Disclaimer : Naruto bukan punya gue. Titik.
.
Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27
.
Warning : SASUNARU, BL! OOC (sudah jelas, ini fanfiksi BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya. Kalo ga suka, JANGAN CAPER :V
.
Sinopsis:
Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja keras untuk sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda manja itu?
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
Shikamaru menutup resleting tas ranselnya setelah ia selesai mengecek segala keperluan yang menurutnya wajib untuk dibawa. Ransel berukuran besar itu berisi segala perbekalannya dalam misi pencarian Naruto di hutan.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian pemuda itu.
"Shikamaru?" suara Yoshino terdengar dari balik pintu, "Boleh Ibu masuk?"
"Ya, Ibu. Masuk saja, tidak dikunci."
Yoshino membuka pintu itu, lalu menghampiri sang anak yang sedang sibuk dengan ranselnya. "Kau yakin akan mencari Naruto?"
"Iya. Ayah sudah memberi ijin. Jadi aku akan pergi mencari Naruto. Aku tahu dimana lokasi persisnya Naruto jatuh, semoga saja aku bisa menemukannya." Kata Shikamaru, "Sudah satu bulan lebih Naruto menghilang, Ibu. Aku tidak bisa berdiam diri lagi."
"Tapi, Nak …"
Shikamaru menghela napas, lalu tersenyum untuk menenangkan sang ibu, "Ibu, aku akan baik-baik saja. Hutan ini tidak ada hewan buasnya, jadi Ibu tenang saja."
"Baiklah kalau memang tekadmu sudah bulat. Ibu hanya ingin kau berhati-hati."
Shikamaru mengangguk, lalu menggendong ransel itu di punggungnya, "Ayo. Ayah sudah menungguku."
Sepasang ibu dan anak itu pun keluar dari kamar, lalu menemui Shikaku yang sedang memanaskan mesin mobilnya. Pria itu berencana mengantarkan Shikamaru ke rumah Nenek Chiyo, karena Shikamaru ingin mampir ke rumah sang nenek lebih dulu.
Setelah berpamitan dengan Yoshino, Shikamaru segera melompat masuk ke mobil, lalu mobil tua berwarna hitam itu melaju, membelah jalanan menuju ke hutan.
"Jadi, kau yakin ingin mencari Naruto seorang diri?"
"Ya, Ayah. Dari kecil aku sering bermain di hutan, jadi aku tahu di sana tidak ada binatang buas. Kalau pun ada, aku tahu apa yang harus aku lakukan."
"Baiklah, Nak. Kalau memang tekadmu sudah bulat. Ayah hanya ingin kau berhati-hati."
Shikamaru tertawa pelan. Ucapan ayahnya sama dengan ucapan sang ibu. Mereka memang sehati.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, sampailah mereka di rumah Nenek Chiyo. Nenek ramah dan baik hati itu menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Shikaku hanya mampir sebentar, karena Yoshino sendirian di rumah. Sebelum pergi, Shikaku sempat memeluk anak semata wayangnya, lalu berpesan agar sang anak selalu berhati-hati.
Sepeninggal sang ayah, Shikamaru duduk seorang diri di teras rumah. Dia sedang memikirkan rencana yang akan dia lakukan setelah masuk ke hutan, lalu memulai misi pencarian Naruto. Lamunan Shikamaru buyar ketika Nenek Chiyo datang menghampiri dengan membawa dua cangkir teh hangat.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Shikamaru?"
Shikamaru tersentak kecil, lalu menoleh, "Ah, Nenek," katanya. Ia membenarkan posisi duduknya, lalu menerima cangkir teh yang disodorkan sang nenek.
"Memikirkan Naruto?"
"Hmm, ya, begitulah."
Nenek Chiyo memanggukkan kepalanya beberapa kali, "Kau sangat menyayangi Naruto, ya?" Nenek Chiyo menyeruput tehnya, sambil menyunggingkan senyum yang tak terlihat oleh Shikamaru.
Pemuda itu tak menjawab, tetapi sekilas ada semburat merah di pipinya. Neneknya ini memang selalu bisa menebak apapun yang sedang dia pikirkan. Apakah neneknya ini seorang cenayang?
"Ya, begitulah, Nek. Kami sudah saling kenal sejak kecil. Naruto anak yang baik."
