Unlimited.
He is the Darkness.
He is the Light.
*
*
Chapter 1.
Destiny.
Dalam pandanganku, hanya ada Padang rumput membentang luas, Ku lihat kanan kiriku, menengok kebelakang, lalu kembali kedepan, tetap sama, hanya hamparan padang rumput jauh membentang.
"Dimana ini?, setidaknya yang aku ingat, aku sedang berada di ruang kerjaku".
Perlahan angin menerpa diriku, menusuk kulit kulit ku, merasakan sensasi tersendiri ketenangan yang sudah lama aku dambakan. Yah... benar... kututup mataku lalu membayangkan kehidupanku sebelum aku terdampar disini, ditempat yang tidak aku kenal.
"Hahhh... segarnya angin yang belum terkena polusi, hm... hal yang harus di lakukan jika berada di tempat yang tidak dikenal, jangan panik...ouh ada sungai".
Kulangkahkan kakiku menuju aliran sungai yang mengalir tenang di hamparan padang rumput itu, saat sudah berada di pinggiran sungai, aku melihat diriku dalam pantulan air.
Terkejut, melihat tidak percaya apa yang dipantulkan air terhadapku. Bola mataku yang awalnya biru sekarang menjadi merah darah, rambut jabrik berwarna kuning berhias merah terang di setiap ujung rambutku, dan kumis kucing di pipi kiri kanan ku yang agak samar, hei... siapa pria tampan ini?.
Tunggu!, jangan bilang ini seperti cerita yang sering aku baca di komik-komik terkenal. Sebuah fenomena aneh yang selalu membawa tokohnya kedalam dunia yang penuh akan mana dan sihir. Namun jika benar, kenapa harus aku?.
Berdiri di pinggiran sungai, aku arahkan tangan kanan ku kedepan dengan membuka lebar setiap jari, lalu aku gumamkan salah satu sihir yang aku ingat dalam buku komik.
"Water magic : mirror".
Tiba tiba air sungai yang berada di depanku menjulang hingga terbentuk sebuah cermin air dengan ukuran lebih panjang dan lebar dari diriku. Ku lihat diriku yang agak berisi dengan otot otot yang tercetak dibalik kaus hitam ketat. Celana hitam katun dan sepatu kantoran yang menutupi bagian bawahku.
Berbalik dari cermin air itu dan ku perhatikan lagi sekeliling.
"Jika ini adalah dunia yang seperti itu... ada kemungkinan banyak sekali Ras di sini. Manusia, elf, dark elf, orc, goblin, iblis, dan sebagainya. Kemungkinan naga bahkan dewa pun ada di sini."
Ku dongakkan kepalaku pada langit yang cerah, melihat setiap awan putih melewati sinar mentari.
"Jika aku memikirkan cara untuk kembali mungkin... itu akan memakan waktu yang panjang. Lebih baik ku nikmati saja alur cerita ini, sebuah takdir yang entah akan membawaku ke mana."
"Crafting magic : style".
Kuucapkan sihir, perlahan tubuhku bersinar, dan saat sinar itu mereda, terlihat diriku yang sudah berbeda dari awal aku terlempar ke sini. Jubah putih dan balutan garis berwarna emas ( jubah hitam kirito dari SAO), cincin berwarna emas di setiap jari tangan kiriku, baju berwarna putih polos, celana katun putih, serta sepatu kantoran berwarna putih (style celana dan sepatu mafia).
Bercermin di cermin air yang tadi ku buat, tersenyum, berbalik dan berjalan menjauh dari cermin air yang sekarang telah hilang di gantikan dengan ketenangan aliran air sungai seperti biasa, melangkah di setiap langkah, ku pandang lagi pemandangan yang indah.
Ku berhenti, berbalik kebelakang dan mendongak menatap langit biru cerah dengan sedikit awan.
"Aku, Naruto Namikaze/Uzumaki, anak dari pasangan Minato Namikaze dan Kushina Uzumaki serta Saudara tertua dari tiga bersaudara. Namun karena suatu kecelakaan mereka semua telah tewas, dan hanya aku yang berhasil selamat. Hingga kini, aku tidak ingat bagaimana kecelakaan itu."
Berjalan kembali menuju hutan terdekat, aku langkahkan kaki ku dengan penuh keyakinan.
"Mari kita lihat, takdir mana yang akan ku ambil."
*
*
Berjalan mengikuti kemana arah kaki ku mengarah, menyusuri hutan yang tinggi menjulang, hijau, tanpa ada sampah sampah berserakan. Persis seperti dunia yang aku inginkan.
Setelah aku keluar dari hamparan padang rumput dan masuk kedalam hutan, aku belum menemukan satupun mahkluk buas. Hanya ada burung burung berkicau, serangga, kelinci, rusa, dan sejenisnya. Tidak ada iblis, elf, dark elf, orc, goblin bahkan slime pun aku tidak melihat para makhluk itu.
Tetap melangkah, seperti tanpa arah. Hei... aku tidak punya kompas maupun ponsel yang seperti di dunia ku sebelumnya, jadi wajarkan aku berjalan lurus kedepan?.
