Naruto belong to Masashi Kishimoto
Red-volution proudly present
Dearest
Warn : Rate bervariasi (M untuk amanya aja), Tema bervariasi, bisa AU/Semi-canon, OOC, Typo(s), grammar error, bersifat open-ended, tidak ada alur pasti dan keterkaitan antar chapter supaya bisa berhenti kalau mendadak habis ide
NaruSaku
Dont like, dont read
Enjoy!
Setting Chapter : Post-canon/Semi-canon
Genre : Family
.
.
.
Ini tidak seperti Naruto membenci ide istrinya atau semacamnya. Di ranah melakukan pemikiran mendalam dan perencanaan matang akan sesuatu sejak dulu bukanlah keahlianya yang paling menonjol. Beberapa orang yang sudah ia akui daya pikirnya selalu ia beri kesempatan untuk membimbingnya.
Katakan saja bekas gurunya dan mantan Hokage sebelumnya, Kakashi. Atau teman jenius pemalasnya yang ironisnya terlalu rajin melontakarkan kata 'merepotkan', Shikamaru. Atau bahkan Sakura, istrinya sendiri yang pernah berada dibawah didikan langsung mantan Hokage kelima.
Mereka menikah sudah hampir setahun yang lalu, disusul penobatan Naruto sebagai Hokage tiga bulan setelahnya. Katakan saja kehidupan mereka benar-benar diatas bahagia, berwarna, umm, penuh kasih sayang -dengan cara mereka sendiri- dan cinta. Semuanya terasa nyaris lengkap.
Lelaki muda sang kontainer Kurama -sebagaimana yang mahluk itu ingin disebut- berhasil mendapat pengakuan dari desa yang ia dambakan sejak kecil. Lalu setelah itu menjadi pahlawan dunia shinobi, menepati janji seumur hidupnya dengan membawa pulang sahabatnya... serta mendapatkan hati gadis yang ia impikan sedari belia. Dan yang terakhir menggapai impian terbesarnya untuk jadi Hokage. Semua sempurna.
Saat ia kira akan berhenti mengucap syukur lagi-lagi Kami-sama memberinya alasan baru untuk tetap melakukan itu. Seolah benar-benar memberinya ganjaran atas semua good deed yang ia lakukan selama hidupnya. Kehamilan Sakura menyusul setelah baru beberapa minggu ia duduk di meja Hokage. Jadi kalau dihitung-hitung sekarang hampir waktunya untuk jabang bayinya menemuinya dan Sakura...
Anaknya teridentifikasi akan berjenis kelamin laki-laki. Karena itulah Hokage muda itu sekarang mengelus dagu sambil mengetukan kaki di lantai rumahnya, memikirkan sesuatu. Ekspresi bosan justru malah terlihat dari sang Nyonya Hokage di seberang meja, yang menaikan sebelah alisnya sambil mengelus perut bundarnya.
Kembali ke paragraf awal. Mereka tengah memikirkan sebuah nama untuk anak pertama mereka. Sakura sudah mantab dengan satu nama. Lain halnya dengan Naruto yang terlihat mengernyitkan dahi mendengar wanita pink itu melontarkan hasil pemikiranya.
"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang coba kau pikirkan sejak tadi."
"Tentu saja nama anak kita, Sakura-chan!"
"Kau menolak ideku dan malah terlalu sibuk memikirkan hal yang rumit Naruto!"
"Habisnya, mencari sebuah nama dengan makna yang dalam sangat sulit untuk dikakukan kau tahu?"
Sakura mengerang kesal mengurut pangkal hidungnya. 'Semoga kau tidak mewarisi kebodohan ayahmu ya sayang.' Batinya miris kepada calon bayinya.
Naruto memang bukan pemikir yang tajam. Sudah lebih dari seminggu mencoba mencari nama yang sesuai namun tak pernah membuahkan hasil bagus. Yang paling membuat wanita pink itu kesal adalah saat dengan soknya suaminya menolak idenya hanya karena 'terdengar aneh'. Huh, seperti dia bisa membuat nama yang bagus saja. "Kalau kau tidak segera memutuskanya nanti si kecil terlanjur keluar, baka!"
Naruto menjambak rambut pirang pendeknya. Akhir-akhir ini ia diberi mandat untuk lebih banyak stand by dirumah berhubung istrinya memasuki tanggal-tanggal kelahiran. Ia bahagia karena sebentar lagi akan jadi seorang ayah. Ia bahagia karena sebentar lagi punya keluarganya sendiri. Seperti yang selama ini ia angan-angankan. Tapi serius, apa sesulit ini mencari nama untuk seorang bayi?