"Hmm … ya, Naruto memang anak yang baik," sang nenek setuju dengan ucapan Shikamaru, "Kau dan Naruto itu sudah seperti cucu kandungku sendiri. Aku menyayangi kalian dengan tulus. Tapi, apakah kau yakin akan mencari Naruto ke dalam hutan? Di dalam hutan sangat berbahaya, Nak." Jawab Nenek Chiyo.
"Aku yakin, Nek," Shikamaru meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu menatap mata sang nenek yang juga sedang menatap matanya, "Apapun yang terjadi, aku akan mencari Naruto sampai ketemu, lalu aku akan membawanya pulang."
Nenek Chiyo tersenyum misterius. Dia berdiri dari kursinya, "Kalau begitu, ikut denganku. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu."
Dengan kening berkerut bingung, Shikamaru berdiri dari kursinya, lalu mengikuti langkah kaki Nenek Chiyo. Pemuda itu hendak melontarkan pertanyaan, tetapi urung ketika sadar mereka sedang menuju ke kamar sang nenek.
Kamar Nenek Chiyo tidak luas, hanya kamar sederhana dengan perabotan yang terbuat dari kayu. Ada sebuah ranjang, lemari pakaian, dan sebuah meja yang terdapat banyak tumpukan buku yang terlihat usang termakan usia.
Nenek Chiyo menggeser karpet yang terbentang di dekat ranjang. Shikamaru yang awalnya mengerutkan keningnya bingung, terbelalak ketika menyadari ternyata di balik karpet itu ada sebuah pintu rahasia.
Nenek Chiyo menarik tuasnya, lalu terbukalah pintu itu yang ternyata terdapat tangga menuju ke ruang rahasia di bawah tanah. Kemudian, sang nenek masuk lebih dulu ke dalam ruangan gelap itu, lalu memerintahkan Shikamaru untuk mengikutinya.
Shikamaru menurut saja, meskipun berbagai pertanyaan muncul di benaknya.
Dibantu cahaya dari ponsel Shikamaru, mereka sampai di dasar ruangan gelap dan dingin itu. Nenek Chiyo meraba-raba tembok, lalu menekan sesuatu dengan suara 'klik' pelan. Seketika ruangan itu menjadi terang benderang.
Shikamaru menahan napasnya ketika melihat sebuah ruangan yang tidak pernah dilihatnya. Ruangan itu sangat luas seperti gedung olahraga. Di sisi sebelah kanan, ada lemari kayu yang digunakan untuk menyimpan berbagai macam senjata. Ada senjata tajam dengan berbagai macam ukuran, juga ada senjata api seperti senapan laras panjang dan beberapa pistol. Di sisi sebelah kiri ada arena untuk menembak. Dan di depan sana ada sebuah arena yang bisa Shikamaru tebak arena untuk latihan bela diri.
"Ruangan apa ini, Nek?"
"Ini ruangan untuk latihan."
"Latihan?"
Nenek Chiyo mengangguk, "Ya. Dulu, keluargaku berprofesi sebagai seorang Hunter."
Alis Shikamaru terangkat sebelah, "Hunter? Apa itu?"
"Hunter bertugas untuk berperang melawan werewolf yang pada jaman dulu sering berbuat kerusuhan, mereka sangat suka menculik manusia terutama gadis-gadis muda. Dan kebetulan, kakekku adalah ketua Hunter, begitu juga dengan ayahku."
"Begitukah? Lalu kemana sekarang para werewolf itu? Kenapa tidak pernah terlihat?"
"Duduklah di sana," Nenek Chiyo menunjuk sebuah kursi yang anehnya tidak berdebu dan terlihat bersih, "Nenek akan ceritakan semuanya padamu."
Shikamaru menghela napasnya. Sepertinya, misinya untuk menyelamatkan Naruto harus ditunda untuk sementara. Lagipula, pikirannya saat ini sedang terisi dengan sebuah pertanyaan yang cukup mengganggu. Siapa sebenarnya Nenek Chiyo ini?
.
.
.
"Kita mau ke mana, Sakura-san?" Kyuubi bertanya pada Sakura yang sedang menuntun mereka melewati terowongan berdinding batu yang menurutnya mencurigakan.
