Readersssssssssssssssssssssssssssss, tercinta!

Author nongol lagi membawakan sebuah chapter~

Hiyahiyahiyahiya kalian dah pada nungguin kah?

Moga aja nih book nggak ditinggal (T^T)

Yaudah, biar nggak kelamaan~

Boboiboy milik Monsta

"Sungguh aku tak apa...": berbicara

'Omong kosong': berfikir/membatin

Enjoy~


Solar mengerjapkan matanya saat sinar matahari mengenai wajahnya.

'Hangat...' sudah lama sekali dia tak merasakan kehangatan sang surya yang menemani Bumi. Belum selesai dia menikmati sedikit kehangatan yang merambat ke tubuh, sebuah ingatan muncul dalam benak membuatnya terjungkal dari kasur.

'Seharusnya aku mati!' Solar meraba tubuhnya. Mencari luka tapi dia tak menemukan apapun, hanya kulit dan tubuh yang masih belum memiliki bekas pertarungan. Solar mencoba mengingat – ingat apa yang sebenarnya terjadi.

'...ah aku menerima tawaran nggak jelas dari sosok yang nggak jelas pula..' Seharusnya dia curiga, namun entah mengapa Solar malah menerima tawaran itu.

'Aku dah gila nih...' Solar tidak akan menyangka kalau yang namanya time travel atau kembali kemasa lalu itu memang benar adanya. Tak lama setelah itu dia tersentak kaget dan cemas. Dilihatnya kamar yang memberikan kenangan manis dan pahit masih berdiri kokoh tanpa ada bekas apapun. Masih seperti apa yang dulu dia ingat. Sekelebat ingatan memberitahunya bahwa dalam beberapa tahun yang akan datang rumah Tok Aba ini pasti akan hancur dengan tanah akibat serangan dari alien. Solar mendengarnya, ya dia mendengar candaan tawa, omelan halus, dan gerutuan keras dari bawah. Seketika itu juga pemilik mata silver itu merasa hatinya tak bisa menahan ingin ia bertemu dengan mereka. Mereka yang tak ia temui selama beberapa tahun lamanya. Jujur saja, Solar masih belum menyiapkan mentalnya bertemu mereka. Walaupun secara mental dia berumur 27 tapi dia merasa sangat lemah untuk melihat saudaranya lagi, bahkan untuk berduka atas kematian mereka belum ia lakukan sama sekali. Solar tahu, kalau menahan itu semua akan menjadi penyakit yang tidak baik untuk tubuhnya. Hatinya sudah sangat hampa untuk mengenal emosi lagi. Hanya dipertarungan terakhir itu saja dia bisa meluapkan rasa sesak dihati, itupun belum semua. Solar mengutuk dirinya sendiri, karena tidak berani melangkah bahkan turun dari ranjangnya untuk menemui saudaranya yang sangat ia dambakan. Dia merasa semua kekuatan terkuras habis darinya dan hanya menyisakan sebuah cangkang kosong tentang Solar yang dulu. Hatinya bimbang. Dia tak pernah memikirkan sejauh ini, berangan – agan saja tidak pernah. Solar tidak pernah berharap bahwa dia bisa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Dia masih delusi bahwa semua ini hanya mimpi, namun setelah melihat kalender yang bertengger di ujung ruangan itu, membuatnya merasa yakin kalau semua yang terjadi sekarang adalah nyata.

'Aku benar – benar kembali ke masa lalu...'


Enam wajah, berparas hampir sama sedang rusuh melakukan kegiatan mereka masing – masing. Mereka sudah siaga dibawah menyiapkan diri untuk sarapan. Tanah dibantu dengan Ochobot memasak sarapan untuk orang banyak. Ya, ramai adalah hal identik di rumah Tok Aba. Tidak ada satu orang tetangga pun yang heran mengapa bisa ada tujuh kembaran di dalam rumah berlantai dua itu. Daun, Api,dan Angin sedang merencakan kejahilan mereka di sekolah, Petir yang dengan santai meminum kopinya, Tok Aba membaca koran pagi, Air yang lanjut tidur di meja makan. Pokoknya kegiatan seperti biasa, tapi tunggu dulu ada yang tidak biasa. Mereka melupakan sosok si bungsu. Cahaya biasanya akan kebawah serentak bersama dengan Air.

