya-kun berkata seperti itu," Kirari terkikik, "Setidaknya, dia ingin mama kalian tahu kalau kita baru saja membicarakan tentang rahasia itu disini, tanpa kita harus mengungkit-ungkitnya di depan kelas."

"Aku senang kau mengerti apa maksudku, Kirari," Tsuchiya tersenyum, "Baiklah, ayo kita kembali ke kelas masing-masing."

.O.

Sementara itu, di TK Sonatine…

"Alya-chan, Vania-chan, Hima-chan, kalian sudah tahu tentang rahasia mama, kan?" tanya Nozomi yang sedang berkumpul bersama Miura, Alya, Vania dan Himawari di ruang musik, "Menurut kalian gimana? Apa mulai sekarang kita harus sering kumpul di rumah baruku?"

"Kayaknya nggak perlu sih," sahut Vania, "tapi setidaknya, sekarang aku tahu kalau aku bisa langsung ke toko mama yang di New York lewat rumah barumu, Nonchi."

"Cuma kalau bulan yang diatas lagi senyum, Vania-nee," sahut Himawari, "Kalau bulannya nggak lagi senyum, pintu yang satu itu cuma jadi pintu biasa."

"Sekarang aku ngerti, kenapa mama kalian yang jadi admin group chat mama-mama kita, Nonchi, Miura-kun," Alya tersenyum, "Ibu bilang, mereka nggak bakalan bisa jadi sahabat baik kalau nggak ada mama kalian."

"Ya, mama kami memang yang terbaik," sahut Miura, sedikit menyombongkan diri, "Bahkan setahuku, mama selalu bisa berteman baik dengan siapa saja."

"Bahkan di rumah pun, mama selalu meluangkan waktunya untuk mengobrol bersama kami, padahal terkadang, Tsuchi-nii dan Tsubomi-nee suka minta tolong mama waktu mereka mengerjakan PR," tambah Nozomi, "Mama benar-benar tidak pernah pilih kasih."

"Tanteku memang hebat!" puji Himawari, "Aku selalu dibuatkan kue bolu gulung isi buah kesukaanku, setiap kali aku menginap di rumah kalian."

"Ah, tapi kurasa kue itu nggak bakalan seenak kue buatan mamaku," balas Vania, "Bagaimanapun, mama yang paling jago bikin kue."

"Itu sih sudah pasti, Vania-chan. Mamamu kan punya toko kue, sementara mamaku hanya sempat membuat kue setiap akhir pekan," Nozomi menghela napas, "Karena mama nggak pernah jadi wali kelas 1 dan 2, mama nggak pernah pulang cepat dari sekolah."

"Aku sih nggak peduli soal itu, yang penting aku suka kue bolu gulung isi buah buatan Tanteku," Himawari menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Apalagi kalau dimakan sambil mengobrol dan minum teh. Rasanya enak sekali."

"Sebenarnya sih, mama selalu membuat kue yang berbeda tiap minggunya, jadi kami tidak pernah merasa bosan," aku Nozomi, "Hanya saja, mama selalu ingat kalau kamu sukanya kue bolu gulung isi buah, jadi tiap kali kamu ke rumah, mama selalu membuatkannya khusus untukmu."

"Iya ya. Kadang mama juga suka buat kue kering yang enak," Miura menambahkan apa yang dikatakan oleh sang kakak kembar, "Aku paling suka memakannya dengan segelas susu."

"Kue kering buatan mama memang jadi favorit kita semua di rumah, Miura, nggak cuma jadi kesukaan kamu aja," Nozomi terkikik, "Makanya, diantara semua kue yang pernah mama buat di rumah, kita paling sering minta mama buat bikinin kue kering."

"Ngomong-ngomong, kata mama… waktu Tante-Tante sekalian pernah ngurusin Maho-dou waktu jadi toko kue, mereka sempet coba bikin kue dari sayur, ya?" tanya Himawari, "Mama bilang sih, semua kue dari sayur buatan mereka rasanya enak, tapi katanya mama paling suka kue chiffon bayam."

"Mama juga sudah cerita, kok," Miura membenarkan pernyataan sang sepupu, "Mereka pernah bikin puding labu, bolu bayam, kue ubi manis dan biskuit kacang polong."

"Ah, aku baru ingat!" seru Alya, "Waktu kalian belum pindah ke rumah baru kan, keluargaku pernah menginap di rumah kalian, dan waktu itu… ibuku dan mama kalian sempat bikin kue ubi manis buat kita makan sama-sama sambil minum teh."

Tak lama setelahnya, seorang teman sekelas Himawari memanggilnya.

"Wah, kelihatannya aku harus siap-siap masuk kelas menggambar sekarang," ujar Himawari, "Sampai jumpa nanti ya, senpai-senpaiku tersayang."

"Sampai jumpa nanti, Hima-chan!"