Bagaimana tidak. Sakura mengajak mereka ke ruang bawah tanah di rumahnya. Awalnya Kyuubi mengira ruang bawah tanah itu ruangan biasa seperti di film-film. Tapi ia tak pernah tahu jika ruangan bawah tanah di rumah penyihir itu merupakan sebuah terowongan.
Mereka berjalan menyusuri terowongan berdinding batu yang lebarnya hanya muat untuk satu orang dewasa itu. Sakura memimpin jalan, Kyuubi di tengah sedangkan Itachi berjalan paling belakang.
"Bersabarlah, Kyuubi-kun. Sebentar lagi kita sampai." Sakura menjawab pertanyaan Kyuubi tanpa repot menoleh ke belakang.
Pemuda berambut oranye itu tak puas dengan jawaban Sakura. Ia menoleh ke belakang lalu menatap Itachi dengan tatapan memelas, seolah meminta jawaban. Dia tidak suka tempat yang sempit, lembab dan gelap seperti ini.
Itachi balas menatap Kyuubi, lalu tersenyum, "Tidak apa, Kyuu. Tenanglah, tempat ini tidak berbahaya." Itachi mengelus kepala Kyuubi, berusaha menenangkan sang kekasih.
Dia paham pasangannya ini memiliki rasa takut pada tempat yang sempit dan gelap karena saat masih kecil, ia sering di kurung di dalam gudang selama satu minggu penuh oleh sang ayah. Tanpa makan dan tanpa minum.
Tetapi kali ini berbeda. Terowongan itu bukanlah tempat berbahaya. Lagi pula, ada Itachi di situ. Dia tak akan pernah membawa sang kekasih ke tempat yang berbahaya. Kalaupun mereka terpaksa pergi ke tempat yang berbahaya–seperti Hutan Barat–Itachi akan memastikan sang kekasih tetap aman dan baik-baik saja.
Pemuda itu menghela napas. Dia jadi kepikiran sang adik. Apa dia sudah makan? Apa dia tidak kedinginan atau kepanasan? Apa dia sudah bertemu dengan Shukaku lalu merebut tongkat milik Sakura? Itachi berharap sang adik tidak bertemu dengan monster berbahaya lainnya. Biarpun Sasuke sudah besar dan sudah mengerti tentang percintaan, tetapi baginya, Sasuke tetaplah adik kecilnya yang manis.
Langkah kaki mereka terhenti ketika mereka menemukan sebuah pintu kayu berukuran besar dengan ukiran rumit.
"Menuju kemana pintu itu, Sakura-san?" Kyuubi menatap pintu besar itu, lalu kening pemuda itu mengernyit ketika sadar, pintu itu tidak memiliki kenop. "Bagaimana kita membukanya?"
"Pintu ini hanya bisa dibuka dengan menggunakan sihir khusus, Kyuubi-kun. Perhatikan."
Sakura meletakkan tangan kanannya di tengah-tengah pintu itu, lalu memejamkan matanya. Bibir tipis merah jambunya menggumamkan sesuatu, lalu telapak tangannya mengeluarkan cahaya berwarna oranye. Cahaya itu merambat dari telapak tangan Sakura menuju ke ukiran-ukiran itu seperti efek domino, sehingga seluruh ukiran di pintu itu ikut mengeluarkan cahaya berwarna oranye.
Tanpa sadar, Kyuubi bergumam, "Wah!"
"Jangan takut, Kyuu, tidak apa-apa." Kata Itachi.
"Siapa yang takut! Aku hanya kaget!" Kyuubi mendesis tidak terima. Terkadang Itachi menganggapnya penakut, dan itu melukai harga dirinya.
Perhatian kedua pemuda itu teralih ketika mendengar suara pintu berderit terbuka. Mata oranye Kyuubi membelalak ketika dia melihat isi ruangan itu. Ternyata, di ruangan itulah peralatan sihir Sakura disimpan.
Sakura melangkah memasuki ruangan itu, lalu tersenyum pada kedua pemuda yang berdiri di ambang pintu, "Masuklah, ini ruangan kerjaku."
"Ruangan kerja?" beo Kyuubi. Pemuda itu menatap sekeliling ruangan yang menurutnya terkesan aneh dan unik, sekaligus menyeramkan.