Ku lihat langit yang sudah agak gelap, hm... mungkin sudah sore, pikirku.
SRAKKK SRAKKK
Berbalik kebelakang dengan cepat sembari ku ciptakan sebuah katana yang terbuat dari api, dan jika kalian bertanya kenapa aku bisa melakukan hal seperti itu, jawabannya adalah aku pun tidak tau, reflek ku mungkin.
Ku lihat semak semak yang bergerak kasar di hadapanku, seperti ada yang bersembunyi di baliknya. Perlahan ku dekatkan diriku, berjalan perlahan mendekati semak-semak.
Setelah tanganku menyentuh semak-semak, ku kibaskan tanganku dengan cepat. Terlihatlah seekor rubah berwarna orange dengan corak hitam menyambung dari telinga hingga matanya. Terbaring lemah di atas tanah, menggeram pelan seperti menahan sakit.
Ku lihat tubuhnya, dan terkejut atas apa yang tercetak di tubuh rubah kecil itu. Sebuah luka yang menjalar dari kaki hingga sendi, dan terdapat beberapa sayatan di bagian tubuhnya.
"Bertahanlah teman kecil."
Ku hampiri rubah itu, tak memperdulikan sebuah geraman hewan siap menerkam.
"Heal".
Ku ucapkan sihir, dan perlahan cahaya berwarna emas keluar di telapak tanganku, yang sebelumnya sudah menghilangkan pedang api yang secara tak sengaja tercipta. Ku dekatkan tanganku, menyentuh tubuh rubah kecil itu. Perlahan luka bakar dan sayatan di tubuhnya menghilang, menciptakan sebuah pemandangan seekor rubah yang sehat dan lucu. Fiuhh... ternyata sihir ini dapat menguras sedikit staminaku, hm... yeahh wajar saja karena aku sudah menggunakan tiga sihir sekaligus. Lemah? tentu bung, aku anak baru di dunia ini.
"Sekarang lukamu sudah sembuh teman kecil, pulanglah... hari sudah mulai gelap, sangat berbahaya bagi hewan lucu sepertimu berkeliaran malam malam."
Ucapku pada rubah itu, namun bukannya pergi, dia justru mendekatiku dengan mengusapkan kepalanya pada diriku. Saat tatapanku dan rubah itu terhubung, aku dapat merasakan suatu kesakitan di dalamnya. Sedih, marah, kecewa dan sebagainya.
"Apa kau kehilangan keluargamu?."
Seakan mengerti apa yang aku ucapkan, dia menurunkan telinganya.
Benar dugaanku, saat pertama kali melihat rubah ini penuh luka ternyata akibat sebuah peristiwa yang sulit tuk digambarkan. Jika benar, maka sudah pasti ini adalah tindakan kekejaman dari para iblis. Bukan hal aneh mengingat, mereka adalah makhluk yang menempati Abyss.
Tapi... aku tak melihat sama sekali kerusakan disini, apakah rubah ini berjalan menjauh dari pertempuran dengan keadaan terluka seperti tadi. Hm... sungguh kuat kau berjalan jauh hingga kemari teman kecil.
Ku usap kepala rubah itu memberi kehangatan dan ketenangan, ku raih dia, dan menaruhnya di atas kepalaku. Mengingat... dia cukup kecil untuk rubah dewasa.
Berdiri, aku melihat sekeliling hutan yang gelap. Mataku dapat melihat karena dibantunya sinar rembulan yang melewati sela-sela dedaunan. Ku pejamkan mataku, lalu kupusatkan mana ku pada satu titik. Kenapa aku bisa melakukan itu?, tanyakan kepada para pembuat manga yang hebat itu bung.
"Scane : Detect"
WUSHHHH
Tekanan udara rendah menyebar dengan pusat berada dari diriku, menyebar kesegala penjuru hutan. Aku melakukan ini agar dapat mencari dimana letak sebuah kerajaan, lebih bagus sebuah desa kecil. Sangat beresiko jika aku yang pada dasarnya orang asing di dunia ini tanpa identitas masuk ke sebuah kerajaan bukan?.
Kepalaku menangkap sebuah kehidupan, tepatnya sebuah desa kecil. Bagus, dengan ini aku bisa beradaptasi dari hal kecil. Namun, oh ayolah kenapa desa itu sangat jauh?.
DEG
Uhuk... tubuhku berlutut menahan berat badanku yang hampira ambruk, darah segar sedikit keluar dari sela mulutku. Ternyata sihir beradius luas ini sangat beresiko, apa lagi fisikku yang masih sangatlah lemah. Cih...
Perlahan ku berdiri, takut membangunkan seekor rubah yang tertidur lelap di atas kepalaku. Lalu ku ambil langkah awal, memulai debut pertamaku di dunia ini.
"Nah... sekarang, jalan apa yang akan menuntunku di masa depan hm?".
*
*
*
"Gahhh hahh hahh."
Mataku terbuka lebar, dengan nafas yang terengah-engah. Apa yang kulihat saat pertama kali adalah sebuah atap kayu, dengan cahaya remang-remang berwarna kuning keemasan. Ku edarkan pandanganku pada sekeliling ruangan yang aku tempati, sebuah kamar sederhana dengan interior yang terbilang sederhana pula. Apa yang terjadi, pikirku.
