Disclaimer : Naruto bukan punya gue. Titik.
.
Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27
.
Warning : SASUNARU, BL! OOC (sudah jelas, ini fanfiksi BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya.
.
Sinopsis:
Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja keras untuk sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda manja itu?
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
"Kenapa kau melamun di kamar lagi, Shikamaru?"
Shikamaru menoleh ke arah pintu kamarnya, di mana sang ayah sedang berdiri sambil bersedekap. Pemuda berambut nanas itu menghela napas, lalu menatap keluar jendela lagi.
Shikaku menghampiri sang anak, "Apa kau masih memikirkan Naruto?"
"Tentu saja, Ayah. Dia menghilang gara-gara aku ceroboh."
"Bukan salahmu, Shikamaru. Itu murni kecelakaan."
Shikamaru menggeleng, "Kalau saja aku bisa mencegahnya berlari ke tepian sungai itu, dia tak akan jatuh, Ayah." Pemuda itu menyentuh dahinya, menutupi matanya yang berkaca-kaca, "Semua itu salahku." Gumamnya dengan suara parau.
Shikaku menghela napas. Sejak Naruto tercebut di sungai lalu menghilang, Shikamaru menjadi lebih pendiam dan selalu murung. Dia hanya keluar untuk mengerjakan tugasnya di peternakan, selanjutnya ia akan mengurung dirinya di dalam kamar.
"Kenapa kau sampai seperti ini hanya karena Naruto menghilang?"
"Hanya? Ayah bilang hanya?!"
Kening Shikaku mengerut, dia mulai curiga, "Shikamaru, jangan-jangan … kau …"
Shikamaru mengangguk, "Ya, Ayah. Aku suka pada Naruto."
"A-apa? Bagaimana bisa?"
"Entahlah. Awalnya aku hanya kasihan padanya, tapi entah sejak kapan … perasaaanku padanya mulai berubah." Shikamaru menatap mata sang ayah, "Apa Ayah keberatan? Apa Ayah menganggapku menjijikkan?"
Shikaku terdiam, dia bingung mau menjawab apa. Masalahnya Shikamaru dan Naruto sama-sama laki-laki, dan Shikamaru adalah anaknya satu-satunya.
"Ayah ini memang orang tuamu, Nak. Tapi Ayah tidak berhak ikut campur dengan urusan pribadimu, apalagi sekarang kau sudah dewasa. Lakukanlah apapun yang kau suka, asalkan tidak bersifat negatif, tidak merugikan dirimu, tidak pula merugikan orang lain. Dan apapun keputusanmu, Ayah dan Ibu akan selalu mendukung, akan selalu menyayangimu."
Shikamaru menggigit bibir bawahnya. Setetes air mata meluncur di pipinya. Pemuda itu kemudian berdiri, kemudian memeluk sang ayah, "Terima kasih, Ayah. Kau memang ayah terbaik di dunia." Gumam Shikamaru. "Aku tidak akan menyerah mencari Naruto, karena aku yakin kalau dia masih hidup."
Shikaku menepuk punggung sang anak, "Ya, Nak. Carilah Naruto. Temukan dan bawa dia pulang."
"Ya Ayah. Aku berjanji."
.
.
.
Sasuke mengatur napasnya yang terengah.
"Sudah lebih tenang, Sasuke?"
Sasuke tidak menjawab. Dia terlentang di atas tanah sambil menatap langit biru. Ah, dia jadi ingat mata biru Naruto. Kekasihnya itu sedang apa, ya? Sasuke berharap dia baik-baik saja.
Pemuda berambut hitam itu mengangkat tangan kanannya yang terluka karena dia mengamuk semalam. Lukanya sudah hampir sembuh. Wolf memang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka di tubuhnya, tapi tetap saja memerlukan waktu.
"Bagaimana keadaan Kyuubi, Itachi?"
"Sudah lebih baik, tapi dia belum sadar." Kata Itachi. Pemuda itu melirik Kyuubi yang sedang tertidur di sebelahnya, "Aku benar-benar ingin mencabik bajingan yang berani melukai Kyuubi."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" Sasuke hendak berdiri, namun Itachi mencegahnya.
"Jangan gegabah, Sasuke. Akatsuki bukanlah lawan yang bisa dengan mudah ditaklukan. Kita perlu menyusun strategi."
"Strategi?"
Itachi mengangguk, "Benar. Aku tidak ingin kau dan Kyuubi terluka, aku juga tidak ingin mereka menyakiti Naruto di sana, jika kita bertindak gegabah tanpa pemikiran yang matang."
"Lalu aku harus bagaimana? Pasanganku ketakutan di luar sana! Bisa jadi dia sedang disiksa–"
"Sasuke!" Itachi menyela. Dia menyentuh kedua bahu Sasuke, "Tenanglah. Naruto akan baik-baik saja. Target mereka yang sesungguhnya adalah kita."
Sasuke menghela napasnya yang terasa berat, "Kau benar. Semoga saja mereka tidak menyakiti Naruto."
"Setelah Kyuubi sembuh, kita akan pergi ke Hutan Barat, di sana ada kenalanku yang bisa membantu."
"Siapa?"
Itachi tersenyum misterius, "Nanti kau akan tahu."
Sasuke tak menjawab. Dia kembali merebahkan tubuhnya, lalu menatap langit biru yang membentang di atas kepalanya. Pemuda itu hampir memejamkan matanya ketika erangan Kyuubi terdengar.
"Mmhh …"
"Kyuu? Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?" Itachi membantu Kyuubi untuk duduk, "Syukurlah lukamu sudah menutup."
Kyuubi menyandarkan kepalanya di bahu Itachi, "Aku baik-baik saja, Itachi. Ini bukan luka serius."
Itachi tersenyum, lalu mengacak rambut Kyuubi, "Bukan luka serius? Tapi kau tidak sadarkan diri semalaman."
Kyuubi tertawa kecil, tetapi sejurus kemudian senyumnya menghilang. Mata pemuda itu terbelalak ketika melihat pemandangan di sekitarnya, "Apa yang terjadi? Kenapa hutannya hancur begini?"
"Adikku yang tampan ini mengamuk." Sindir Itachi.
Kyuubi menggigit bibir bawahnya. Dia menegakkan tubuhnya untuk menatap Sasuke yang sedang berbaring tak jauh darinya, "Maafkan aku, Sasuke. Aku–"
"Bukan salahmu." Sasuke menginterupsi.
"Tapi, tetap saja. Seharusnya aku bisa menjaga Naruto dengan baik."
Sasuke menghela napasnya, lalu duduk tegak, "Sudah ku bilang bukan salahmu. Mereka tidak datang sendiri, kan?" katanya, "Lagi pula, kau sudah berusaha melindungi Naruto dengan baik, bahkan sampai babak belur begitu."
Kyuubi tak menjawab.. Dia menunduk, tatapan matanya berubah sendu. Naruto adalah satu dari segelintir orang yang tidak memandangnya buruk. Biarpun dia sering berkata ketus pada Naruto, tapi Kyuubi peduli pada pemuda berambut pirang itu. Kalau tidak, untuk apa dia melawan gerombolan serigala yang berusaha menyerangnya?
