.
.
.
.
Aku lelah.
Aku menyerah.
Aku gagal.
Aku tidak bisa.
Jadi, bolehkah sekarang aku berhenti?
.
.
.
.
Suara hembusan nafas berat menggema di ruang kecil tanpa cahaya ini. Di atas kasur yang berantakan, seorang pemuda memejam dengan tubuh yang bermandikan keringat.
Sesekali keningnya mengernyit dan bibirnya meringis, seperti sedang menahan sakit.
Tidurnya gusar, kedua kakinya meronta seperti ingin lepas dari sesuatu. Selimut yang menutupi sebagian tubuhnya jatuh ke lantai yang juga berantakan dengan sampah plastik makanan ringan.
"Ngghhh.."
Len melenguh dalam tidurnya. Seperti memanggil seseorang untuk membangunkannya. Untuk menolongnya. Membuat sepasang manik biru kembali memperhatikan keaadan pemuda pirang tersebut.
Rin mendekati ranjang Len dengan kaki-kaki telanjangnya. Sudah 3 jam lamanya dia memperhatikan Len yang terus gusar dalam tidurnya.
'Apa yang kau takuti bahkan dalam tidurmu, Len?'
Rin tersenyum sendu, teringat bagaimana dulu dia juga seperti itu setiap malamnya.
'Bebanmu juga berat, ya? Tak apa, aku mengerti.' seru Rin dalam hati.
Pemuda yang menjadi pusat perhatian Rin tampak semakin gusar. Tubuhnya semakin kuyup dengan keringat. Rin segera menjauh dan menghilang setelah keluar dari jendela. Seakan tahu tak lama lagi Len akan membuka mata.
Pukul 04.19
Kedua manik biru yang terpejam kini mengerjap beberapa kali. Berusaha memfokuskan titik pandangannya yang masih buram.
Tubuhnya lemah sekali, tak ada tenaga bahkan hanya untuk mencari ponselnya yang entah dimana.
'Hhhh.. sial. Selalu seperti ini.' Len mengeluh dalam hati, tangan kanannya diangkat menutupi kedua matanya yang kembali memejam.
Pikiran Len kembali mengingat kejadian-kejadian yang membuatnya muak. Padahal, sekuat tenaga dia mencoba melupakan.
Cukup lama dia mempertahankan posisi tersebut.
Cukup lama hingga membuat pertahanan dirinya hancur dan kedua matanya meneteskan air yang jatuh ke bantalnya yang sudah basah.
Dalam diam dan gelap, seorang pemuda menangis sendirian. Suara isakannya pun tertelan di keheningan.
'Sudahlah, aku lelah.'
.
.
.
.
"Len! Di sini!"
Len mengedarkan pandangannya ke berbagai arah. Mencoba mencari suara yang memanggil namanya barusan. Dapat dilihat sebuah tangan mungil melambai di ujung keramaian.
Pemuda tersebut menurunkan hoodie jaket putih yang dipakainya. Mendekati gadis cantik yang berjingkrak kecil sambil terus melambaikan tangannya.
"Kau lama sekali!" seru gadis berambut teal begitu Len duduk di depannya.
"Maaf Miku, tadi aku ketinggalan kereta." jawab Len yang lalu memakan banana cake yang sudah dipesankan Miku.
"Hhhhh.. sudahlah. Mana pernah kau datang tepat waktu? Selama 5 tahun aku mengenalmu, hanya hitungan jari kau bisa datang on time setiap kali kita bertemu." Miku menggembungkan kedua pipinya, menunjukan sikap merajuk pada pemuda di hadapannya.
Len hanya menggendikkan bahunya enteng. Malas berdebat dengan gadis sepantarannya itu.
"Kemarin sore kau kemana?" tanya Miku, gagal mempertahankan sikap merajuknya.
"Pulang, mandi, tidur." Len menjawab singkat.
"Bohong! Aku ke rumahmu dan menggedor pintumu sampai tanganku pegal, kau tahu?" Miku kembali merajuk, kedua tangannya dilipat di depan dada.
Tentu saja Len berbohong. Kemarin sore dia kan sedang berada di atas gedung yang sudah menjadi tujuannya untuk bunuh diri.
