boruto © masashi kishimoto, mikio ikemoto, ukyo kodachi.
lagu prologue oleh jo1 © lapone entertainment; written by uta & yohei. terjemahan oleh thaerin lyrical-nonsense.
tidak ada keuntungan komersial yang diambil penulis dalam pembuatan karya ini. karya dibuat semata-mata untuk keperluan hiburan.
uzumaki boruto/uchiha sarada. canon - semi alternate universe.


.

you're not alone
you have someone to be proud of
these walls, these scars, this dream, this path
i know that you can walk onward

.

"Kau ingin jadi Hokage, kan? Aku akan mendukung impianmu!"

Detik itu Sarada tahu, bahwa mengejar tak selalu harus sendirian.

Ia menutup mata dan merasakan kata-kata Boruto masuk lebih jauh ke dalam benaknya.

.

Ia membuka mata dan kata-kata itu terngiang di telinganya. Sekelilingnya gelap, dan ia berusaha mengingat-ingat, di mana Boruto pernah mengatakan itu sebelumnya? Bayang-bayang pemuda itu kabur di balik kelopak matanya saat Sarada berusaha mengingat kembali, dan ia menghela napas. Tidak ada yang lebih menyebalkan selain kabut pikiran dan kebingungan mengenai suatu hal yang seharusnya bisa disentuh dengan mudah di gudang memorinya.

Sarada mengambil kacamatanya dari nakas dan mengernyit. Kacamata itu kotor, ada noda basah yang setelah keringnya meninggalkan kabut. Ia menyekanya dengan lap kecil yang selalu terlipat rapi di sudut nakas.

Ujung matanya terasa perih setelah ia memakai kembali kacamatanya.

"Sudah selesai nangisnya?"

Sarada tertegun. Di balik pintu kaca balkon kamarnya, Boruto menempelkan wajah. Bola voli dikepit di antara lengan dan pinggangnya, dan cahaya sore membuat rambut pirangnya berkilau. Jari-jarinya dililit perban, seperti biasanya. Biasanya, tiap sore, dia berlatih voli di gym sekolah, atau mungkin bermain di halaman belakang rumahnya bersama Hima.

"Boruto?"

Boruto menggeser pintu tersebut, masuk tanpa beban. Sarada berusaha keras mengingat, sepertinya saat ia melihat Boruto sebelumnya, Boruto memakai jaket hitam alih-alih kaos putih ini. Ia mengerjap kembali untuk menghilangkan siluet itu, tetapi untuk sesaat dua Boruto di hadapannya bersatu, kaos putih dan jaket hitam—namun segera kembali menjadi Boruto berkaos putih lagi. Sarada menganggapnya cuma bagian dari mimpi.

Pemuda itu duduk bersila sambil bersandar pada pintu. Dia memutar-mutar bolanya di lantai. "Masih mau nangis lagi?"

Ingatan datang seperti serbuan ombak ke kesadaran Sarada. Benar, itu. Ia mengingatnya, kekalahan pertandingan tenisnya. Ia gugur di babak perempat final. Sekarang ia mengingat rasa perih di ujung matanya, kacamatanya yang berkabut, dan brain fog yang dialaminya yang mungkin terjadi karena ia tertidur begitu saja setelah kelelahan menangis.

Dan ia juga mengingat Boruto yang menutup pintu kacanya dengan pelan, bunyi debam ringan saat tepian pintu berbenturan dengan bingkainya, siluet Boruto yang menatapnya dalam-dalam sebelum mengantarkannya tidur. Pemuda itu menyempatkan diri menyusulnya saat pulang sekolah dan mengabaikan latihan volinya untuk memastikan ia baik-baik saja.

Yang mana, sebenarnya ia sangat tidak baik-baik saja. Sarada menarik lututnya ke dada, memeluknya dan merenungi lagi detik-detik krusial saat kesalahan kecilnya memutarbalikkan arah permainan dan memberikan kemenangan set berturut-turut bagi lawannya.

"Masih ada pertandingan lain."

"Sebentar lagi kita kelas tiga ..." Sarada menyadari bahwa suaranya bergetar.

"Bukan berarti tidak ada turnamen lagi, kan?"

"Tapi—"

"Kau ingin jadi juara, ingin mewakili Jepang di ajang dunia—jangan berhenti hanya di sini. Masih ada pertandingan-pertandingan lain." Boruto berdiri dan meninggalkan bola volinya. Dia mengambil tas raket Sarada yang terabaikan begitu saja di dekat pintu masuk. Boruto mengeluarkannya, memainkannya seolah-olah sedang mengejar bola tenis imajiner. "Permainan tidak hanya berhenti saat kau lulus."

