Unlimited
Chapter 3
Viewpoint
Perlahan ku buka mataku, hal yang pertama ku lihat adalah langit rumah kayu yang sedikit usang di makan waktu. Ku dudukan diriku melihat sekeliling, dimana ini?, ah benar... aku membantu penduduk ini saat di serang oleh sekelompok kesatria. Apakah mereka selamat? ku harap mereka baik baik saja.
"Ah... kau sudah terbangun nak".
Aku menoleh kearah pintu dimana berdiri seorang pria tinggi berotot, rambut merah panjang hingga punggung, janggut yang tebal dan sorot mata yang tajam. Aku berkeringat dingin sesaat setelah merasakan hawa yang tidak mengenakkan yang sepersekian detik dia pancarkan, ngeriii euyy...
"Terima kasih telah merawatku, paman."
"Justru akulah yang harus berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkan diriku, anakku, serta nyawa para werewolf yang tersisa".
Pria berotot itu duduk di kursi yang tersedia, sedikit membungkuk kearahku yang membuat diriku tidak enak hati dibuatnya.
"Angkat dirimu paman, aku tidak pantas mendapatkan hal seperti itu".
Paman itu menegakkan kembali dirinya lalu tersenyum kepadaku.
"Ternyata kau pun rendah hati nak."
Aku hanya dapat tersenyum kaku saat sang paman mengucapkan hal itu.
"Bagaimana kondisimu nak?"
Ku tatap sebentar mata pria itu, lalu aku palingkan menatap Langit-langit rumah dengan memegang dadaku. Sakit akibat luka dalam yang sebelumnya aku rasakan masih terasa di sekujur tubuhku, terutama jantung yang bisa kurasakan masih terpompa cepat akibat terlalu memaksakan diriku dengan tubuh yang belum sepenuhnya kuat. Wajar saja hal itu terjadi mengingat aku belum lama di dunia ini dan sudah memakai skill yang terbilang over power yang aku tiru di komik komik yang aku baca.
"Lebih baik paman, sekali lagi terima kasih."
Ku bungkukkan diriku, menunjukkan rasa terima kasih dan hormatku kepada orang yang telah menyelamatkan diriku.
"Aku menolongmu tentu belum bisa membayar atas apa yang telah kau lakukan pada kami, ras werewolf yang tersisa. Siapa namamu nak?."
"Naruto, Naruto Uzumaki"
"Naruto ya... aku Regi, raja werewolf merah, satu dari tiga raja werewolf yang tersisa."
Aku terkejut saat mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut paman atau king Regi ini, dari tiga raja yang tersisa?, apa maksudnya?.
"Pa... raja Regi, maaf sebelumnya namun, jika boleh tau, apa maksud dari kalimatmu yang terakhir?."
Raut wajah paman itu tiba-tiba sendu, apa aku menginjak ranjau yang seharunya tidak aku bahas?.
"Benar... werewolf terbagi menjadi tiga kubu, merah, hitam, dan putih. Walau kami terbagi menjadi tiga kubu namun tidak pernah ada konflik diantara kami, hidup damai dan berdampingan di masing-masing wilayah yang telah di setujui, tanpa ada senjata yang terhunus pada setiap tubuh kami."
"Lalu, kenapa anda bisa berucap bahwa anda adalah raja werewolf yang terakhir?".
King Regi menarik nafasnya, lalu mengeluarkan perlahan dengan menatap jendela yang terbuka.
"Manusia, merekalah yang telah melakukan pembantaian akan ras kami. Tanpa belas kasihan, wanita maupun anak-anak, para manusia itu membunuh kami bagaikan hama yang tak pantas hidup di dunia ini."
Tunggu, jangan bilang.
"King Regi, apa maksudmu itu..."
King Regi menatap diriku datar, membuat aku semakin yakin apa yang aku pikirkan.
"Benar apa yang kau pikirkan Naruto, saat hari dimana kau menyelamatkan kami, red werewolf, hari itu jugalah yang menjadi hari pembantaian kami semua."
Jantungku seakan berhenti berdetak, saat mendengar fakta bahwa pelaku dari kehancuran ras werewolf adalah karena ras ku sendiri, manusia, tapi... kenapa?.
"Kenapa mereka, ras ku melakukan hal keji seperti itu pada kalian King Regi?."
Sang paman berdiri dari duduknya, berjalan kearah Dimana jendela terdekat berada, menatap keluar dengan raut yang sedih.
"30 tahun lalu, semua ini dimulai, saat dimana invasi besar besaran yang dilakukan oleh raja iblis kepada kami, tepatnya kepada seluruh ras yang ada di dunia.