"Kau tidak sedang memikirkan hal yang aneh-aneh kan, Len?"
Pemuda yang sibuk menghabiskan banana cake-nya tersebut menatap Miku yang juga menatapnya. Gadis itu tak dapat menutupi kecemasan yang tergambar di wajah cantiknya.
Len hanya diam, tidak berusaha menyangkal pun mengiyakan. Membuat Miku ikut diam dan hanya menunduk lesu.
Hening.
Tidak ada pembicaraan lagi. Kedua manusia itu sibuk dengan pikirannya masing-masing di tengah keramaian. Di tengah cafe yang sesak dengan remaja-remaja lainnya yang asyik bergurau.
Pemuda bermanik biru itu tiba-tiba kembali memakai hoodie jaketnya, lalu berdiri sambil mengeluarkan selembar uang dari dompet coklatnya dan meletakannya di atas meja.
"Biar aku yang bayar. Aku harus pergi." seru Len kemudian, membalikkan badannya memunggungi Miku.
"Len!" gadis berkuncir dua itu refleks memanggil Len. Membuat Len menghentikan kedua kakinya yang baru menjauh tiga langkah.
"Kau... tahu kan, aku tidak suka kalau kau hilang?" Miku meremas ujung-ujung bajunya, berusaha menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya.
Len tidak menjawab. Tubuhnya masih memunggungi Miku yang menatapnya pasrah.
"Maaf, aku harus pergi." kata Len lalu meneruskan langkahnya.
Meninggalkan Miku yang menggigit bibir bawahnya agar isakannya tidak terdengar. Membiarkan air mata membasahi kedua pipinya.
"Len.." Miku memanggil Len lemah, sambil terus memandangi seseorang dengan jaket putih yang semakin hilang di kerumunan.
.
.
.
.
Semilir angin sore menerpa seseorang yang berdiri sambil memejamkan kedua matanya.
Alunan musik beat terdengar pelan pada earphone yang terpasang di telinga kanan dan kirinya.
Len kembali ke tempatnya kemarin. Di atap gedung berlantai 70, tepat di tepi ketinggian tersebut. Satu langkah lagi sudah bisa dipastikan tubuhnya akan jatuh bebas tanpa melawan gravitasi.
"Kau suka sekali di sini ya."
Len membuka sebelah matanya dan menemukan seorang gadis berambut pirang sedang duduk bersila di sebelahnya.
Pemuda tersebut memperhatikan seseorang yang baru ditemuinya kemarin itu. Melihat tubuh mungil gadis bernama Rin itu dengan seksama.
Kalau dilihat dari perawakannya, Len menebak Rin lebih muda satu atau dua tahun darinya. Gaun putih selutut yang Rin kenakan terlihat sangat lusuh dan kotor. Hanya itu benda satu-satunya yang melekat pada gadis itu.
"Berapa umurmu?" tanya Len, membuat Rin mendongakkan kepalanya.
"Hmmm... aku lupa-lupa ingat. Mungkin 16 tahun saat aku mati."
Dugaan Len benar, Rin lebih muda dua tahun darinya. Jika Rin masih hidup tentunya.
Len ikut duduk bersila di samping Rin, keduanya menatap lurus ke depan. Ke sekelompok burung yang terbang bebas kesana-kemari.
"Hei, bagaimana rasanya mati?" pemuda itu kembali bertanya.
"Entahlah. Tapi rasa sakitnya tidak seburuk yang aku bayangkan. Mungkin karena aku sudah mempersiapkan diriku sebelumnya." jawab Rin, kedua kakinya kini sudah mengayun bebas di udara.
"Lalu, apa semua orang bisa melihatmu?"
Rin menoleh ke arah pemuda yang masih mengamati sekelompok burung tersebut, kepalanya menggeleng kecil menanggapi pertanyaan Len.
"Tidak bisa. Hanya mereka yang sudah bertekad bulat ingin mati yang bisa melihatku."
Pertanyaan yang sedari kemarin mengusik Len akhirnya terjawab. Dulu, dia sangat tidak percaya hantu. Tapi begitu melihat Rin yang menghilang di hadapannya membuatnya percaya jika hantu itu ada.