"Luka tusuk!."
Ku raba bagian dadaku, dan yang kurasakan adalah sebuah perban yang menutupi seluruh badanku. Aku berhasil selamat?, sebenarnya apa yang terjadi. Ku mencoba mendudukkan diriku, namun sebuah suara menghentikan niatku.
"Sebaiknya kau tetap baringkan dirimu nak."
Suara berat menarik perhatianku, ku tengok dimana sebuah pintu berada dengan dua orang yang perlahan masuk dari arah sana. Wajahku tiba-tiba memerah, bukan bukan... aku tidak terpaku pada pria berotot dengan brewok tebal itu, namun aku terpaku pada seorang wanita yang mengekor dibelakangnya. Tinggi yang tak lebih dari pinggul pria itu dan tak lebih tinggi dari bahuku. Rias bouchou, maafkan aku... aku telah jatuh cinta pada wanita lain.
"Ehem, kemana dirimu melihat nak?."
Diriku tersadar akan deheman dari pria itu, kugarukkan kepalaku yang tidak gatal menahan malu. Aku melihat sejenak wanita itu, mukannya datar cukkkk.
"Maaf sebelumnya, namun apakah anda yang sudah menyelamatkan saya?."
Pria itu mengangguk dengan tangan yang di lipat di depan dadanya.
"Terima kasih, berkat anda, saya bisa lebih lama menikmati hidup ini."
Aku sedikit membungkuk kan diriku, berusaha memberi hormat walau sesekali meringis menahan sakit karena luka yang ku tebak belum sepenuhnya merapat.
"Tidak usah memaksakan dirimu untuk memberi hormat anak muda, kesopananmu dalam berucap sudah lebih dari cukup bagiku."
Pria itu berucap dengan perlahan dirinya menarik kursi yang tersedia di samping ranjang yang aku tempati, duduk disana dengan tetap melipat kedua tangannya. Wanita yang mengekor dirinya sebelumnya tetap berdiri di belakangnya.
"Jadi, bagaimana kau bisa menerima luka itu nak?. Kau tau?, luka yang hampir sedikit lagi mengenai jantungmu itu bukanlah luka yang di dapat akibat latihan."
Aku terdiam mendengar ucapan pria tua itu. Benar, luka di dadaku... adalah luka bekas pertarungan diriku melawan Kokabiel. Dimana dirinya ingin melakukan Great War jilid dua, dengan mencoba membunuh Rias bouchou sebagai langkah awal. Namun lengahnya diriku mengakibatkan aku tertusuk pedang cahayanya dan sebuah sinar menyilaukan pandanganku. Cih... selemah inikah dirimu Issei?.
"Hallo... masih ada orangkah disini?."
Tersadar dari lamunanku, lalu menatap pria tua dan wanita itu yang memandangku cemas.
"Ah... maaf karena sudah bertindak tidak sopan tuan."
"Tidak apa apa, jadi... bisa kau jelaskan?."
Terdiam sebentar, mungkin lebih baik aku menyembunyikan hal ini. Karena bagaimanapun, beliau tetaplah orang asing.
"Maaf, namun aku tidak bisa mengingat apa apa. Yang aku ingat adalah saat aku bertarung melawan sosok yang kuat, dan berakhir seperti ini."
Pria itu memegang dagunya, berfikir.
"Hm... aku mengerti, untuk sekarang kau menetaplah disini. Anggaplah tumah sendiri dan selamat datang di keluarga ku err... siapa namamu?."
Wanita yang berada di belakang pria tua itu menepuk wajahnya dengan menggeleng pelan, ah ternyata kami belum saling menanyai soal nama.
"Issei Hyoudou, itu namaku tuan."
"Issei yah... baiklah, aku erlza, dan wanita dibelakangku adalah putriku, Francesca."
Wanita itu melangkah kesamping pria tua itu.
"Aku Francesca, salam kenal Issei-san."
Francesca (Isekai wa Smartphone) sedikit membungkukkan badannya, anggukan kepalaku sebagai respon atas perkenalan kami.
"Ini sudah terlalu larut, sebaiknya kau kembali beristirahat Issei."
Erlza (Imajinasikan sendiri) berdiri dari duduknya, lalu pergi meninggalkan aku dan Francesca.
"Semoga kau cepat sembuh Issei-san."
"Terima kasih Francesca-chan."
Francesca sedikit memerah di pipinya, lalu pergi meninggalkan aku seorang disini. Dia tadi memerah?, serius?, kemana kedatarannya tadi?.
Ku palingkan wajahku pada jendela, menatap langit malam dalam diam.
"Kau menyadarinya bocah?."
Sebuah suara menggema di kepalaku.
"Ddraig, benarkah kemungkinan nya?."
"Tidak salah lagi, ini bukanlah dunia yang kita kenal. Dan pria tua itu."
"Erlza-san?, apa maksudmu?."
"Pria tua itu... kuat."
*
*
*