Kyuubi mendongak ketika sebuah tepukan mendarat di kepalanya.
"Jangan sedih, kita akan menolong Naruto." Itachi berkata, sambil tersenyum menenangkan.
"Bagaimana caranya?"
"Ada caranya, tapi tidak sekarang. Kau belum pulih benar–"
"Tidak!" Kyuubi menyela ucapan Itachi, "Aku sudah sembuh, aku baik-baik saja!"
Itachi menghela napas. Dia mengangguk, "Baiklah, nanti malam, kita akan pergi ke Hutan Barat. Di sana ada kenalanku yang akan membantu kita." Kata Itachi, "Sasuke, Kyuubi, dengarkan aku baik-baik."
Kyuubi dan Sasuke duduk dengan tegak, mendengarkan penjelasan dari Itachi dengan serius. Mereka sudah bertekad dalam hati. Kali ini, mereka akan membasmi Akatsuki sampai ke akarnya!
.
.
.
Naruto duduk termenung menatap jeruji besi di depannya. Sudah semalaman dia terkurung di dalam penjara gelap dan bau ini. Para wolf yang menangkapnya semalam memang tidak menyakitinya, tetapi dia ditaruh di dalam penjara dan itu membuatnya terlihat seperti seorang penjahat.
Samar-samar, Naruto mendengar langkah kaki. Punggungnya menegak ketika ada seseorang berdiri di depan jeruji besi itu, lalu membuka pintu jeruji itu setelah membuka gemboknya.
"Hai, Naruto-kun. Bagaimana kabarmu?"
Mata biru Naruto membelalak, "Karin?! Apa yang kau lakukan di sini?" Naruto memandang Karin dengan tatapan bingung sekaligus tidak percaya, "Bukankah kau …?"
"Ssshh, jangan berisik. Pein-sama ingin bertemu denganmu." Kata gadis berambut merah itu. "Kalau kau tidak ingin Sasuke-kun yang tampan itu terluka, lebih baik kau menuruti ucapanku."
Naruto menggeram. Rupanya gadis itu seorang penghianat!
Naruto tidak berontak ketika Karin menggiringnya menuju ke sebuah ruangan. Pemuda itu baru sadar, ternyata dia ada di sebuah rumah mewah yang mirip seperti kastil di Eropa pada abad pertengahan.
Karin mengetuk sebuah pintu berwarna cokelat. Setelah terdengar sahutan dari dalam, gadis itu segera membuka pintunya.
Di dalam ruangan itu, Naruto melihat ada beberapa orang disana, dan semuanya tampak asing. Ada beberapa yang berpenampilan aneh bahkan ganjil.
"Kau yang bernama Naruto?"
Naruto menoleh, menatap seorang pemuda berambut oranye dengan piercing di wajahnya. Naruto mengangguk, "Be-benar."
"Tidak perlu takut, Naruto." Seorang gadis berambut ungu menghampiri Naruto, "Namaku Konan. Tenanglah, kami tidak akan menyakitimu."
"Konan."
Konan menoleh ketika seseorang memanggil namanya dengan nada menegur. Gadis itu tersenyum, "Kenapa, Pein? Aku hanya menyapanya." Katanya dengan nada yang terdengar tenang. Pasangannya itu memang tidak suka ia berdekatan dengan pria manapun yang tidak dia kenal.
Pein tidak menanggapi perkataan Konan, dia menatap Naruto dengan datar, "Kau pasangan Uchiha Sasuke?"
Mata Naruto menyipit ketika mendengar nama Sasuke disebut, "Kalau iya, kenapa? Kau tidak terima?"
PLAK!
Naruto meringis ketika pipinya ditampar dengan kencang.
"Jaga ucapanmu, Naruto!" ternyata Karin yang menampar Naruto.
"Karin, jangan memukulnya." Naruto menoleh ketika pria berambut oranye yang dia yakini bernama Pein itu kembali bersuara, "Dia adalah alat untuk memancing Sasuke dan kakaknya kemari."
"Sasuke tidak akan kemari!" Naruto berteriak. "Kalaupun dia datang, dia akan membunuh kalian semua!"
Pein tertawa pelan dengan nada mencemooh, "Sasuke? Membunuhku? Dia itu hanyalah wolf lemah yang selalu berlindung di ketiak kakaknya. Dia bahkan tidak bisa melindungi kawanannya, dia tidak bisa melindungi ibu dan ayahnya ketika aku dan kawananku menyerbu mereka."
"A-apa?"
"Deidara! Tobi!" Pein mengacuhkan Naruto, dia memanggil anak buahnya yang ada di ruangan itu.
"Ya, Ketua?" Kedua anak buah Pein menyahut. Deidara adalah seorang pemuda tampan berambut pirang, sedangkan Tobi adalah seorang pemuda berambut hitam dengan memakai topeng.
"Kalian jaga anak ini, agar dia tidak bertingkah." Pein memberi perintah, "Kakuzu, Hidan dan Sasori, kalian berjaga di perbatasan. Zetsu, kau mata-matai pergerakan Itachi dan juga Sasuke."
"Siap, Ketua!"
"Nagato?"
"Ya, Ketua?"
Pein melirik seorang pemuda berambut merah yang sedang berdiri di sudut ruangan, "Kau ikut aku dan Konan, kita susun rencana."
"Siap, Ketua." Sahut Nagato.
Setelah membagi tugas itu, para wolf yang bertugas di luar segera meninggalkan ruangan, sementara Pein, Konan dan Nagato menuju ke sebuah pintu yang ada di dalam ruangan itu, terletak di sebelah jendela. Naruto tidak tahu pintu itu menuju kemana.
Sebelum pergi, Pein sempat melempar ancaman pada Naruto, "Kalau kau berani berulah, aku tidak akan segan mencabik lehermu, dan juga leher wolf lemah itu. Kau paham?" Pein menatap Naruto yang sedang menunduk dengan tajam, lalu matanya melirik Karin, "Kau jaga anak ini bersama Deidara dan Tobi."
"Baik, Ketua."
Setelah itu, Pein, di susul Konan dan Nagato, masuk ke dalam ruangan itu.
Tinggallah Deidara, Tobi, Karin dan Naruto di dalam ruangan yang mirip sebuah ruangan kerja itu.
"Ck!"
Karin menoleh pada Deidara yang berdecak kesal, "Kenapa kau?"
"Kenapa aku harus menjaga bocah ingusan ini? Lebih baik aku ikut Sasori-danna ke perbatasan!"
"Jangan protes padaku, protes saja pada Ketua!"
"Kau gila, dia bisa mencabik leherku kalau berani protes!"
"Sudah, sudah. Jangan bertengkar." Tobi menengahi, "Ne, ne, Naruto-kun?"
Naruto mendongak, menatap wajah Tobi yang tertutup topeng spiral berwarna oranye, "Ya?"
"Perkenalkan, namaku Tobi. Apa kau mau jalan-jalan?"