"Aku ... capek." Sarada menunduk dan menyembunyikan wajah di lipatan tangannya. "Aku berlatih dan berlatih dan—"

"Kalah." Sarada merasakan tempat tidurnya memberat, keberadaan Boruto terasa hangat di depannya walau dia tak melihatnya. "Sarada, tidak semua kemenangan itu manis dan tidak semua kekalahan itu pahit. Aku merekam permainanmu dan kau bisa melihatnya, menganalisis bagian yang kurang dan harus diasah lagi. Setidaknya kau bisa memperbaikinya untuk masa depan."

Sarada mengangkat kepalanya. "Kau ... merekamnya?"

Boruto tertawa lebar di depan Sarada sambil mengacak-acak rambut gadis itu. Dia menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jari, "Aku sudah bilang, aku akan jadi tangan kananmu. Kau ingin jadi juara tenis terbaik di Jepang, kan? Aku akan mendukung impianmu!"

Sarada mengerjapkan mata lebih cepat. Ini jelas bukan kali pertama Boruto mengatakannya, tetapi kehangatannya tetap merasuk seperti ia baru mendengarnya. Ia menarik napas dalam keadaan tenggelam karena kagum, dan eksistensi Boruto menggugahnya seperti serbuan cahaya yang hangat. Ia memejamkan mata, dan menikmati detik yang berlalu saat jemari Boruto mengacak-acak rambutnya lagi.

.

Sarada masih merasakan usapan itu seolah-olah tangan Boruto berada di kepalanya, mengusap rambutnya, dan memberikannya ketenangan.

Ia sesugukan lagi. Sepi, kamarnya yang kecil memberikannya lebih banyak kesunyian dari yang bisa ia tahan. Ia memegangi ponselnya erat-erat, dan di seberang sana, suara Boruto terdengar lagi.

"Sarada. Kau masih di sana?"

Ia tiba-tiba merindukan kehangatan itu—yang sepertinya baru saja ia rasakan. Boruto mengacak rambutnya, tersenyum padanya, dan mengucapkan kata-kata yang membangkitkan semangatnya. Namun yang ada hanyalah kamarnya yang hening, dingin, dan mengingatkannya bahwa ia tidak punya siapapun di sini.

"Ya ..." Sarada menyeka mata dan hidungnya. "Aku masih di sini. Tapi aku masih mau pulang."

"Tidak. Kau tetap di sana. Kejar."

"Aku tidak tahan!" Sarada menahan napasnya dan rasanya paru-parunya akan meledak. "Aku tidak bisa, terlalu sepi di sini—aku tidak yakin semua ini pantas kukejar—"

"Kalau kau pulang, kita putus."

"Boruto!"

"Kau yang bermimpi, kau yang punya tekad, jangan mundur di tengah jalan. Sebentar lagi, Sarada. Sebentar lagi kau bisa lulus. Ingat, siapa yang waktu itu bilang ingin jadi Uchiha pertama yang ikut penerbangan mengelilingi orbit? Sebentar lagi kau akan mencapainya. Bangun, Sarada, aku akan mendorongmu sedikit lagi!"

"Terlalu sepi, terlalu rumit di sini, Boruto ... aku ingin pulang ... aku tidak kuat ..."

"Kau kuat. Aku yakin, aku percaya. Aku percaya padamu, lebih dari dirimu sendiri saat ini."

"Apa yang akan kudapatkan, Boruto?" Sarada meringis ringkih, ia memeluk dirinya sendiri lebih erat.

"Impianmu," jawab Boruto singkat.

Sarada terisak ketika keheningan diberikan Boruto lagi untuknya menjernihkan pikirannya. Kehangatan itu makin terasa, terutama ketika Boruto mengulanginya lagi, aku akan mendukung impianmu! Ingat itu!

.

Hangat sekali, terutama tepukan pada kepala, punggungnya, dan aroma musk yang memenuhi hidungnya. Sarada membuka matanya, dan ia melihat warna hitam jaket Boruto. Ia mengerjap, menemukan dirinya sedikit kebingungan. Padahal ini jelas bukan kali pertamanya memeluk Boruto—mereka telah jauh lebih dari ini—tetapi rasanya agak berbeda.

Sesuatu yang digenggam erat oleh tangannya mengembalikan Sarada pada kenyataannya. Ia mengamati lagi layar ponselnya, masih tertera dengan jelas di layar yang menyala terang, sebuah tiket elektronik menuju salah satu kota di Australia, dan Sarada memandanginya lagi tak percaya.

"Boruto, sungguh, apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Boruto memegangi kedua bahu Sarada. "Ambil foto-foto terbaik yang bisa kau potret! Tunjukkan padaku sebelum kepada editormu." Dia nyengir lebar sambil mengguncang bahu Sarada. "Kau fotografer terbaik yang kutahu, kau pasti akan mampu menangkap bagian terbaik dari sisi-sisi keren alam liar Australia!"