"Kau tidak bertanya alasan aku bunuh diri?" tanya Rin memecah keheningan.
Pemuda pirang itu menggeleng, "Tidak. Apapun alasanmu yang pasti kau sudah muak dengan dunia ini."
Ya, alasan yang sama dengan apa yang Len rasakan kini.
Rin hanya tersenyum kecil, "Kau masih mau bunuh diri?"
"Ya. Tidak ada alasan yang membuatku ingin tetap di sini." jawab Len datar.
"Apa tidak ada orang yang kau sayangi, Len?"
"Tidak ada."
"Lalu, apa tidak ada orang yang menyayangimu?"
Len terdiam sesaat. Mencoba memikirkan adakah kemungkinan orang yang menyayanginya.
Lalu entah kenapa ingatannya tertuju pada gadis berambut teal yang tadi ditemuinya. Len tahu jika Miku memiliki perasaan kepadanya, hanya saja Len tidak ingin memberi harapan lebih. Toh, dia akan mati.
Rin mengamati Len yang sedang merenung, "Sepertinya ada." kata Rin sambil tersenyum.
Len tidak menjawab, baginya perasaan seseorang padanya bukanlah hal yang penting.
"Baiklah, aku ingin memastikan sekali lagi." Rin bangkit dari duduknya, membuat Len mendongakkan wajahnya dengan raut bingung.
"Memastikan apa?" tanya Len.
"Kau. Apa kau sudah yakin kau mau mati?"
"Ya." Len menjawab tanpa keraguan.
"Kau tidak akan menyesal?"
Len tersenyum getir , "Cih, satu-satunya hal yang kusesali adalah dilahirkan ke dunia, kau tahu?"
Rin tidak bertanya lebih lanjut.
"Ayo!" seru Rin tiba-tiba.
"Kemana?"
"Ke tempat orang yang menyayangimu itu."
"Untuk apa?"
"Umm.. salam perpisahan?" jawab Rin singkat.
Len tidak mengerti dengan ucapan Rin, tapi pemuda itu lekas beranjak dari duduknya dan mengekori Rin yang sudah berjalan terlebih dahulu.
"Hei, kau tahu tempatnya?" kata Len setengah berlari mengejar Rin.
Sedangkan gadis berambut pendek itu hanya menggendikan bahunya tanpa menoleh ke belakang, "Entahlah."
.
.
.
.
Len terdiam di depan sebuah rumah kecil. Tangannya terlihat ragu untuk menekan bel yang ada di hadapannya.
Sudah lebih dari 15 menit dia hanya memandangi rumah yang sudah tak asing baginya itu. Rumah yang selalu didatanginya ketika dia sedang butuh teman cerita.
Tes..
Len menengadahkan kepalanya ke langit. Melihat butiran-butiran es jatuh berhamburan ke bumi.
Ah, salju pertama.
Langit sudah mulai gelap, hawa dingin pun menyeruak menyentuh tubuh Len. Pandangannya tetap mematung ke bel yang masih ragu untuk ia tekan.
'Apa aku pulang saja,ya? Lagipula si bocah sialan itu tiba-tiba menghilang begitu sampai di sini.' gerutu Len dalam hati merutuki Rin yang entah berada dimana.
Tepat begitu Len ingin membalikkan badannya, pintu yang sedaritadi tertutup itu terbuka dari dalam.
"Len?" seru gadis berambut panjang begitu melihat siapa yang ada di depan rumahnya.
"A-ah, kau di dalam rupanya." seru Len sedikit terkejut.
Miku mendekati Len dan menggandeng tangan pemuda tersebut untuk mengajaknya masuk ke dalam.
Tapi dengan lembut Len menolak, "Kita jalan-jalan saja. Ini kan salju pertama." kata Len sambil menggenggam tangan Miku yang tadi menggandengnya.
Miku sedikit bingung dengan tingkah Len, tapi tak ayal dia hanya mengangguk dan mengikuti Len yang berjalan pelan di sampingnya.
'Tangan Len besar dan hangat.' gumam Miku senang, ini pertama kalinya Len bersedia menggenggam tangannya. Terlebih di momen salju pertama tahun ini.