"Hah?"
"Jalan-jalan keliling kastil ini! Ayo!"
"H-hei!" Naruto berteriak protes ketika Tobi tiba-tiba menarik lengannya, keluar dari ruangan itu.
Karin menghela napasnya melihat kelakuan rekannya itu, "Bocah bertopeng itu tidak pernah berubah, selalu seenaknya."
"Ya sudah, biarkan saja." Kata Deidara, "Aku lapar."
"Ck!" Karin berdecak kesal, "Kerjaanmu itu makan terus!" gadis itu menghentakkan kakinya, lalu pergi menyusul Tobi dan Naruto.
Deidara menggaruk rambutnya yang tidak gatal, "Mimpi apa aku semalam, harus bekerja sama dengan nenek sihir itu?" gumamnya, kemudian dia menyusul ketiga orang yang sudah lebih dulu meninggalkan ruangan itu.
.
.
.
"Apa masih jauh, Itachi?" Kyuubi bertanya pada Itachi yang berjalan di depannya.
Itachi menoleh, lalu tersenyum, "Sebentar lagi, Kyuu." Katanya. Tangan pemuda itu terulur untuk mengusap keringat yang membasahi dahi Kyuubi.
"Sudah lima jam kita berjalan, dan kau terus saja berbicara begitu!" Kyuubi menggerutu. Kakinya mulai pegal berjalan selama lima jam tanpa istirahat.
"Mau aku gendong?"
"Dalam mimpimu!" sembur Kyuubi kesal, "Apa tidak bisa istirahat sebentar?"
Itachi tersenyum minta maaf, "Sayangnya tidak, Kyuu. Kita harus sampai di sana sebelum malam tiba. Karena malam hari adalah waktu paling buruk untuk berkelana di Hutan Barat."
Sasuke tidak berkomentar, dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Semalam, Itachi mengatakan kalau mereka akan menemui Sakura, seorang penyihir yang terkenal dengan kekuatannya.
Menurut rumor yang beredar, Sakura pernah menghajar beberapa orang dari kawanan Pein seorang diri, dengan mengandalkan kekuatan magic-nya.
Sasuke jadi tidak sabar untuk segera menemukan penyihir itu. Semakin cepat ia menemukan penyihir itu, maka semakin cepat pula ia menemukan Naruto. Pemuda itu begitu merindukan pasangannya.
Itachi bilang, penyihir itu tinggal di Hutan Barat. Hutan itu terletak di bagian barat Konoha. Hutan itu adalah hutan yang tidak terjamah oleh makhluk hidup manapun. Jangankan manusia, bahkan makhluk seperti Sasuke pun enggan memasuki hutan itu.
Hutan Barat amat berbahaya. Disana, terdapat berbagai macam monster mengerikan yang siap mencabik siapapun yang nekat memasuki kawasan hutan tersebut.
Tapi demi Naruto dan demi klannya, Sasuke rela menghadapi bahaya apapun.
Lamunan Sasuke buyar ketika Itachi memerintahkan mereka untuk berhenti. Di depan mereka, terbentang sebuah jurang yang lebar dan sangat dalam, bahkan Sasuke tidak bisa melihat dasarnya karena sangat gelap.
Jurang itulah pemisah Hutan Timur–hutan tempat tinggal Klan Uchiha–dan Hutan Barat yang berbahaya.
"Bagaimana kita melewati ini, Itachi?" Kyuubi bertanya. Pemuda itu maju selangkah, berdiri di sebelah Itachi untuk melihat jurang yang seakan tak berdasar itu.
Itachi tak menjawab. Pemuda itu memejamkan matanya selama sedetik, kemudian ketika ia membuka matanya kembali, mata itu berubah merah dengan tiga koma melingkari pupilnya.
"Kyuubi, Sasuke, mulai dari sini, kalian harus sangat berhati-hati. Hutan Barat bukanlah tempat untuk piknik. Kalian mengerti?"
"Ya." Kyuubi dan Sasuke menjawab bersamaan.
Itachi menatap langit, kemudian dia bersiul panjang dengan bantuan jarinya.
Awalnya Kyuubi mengerut bingung. Itachi hampir tidak pernah menggunakan siulan seperti ini. Dia bahkan tidak tahu Itachi bisa bersiul seperti itu.
Pemuda itu mendongak ketika ia mendengar suara burung. Matanya membelalak ketika ia melihat seekor burung gagak dengan ukuran yang sangat besar. Bahkan lebih besar dari ukuran wolf.
Gagak itu mendarat di depan mereka.
Itachi mendekat, lalu mengulurkan tangan kanannya. Gagak itu menunduk seolah menyambut uluran tangan Itachi.
"Itachi …" Kyuubi berbisik, "Makhluk apa itu?"
"Ini gagak, Kyuu. Tidak pernah melihat gagak?"
Kyuubi memutar bola matanya, "Aku ini memang bodoh, Itachi! Tapi aku tahu gagak tidak seharusnya sebesar ini!"
Itachi tertawa kecil. Dia mengulurkan tangannya pada Kyuubi, "Mendekatlah, Kyuu. Dia tidak galak, kok."
Kyuubi menatap mata merah Itachi, lalu beralih menatap mata hitam gagak itu. Pemuda itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala gagak berbulu hitam itu.
"Lihat? Dia menyukai usapanmu."
"Iya, kau benar."
"Ehem!" Sasuke berdehem, memberi kode kalau disitu masih ada satu makhluk lagi selain ItaKyu dan gagak itu, "Nanti saja bermesraannya. Waktu kita tidak banyak."
"Ah, kau benar juga." Itachi menatap mata gagak itu, "Gagak ini bernama Black Crow. Dia salah satu monster gagak yang berhasil aku taklukkan."
"Hah? Sejak kapan kau bisa menaklukan monster gagak?" Sasuke bertanya dengan kening berkerut dalam.
"Hmm, sejak usia sepuluh? Atau sebelas? Aku lupa. Mungkin aku terlihat lemah, tapi aku sudah pernah ke Hutan Barat."
Sasuke mendengus. Itachi lemah? Kalau kakaknya yang kuat dan tidak pernah bisa ia kalahkan itu menyebut dirinya lemah, lalu Sasuke harus menyebut dirinya apa? Kayu lapuk?
"Black Crow yang akan mengantarkan kita sampai ke tepi jurang sebelah sana."
Dahi Sasuke kembali berkerut, "Caranya?"
Itachi memutar bola matanya, "Terbang, adikku. Kau mau dia melemparmu? Gampang, bisa diatur."
"Kenapa tidak mengantarkan kita ke Sakura saja?" Kyuubi bertanya.
"Tidak bisa. Ada semacam penghalang yang tidak bisa ditembus Black Crow di dalam Hutan Barat. Jadi kita terpaksa berjalan kaki."
"Jalan kaki? Lagi?" Protes Kyuubi.
"Ya," Jawab Itachi. "Tapi kalau kau lelah, aku siap menggendongmu."
"Hentikan, Itachi! Kau membuat aku merinding!" Sasuke yang jengah dengan gombalan sang kakak, berkomentar dengan nada ketus.