Menilik Sakura, pria itu yakin kedua mertuanya bisa dengan mudah memberi nama secantik itu hanya karena rupa rambutnya saja. Metode semacam menunggu sang jabang bayi keluar sebelum menamainya jauh lebih rasional untuk dilakukan sekarang...
... Tapi mood swing istrinya dari awal periode kehamilan tidak membuat rencana penamaan ini mudah. Wanita itu bersikukuh telah menemukan sebuah nama yang pas. Dan saat istrinya bergelayut manja, tersenyum manis kepadanya ia tahu mustahil untuk membujuknya menunggu hingga kelahiran.
"Naruto..."
"Hmm? Ada apa, Sakura-chan?"
Sakura terlihat meringis menahan sakit.
Keringat mengalir di pelipis Naruto.
Apa ini sudah saatnya?
Banyak yang bilang menjadi saksi lahirnya kehidupan baru di dunia itu terasa sangat... ajaib. Naruto dan Sakura tahu betul itu. Baru saja beberapa jam lalu mereka resmi jadi orang tua. Sekarang kedua pasangan muda itu merasa lengkap dan lega. Terutama bagi Sakura yang berhasil melewati persalinanya dengan lancar... sedangkan Naruto cukup bersyukur tangan barunya tidak sampai remuk oleh genggaman istrinya.
Ucapan selamat datang silih berganti beberapa waktu sebelum ini. Utamanya dari teman-teman angkatan mereka. Ino bahkan menangis dan bersumpah akan jadi seorang bibi terbaik yang bisa anak mereka harapkan.
Keduanya terhipnotis akan malaikat kecil di dekapan hangat Sakura. Wajahnya terlihat amat damai terlelap dalam tidurnya. Naruto tidak bisa menghentikan cengiranya sejak tadi. Sedikit banyak membuat Sakura tersipu. Disinilah ia, dengan wajah kusut dan rambut berantakan namun suaminya tetap seolah memujanya layaknya wanita tercantik di dunia. "B-berhenti melihatku seperti itu."
"Hehe." Naruto hanya terkekeh. "Maaf, maaf. Hanya saja kau benar-benar terlihat mempesona saat menggendong anak kita. Aku benar-benar bahagia. Terima kasih, Sakura-chan."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata wanita itu. "Aku juga sangat bahagia. Dia benar-benar mirip denganmu."
"Menurutku dia lebih mirip denganmu."
"Mungkin lebih baik untuk berhenti memanggil si kecil 'dia' bukan?" Pancing Sakura. Tersenyum licik.
"S-sakura-chan, aku belum menemukan nama yang bagus."
"Sudah kubilang nama yang kupilih itu yang paling bagus."
"Tapi itu nama yang aneh."
"Kau juga punya nama yang aneh."
"Tidak!"
"Benarkah begitu? Bakso ikan-kun?"
Sang Hokage Ketujuh mengerang. Mengacak rambutnya setelah kalah telak dari istrinya. "Aku sudah pernah menceritakan alasan kenapa orang tuaku memberiku nama 'Naruto' bukan?"
"Ya. Kau bilang itu nama dari tokoh di buku tulisan mendiang Jiraiya-sama."
"Cerita tentang seorang ninja yang mencoba mengubah dunia. Sosok hebat yang tak kenal menyerah. Karena itu orang tuaku memilih nama itu."
Sakura tersenyum lembut. Perlahan mengarahkan bundle of joy itu ke dekapan ayahnya. Wanita itu berusaha semaksimal mungkin mencegah tawanya melihat suaminya yang teramat perlahan meletakan bayi pirang tampan itu senyaman mungkin di gendonganya. "Karena itu aku juga ingin memberinya nama dari sosok hebat yang kukenal. Dirimu. Aku ingin dia jadi sosok yang bisa melampaui kita. Menjadi sosok yang tangguh dan tak kenal menyerah. Membawa kebahagiaan untuk banyak orang."
Naruto menghela napas. "Hahh... aku benar-benar tidak pernah bisa menang melawanmu, Sakura-chan."
"Jadi kau setuju?"
"Kurasa kau benar. Itu nama yang bagus." Pria itu terbius akan wajah mungil miniaturnya. Dirinya tersenyum saat menyadari putranya punya kening yang sama lebarnya dengan istrinya. "Selamat datang ke dunia... Shinachiku..."
Dan Shinachiku menggeliat nyaman di pelukan ayahnya.
.
.
.
End