"Kenapa kau ada di depan rumahku?" tanya Miku kemudian.
Len menoleh ke arah Miku, ditatapnya gadis yang sudah menemaninya selama 5 tahun belakang ini, lalu tersenyum hangat.
Miku terpaku melihat senyuman Len, senyum yang begitu disukainya. Senyum yang sudah berapa lama ini tidak dilihatnya lagi. Seketika rasa haru menggebu dalam hati gadis tersebut. Jika saja dia boleh memeluk pemuda yang sudah mencuri hatinya itu, pasti sudah dia lakukan sekarang.
"Aku hanya ingin melihatmu." jawab Len sambil memasukkan tangannya yang masih menggenggam tangan Miku ke dalam kantong jaket putihnya.
Mendapat perlakuan yang cukup romantis tersebut membuat pipi gadis berambut teal itu merona merah. Jantungnya bahkan bekerja lebih cepat akibat tingkah manis Len yang baru pertama kalinya itu.
Miku dan Len berjalan melewati sebuah taman. Kemudian Len menuntun Miku untuk duduk di bangku taman tersebut.
"Pakai ini, maaf ya aku mengajakmu keluar dengan baju tipis seperti itu." Len mengulurkan jaket putihnya yang entah sejak kapan dia lepaskan.
"Tidak apa, Len. Aku tidak kedinginan." kata Miku tersenyum senang. Ah, dia sudah cukup bahagia malam ini.
"Aku benci penolakan. Kau tahu itu,kan?" seru Len dingin.
Miku meringis geli melihat sikap Len yang kembali seperti biasanya, "Iya-iya sini kupakai. Dasar Len pemaksa."
Len duduk di samping Miku. Gadis mungil itu sedikit tenggelam memakai jaket milik Len.
"Miku, terimakasih ya." Len menatap kedua manik Miku sambil tersenyum.
"Untuk apa?" kata gadis itu sambil menyembunyikan semburat merah di pipinya. Oh, jantungnya belum terbiasa dengan Len yang manis seperti ini.
"Karena kau sudah menemaniku. Jika itu bukan kau, mungkin aku akan sendirian sekarang." Len menggenggam kembali tangan milik Miku.
"H-haha, k-kau ini bicara apa sih?" seru Miku kaku. Kami-sama , ini terlalu membahagiakan.Len tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya mengacak pelan surai teal gadis itu sambil tersenyum.
"Ayo, kuantar kau kerumah. Sudah terlalu dingin di sini." ajak Len menggandeng tangan Miku untuk mengikutinya.
Gadis yang mengikuti pemuda itu hanya pasrah dan tersenyum riang sambil bergumam dalam hati 'Ah, kuharap bisa lebih lama lagi begini.'
.
.
.
.
Len merebahkan tubuhnya ke kasur king size miliknya, memandangi langit-langit kamar sambil mengunyah permen karet rasa pisang kesukaannya.
Pemuda itu mencoba mengabaikan Rin yang entah bagaimana caranya sudah ada di kamarnya bahkan sebelum Len datang.
"Bagaimana? Kau sudah bertemu dengannya, kan?" tanya Rin ingin tahu.
"Hmm.." Len hanya menggumam kecil.
Rin tersenyum senang.
"Kenapa kau menyuruhku bertemu dengan Miku?" Len memecah keheningan.
"Karena kau akan menyesal jika tidak melakukannya nanti." jawab Rin sambil melayang ke sekeliling kamar Len.
"Cih, mana mungkin."
Rin melotot ke arah pemuda yang sedang menatapnya malas itu, "Hei, aku ini akan menjadi seniormu, tahu. Jadi ikuti saja apa kataku!"
Len memutar bola matanya, seolah berkata yes, ma'am kepada Rin yang walaupun sudah menjadi hantu dan melotot seperti itu, tidak ada seram-seramnya bagi Len.
"Jadi, kapan kau akan mati?" tanya Rin kemudian.
Len terdiam sejenak. Lalu menatap Rin yang kini ada di hadapannya.
"Besok."
.
.
.
.
.
.
.
.
-Unknown World-
.
.
.
.
.
.
.
.
Hello..
Terimakasih yang sudah membaca, semoga suka ya :)