Itachi menghela napas. Kedua orang ini memang susah diajak sayang-sayangan. "Ya sudah, lah." Itachi melompat ke punggung Black Crow, disusul Kyuubi, lalu Sasuke. Dengan aba-aba dari Itachi, Black Crow mengepakkan sayapnya, lalu terbang menuju ke Hutan Barat.
Kyuubi refleks melingkarkan lengannya di pinggang Itachi. Dia takut terjatuh ke jurang gelap dan dalam yang ada di bawahnya.
Black Crow mendarat dengan aman di tanah Hutan Barat. Sasuke turun lebih dulu, disusul Kyuubi kemudian Itachi.
Black Crow kembali mengepakkan sayapnya, setelah Itachi mengusap kepalanya sebagai tanda terima kasih. Monster gagak itu terbang, entah kemana.
Hawa di Hutan Barat sangat berbeda dengan Hutan Timur. Jika di Hutan Timur hawanya hangat, hawa di Hutan Barat lebih dingin dan terkesan misterius. Ada kabut tipis yang menutupi permukaan tanahnya.
"Mulai dari sini, kalian harus sangat berhati-hati, mengerti?" Itachi kembali memperingatkan.
Sasuke dan Kyuubi mengangguk.
Itachi menggandeng tangan kanan Kyuubi, lalu menuntun kedua pemuda itu untuk memasuki hutan.
Hutan ini terasa dingin dan lembap. Pepohonannya lebih lebat dan rapat, hingga cahaya matahari seakan tidak bisa menembusnya. Mungkin hal itu yang membuat hawa di hutan ini menyeramkan.
Sasuke mengawasi sekelilingnya dengan teliti. Seperti kata Itachi, hutan ini bukanlah tempat untuk piknik, dan Sasuke setuju. Hutan ini berbahaya, dan insting Sasuke mengatakan kalau dia harus ekstra hati-hati.
Langkah ketika pemuda itu terhenti karena tanah di bawah kaki mereka bergetar.
Kyuubi mencengkram telapak tangan Itachi, "Ada apa ini?"
Sasuke berusaha menjaga keseimbangannya. Pemuda itu tersentak, lalu ia melompat ke depan ketika ada sekelebatan menuju ke arahnya. Tepat ketika kaki Sasuke menapak tanah, sesuatu menghantam tanah tempat ia berdiri tadi, dan tanah itu meledak.
"Shit!" umpat Sasuke.
ROOOOAAAAAR!
Terdengar suara raungan. Sasuke tidak tahu itu raungan makhluk apa, yang jelas sesuatu yang meraung itu bukanlah makhluk yang bisa diajak duduk santai sambil memancing ikan.
Itachi mendekap Kyuubi, lalu membawanya melompat beberapa meter ke depan ketika sesuatu menuju ke arah mereka dengan kecepatan tinggi.
DUAAAR!
Tanah yang mereka pijak tadi meledak, dihantam sesuatu yang besar.
"Hehehehe" Suara mengekeh yang berat dan dalam terdengar. "Mau apa makhluk kecil seperti kalian berada di sini?"
Sasuke dan Kyuubi membelalak melihat makhluk itu. Dia adalah sesosok monster berbadan menyerupai siput dengan ekor enam, bertubuh sangat besar dengan tubuh berlendir
"Makhluk apa itu?!" Kyuubi berteriak.
"Saiken." Itachi berkata dengan nada tenang, meskipun gerak tubuhnya terlihat waspada. "Apa kabar?"
Siput itu melirik Itachi, "Huh? Ternyata kau, Uchiha Itachi? Mau apa kau kemari? Sudah lama tidak bertemu, kau sudah besar ternyata."
"Kabarku baik, Saiken. Bagaimana kabarmu?"
"Hohohoho, aku baik." Jawab monster itu, "Apa yang kau inginkan kali ini?"
Kening Sasuke mengerut, "Itachi, kau mengenal monster itu?"
Itachi tersenyum, tapi tidak menjawab pertanyaan Sasuke.
Sasuke mengumpat dalam hati. Dia baru sadar, kakaknya ini salah satu makhluk paling misterius yang pernah dia kenal. Sasuke ingat, dulu kakaknya sering menghilang tiba-tiba selama satu bulan, kemudian dia kembali ke rumah dalam keadaan baju penuh noda tanah dan terlihat dekil. Kakaknya juga pernah mengalahkan pasukan wolf warrior seorang diri ketika dia sedang latihan, mengingat kelak ia akan mengambil alih jabatan sang ayah sebagai seorang Alpha Klan Uchiha.
Tapi, anehnya … kenapa kakaknya tidak bisa mengalahkan Pein dan kawanannya?
"Biarkan kami lewat, Saiken." Itachi kembali berkata pada Saiken.
"Tidak semudah itu, Itachi!"
Wajah ramah Itachi menghilang, berganti menjadi tatapan datar yang terlihat dingin. "Baiklah, ku rasa pemanasan sebentar tidak apa-apa."
"Itachi, apa yang kau lakukan?!" Kyuubi menahan lengan Itachi.
"Tidak apa, Kyuu. Kita harus mengalahkannya jika ingin melewati daerah ini. Ini adalah daerah yang tidak bisa dilewati oleh Black Crow, seperti yang aku bilang tadi."
"Kalau begitu aku dan Sasuke akan membantumu!"
Itachi menahan Kyuubi, "Tidak, kau di sini bersama Sasuke." Katanya, dengan nada tegas yang tidak bisa dibantah, "Sasuke, kau diam di sini bersama Kyuubi." Itachi melepaskan lengannya yang dicengkeram Kyuubi, lalu ia mencium bibir Kyuubi sekilas. "Ini tidak akan lama."
Kyuubi mengangguk, "Hati-hati."
"Iya." Pemuda itu berbalik menghadap Saiken, kemudian ia menoleh kembali ke arah kedua pemuda yang berdiri di belakangnya, "Sasuke, Kyuubi, apapun yang kalian lihat setelah ini, jangan beritahu siapapun, mengerti?" katanya, kemudian dia berjalan menghampiri Saiken.
Itachi terlihat kecil jika berdiri berhadapan dengan monster sebesar Saiken.
Monster itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya dari tubuhnya, kemudian ukuran monster itu mengecil, terus menyusut hingga tingginya tidak jauh berbeda dengan Itachi.
Ketika cahaya itu menghilang, sosok Saiken berubah menjadi sesosok pemuda berambut cokelat, memakai kimono*.
"Kenapa kau berubah?" tanya Itachi.
"Sudah lama aku tidak berubah menjadi manusia. Dan, ku rasa akan lebih baik aku bertarung dengan wujud manusia dari pada siput besar." Kata pemuda itu.
Kedua pemuda itu bersiap, memasang kuda-kuda siap menyerang.
"Hyaaah!" Saiken berteriak, lalu menerjang Itachi.
