"Hei, kau sedang apa?"

"Menurutmu? Apa aku terlihat seperti sedang menari?"

Len menjawab malas pertanyaan gadis di sampingnya. Kesal karena tekadnya yang sudah bulat untuk melompat dari atas gedung berlantai 70 ini terganggu begitu saja.

"Kau mau bunuh diri,ya? Kau yakin? Kau tidak takut mati?"

"Aku lebih takut denganmu yang tiba-tiba muncul di sampingku." gerutu Len.

"Namaku Rin."

"Untuk apa memberitahuku namamu? Sebentar lagi juga aku mati."

"Karena aku sudah mati."

Len memandang Rin yang duduk santai di sebelahnya. Kaki-kaki telanjang gadis itu mengayun bebas di ketinggian.

"Cih, kau mau membuat niatku untuk bunuh diri hilang ya? Candaanmu tidak lucu kau tahu?" dengus Len sebal.

"Tidak. Lakukan saja jika kau ingin bunuh diri. Aku tidak akan mencegahmu,tuh."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa kau mati?" tanya Len.

Rin menunjukan pergelangan tangan kirinya kepada Len.

"Aku menyayat nadiku."

Len terkejut melihat luka yang Rin tunjukan. Luka sayatannya dalam, dan itu cukup membuat Len percaya bahwa Rin memang sudah mati.

"Aku menyayat nadiku di kamarku. Dan seperti yang sudah kuperkirakan, tidak ada yang mencariku. Jadi aku mati perlahan sendirian." seru Rin ringan, seperti sudah sering menceritakan kejadian memilukan tersebut.

"Dan lukamu tidak hilang walau kau jadi hantu?"

"Tidak akan hilang. Ini adalah tanda pemutus kehidupan manusia."

Rin memandang pemuda di sebelahnya dengan tenang, "Kalau kusarankan sih lebih baik kau pilih cara lain saja untuk mati. Kau mau nanti berkeliaran dengan bentuk yang tidak sempurna karena melompat dari sini?" lanjut Rin.

Len diam, tidak tahu harus merespon apa.

"Lalu, kenapa kau ada di sini? Kenapa kau masih ada di dunia ini?" tanya Len kemudian.

Rin tertawa sinis, "Kau pikir setelah kau mati bunuh diri, kau akan langsung menuju surga dan berbahagia selamanya?"

Len tidak mengerti apa yang Rin ucapkan. Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, gadis tersebut bangun dari duduknya dan berjalan menjauhi Len.

Len hanya bisa memandang punggung Rin yang semakin menjauh darinya. Tak lama, gadis itu membalikan badannya ke arah Len sambil melambaikan tangannya.

"Hei, kalau kau jadi mati, mari kita berteman!" seru Rin setengah berteriak. Lalu menghilang begitu saja.

Len mematung di tempatnya berada. Masih sedikit tidak percaya dengan gadis yang dijumpainya kurang dari 15 menit yang lalu.

'Masa sih nanti aku jadi hantu?' gumam Len dalam hati.

'Terlebih lagi, kalau aku melompat nanti aku jadi hantu yang tubuhnya aneh dong. Hiii.. aku tidak mau!!!'

Keraguan mendadak muncul dalam hati pemuda 18 tahun tersebut.

'Walaupun jadi hantu, aku harus tetap keren.'Len terdiam lagi. Cukup lama bergelut dengan pikirannya sendiri.

Angin sore menerpa anak-anak rambut pirangnya, memperjelas ketampanan wajahnya yang sempurna.

Kedua mata Len melirik arloji hitam di pergelangan tangan kirinya.

'Pukul 17.37. Sudah terlalu sore untuk mati.'Pemuda itu meregangkan tangannya ke atas. Melemaskan otot-otot tubuhnya yang tegang. Lalu perlahan kedua kakinya turun dari bibir atap yang sedari tadi dipijaknya.

"Hhhhh... baiklah besok saja kupikirkan cara yang lain. Sekarang aku lapar. Apa aku pulang saja, ya?" Len bertanya pada dirinya sendiri.

Sedetik kemudian pemuda tersebut bergegas meninggalkan tempat itu sambil bersiul tenang.

'Mari kita makan ramen!' serunya dalam hati.Tidak menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya daritadi.

"Tidak jadi mati,ya?"

Rin memandang Len yang berjalan menjauh sambil tersenyum kecil. Ada sedikit kelegaan dalam raut wajah pucatnya.

Entahlah, apa yang dipikirkan gadis tersebut.

Lalu tak lama kemudian, Rin kembali menghilang.

..........

...

.

Halo, Vinnichi di sini...

Udah lama sekali gak nulis2 fanfic lagi hehe.

Singkat banget, karena aku males ngetiknya XD

Maaf ya kalo aneh tulisannya. Mudah2an ini bisa kulanjut secepetnya.

Thank you buat yang udah baca :)