Saat itu, seluruh ras bergabung menjadi satu untuk melawan raja iblis yang bisa dikatakan mustahil untuk dikalahkan, namun keajaiban tiba, tepat dimana saat kami sedang terpojok... langit tiba-tiba bersinar terang, dengan turunnya sosok indah bercahaya dibaluti armor emas serta sayap putih membentang menunjukkan keindahannya."
Sang paman mengangkat tangannya setelah melihat kupu-kupu terbang dan singgah di jarinya.
"Kami menyebutnya Lucifer sang pahlawan. Dan setelah itu kami bisa membalikkan keadaan yang akhirnya membuat raja iblis kalah telak. Namun, setelah lima tahun kedamaian berlalu, para manusia mendeklarasikan perang kepada kami ras lainnya. Mereka mulai memburu kami, bahkan ras naga pun mereka perangi, bahkan hingga saat ini... kami tidak tau apa penyebab yang membuat mereka, manusia menjadi seperti ini."
Terdiam, lalu menundukkan kepala... aku tidak tau lagi harus berkata apa, atau melakukan apa setelah mengetahui penyebab kenapa ras ku, manusia... melakukan hal keji seperti ini.
Perlahan air mataku keluar dari tempatnya, menetes membasahi selimut yang ku genggam erat menahan sakit akibat cerita yang memilukan.
"Ma... maafkan aku paman, maafkan kami sebagai manusia yang telah bertindak berlebihan hiks..."
Berucap tanpa mengangkat kepalaku karena malu menatap langsung sang raja Regi yang sekarang berjalan kearahku.
Tepukan di bahu membuatku berjengit, perlahan ku angkat kepalaku menatap sang paman yang sekarang tersenyum tulus kearahku.
"Ini bukanlah salahmu nak, bagaimanapun... kau tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini."
"Ta... tapi aku manusia paman, aku adalah ras yang telah membuat ras... rekan dan keluargamu menderita hiks."
"Jika kau adalah manusia seperti manusia lainnya, kau tidak akan pernah membantu kami saat dalam kondisi terdesak. Itu sudah membuktikan bahwa kau bukan bagian dari mereka."
Raja Regi melepaskan tangannya di bahuku, menarik nafasnya pelan lalu menghembuskan perlahan.
"Kau adalah..."
DEG DEG
"AAAAHHHKKKK"
Sakit, sungguh sakit... apa ini?, ku remas rambutku dengan kedua tangan ku, mengertakkan gigiku menahan darah yang perlahan keluar dari sela selanya. Tubuhku panas, setiap urat ku menegang. Kenapa ini? apa yang terjadi ahkkk. Perlahan pandanganku mulai tak jelas, kegelapan sedikit demi sedikit memakan sinar yang semakin sedikit ku lihat, dan setelah itu... kegelapan kembali menyelimuti diriku.
*
*
*
Satu minggu berlalu, dan selama satu minggu itu juga aku berlatih yang bisa ku katakan neraka dunia. Setiap harinya aku terus di hantam oleh pedang dan sihir oleh paman yang tak ingin aku lemah saat masuk ke guild petualang nanti. hantaman di pundak, perut, kepala, hingga patahnya beberapa tulang lenganku yang selalu dia sembuhkan lalu patahkan lagi. kalian bisa membayangkannya?, tentunya bukan? ahahaha uhk...
BUAKHHH WUSHHH SRAKKKK
Terpukul jauh setelahnya menggesek tanah, sakit perih yang ku rasa seakan belum lah cukup untuk kepuasannya. Sekuat tenaga ku angkat tubuhku berdiri, tangan yang bergetar ku coba hunuskan pada orang yang di depanku, namun tak lama aku berlutut. Ayolah... apa lagi ini?, sebuah sihir berwarna biru dua kali lipat lebih besar dariku meluncur dengan cepat kearahku.
Kematianku mungkin lebih cepat heh.
"Kau menyerah bocah?".
Ku buka lebar mataku penuh amarah, bangkit lalu ku pasang kuda kuda melebar dengan pedang ku tarik setengah kebelakang.
"TENTU TIDAK!!"
"First Technique, Dragon Roarr."
Dengan cepat ku tebaskan pedang secara horizontal, menimbulkan efek angin kejut dilapisi api berwarna merah gelap menghantam bola sihir itu dan membelahnya mengakibatkan ledakan besar.
DUARRRRR.
"Hahhh...hahhh...hahhhh."
Deru nafas terdengar jelas dari mulutku, dengan tubuh yang setengah ambruk karena ku tahan dengan pedang yang ku tancapkan agar bisa menopal tubuhku yang sudah kehabisan tenaga.
"Ahahahaha... teknik yang hebat, dan itu baru yang pertama yang kau tunjukkan padaku heh"
Dari balik asap yang mengepul, dengan samar terlihat bayangan seorang pria gagah berotot, rambut merah panjang terurai sampai punggung, dan menyimpan pedangnya di pundak.