Itachi berkelit. Dia melompat ke dahan pohon, menghindari serangan Saiken. Mata merahnya memperhatikan efek dari serangan Saiken. Dahan pohon yang terkena serangan Saiken tadi meleleh!
"Cih," Saiken mendecih, "Meleset."
Sasuke membelalak melihat dahan pohon yang meleleh itu. Tadi dia sempat melihat pemuda itu melontarkan semacam cairan ke arah sang kakak. Untung saja kakaknya bisa menghindar.
Saiken bergerak secepat kilat, lalu menendang Itachi hingga pemuda itu terpelanting lalu menabrak pohon.
"Ugh!" Itachi mengerang ketika ia terjatuh di tanah.
"Itachi!" Sasuke berteriak, hendak menghampiri sang kakak.
"Diam di sana, Sasuke!" Itachi berteriak, matanya berkilat memperingatkan sang adik agar tidak mendekat.
Sasuke membeku. Baru pertama kali ini dia melihat sorot mata kakaknya setajam dan sedingin itu.
Itachi bangkit berdiri, lalu mengepalkan tangannya. Semacam cahaya berwarna biru melingkupi kepalan tangan itu. Itachi menerjang Saiken, dia bergerak secepat kilat, tiba-tiba saja dia sudah berada di depan Saiken.
Saiken terlontar beberapa meter ketika Itachi meninju pipinya. Pemuda itu menabrak beberapa pohon.
"Gah!" Saiken berteriak, punggungnya terasa nyeri menghantam pohon. "Sialan kau, Itachi!"
Itachi kembali menerjang Saiken. Pemuda berambut hitam panjang itu menendang dan meninju perut, punggung dan wajah Saiken. Kemudian tangan kiri Itachi menarik lengan Saiken yang sedang terlentang di tanah, memaksanya untuk berdiri.
Itachi menahan punggung Saiken pada batang pohon, lalu Itachi mencekiknya sampai kaki Saiken terangkat beberapa inchi dari tanah.
Itachi merapalkan sesuatu. Seketika leher Saiken membeku. Benar-benar membeku karena es. Es itu merambat, membekukan tubuh Saiken, mulai dari bawah leher sampai ke lutut, bahkan batang pohonnya ikut membeku.
"Sialan, kau! Itachi!" umpat Saiken.
"Kau ingin aku melanjutkan ini?" tanya Itachi, dengan nada yang terdengar dingin. "Aku bisa saja membekukan seluruh tubuhmu."
"Cih!" Saiken mendecih, "Kau semakin berbahaya saja."
"Tidak, aku tidak berbahaya."
"Ah, terserah, lah. Aku mengaku kalah lagi! Sekarang lepaskan aku, maka aku akan membiarkan kalian lewat!"
Itachi melepaskan tangannya dari leher Saiken. "Inginnya sih begitu, tapi maaf. Kali ini aku tidak bisa. Tenang saja, es ini akan mencair setelah lima jam."
"Apa?!"
Itachi tidak menggubris Saiken. Dia berjalan dengan tenang menghampiri Sasuke dan Kyuubi.
"Itachi, kau–" Ucapan Sasuke terhenti ketika ia melihat mata sang kakak, "Matamu …"
Langkah kaki Itachi terhenti. Dia menatap wajah Sasuke dengan ekspresi datar, lalu ia tersenyum, "Jangan beritahu siapa-siapa soal mataku, oke?"
Sasuke hendak bertanya, bagaimana bisa bola mata sang kakak yang harusnya berbentuk koma yang saling melingkari pupil itu malah berubah. Pupil itu berbentuk menyerupai shuriken yang sering dipakai oleh ninja di film-film yang pernah ditontonnya ketika ia masih kecil dulu. Namun ketika ia ingat mereka kehabisan waktu, Sasuke terpaksa tutup mulut. "Hn," jawab Sasuke pada akhirnya.
Itachi menghampiri Kyuubi, lalu tersenyum, "Tidak lama, kan?"
"Ya, tapi … dari mana kau belajar membekukan orang begitu?"
"Hmm?" Itachi memiringkan kepalanya, seperti mengingat-ingat sesuatu, "Dari mana, ya? Aku tidak ingat." Jawabnya dengan nada bercanda. Kyuubi mencebik ketika Itachi tidak menjawabnya dengan serius.
Sasuke berjalan mendahului mereka, namun dicegah oleh Itachi. "Kenapa?"
"Ada segel pelindung."
"Mana?"
"Tepat di depanmu." Itachi berjalan menghampiri Sasuke, lalu berdiri di sampingnya. Tangannya terjulur ke depan. Sebelah alis Sasuke terangkat ketika pemuda itu mendengar sang kakak merapalkan sesuatu dengan bahasa yang aneh dan terdengar asing.
Tiba-tiba telapak tangan Itachi menyala oranye, lalu cahaya berwarna oranye itu seperti meleleh. Lelehannya melebar, mulai dari telapak tangan Itachi, sampai beberapa inchi di atas kepala Itachi dan beberapa inchi dari atas tanah. Cahaya itu menganga menyerupai sebuah lubang, sehingga orang dewasa bisa melewatinya dengan mudah.
"Kyuu?" Itachi memanggil Kyuubi, menyuruhnya untuk mendekat. Itachi masuk lebih dulu setelah ia menggenggam tangan Kyuubi dengan erat, memastikan pasangannya itu aman.
Sasuke menyusul kemudian. Pemuda itu menghela napas, dia seperti obat nyamuk di sini, melihat sang kakak bergandengan tangan mesra dengan pasangannya. Seandainya saja Naruto ada di sini.
.
.
.
Naruto menghela napasnya ketika ia sedang duduk di taman sambil memperhatikan Tobi yang sedang sibuk menyirami kebun bunganya.
"Lalalala~ Tobi anak baik~ Tobi anak baik~ lalala~"
Naruto memasang wajah malas ketika mendengar Tobi bersenandung lagu yang menurutnya aneh. Belum lagi sebagai wolf, Tobi ini tingkahnya konyol dan sedikit ganjil. Yah, mana ada wolf memakai celemek gambar bunga matahari, menenteng alat penyiram bunga, lalu bersenandung sambil menyirami bunga-bunga beraneka warna?
Runtuh sudah image wolf yang seharusnya keren, di benak Naruto.
Mata biru Naruto melirik Deidara yang duduk di sebelahnya, sedang sibuk dengan tanah liat. Entahlah, Naruto tidak tahu dia sedang membuat apa. Apakah Deidara ini seorang seniman?
Naruto hanya ditemani dua wolf ini saja, Karin tidak terlihat sejak tadi.
"Tobi, kau tidak lelah menanam bunga terus?" Naruto memutuskan untuk bersuara, setelah ia bosan berdiam diri.
"Tidak. Ini menyenangkan, Naruto-san!" jawab Tobi dengan semangat. "Kau mau coba?"
"Tidak, terima kasih. Aku melihatmu saja."
"Oh, ya sudah." Tobi mengendikkan bahu, kemudian pemuda bertopeng yang selalu ceria itu kembali melanjutkan aktivitasnya menyiram bunga.
"Naruto-sama?"