Ruangan itu tidak terlalu luas. Hanya terdiri dari satu buah ruangan utama dan sebuah ruangan kecil di sudut ruangan dengan sebuah pintu sederhana yang terbuat dari kayu. Di dalam ruangan itu, terdapat satu buah rak berisi buku-buku yang berjejer rapi namun terlihat usang. Lalu di sudut ruangan ada beberapa jenis tanaman yang menurutnya aneh dan tidak biasa, beberapa bahkan berpendar biru keunguan. Di sana juga terdapat beberapa buah tabung dengan berbagai macam bentuk dan ukuran yang berisi cairan berwarna-warni. Di antara jejeran tabung itu, terdapat satu buah tabung yang terlihat menonjol. Tabung besar berukuran setinggi pria dewasa itu berisi sesosok makhluk aneh dengan bentuk tidak biasa, terendam dalam cairan berwarna hijau muda.
Kyuubi mendesis jijik dalam hati ketika melihat makhluk tidak jelas itu.
Sakura mengajak Itachi dan Kyuubi untuk duduk di kursi kayu yang ada di dalam ruangan itu, "Duduklah, Itachi-kun, Kyuubi-kun. Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian."
Kyuubi duduk dihadapan Sakura sambil mengernyitkan keningnya, "Kalau hanya ingin membicarakan sesuatu, kenapa harus ke ruangan ini segala?"
"Karena ruangan ini adalah ruangan rahasia yang kebal dengan segala macam sihir, jadi tak akan ada yang menguping pembicaraan kita," Jelas Sakura. Gadis penyihir itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Itachi yang sedang duduk di sebelah Kyuubi, "Apa kau masih ingat dengan tempat ini, Itachi-kun?"
Itachi mengangguk sekali, "Masih," jawabnya singkat.
"Kau pernah ke sini?" Kyuubi bertanya pada Itachi.
Itachi tersenyum tipis, "Pernah, tetapi sudah lama sekali sampai aku tidak ingat kapan tepatnya," jawab Itachi.
"Ehem!" Sakura berdehem untuk menarik perhatian kedua pemuda itu, "Sebaiknya kita langsung saja ke inti pembicaraan. Jadi, aku akan membicarakan tentang Krital Bulan. Nanti setelah Sasuke-kun kembali, sebaiknya kita segera mencarinya. Bagaimana menurutmu, Itachi-kun?"
"Aku setuju."
"Di mana Kristal Bulan itu, Sakura-san?" Kyuubi bertanya.
"Hmmm…" Sakura bergumam sambil menyentuh dagunya dengan telunjuk, seperti sedang mengingat sesuatu, "Menurut informasi, Kristal Bulan itu terletak di Desa Uzushiogakure. Dan aku memerlukan bantuanmu untuk bisa mendapatkan Kristal Bulan itu, Kyuubi-kun."
"Aku?" Kyuubi menatap Sakura dengan tatapan tidak percaya, "Kenapa bukan Itachi atau Sasuke? Mereka lebih kuat dari pada aku."
"Tidak, tidak. Aku memerlukan bantuanmu untuk memancing Kurama, monster musang berekor sembilan."
"Apa? Monster musang berekor sembilan?" Kyuubi menatap Itachi sejenak, lalu kembali menatap Sakura, "Bagaimana caranya?"
"Apa tidak ada cara lain?" Itachi menyela percakapan antara Kyuubi dan Sakura dengan nada keberatan yang kentara, "Bagaimana kalau monster itu melukai Kyuubi? Biar aku saja yang melakukannya."
Sakura menghela napasnya, "Tidak akan terjadi apapun pada Kyuubi-kun. Percayalah padaku."
Itachi menatap mata hijau Sakura dengan tatapan menyelidik. Sejurus kemudian pemuda berambut panjang itu menghela napas, "Baiklah. Tapi kalau terjadi sesuatu pada Kyuubi, aku tidak akan segan membunuh satu atau dua orang."
"Itachi! Jangan berlebihan!" Kyuubi memperingatkan. Sikap overprotektif Itachi kadang-kadang membuat Kyuubi sakit kepala, "Apa yang harus aku lakukan untuk memancing monster itu, Sakura-san?"
"Kau yakin bisa melakukannya?" Sakura balik bertanya.
Kyuubi mengangguk mantap, "Yakin!" jawabnya.