Sarada menatap tiket digital itu dengan mata berkaca-kaca. Sedari dulu, pergi ke gurun Australia adalah cita-cita tertingginya sebagai fotografer alam liar, beserta satwa dan floranya. Australia memiliki keanekaragaman yang membuatnya jatuh cinta dari waktu ke waktu, dan mendokumentasikannya dengan kameranya sendiri adalah sebuah pencapaian luar biasa.

Dan Boruto memberikannya sebuah tiket ke sana dengan bonus akhir tahunnya?

"Seriously ... ayo beli tiket lagi untukmu! Nanti aku yang bayar—"

"Hei, tidak perlu. Lagipula, mana bisa aku berangkat sebebas kau, Sarada?" Boruto mengacak rambutnya. "Kau saja. Kejar impianmu. Aku ada untuk mendukung impianmu, ingat itu? Soal aku, nanti saja kita pikirkan—aku punya impian lain, tentunya setelah aku mengejar tenggat semua pekerjaanku."

"Janji, ya." Sarada menggenggam kedua tangan Boruto. "Nanti kita akan pergi sama-sama."

"Iya, janji." Boruto memeluknya lagi.

Sarada menikmati aroma musk yang hangat itu lagi, aroma favoritnya yang ingin sekali ia abadikan di dalam kepalanya, agar setiap kali mereka berjauhan nanti, ia dapat memanggil memorinya kembali tanpa harus terlalu merindukan Boruto. Aromanya bisa dicari, tetapi kehangatan yang datang bersamanya tidak akan didapat dengan cara lain kecuali dari Boruto sendiri.

"Terima kasih, Boruto ..."

.

"Terima kasih, Boruto ..." Sarada mengerjapkan mata. Samar-samar, ia mencium aroma musk yang tajam, tetapi sesaat kemudian hilang dan berganti dengan aroma kopi yang hangat dan sama tajamnya. Dari mana aroma tersebut berasal?

"Yeah, yeah, yeah, jangan pikirkan itu." Boruto menggosok hidungnya. "Nggak masalah. Sudah tugasku, kan?"

"Tapi ini bukan kewajibanmu." Sarada memandangi lagi coretan mindmap yang dibuat oleh Boruto di dalam tabletnya. Program kerja yang membuatnya nyaris tidak tidur tiga hari sekarang bisa dengan mudah diselesaikan oleh pemuda itu. Yang Sarada butuhkan ternyata bukan brainstorming berhari-hari—hanya perspektif dari orang lain. Sudut pandang yang berbeda adalah hal yang paling dibutuhkan dalam penyelesaian masalah. Sekali lagi ia menatap Boruto dan mata jernih birunya—dan ia tidak dapat berhenti mengaguminya.

"Good luck." Boruto menggenggam tangan Sarada. "Bekerja sebagai aktivis tidak akan mudah—kau melawan banyak orang dan berusaha mengubah hal besar, itu berat, tapi kau selalu punya aku, hm, Sarada?"

Sarada balas menggenggam tangan Boruto, merengkuh jari-jari hangatnya dan ia seperti bisa merasakan kembali aroma musk yang datangnya entah dari mana seperti barusan.

"Tenang saja! Aku akan mendukung impianmu!"

.

"... Aku akan mendukung impianmu!"

Sarada membuka mata dan merasakan pipinya menghangat. Boruto masih berada di hadapannya, menunjuk dirinya dengan bangga, dan cengiran lebarnya membuktikan ketulusannya. Sarada mengerjap-ngerjapkan matanya dengan bingung, ia bisa merasakan sensasi hangat, rasa perih pada sudut matanya, serta aroma musk yang datang begitu saja.

Ia menelengkan kepala. Ia seperti pernah merasakan dan mendengar ini sebelumnya.

"... Meskipun kakek dan ayahku adalah Hokage, aku tidak ingin mengikuti jalan mereka. Impianku adalah menjadi ninja seperti ayahmu."

Sarada merasakan kehangatan itu lagi menjalar ke seluruh wajahnya, dan ia merasakan sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya: sebuah penerimaan dan keyakinan yang tidak perlu dipertanyakannya lagi, bahwa Boruto akan selalu bersamanya dan menemaninya mengejar apa yang ia inginkan. Boruto akan selalu ada.

Selalu.

(Bahkan mungkin di dunia yang berbeda.)

.


a/n: this miserable writer woke up one day dan berpikir bahwa dia menginginkan naruto dan sasuke besanan suatu saat nanti WKWKWK