Naruto menoleh ketika seseorang memanggilnya. Ternyata seorang pelayan.
"Ya?"
"Pein-sama memanggil Anda."
Wajah Naruto berubah tegang. Untuk apa Pein memanggilnya? "Uhh, baiklah. Terima kasih." Kata Naruto pada pelayan yang kelihatan ramah itu.
Kemudian, Naruto dipandu oleh pelayan itu menuju ke ruangan di mana Pein berada. Tobi dan Deidara yang tadi sempat menyusul, disuruh menunggu di luar ruangan karena Pein sedang ingin berbicara berdua dengan Naruto.
Naruto meneguk ludahnya dengan gugup. Aura Pein sedikit mengintimidasinya. Tidak jauh beda dengan aura Sasuke sebenarnya, tapi entah mengapa Naruto merasa takut ketika berhadapan dengan Pein.
"Naruto."
"Y-ya?"
Pein duduk di sofa dengan angkuh, kaki kanannya bertumpu di atas kaki kirinya, "Duduklah." Katanya.
Naruto menurut. Dia duduk di salah satu sofa, diseberang Pein.
"Aku ingin bertanya padamu."
"Bertanya apa?"
"Uchiha Sasuke." Naruto menegang ketika nama pasangannya disebut, "Apa dia pernah membicarakan rencana untuk menyerangku?"
"Rencana untuk menyerangmu?" Naruto menatap Pein dengan kening berkerut, "Hmm, entahlah, aku tidak tahu pasti, karena aku baru mengenalnya."
"Begitukah?" Pein menatap Naruto dengan tajam, seolah menilai apakah pemuda itu berbohong atau berkata jujur. "Kalau aku membunuh Sasuke, apa yang akan kau lakukan?"
Naruto tersentak, dia menatap Pein dengan tatapan terkejut yang kentara. "Kau tidak boleh membunuhnya!"
Sebelah alis Pein terangkat, "Kenapa?"
"Karena … umm, k-karena … aku mencintainya?" Naruto menjawab pertanyaan Pein dengan ragu. "Yah, dia bilang aku pasangannya."
"Hmph!" Pein mendengus, "Cinta? Aku tidak peduli dengan cintamu itu. Yang aku pedulikan hanya kekuasaan. Dan Sasuke juga Itachi, harus aku bunuh agar aku bisa menguasai kastil ini sepenuhnya!"
"Menguasai kastil ini sepenuhnya?" gumam Naruto. Mata biru pemuda itu membelalak, "Jangan bilang … kastil ini seharusnya milik Sasuke dan Itachi?!"
"Jaga mulutmu!" Bentak Pein. "Kastil ini milikku!"
Naruto berjengit kaget ketika mendengar nada keras Pein. Pemuda itu memilih untuk menutup mulutnya, dia tidak ingin membuat Pein marah.
"Ketua."
Naruto berjengit kaget ketika Zetsu tiba-tiba muncul di ruangan itu. Masuk lewat mana dia?
"Ada berita apa, Zetsu?"
"Uchiha Sasuke, Uchiha Itachi, dan Kyuubi pergi ke Hutan Barat."
Pein mendengus mendengar perkataan anak buahnya itu. "Mereka pergi ke Hutan Barat? Apa mereka sudah bosan hidup? Tidak ada satu makhluk pun yang pergi ke sana, lalu kembali dalam keadaan hidup!"
"Hutan Barat?" Naruto bergumam, namun Pein bisa mendengarnya.
"Hutan Barat adalah hutan yang sangat berbahaya. Mereka akan mati kalau masuk ke hutan itu. Sepertinya pasanganmu itu sudah bosan hidup, dia terlalu frustasi karena pasangannya dibawa kabur." Kata Pein dengan bada mengejek.
"Tidak! Sasuke dan Itachi, juga Kyuubi tidak akan mati! Mereka wolf yang kuat!"
BRAK!
Pein menggebrak meja kayu itu hingga patah menjadi dua bagian, "Jangan membuat aku marah, Naruto!" desis Pein. Naruto mengkeret ketakutan melihat meja kayu yang harusnya keras dan kokoh itu terbelah menjadi dua, "Atau kepalamu yang selanjutnya aku hancurkan, seperti meja ini."
Naruto tidak bisa menjawab. Apa yang harus dia lakukan? Naruto hanyalah manusia biasa. Mungkin jika Pein menamparnya sedikit, wajahnya akan memar tidak karuan.
Pemuda itu berharap, semoga Sasuke datang secepatnya untuk menendang bokong Pein dan seluruh anak buahnya yang menyebalkan ini!
.
.
.
Setelah Itachi, Kyuubi dan Sasuke melewati segel pelindung itu, pemandangan suram Hutan Barat berganti menjadi hutan yang rindang dan terlihat sejuk. Sangat berbeda dengan hutan suram yang tadi.
"Kenapa hutannya berubah, Itachi?"
"Ya, karena kita sudah melewati segel pelindung itu, makanya kita bisa masuk ke Hutan Barat yang sesungguhnya."
"I-ini Hutan Barat?"
"Iya. Hutan suram tadi hanyalah ilusi, dan segel pelindung untuk masuk ke dalam Hutan Barat yang asli, dijaga oleh Saiken, monster yang tadi." Jawab Itachi. "Tapi biarpun hutan ini sudah berubah, tetap saja kita harus hati-hati, di sini banyak makhluk aneh."
"Makhluk aneh seperti apa, Itachi?" Sasuke bertanya.
Itachi menatap Sasuke yang berjalan di sebelahnya, "Di sini ada makhluk yang bernama The Death. Makhluk itu berwujud menyerupai pria dan wanita cantik. Mereka akan menggoda siapapun yang berada di sini, lalu jika ada yang tergoda, maka The Death akan langsung memangsanya."
Sasuke mengerut jijik. Ada ya, makhluk seperti itu? Dan sang kakak masuk ke hutan ini seperti rumah sendiri? Astaga, Sasuke jadi takut pada kakaknya.
Mereka tidak berbicara lagi. Itachi melepaskan genggaman tangannya dari Kyuubi karena dia harus memeriksa sesuatu.
Sasuke terkejut ketika telapak tangan Itachi mengeluarkan semacam bola berwarna biru.
"Apa itu?"
"Ini penunjuk arah untuk menuju ke rumah Sakura."
"Oh, begitu." Jawab Sasuke, "Memang dia tinggal di mana?"
"Di sebuah desa terpencil bernama Suna."
Itachi memadamkan bola biru itu ketika ia sudah mengetahui arah yang tepat untuk menuju ke Suna.
Pemuda itu menoleh ke belakang untuk menanggil Kyuubi, "Kyuu, ayo–" ucapan Itachi terhenti ketika ia tidak menemukan Kyuubi. Seharusnya pemuda itu ada di belakangnya, kan?
Itachi menggertakkan giginya. Dia panik, tapi dia berusaha bersikap tenang.
"Kemana Kyuubi?" tanya Sasuke. "Barusan di sini?"
"Sasuke, aktifkan matamu." Perintah Itachi.