"Air, mana Cahaya?" Tanah sebagai sosok emak – emak diantara ketujuh kembaran pun bertanya ke adeknya yang satu kamar dengan si bungsu. Merasa yang ditanya masih molor, Petir pun menyenggol bahu adik kelimanya itu. Untungnya belum di geplak dia.

"Hmn? Bang Tanah manggil?" Air mengucek – ngucek matanya.

"Iya Kebo, aku manggil anda. Mana Cahaya? Kok tumben nggak bareng sama kamu?"

"Entahlah pagi ini aneh. Aku bangun pagi. Kulihat Cahaya masih tidur, jadi kubiarkan dia bobok. Biasanya kan dia yang bangunkan aku" Ice mengedikkan bahu.

"Sebuah keajaiban dunia Air bisa bangun pagi!" Angin yang mendengar ingin banget sujud syukur.

"Lu siapa?! Adek gua nggak bakalan bisa bangun pagi!" Api menodongkan sendok yang abis dia suapin ke mulut ke arah Air. Dia nggak akan percaya datang masa dimana adiknya itu bisa bangun tidur tanpa disuruh.

"Heh! Ngeremehin banget si lu!" Air nggak kalah dalam adu bacot dengan kakaknya yang suka bikin rusuh ini. Dia udah nyiapin garpu digenggaman.

"Yey! Perang antara Sendok dan Garpu! Siapakah yang menang?" Daun menyemangati kedua kakaknya yang udah siap buat tarung nggak jelas.

'... kenapa aku punya adek pada nggak jelas?' Petir membatin dalam hati. Meratapi nasibnya yang mempunyai kembaran rada tidak jelas. Tok Aba menggeleng kepala seperti sudah terbiasa dengan apa yang terjadi. Ochobot si power sphera yang baru saja menjadi salah satu keluarga Tok Aba masih berusaha berbaur dengan si kembaran.

"Tolong panggil Cahaya dong, Air. Sarapan dah siap nih. Kita nggak mau terlambatkan?" Tanah berkata lagi

"Bukankah kita bisa menggunakan jam kuasa kita untuk bergerak lebih cepat?"

"Lebih baik lagi kalau kamu sering melakukan aktivitas supaya lebih nyaman menggunakan jam kuasa" Ochobot memberikan masukan

"Hm. Pemalas" ucap Petir singkat. Trio troube maker tertawa mendengar ucapan menohok Petir sedang Air akhirnya tersulut untuk menjemput si adek.

"Iya deh iya, bentar kubangunkan dulu tuh si swag"


Solar masih berdebat dengan dirinya sendiri. Tentang apa yang harus dia lakukan dari sini. Banyak kejadian penting yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ini semua membuat kepalanya pusing. Solar tersentak mendengar langkah kaki yang mendekat ke arah pintu kamar. Tubuhnya gemetar tidak mengantisipasi hal ini.

'Hadeuh mental ku belum siap betemu dengan mereka semua, tapi bukankah ini yang ku mau?... Mengapa aku malah menjadi seorang pecundang sih!' Ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan.

"Cahaya?"Ah betapa Solar merindukan suara ini. Pemilik manik silver itu tahu persis siapa pemilik suara itu.

'Bentar...Cahaya?... tidak asing...' Solar berusaha mengingat kata itu. Kata yang sepertinya sangat beharga untuknya.