"Tidak ada hal khusus. Desa itu adalah desa yang sudah lama terbengkalai karena bencana alam yang terjadi tiga puluh tahun yang lalu. Kini, hanya tersisa reruntuhan bangunannya saja. Nah, kau hanya perlu berjalan menuju ke satu-satunya bangunan yang masih utuh di sana. Monster itu akan muncul. Dia tidak pernah suka kalau ada yang berusaha mendekati bangunan itu, entah kenapa."
"Itu saja?" tanya Kyuubi, yang dijawab anggukan kepala Sakura, "Baiklah kalau begitu. Kedengarannya mudah."
"Kau yakin? Di sana berbahaya, Kyuu," lagi-lagi Itachi berusaha membujuk sang kekasih, "Bagaimana kalau–"
Kyuubi mengangkat sebelah tangannya, menyela perkataan Itachi yang sudah dihafalnya dengan baik, "Aku akan baik-baik saja. Lagi pula, aku tidak pergi sendiri seperti Sasuke mencari Shukaku, kan? Ada kau, Sasuke, dan Sakura-san juga."
Itachi menghela napasnya, lalu mengangguk dengan raut wajah masam. Kekasihnya ini memang tidak mudah dibujuk. Jika dia sudah bertekad, sulit untuk meruntuhkannya. Itachi hanya harus memastikan monster itu tidak menyakiti Kyuubi.
.
.
.
Sasuke menahan kain yang menutup mulut dan hidungnya ketika angin di gurun menerbangkan pasir. Dia sungguh benci ini, suhu tubuhnya tergolong tinggi karena dia seorang wolf, dan berada di daerah gurun sungguh membuatnya tidak nyaman.
Dia ingin melepaskan segala kain yang membungkus tubuhnya, tetapi Sakura melarangnya karena kulitnya akan terbakar jika ia terlalu lama terpapar cahaya matahari di gurun.
Pemuda itu menghela napas.
Ini semua demi Naruto, dan juga demi Klannya. Sasuke rela berpanas-panasan di gurun asalkan dia bisa merebut kembali kekasihnya dari tangan Pein. Pemuda itu sungguh merindukan Naruto. Seandainya saja dia sudah 'menandai' Naruto, sekarang mereka pasti bisa melakukan telepati. Sayangnya, keadaan yang membuat dia tidak bisa melakukan itu dengan pasangannya.
"Pergi, kau! Tolong! Tolooooong!"
Sasuke menghentikan langkahnya ketika dia mendengar teriakan seseorang. Teriakan itu cukup jauh, tetapi bisa didengar dengan baik oleh Sasuke berkat pendengarannya yang tajam.
Sasuke berlari, menghampiri asal suara itu. Ternyata orang yang berteriak itu adalah seorang pria berambut panjang dengan kulit pucat. Pria itu berlari karena dikejar seekor monster kadal.
"Tolooooong!"
Pria itu tersandung, lalu terjatuh. Dia beringsut mundur ketakutan ketika monster kadal itu menyeringai, menunjukkan taringnya yang siap mengoyak tubuh pria malang itu. Tepat ketika kaki pria itu hampir digigit oleh monster kadal, tiba-tiba saja kadal besar itu terpelanting.
Ternyata Sasuke yang menendang monster kadal itu.
Sasuke menggeram mengancam. Mungkin monster kadal itu tahu kalau Sasuke bukanlah mangsa yang bisa ditaklukkan dengan mudah, akhirnya monster itu pun memilih untuk pergi. Dia akan mencari mangsa lain yang lebih mudah dilumpuhkan.
"Kau baik-baik saja, Tuan?" Sasuke bertanya. Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya ketika dilihatnya wajah pria itu tidak seperti manusia pada umumnya. Mata pria itu menyerupai mata ular.
Oh, Sasuke lupa dia sedang berada di wilayah Hutan Barat.
"A-aku baik-baik saja!" Pria itu berkata, suaranya sedikit serak dengan napas sedikit terengah, "Terima kasih sudah menolongku."
Sasuke tidak menjawab. Dia mengulurkan tangannya, lalu membantu pria itu untuk berdiri.
"Namaku Orochimaru. Siapa namamu? Aku benar-benar berterima kasih karena kau bersedia menolongku. Kalau tidak ada kau, mungkin obat ini tidak akan pernah sampai untuk para pasienku," Pria itu berkata setelah ia berdiri dengan tegak.
"Namaku Sasuke," Jawab Sasuke singkat, "Kalau begitu aku permisi dulu, ada misi penting yang harus segera ku selesaikan," Sasuke hendak beranjak, namun Orochimaru menahannya.