Sasuke tidak banyak berkata. Dia merubah matanya menjadi merah. "Sudah."
Itachi berlari ke sebelah kiri, mengikuti aroma Kyuubi yang terendus hidungnya. Sasuke mengikuti Itachi dari belakang dalam diam. Dia sempat melihat sesosok gadis berwajah seram dengan taring yang terlihat tajam.
"Makhluk apa itu?" Sasuke bertanya pada Itachi.
"Dialah The Death. Kalau kau melihat dengan mata biasa, dia akan berwujud gadis cantik. Tapi karena kau melihat dengan Sharingan, maka wujud aslinya lah yang kau lihat. Dia tidak akan bisa mendekatimu karena kau tidak tergoda olehnya." Jelas Itachi.
Mereka terus berlari sampai akhirnya mereka menemukan sosok Kyuubi sedang berbaring di atas bebatuan, tidak sadarkan diri. Ada sesosok gadis buruk rupa sedang menduduki perut Kyuubi. Gadis itu menjilati wajah Kyuubi, seolah sedang mencicipi rasa pemuda itu. Bibir sang gadis mendesis, memamerkan taring tajamnya seolah hendak mencabik Kyuubi detik itu juga.
Itachi merubah wujudnya. Dia menggeram keras, lalu menerkam kepala gadis buruk rupa itu, mencabiknya hingga hancur tak berbentuk. Kemudian dia melemparkan mayat gadis itu begitu saja.
Itachi kembali ke wujud manusianya, bibirnya berlumuran darah, "Kyuu?" katanya. Itachi menepuk-nepuk pipi Kyuubi agar pasangannya itu segera sadar, "Bangun, Kyuu!" Itachi meletakkan telapak tangannya di atas kelopak mata Kyuubi, lalu merapalkan sesuatu. Sesuatu berwarna oranye muncul dari telapak tangan Itachi.
"Mmhh?" Kyuubi mengerang. Itachi segera menyingkirkan telapak tangannya dari kelopak mata Kyuubi.
"Sudah sadar, Sayang?"
"Kenapa aku tidur di sini?" Kyuubi bertanya dengan suara serak, seolah dia baru saja terbangun dari tidur panjangnya. "Sshh, kepalaku pusing."
"Kau baru saja terkena ilusi dari The Death." Itachi mengusap dahi Kyuubi, "Masih pusing? Kita bisa istirahat dulu kalau kau mau."
"Tidak. Aku tidak apa-apa."
"Tidak usah memaksakan diri, Kyuubi." Sasuke ikut menasehati. "Kalau kau sakit, Itachi juga yang repot."
Kyuubi merengut. Dia tidak suka dimanjakan begini. "Ya sudah, lah. Tapi mau istirahat di mana? Di sini kan hutan belantara."
"Sebenarnya rumah Sakura sudah tidak jauh dari sini." Kata Itachi, "Atau mau aku gendong?"
Kyuubi terpaksa mengangguk. Sebenarnya dia tidak suka digendong, tapi karena kondisi badannya sedang tidak enak, dia terpaksa menurut. Dia tidak ingin menghambat perjalanan ini, pemuda itu ingin Naruto segera diselamatkan.
Kyuubi berpegangan pada leher Itachi dengan erat ketika mereka melanjutkan perjalanan.
"Itachi." Panggil Sasuke.
"Hmm?"
"Kenapa kita tidak berubah saja? Akan lebih cepat sampai, kan?"
Itachi mengangguk, "Memang. Tapi ukuran wolf kita terlalu besar, Sasuke. Aku tidak ingin memancing monster yang lebih berbahaya. Lebih baik kita dalam wujud manusia saja. Lebih kecil, dan lebih mudah untuk bersembunyi."
Sasuke mengangguk mengerti, "Hn," jawabnya. "Lalu, apa yang akan kita cari di rumah penyihir itu?"
"Soal itu, akan aku jelaskan di rumah Sakura nanti. Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Terlalu banyak telinga yang bisa menguping."
Sasuke terdiam. Benar juga. Bisa saja mata-mata Pein ada di sini. Pemuda itu diam, tidak mengajukan pertanyaan pada kakaknya lagi.
Setelah berjalan selama kurang lebih dua jam, mereka sampai di sebuah daerah berupa gurun. Tidak ada kehidupan, benar-benar kering dan tandus.
"Kenapa bisa ada gurun di daerah subur seperti Konoha?" gumam Sasuke heran. Hutan ini benar-benar sukses membuatnya terkejut. Kira-kira, kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan?
"Inilah Desa Suna, Sasuke."
Itachi melangkah, sesekali mengecek arah yang benar untuk menuju ke rumah Sakura. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya mereka menemukan pemukiman warga. Itachi membimbing Sasuke menuju ke rumah Sakura.
Penduduk Suna ini bukanlah manusia biasa. Mereka manusia setengah monster. Ada yang berwajah seperti kuda, tetapi badannya manusia, ada yang berwajah kambing, tetapi badannya manusia, ada juga yang dari kepala sampai ke pinggang berupa manusia, tetapi dari pinggang sampai kaki berupa kuda, mirip seperti mitologi Yunani.
"Itu dia rumahnya."
Itachi menunjuk sebuah rumah mungil yang terbuat dari kayu. Rumah itu sederhana, sama sekali jauh dari bayangan Sasuke tentang rumah penyihir.
Itachi mengetuk pintu rumah itu tiga kali. Terdengar sahutan dari dalam, lalu pintu rumah itu terbuka.
Seorang wanita cantik berambut pink keluar dari dalam rumah, "Itachi-kun? Kaukah itu?"
"Ya, ini aku, Sakura-san."
"Wah, sudah lama sekali kau tidak main kemari! Kau sudah besar sekarang!" kata Sakura. Mata hijau gadis itu beralih menatap Sasuke, "Oh, kau mengajak teman?"
"Dia adikku, Uchiha Sasuke. Dan yang ini," Itachi menunjuk Kyuubi yang tertidur di punggungnya, "Kyuubi."
Sakura tersenyum ramah, "Halo, namaku Sakura, Sasuke-kun. Masuklah, anggap rumah sendiri."
Sasuke menunduk sedikit, untuk menghormati Sakura yang terlihat lebih tua darinya.
Mereka memasuki rumah itu. Benar-benar biasa, tidak ada yang spesial, juga tidak ada yang aneh. Maksudnya, rumah penyihir seharusnya berisi benda-benda yang menunjukkan kalau penghuni rumah itu seorang penyihir, bukan?
Sakura menyuguhkan minuman berupa es teh yang segar untuk ketiga tamunya. Cuaca di desa ini sungguh panas, tidak mungkin ia menyuguhkan minuman hangat, kan?
Kyuubi sudah bangun, Sasuke mencubit pinggang pemuda itu dengan keras. Malu, berkunjung ke rumah orang malah tertidur.
"Aku sudah tahu niatmu datang mencariku, Itachi-kun."
"Wah, baguslah kalau begitu. Kau akan membantuku, kan?"