'...oh...oh..oh!... bodohnya aku sampai nama sendiri lupa" Boboiboy Cahaya adalah nama asli Solar. Ya, Solar hanyalah sebuah kode nama yang diambil dari elemen yang dia pegang. Dia mengusulkan kode nama ini pada seluruh saudaranya yang disambut antusias oleh mereka.

'Seharusnya aku tidak melakukan itu...' Seharusnya dia lebih bersyukur menggunakan namanya sendiri. Kini ketukan itu bertambah.

"Cahaya?" Ini kedua kalinya Air yang mengetuk pintu kamarnya sendiri. Air yang berada diluar kamar tempat dia dan Cahaya berbagi ruangan itu mulai merasa aneh. Gini – gini Air itu termasuk orang yang sopan. Takut saja jika dia tiba – tiba membuka pintu, Cahaya lagi ganti baju. Kan jadi canggung. Lama Air menunggu dan masih tidak ada jawaban dari dalam

'Bener dah... jangan – jangan si narsis ini nyontoh perilaku ku yang kurang baik' perilaku yang disebutkan diatas ialah molor. Solar bingung harus bagaimana. Dia bingung harus menjawab. Entah mengapa otak yang dia banggakan seketika buntu tanpa ada ide. Terdengar lagi ketukan dari luar.

"Cahaya? kamu masih tidur? Ini sudah pagi, Tanah sudah menyiapkan sarapan!" Nada ucapan Air meninggi sedikit.

"I-i ya..." Dengan nada bergetar Solar menjawab. Mulutnya kering ingin sekali minum, tapi tak berani keluar dari kamar. Mendengar suara aneh yang keluar dari mulut Cahaya membuat Air bertambah heran.

"Kau tak papa? Aku masuk ya?" Tanya Air yang memegang ganggang pintu.

"Jangan Kak!" Dengan reflek Solar menjawab.

'Haduh?! Kenapa coba kata itu yang malah keluar?!'

"Kenapa?"

"Uummmmmm ah! cairan reaksi kimianya jatuh dilantai dan berce – ceran jadi lebih baik kakak nggak masuk dulu..." akhirnya otaknya mau diajak kompromi.

"Haduh Cahaya, jangan bawa benda berbahaya ke kamar dong"

"Ehehehe maaf Kak, abis aku nggak tahan melihat hasilnya... eh malah jatuh.."

'Ah tahukah kakak, bagaimana aku ingin sekali menekan kata maaf'

"Turun sarapan" Ucap Air singkat.

"Eh Kak um, So-ah! Cahaya bakal nyusul Kakak ke sekolah jadi nggak usah ditungguin" Solar mencari alasan untuk lebih menyiapkan mentalnya bertemu yang lain.

"Ya sudahlah, barangku nggak papa kan?"

"Nggak papa"

"Oke" Air turun kebawah, sebenarnya dia merasakan ada yang janggal dengan Cahaya.

'Nggak biasanya tuh putih...' Dia kembali duduk di kursi yang sama di meja makan.

"Loh mana Cahaya?" Tanah bertanya kembali saat tidak melihat sepucuk topi dari si bungsu.

"Katanya masih bersihin cairan reaksi kimia"

"Huh?dimana?" perhatin Angin teralih dari rapat dadakan anggota TTM.

"Dikamar"

"Ck, tuh anak suka ngerusak properti"

"Sudahlah tuh, Petir" Tok Aba menenangkan si sulung.

"Oh ya katanya dia bakal nyusul"

"Nyusul?" Daun ikut nimbrung.

"Iya"

"Baiklah ku kasih porsinya si Cahaya. Syukur – syukur tuh anak swag mau bersihin ulahnya sendiri"


Solar yang masih di kamarnya merenung. Dia harus memantapkan hati dan pikirannya.

"Aku akan melakukan semua ini dengan benar. Tidak ada lagi korban yang berjatuhan dan akan aku pastikan masa depan yang baik untuk keluarga dan teman - temanku" Mengambil nafas dalam – dalam dia menentukan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuka lembaran baru.

