Di tengah ramainya orang di bandar udara Narita Tokyo, perempuan bercelana jins biru gelap model pensil dengan atasan kaos berlengan panjang yang longgar dan menutupi hingga ke pinggang berwarna ungu pucat terlihat sibuk dengan lawan bicaranya di seberang telepon.
"Halo, Ayah? Iya, putri ayah ini masih di negeri tercinta kita."
'Kamu masih di Tokyo?'
"Iya, masih di Tokyo. Hinata kan sudah bilang kalau tidak jadi kemarin pagi perginya. Hinata akan terbang dari sini besok pagi."
'Hanabi sudah menunggu dari semalam.'
"Ya, dan dia menunggu di dalam kamarnya, bukan di Hāěrbīn Tàipíng Guójì Jīchǎng, 'kan?"
'Sudahlah. Ayah pikir kamu sudah di Bandara Harbin. Berarti besok sore saja Sai akan menjemputmu.'
"Kenapa Sai? Memangnya Kak Neji ke mana?"
'Bersama ayah di Vladivostok.'
"Hah? Vladivostok? Ayah sudah di Rusia saja, padahal kemarin masih di Urumqi. Kak Neji juga."
Suara tawa Neji terdengar dari seberang telepon dan itu membuat Hinata kesal. Dia menghentakkan kedua kakinya yang diselimuti sepatu ankle boot berwarna senada dengan bajunya.
"Baiklah. Hinata tutup dulu ya, Ayah."
Belum sempat ayahnya menyahuti, Hinata sudah memutuskan sambungan telepon.
Sementara di sudut lain, ada seorang lelaki bermata biru menatapnya sambil mengulum senyum.
"Jadi ... namanya Hinata. Dasar putri manja. Pembohong ulung lagi."
Suara pengumuman dari pihak China Southern Airlines membuat Hinata mengikuti rombongan orang yang berduyun-duyun keluar––setelah sebelumnya menunjukkan kartu identitas kepada petugas––dari pintu yang menghubungkan ke pesawat yang akan ditumpangi.
Dalam perjalanan menuju pesawat, ponselnya berdering. Dia tersenyum melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Wah, ada apa Putra Mahkota? Anda tidak sabar berjumpa denganku?"
Suara tawa di seberang telepon terdengar merdu di telinga Hinata.
"Aku sedang berada dalam perjalanan keluar dari stasiun, aku sibuk." Hinata berbohong. "Cepat, katakan, ada apa?"
'Tidak. Aku hanya penasaran. Apakah kamu benar-benar menyetujui rencana ayahmu?'
"Memangnya kenapa?"
'Sebelum terlambat, kamu bisa membatalkannya jika kamu tidak menyetujuinya, Hinata.'
"Kita akan bertemu di Harbin, bukan? Nanti kita bicarakan lagi."
'Baiklah, kuharap kamu tidak membatalkannya.'
Telepon pun diputus. Lalu Hinata menonaktifkan ponselnya, setelah itu ia masukkan ke dalam tas selempang kecilnya yang berwarna biru gelap.
Tidak ada yang tahu dari pihak kelurga dan kerabatnya, bahwa dalam delapan sampai sembilan jam ke depan, Hyuuga Hinata akan berada di Harbin, Heilongjiang, China.
Hinata duduk di bangkunya, di dekat jendela, sesuai yang tertera di tiket. Sambil menunggu, dia memejamkan mata. Belum ada tiga menit memejamkan mata, gadis itu dikejutkan oleh suara seorang lelaki yang menyapa.
"Hello, Hai!"
Hinata membuka mata, melirik sekilas lalu kembali memejamkan mata. Lelaki itu duduk di sebelahnya, menatap Hinata yang tampak tidak memedulikan kehadiran si pemuda yang cukup membuat heboh.
"Namaku Uzumaki Naruto."
Tak ada respons sama sekali dari kakak Hyuuga Hanabi itu.
Naruto tak kehabisan akal. Lantas, ia pun berkaya lagi, "Salam kenal, Hinata."
Mata Hinata mendadak dan secara cepat membuka demi melihat si pembicara. Lelaki asing itu mengetahui namanya, tentulah sangat mengejutkannya. Secara refleks, putri Hyuuga Hiashi tersebut menegakkan badan dan kini mereka saling mengunci pandangan satu sama lain.
"Siapa Anda? Bagaimana Anda tahu nama saya?" tanya Hinata bertubi-tubi.
Dia hanya berjaga-jaga saja, siapa tahu orang di depannya adalah penguntit mesum yang sering jadi pemberitaan akhir-akhir ini.
Belum lagi, tangan si pria menjulur untuk berjabat tangan dengannya. Hinata jadi berpikir kalau-kalau melalui jabat tangan, si lawan bicara akan menghipnotisnya.
"Tadi, aku tak sengaja mendengarmu berbicara di telepon."
Pemuda itu masih setia menjulurkan tangan, tetapi tetap saja Hinata tak mengacuhkannya.
"Oh." Hinata melemaskan badan, tubuhnya tidak setegang tadi.
"Hinata, apakah kau tidak berniat menjabat tanganku? Tanganku sudah lelah."
Mau tak mau, Hinata pun terpaksa menjabat tangan pria berambut kuning itu.
Suara pramugari terdengar. Dia meminta para penumpang untuk duduk dan memakai sabuk pengaman karena pesawat akan lepas landas dalam beberapa menit lagi. Hinata dan Naruto memasang sabuk pengaman mereka masing-masing.