"Tunggu, Sasuke-kun!" Sasuke menoleh, namun tidak mengatakan apa-apa, "A-apa kau mau mengawalku untuk mengantarkan obat ini? Aku tidak tahu akan berhadapan dengan bahaya apa lagi. Obat ini benar-benar diperlukan oleh para pasienku. Desaku sedang diserang virus berbahaya."
Tentu saja Sasuke menolak, baginya, Naruto dan klannya lebih penting, "Tidak. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main denganmu."
"Ayolah, Sasuke-kun! Kau werewolf, kan? Kau pasti kuat, dan aku akan membayar berapapun untuk jasamu. Pasien-pasienku sangat membutuhkan obat ini, termasuk anak laki-lakiku. Tolonglah kami, tolonglah warga desaku."
Sasuke terdiam. Membantu pak tua ini, berarti semakin lama dia bertemu Naruto. Pemuda itu hendak menolak, tetapi tiba-tiba ia teringat Naruto. Bagaimana kalau seandainya Naruto adalah salah satu warga desa itu, sangat membutuhkan pertolongan namun tak ada yang mau membantu?
Sasuke menghela napas, "Baiklah. Aku akan mengawalmu."
"Benarkah?"
"Ya."
Orochimaru mengusap matanya yang berkaca-kaca, "Terima kasih, Sasuke-kun! Aku akan membayar berapapun yang kau minta!" Pria berambut panjang itu membungkukkan tubuhnya dalam-dalam sebagai wujud terima kasihnya.
"Tunjukkan jalannya."
Orochimaru memimpin jalan. Desa tempat tinggal Orochimaru bernama Kirigakure. Desa itu terletak sekitar empat jam berjalan kaki dari Sunagakure. Sama seperti Suna, desa itu tidak dihuni oleh manusia biasa, melainkan dihuni oleh makhluk setengah manusia dan setengah ular.
Di tengah perjalanan, Orochimaru menceritakan kalau obat itu dipesannya khusus dari Suna, karena desa mereka kekurangan obat. Kirigakure sedang dilanda virus mematikan yang menyerang ular. Puluhan warga tewas karena virus itu.
"Apa virus itu tidak akan menjangkitiku?" tanya Sasuke.
"Tidak akan, kau kan bukan ular." Jawab Orochimaru, "Lagi pula, werewolf memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa, bukan? Jadi kau tidak perlu takut, Sasuke-kun."
"Hn."
Ketika sedang asyik mengobrol–meskipun Orochimaru yang lebih banyak berbicara, Sasuke hanya menjawab sekedarnya–tiba-tiba terdengar suara raungan.
ROOOOAAAAAR!
Di depan mereka, muncul seekor monster dengan enam ekor. Monster itu keluar dari dalam pasir gurun. Bentuk monster itu menyerupai gurita, dengan tentakelnya yang sebesar mercusuar. Gurita itu menyeringai, menatap Sasuke dan Orochimaru.
"Makhluk kecil, berani sekali kalian melewati daerah kekuasaanku tanpa ijin?"
Sasuke mendengus, "Daerah kekuasaan? Aku hanya melihat kumpulan pasir."
Orochimaru memukul lengan Sasuke, "Maafkan kami, Gyuuki-sama! Kami akan segera pergi dari sini!" Manusia setengah ular itu menarik lengan Sasuke, mengajaknya untuk segera pergi dari situ.
Sasuke menyentak tangannya yang didekap Orochimaru, "Kau ingin mengulur waktu untuk mengantar obat itu? Kalau iya, aku tidak akan segan berbalik arah untuk melanjutkan misiku."
"I-iya, tapi bagaimana bisa kita melewati monster besar begitu?" Orochimaru berbisik sepelan mungkin, agar tidak didengar oleh sang monster.
"Lewati saja, apa susahnya?" Sasuke berbalik menghadap monster besar itu, "Hei, monster. Biarkan aku lewat!"
"Kurang ajar!" Makhluk besar itu kembali meraung, "Berani sekali kau padaku! Aku bunuh kau!"
Sang monster kembali meraung, lalu menerjang Sasuke dengan salah satu tentakelnya. Sasuke melompat tinggi untuk menghindar, sementara Orochimaru berlari sambil melindungi obat-obat yang ada di tas besarnya agar tidak pecah.