"Namaku Cahaya! Solar adalah kekuatanku! Aku berjanji akan membuat masa depan indah untuk mereka!" Solar yang kini merubah kembali namanya menjadi Cahaya tersenyum kearah jendela yang menampakkan sinar mentari pagi. Dan seperti biasa ekspektasi tak seindah realita. Setelah merasa baikan, Cahaya memutuskan untuk mandi supaya pikirannya bisa lebih clear dari segala gundah dan bimbang yang ia alami. Sehabis mandi, Cahaya tetap didalam kamarnya, memikirkan beberapa hal yang ada dibenaknya.

"Tidak ada yang bisa mengalahkan air dingin untuk menenangkan pikiran" Ucapnya selagi menggunakan baju. Cahaya menatap cermin di depannya. Cermin itu menampakkan wajahnya yang muda sedikit pucat dan mata cokelat yang lambat laun berubah menjadi perak. Seragam sekolah yang telah lama dia lepaskan kini dia kenakan lagi tak lupa dengan sarung tangan putih. Entah mengapa dirinya lebih terlihat seperti mayat hidup, jauh sekali dengan kesannya dulu saat masih bocah.

"Haih... aku harus banyak berolahraga. Jika begini terus aku nggak akan bisa memanggil Pedang Solar ataupun mengeluarkan Sinaran Optical" Sambil menunggu semua orang untuk berangkat sekolah, Cahaya memilih untuk menulis beberapa event yang penting. Otaknya mulai menyiapkan strategi yang memungkin mereka untuk selamat dari semua event itu. Lama Cahaya berfikir hingga ia tidak mendengarkan hiruk pikuk. Dia meyakinkan dirinya untuk kebawah, tak lupa membawa tas sekolah ditangannya. Rumah menjadi sangat sepi saat semua penghuninya keluar. Dilihatnya semua perabotan, sisi ruang, dan segala yang dapat ditangkap oleh indera penglihatannya. Cahaya beranjak ke arah dapur dan melihat sepiring nasi goreng dengan note disampingnya 'makanlah jangan lama' tertulis di note itu. Senyum kecil terukir di wajahnya dia tahu tulisan ini. Tulisan Gempa, oh tidak maksudnya Tanah. Diambilnya tulisan itu dan disimpannya di tas. Cahaya mengambil sendok dan memakan nasi goreng buatan abang ketiga yang tercinta. Rasanya ingin menangis saat merasakan masakan saudaranya yang sangat ia rindukan. Sebenarnya air matanya sudah mau tumpah dari tadi, tapi Cahaya menahannya. Jika memakan ini saja bisa membuatnya menangis apalagi bertemu dengan saudaranya, bisa – bisa Cahaya tidak bisa mengontrol emosinya. Cepat – cepat bocah berpakaian putih itu menenangkan hatinya yang mulai bimbang. Dia harus segera menyelesaikan sarapan paginya dan segera menuju sekolah.

"Aku tidak mau terlambat dihari pertama aku sekolah..." Ucapnya bukan untuk siapapun.

Selesai sarapan, segera Cahaya keluar dari rumah dan memastikan rumah dikunci lalu menuju ke sekolah.

Terbesit dalam benak untuk bermain curang menggunakan kuasanya untuk kesekolah, tapi lompatan cahaya itu khusus untuk kuasa tingkat 2 miliknya yaitu Solar.

"Tunggu!" Cahaya hampir lupa untuk memeriksa hal yang paling penting. Dilihatnya jam kuasa yang ada ditanganya. Ia melihat bahwa kuasa Solar kembali ke tahap satu yakni Sunlight (Cahaya Matahari) dan satu lagi kuasa yang sedang terkunci.

"Kuasa apa ini?... aku tak pernah melihatnya" segimanapun Cahaya menekan simbol terkunci itu, lambang itu tetap tidak bergeming.