Sakura memasang wajah sedih, "Aku ingin membantumu, tetapi …"
"Tetapi?"
"Beberapa tahun yang lalu, tongkat sihirku hilang. Pencurinya adalah Shukaku, monster yang hidup di gurun pasir."
"Shukaku?" Sasuke membeo, "Monster apa itu, Sakura-san?"
"Shukaku adalah monster haus darah dan suka membuat masalah. Dia bertubuh gemuk, memiliki satu ekor. Kau akan langsung mengenalinya jika sudah berhadapan dengannya."
"Lalu, kenapa tongkat sihirmu tidak diambil saja?" Ini Kyuubi yang bertanya.
"Shukaku kebal terhadap sihir, Kyuubi-kun. Jadi, aku tidak bisa mengalahkannya. Hanya kekuatan fisik saja yang bisa mengalahkannya."
Itachi berdiri, "Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
"Tunggu!" Sakura mencegah Itachi, "Aku ingin Sasuke-kun yang melawan Shukaku, lalu membawakan tongkat sihir itu padaku."
"Kenapa harus aku?"
Sakura tersenyum, "Anggap saja latihan. Kau ingin menjemput kekasihmu yang ditawan oleh Akatsuki, kan? Jika melawan Shukaku saja kau tidak mampu, jangan harap kau bisa melawan Pein."
"Kenapa melawan Pein harus latihan melawan monster segala?" Sasuke protes.
Sakura menghela napas, "Pein bukanlah wolf biasa. Di dalam tubuh Pein, mengalir darah penyihir karena ibunya seorang penyihir. Sebenarnya, ada beberapa barang yang harus kita cari untuk bisa mengalahkan Pein."
"Apa saja itu?"
"Pertama, tongkat sihirku, lalu ada sebuah batu bernama Kristal Bulan, dan kita harus mencari satu rekanku yang bisa membantu mengalahkan Pein, namanya Shion. Dia seorang penyihir hebat. Aku tahu dia tinggal di mana, tapi itu sangat jauh dari sini."
"Ck!" Sasuke berdecak, "Baiklah. Kalau begitu aku akan mengambilkan tongkat sihir itu!"
Sakura bersorak, dia menepuk tangannya beberapa kali. Gadis itu bangkit dari kursi yang didudukinya, lalu ia menuju ke sebuah lemari tiga susun untuk mengambil sesuatu.
"Sasuke-kun, bawalah ini bersamamu."
"Apa itu?" Sasuke mengulurkan tangannya untuk menerima benda pemberian Sakura, "Pistol? Memangnya monster itu bisa dikalahkan dengan ini?"
"Pistol itu berisi amunisi yang di dalamnya berisi cairan khusus untuk melumpuhkan Shukaku. Pergunakanlah dengan bijak, karena isinya cuma ada tiga."
Sasuke mengangguk mantap, "Aku mengerti."
Kemudian, Sakura, Itachi dan Kurama mengantar Sasuke sampai ke perbatasan antara gurun pasir dan permukiman warga. Sakura sempat meminjamkan pakaian tertutup untuk melindungi tubuh dan kepala Sasuke dari debu dan juga panas yang cukup menyengat. Gadis cantik itu juga menyiapkan perbekalan untuk Sasuke.
"Nah, kami hanya bisa mengantarmu sampai di sini, Sasuke-kun. Kau masih ingat, kan, apa kataku? Shukaku tinggal di gua batu di tengah gurun. Ku harap kau bisa mengalahkan Shukaku dan mengambil tongkat sihirku."
"Ya, Sakura-san."
"Sasuke, kau yakin pergi seorang diri? Aku bisa menemanimu." Itachi berkata dengan nada khawatir. Well, Itachi memang sangat menyayangi adik semata wayangnya itu.
"Jangan berlebihan, Itachi." Kyuubi berkomentar. "Sasuke pasti bisa mengalahkan monster itu. Sasuke itu wolf yang kuat."
"Hmph!" Sasuke mendengus mendengar perkataan Kyuubi. Mata hitam pemuda itu menatap sang kakak, "Tenang saja, Itachi. Aku akan mengalahkan monster itu, lalu mengambil tongkat sihir milik Sakura-san, lalu kita akan mengalahkan Pein. Demi Naruto, dan demi Klan Uchiha."
Itachi tersenyum. Ternyata, sang adik yang dulu sering mengompol di kasur ini sudah besar. Itachi memeluk Sasuke."Hati-hati di jalan, adikku."
"Ya."
Setelah itu, Sasuke berjalan seorang diri menembus gurun pasir yang kata Itachi cukup berbahaya. Pemuda itu menutup hidung dan mulutnya menggunakan kain yang dipinjamkan Sakura padanya. Tekadnya sudah bulat. Monster, atau apapun itu akan dia hadapi!
.
.
TBC
.
.
[*] Saiken hanya berubah menjadi sosok Utakata, ya. Tapi kepribadiannya tetap Saiken, bukan Utakata.
.
Hai semuanya!
Hmmm… kok fic ini makin ngawur ya? Hahahaha maafkan ya, imajinasiku kadang melenceng sampai ke Mars. Eh tapi, di sini kekuatan Itachi cs beda yaaa sama di anime/manga, ini sesuai imajinasiku aja. Aku gak begitu hafal jurus-jurus yang Itachi cs punya.
Sebenernya aku rada males mau lanjutin fic-fic aku, soalnya beberapa hari yang lalu ada orang yg menyebut dirinya "Haters fic YAOI" mampir ke kolom reviewku. Di fic ini, sama di fic-ku yang mana gitu aku lupa.
Intinya dia ngatain kita yang suka YAOI ini sebagai orang yg gak punya moral, fic ku adalah fic yang menjijikkan dan tidak mendidik (kalo mau yg mendidik, baca buku pelajaran dah, jangan baca fic di FFN), dengan alasan dia masih normal jadi dia benci YAOI. Tapi pas aku tanya, dia suka fic rate M apa enggak, dia jawab suka karena dia masih normal. WTF?! Terus ngapa segala ngomongin moral? FFN kan penghuninya pada mesum semua. Hayooo, yang suka request adegan lemon angkat tangan! XD
Aku males sih sebenernya nanggepin, eh tapi kok lucu aja gitu, aku malah ngakak baca PM nya dia buat aku. Dia merasa aku ini cewek gak normal krn suka YAOI. Tapi maap yaaa aku masih normal kok, masi suka cowok XD
Dan ketika aku pikir si hater ini udah capek, eh taunya muncul lagi satu temennya (entah temennya atau orang yang sama). Tapi mereka login kok, bukan anon.
Dear Haters, aku ini cuma ingin menulis, menuangkan ide yang ada di kepalaku dalam bentuk tulisan. Dan kebetulan aku tertarik sama SasuNaru/NaruSasu. Jadi bukan untuk mencari musuh, mencari sensasi atau apa. Catatan ini juga sekedar berbagi cerita aja sama readers aku. Oke? Paham, ya? #peace
Dah, sekian curcolnya.
Apakah fic ini masih layak untuk di lanjutkan?
Adios!