Sasuke mendarat di pasir, lalu kembali bersiaga. Dia belum pernah berhadapan dengan monster sebesar ini. Tapi setidaknya dia sudah pernah melihat monster sebesar ini di pintu masuk Hutan Barat.
Gyuuki kembali meraung, "Hebat juga kau bisa menghindar!"
Sasuke tidak menjawab, dia memejamkan matanya selama sedetik, kemudian mengaktifkan Sharingan-nya. Mata tajam itu mengawasi Gyuuki dengan awas. Dia menghindar ketika Gyuuki kembali melancarkan serangannya.
Sasuke berlari dengan cepat, lalu melompat tinggi untuk mencapai mata sang monster. Pemuda itu menendang salah satu mata monster itu dengan kuat.
Gyuuki meraung. Sekuat apapun dia, matanya adalah salah satu kelemahan yang dia punya. Sasuke masih melayang di udara ketika mata merahnya bertatapan dengan salah satu mata Gyuuki yang terbuka.
Mata Gyuuki melebar. "K-Kau!"
Sasuke mendarat di tanah, dia memanjangkan kuku di tangan kanannya, lalu bersiap untuk menyerang sang monster. Ketika Sasuke hendak menyerang Gyuuki dengan kuku-kuku itu, tiba-tiba saja Gyuuki berteriak.
"Tunggu! Kau seorang Uchiha?!"
Sasuke menahan gerakannya, "Tidak usah berbasa-basi!" Mata tajam itu menyipit, memperhatikan Gyuuki dengan tatapan menyelidik.
"Aku tanya sekali lagi, apa kau seorang Uchiha? Matamu …"
"Kalau iya, memangnya kenapa?"
"Apa kau yang bernama Uchiha Itachi?" Gyuuki kembali bertanya.
Sasuke mendengus, setengah berteriak ia berkata, "Bukan! Aku adiknya!" kata pemuda itu dengan nada yang terdengar kesal. Ternyata kakaknya populer juga.
Gyuuki tidak menjawab. Dia memperhatikan Sasuke dalam diam. Kemudian, monster gurita itu memejamkan sebelah matanya yang masih terbuka. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sosok Gyuuki mengeluarkan cahaya. Cahaya berwarna putih terang itu membungkus tubuh besar itu hingga tak terlihat, kemudian ukuran tubuh Gyuuki perlahan menyusut.
Ketika cahaya itu menghilang, sosok Gyuuki berubah menjadi sesosok pria bertubuh tinggi, besar dan kekar. Kulitnya berwarna cokelat gelap, dengan rambut berwarna putih.
"Siapa kau?" Sasuke bertanya. Pemuda itu kembali bersiaga dengan posisi siap menyerang.
Pria itu mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah dan tidak akan menyerang Sasuke, "Santai, anak muda! Aku hanya ingin bertanya beberapa hal padamu."
Sasuke menatap mata pria itu sejenak. Setelah memastikan pria di depannya ini tak akan menyerang, Sasuke mengendurkan sikap defensifnya, tetapi matanya masih menyala merah.
"Ku tanya sekali lagi, siapa kau?" Sasuke bertanya sekali lagi.
"Aku Killer B. Kau bisa memanggilku B," Kata pria itu, "Aku adalah Gyuuki–monster berekor enam tadi–sedangkan ini adalah wujudku dalam bentuk manusia."
"Hn," Sasuke mengangguk mengerti, "Aku Sasuke. Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?" Sasuke bertanya dengan nada datar yang terdengar tidak ramah, membuat B mengerutkan keningnya.
"Kau berbeda dengan kakakmu, ya. Ku dengar, Uchiha Itachi adalah orang yang ramah."
"Aku bukan kakakku."
B menghela napas, "Ya, terserahlah." Katanya, "Aku ingin menanyakan, apakah Akatsuki masih menguasai Hutan Timur?"
Rahang Sasuke mengeras. Dia tidak suka mendengar nama Akatsuki disebut, "Ya," Jawabnya.
"Aih, kau ini ketus sekali!" Keluh B, "Ah, iya. Jadi, apa yang kau lakukan di Hutan Barat? Setahuku makhluk seperti kalian lebih suka hidup di Hutan Timur? Apakah ini ada hubungannya dengan Akatsuki?"