Tak lama pramugari itu juga mengulangi perintah yang sama tetapi kali ini dalam Bahasa Inggris.
Tak lama setelah itu, pesawat lepas landas. Menjauhi lapangan terbang, hingga naik ke atas, menembus awan menuju negeri lain.
"Kau mau ke mana, Hinata?" Naruto bertanya ketika dilihatnya Hinata mulai menikmati perjalanan meski arah pandangannya ke luar jendela.
"Arab Saudi!" Hinata menjawab asal.
"Ha ha ha ... candaanmu lucu sekali."
"Sama seperti Anda. Pertanyaan Anda lucu sekali."
"Benar sekali. Sudah jelas kita berada di pesawat yang sama. Pastilah kau juga mau ke Harbin."
Hinata memicing sambil tersenyum getir.
"Kau tau?" Naruto mulai melancarkan aksinya. "Julukan Harbin adalah Mutiara di Leher Angsa."
Hinata tidak tertarik sama sekali. Namun, untuk menjaga muka dan sopan santun, dia terpaksa menanggapi.
"Oh ya?"
"Iya!" Naruto antusias sekali menjawabnya. "Kau tahu kenapa?"
Hinata menggeleng. Sebenarnya dia malas menanggapi, tapi apa boleh buat.
"Karena bentuk Provinsi Heilongjiang menyerupai seekor angsa," jelas Naruto.
Lelaki itu juga mengeluarkan peta dari tas yang dia bawa, lalu menunjukkan lokasi wilayah yang dia bicarakan.
"Terlihat seperti angsa, bukan?"
Hinata mengangguk. Dia memerhatikan peta dan bergumam, "Kupikir julukan Harbin adalah Moskwa Oriental atau Paris Oriental."
"Itu memang benar. Itu semua karena arsitektur Harbin yang terlalu barat."
"Sepertinya Anda tahu banyak tentang Harbin."
"Sepupuku yang cantik dan centil menetap di Harbin. Namanya Ino."
Hinata mengangguk-angguk.
"Kau sudah pernah ke Moskow?" tanya Naruto lagi.
Hinata menggeleng. "Belum."
"Aku juga belum." Setelah itu, Naruto tertawa.
"Tapi aku punya kenalan yang pernah tinggal di sana."
"Wah, tadi Vladivostok, ini Moskow. Tmpaknya kalian sangat menyukai Rusia."
"Tidak juga."
Karena malas meladeni ocehan Naruto, dia memilih untuk kembali memejamkam mata dan berniat tidur hingga pesawat mendarat.
Melihat Hinata yang memejamkan mata, Naruto tak hilang akal untuk mengganggu. Terkadang dia mengeluarkan suara kentut dari mulutnya, menyanyi-nyanyi bahkan mengoceh dengan bahasa asing.
"Susah sekali menganggunya." Naruto mengeluh, lantas ikut-ikutan tidur hingga suara pramugari kembali terdengar untuk menginformasikan bahwa mereka telah sampai di tempat tujuan.
Sekitar pukul tujuh malam, pesawat mendarat di Bandara Internasioal Harbin. Naruto masih saja mengoceh hal-hal yang berkaitan dengan Harbin kepada Hinata. Sepanjang perjalanan dari turun tangga pesawat, menuju lorong-lorong yang akan mengantar mereka ke bangunan utama. Lalu, pengambilan koper atau tas-tas yang mereka bawa, lantas keluar dari bandara.
Hinata berhenti ketika sudah di depan pintu utama bandara. Tentu saja dia kebingungan. Di negeri orang, bahasa beda, budaya berbeda, pada malam hari pula.
Naruto yang memang sudah tahu bahwa Hinata tak memiliki tujuan, sengaja terus-terusan mengikuti gadis itu.
Ketika Hinata hendak memesan hotel, dia ditahan oleh Naruto.
"Kenapa?" Hinata bertanya kesal.
"Kau tidur di tempatku saja. Sekalian aku hangatkan."
Mata Hinata memelotot. "Dasar mesum!"
Naruto tertawa. "Aku hanya bergurau mengenai menghangatkan. Tapi, aku serius ketika menawarimu tempat."
Hinata tampak berpikir. Tidak mungkin dia menghungi Sai atau tiba-tiba memesan taksi dan pulang ke rumah masa muda ibunya. Dia juga sebelumnya mengatakan kalau besok ia akan sampai di Harbin. Akan timbul kecurigaan alasan kehadirannya di Harbin jika ia pulang ke rumah peninggalan sang ibu yang kini sudah pasti Hanabi tengah bermalas-malasan di rumah itu. Intinya dia akan mendapat masalah dan takkan melalukan hal itu.
"Bagaimana, Hinata?"
"Kenapa Anda menawariku?"
"Sederhana. Karena kau tidak memiliki tujuan hingga esok."
"Dari mana Anda ta––dasar penguping!"
Uzumaki Naruto kembali menertawai.
"Jadi, kau terima tawaranku atau tidak?"
"Tidak!"
"Yakin?"
Hinata tampak ragu, tapi harga dirinya dipertaruhkan. Tidak mungkin dia menerima kembali setelah menolak. Akan tetapi, dia pun dilema. Dia tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi berbahasa Mandarin.
"Tentu saja."
Naruto memicing sambil tersenyum miring. "Yakin? Apa kau yakin?"
Hinata semakin kesal dengan perangai Naruto yang sedemikian rupa.