"Jadi aku harus mengunlocknya (mencari kuncinya)...gah! Jangankan mengunlock kuasa ini meningkatkan kuasa Sunlight ke tingkat 2 aja udah bikin otakku pusing! Apalagi nanti tingkat tiga... bisa gila..." Untuk pertama kalinya, Cahaya merasakan ia tak terbebani oleh perasaan diincar. Walaupun dia tahu menyelamatkan alam semesta bukanlah pekerjaan mudah.

Mentari pagi memberikan kekuatan lebih pada Cahaya untuk menghadapi hari ini. Setidaknya ia berharap kalau hari ini tidak berubah menjadi sangat buruk. Jantungnya berdebar saat melihat pintu gerbang sekolah.

"Mereka disana... aku akan bertemu dengan mereka... apa aku patut melihat mereka lagi?"


Air merasa gelisah. Seumur hidup Air yang monoton, baru kali ini dia merasa khawatir. Biasanya tugas kek gini itu ada di tangan Tanah dan sekarang dia mengalaminya. Si biang kerok yang membuatnya seperti ini masih belom memperlihatkan batang hidungnya dari tadi. Siapa lagi kalau bukan si bungsu yang masih belum masuk kelas padahal Cikgu Mama sudah mulai mengajar. Tampangnya boleh bomat tapi ia manusia yang masih bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Pssst mana si Cahaya? Bukankah kalian bertujuh sering berangkat bersama?" Tanya bocah disampingnya berambut ungu dengan kacamata. Fang merasa aneh melihat kembar tujuh berjalan hanya enam orang tadi pagi.

"Haish, itu si Cahaya menumpahkan cairan kimianya di kamar, jadi si swag harus membereskan cairannya dulu" Setidaknya Fang berhasil mengalihkan perhatiannya dari mencari tahu keberadaan si adek.

"Jarang banget Cahaya teledor"

'Iya juga ya' Air ikut menyetujui perkataan Fang dalam hati. Suara ketukan terdengar dari pintu membuat perhatian seisi kelas tertuju pada pintu. Cikgu Mama membukakan pintu dan nampak Cahaya terengah – engah.

"Loh, Cahaya? kenapa terlambat?" Cikgu Mama dengan halus bertanya. Dia bisa melihat penampilan Cahaya yang agak serawutan. Biasanya Cikgu Mama bisa dengan mudah melihat murid favoritnya di kelas tapi saat masuk dia tidak menemukan Cahaya sama sekali.

"Ah anu Bu, saya tadi harus membereskan cairan kimia yang tumpah dirumah. Saya takut nanti kalau tidak segera di bersihkan bisa – bisa rumah saya terbakar" Jawab Cahaya sopan. Ia memang salah disini jadi mau tidak mau dia bermain kata. Semua murid dikelas menatap Cahaya yang tengah di tatap oleh Cikgu Mama. Mereka merasa kasihan dengan Cahaya.

"Untuk kali ini Cikgu menoleransi, tapi jika kamu terlambat lagi kamu harus berdiri diluar mengerti?"

"Baik Bu, terimakasih sudah memberikan saya kesempatan" Cahaya tertunduk malu dilihat teman – temannya dan satu saudaranya.

"Ya sudah duduk, mari kita lanjutkan..."

Segera saja Cahaya pergi ketempat duduk yang kalau tidak salah berada disamping Air. Dan bum! matanya bertemu dengan Air. Cahaya tersentak melihat Air yang masih muda dan ekspresi bomat yang selalu terpampang di wajahnya. Mata sedikit silver itu beralih ke arah Fang yang masih setia dengan kacamatanya.

'...aku ingin kabur!'

Fang dan Air merasa aneh dipandang seperti itu oleh Cahaya.

'Ada apa dengan Cahaya?'


Bersambung~

Shishishishishi

Sampai jumpa lagi~

Shunshin no Jutsu! *Author menghilang*