Berjalan perlahan dengan wajah angkuhnya, lalu berjongkok tepat di depanku.
"Kau telah tumbuh sangat kuat, Issei."
Tersenyum, lalu ku pejamkan mataku menghiraukan rasa sakit yang sedari tadi kurasa.
*
*
Perlahan Issei membuka matanya, hal yang ia lihat adalah langit langit rumah yang bersih tanpa ada jaring laba-laba di sudut-sudutnya.
Mendudukkan dirinya, Issei lalu memegang kepalanya.
"Kehh, walau luka yang aku dapatkan kemarin sudah tidak ada, namun sakitnya masih tetap ku rasa."
"Mengerutu seperti itu tidak baik Issei-san."
Issei menatap kearah dimana suara itu berada, terlihat Francesca berjalan dengan membawa sarapan lalu dia taruh di meja terdekat.
"Ahh Francesca-chan, Terimakasih."
Francesca memalingkan wajahnya yang memerah, membuat issei bingung dibuatnya.
"Anoo... kau kenapa Francesca-chan?."
Tanpa menjawab pertanyaan Issei, Francesca berjalan keluar dari kamar Issei yang semakin membuat Issei bingung akan hal itu.
"Kenapa dengannya?."
"Setidaknya sadarlah sedikit dengan ucapan dan penampilanmu bodoh."
Ddraig berucap membuat Issei semakin blank karena walaupun satu Minggu dia berada di neraka (pelatihan), namun otaknya sedikit sulit untuk mencerna kalimat kalimat yang berat.
"Gimana sih maksudnya?."
"Bodolah, gini amat punya wadah."
"Wooii!!."
*
Issei turun dari atas menuju lantai bawah, tempat dimana ruang keluarga berada. Disana terlihat Erlza sedang mengasah pedangnya, istrinya sedang mencuci piring dan Francesca tengah bersiap untuk berangkat bekerja.
"Erlza-san."
Erlza menengok kearah dimana Issei berjalan mendekat, dia lalu menaruh pedangnya, mempersilahkan Issei duduk di kursi yang berhadapan dengan dirinya.
"Jadi, apa kau sudah yakin dengan keputusan dan kekuatanmu nak?."
Menarik nafas dalam, Issei hembuskan dengan perlahan.
"Tentu Paman, aku siap untuk menjadi petualang."
Issei berucap dengan mantap, tak ada sedikitpun keraguan di dalam diri maupun sorot matanya, Hal itu membuat Erlza menghela nafas pelan diikuti senyuman tipis di wajahnya.
"Jika itu keputusanmu baiklah, namun perlu kau ingat... jangan sekali kali kau membanggakan kemampuanmu di depan banyak orang, bagiku... dirimu hanyalah serpihan pasir di luasnya padang rumput."
Mengisyaratkan untuk menunggu, Erlza berdiri ke kamarnya... tak lama kemudian dia kembali dengan membawa sebilah pedang berwarna merah gelap dengan corak naga emas melingkar di gagangnya. Simpel namun elegan bisa ku bilang ahaha.
"Ambillah, ini adalah pedang garis keturunan ku yang tak pernah hilang ketajamannya. Suatu saat, ini akan sangat berguna bagimu."
Tanpa ragu Issei menerima pedang itu dengan hormat, menarik sedikit pedang dari sarungnya, lalu memasukkan kembali diikuti badan membungkuk.
"Terima kasih paman, aku berjanji akan selalu menjaga dan merawat pedang ini untukmu."
"Aku percayakan padamu. Francesca!, antar sebentar Issei ke guild petualang dan bantu dia mendaftar, kau masih memiliki waktu sebelum bekerja bukan?."
Francesca yang telah selesai membantu ibunya berbalik menatap ayahnya, lalu menatap Issei yang menatap dirinya grogi dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Baiklah ayah."
Issei dan Francesca pamit pergi, diikuti dengan suara pintu yang tertutup. Istri Erlza mendekat kearah suaminya.
"Kau yakin sayang?, jika Issei-kun itu adalah dia?."
"Entah anak itu adalah dia atau bukan, namun yang jelas aku percaya bahwa dia adalah reinkarnasi darinya."
Istri Erlza hanya tersenyum mendengar kalimat percaya diri dari suami, mencium pipi Erlza lalu pergi ke arah dapur. Perlahan tatapan Erlza menajam, menatap lurus kearah pintu yang sebelumnya di gunakan oleh Issei dan Francesca keluar.
"Perjalananmu masih panjang nak, kau akan menemui begitu banyak kesulitan, entah itu fisik atau mental, disakiti atau dikhianati, atau selamat di antara hidup dan mati. Jika saat itu tiba, percayalah pada dirimu dan kekuatanmu, dan bawalah kedamaian untuk dunia ini... juga untuk anakku."