"Ya. Dan sekarang, aku sedang dalam misi untuk mencari sesuatu. Kau sudah puas bertanya, kan? Biarkan aku lewat. Ada hal lebih penting yang harus aku lakukan dari pada meladeni sesi tanya jawabmu."
"Sasuke-kun!"
Sasuke menoleh ketika namanya dipanggil. Orochimaru berlari kecil menghampirinya. Manusia setengah ular itu berlari sambil memeluk tas berisi obat miliknya. Pria itu berdiri di sebelah Sasuke, sambil menatap B dengan tatapan takut sekaligus penasaran.
"Anda kah itu, Gyuuki-sama?" Orochimaru bertanya.
"Ya, tapi kalau sedang menjadi manusia, namaku adalah Killer B. Kau siapa?"
"Saya Orochimaru, salam kenal!" jawab Orochimaru. Pria itu menatap B dengan tatapan memelas, "Hmm, apakah Anda keberatan jika saya lewat? Saya harus mengantarkan obat untuk penduduk desa."
"Memangnya asalmu dari mana?"
"Kirigakure."
Mata B melebar, "Kirigakure yang sedang dilanda wabah penyakit itu?" tanya B, yang dibalas anggukan oleh Orochimaru, "Boleh, silahkan saja kalau mau lewat. Tapi kenapa Sasuke ikut bersamamu?"
"Dia mengantarkan saya ke sana, karena di sini ada banyak monster menyeramkan dan berbahaya. Saya hanyalah manusia setengah ular biasa yang berprofesi sebagai seorang dokter," Jawab Orochimaru.
"Benarkah itu, Sasuke?" B bertanya pada Sasuke yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mereka.
"Hn," Sasuke menjawab pertanyaan B dengan gumaman. Pemuda itu tampak tidak tertarik untuk terlibat dalam pembicaraan yang menurutnya tidak penting.
"Yosh! Kalau begitu aku ikut denganmu, Sasuke."
"Apa?" Sasuke mengerutkan keningnya mendengar ucapan B, "Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membalaskan dendamku pada Akatsuki!" jawab B. Pria itu mengepalkan tangannya, "Akan ku cincang Pein dan anak buahnya!"
Sasuke terdiam, lalu menghela napas, "Terserahlah, tapi jangan menyusahkan aku," katanya.
Sepertinya perjalanan Sasuke kali ini akan memakan waktu lama. Pemuda itu tidak berkata sepatah katapun ketika ia melangkah lebih dulu, meninggalkan Orochimaru dan B yang sibuk mengobrol di belakangnya.
.
.
.
Naruto menghembuskan napasnya dengan kesal. Dia sedang duduk seorang diri di dalam kamar yang diberikan Pein untuknya.
Kamar yang diberikan Pein tidak buruk. Cukup nyaman dan hangat. Tetapi yang membuat Naruto tidak betah adalah suasananya yang sepi dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara di sini. Entah kemana perginya Karin dan Tobi yang biasa menemaninya. Deidara sedang ditugaskan ke perbatasan oleh Pein.
Mata biru pemuda itu menatap langit lewat jendela besar di sisi kamar, "Sasuke sedang apa, ya? Aku kangen wajah datarnya," katanya pelan, kemudian ia kembali mendesah.
Ia mengerucutkan bibirnya ketika ingat sikap dingin dan wajah datar wolf yang mengaku sebagai pasangannya itu. Sedetik kemudian, ia tersenyum ketika ingat bagaimana perlakuan Sasuke ketika Naruto kedinginan, atau ketika Naruto dalam bahaya. Sasuke itu seperti dispenser air, kadang sifatnya sedingin es, kadang-kadang sikapnya hangat, tetapi kalau sedang marah bisa sepanas air mendidih.
Pintu di kamar itu terbuka lebar tanpa aba-aba, membuat Naruto berjengit kaget. Tobi muncul dari balik pintu.
"Naruto! Kita harus segera pergi dari kamar ini, Akatsuki diserang!"
Meskipun wajah Tobi tidak terlihat karena tertutup topeng, tetapi Naruto tahu kalau pemuda itu sedang panik.
"Diserang oleh siapa?"
"Diserang oleh Klan Inuzuka! Ayo!"
Naruto memekik kaget ketika Tobi menarik tangannya dengan tiba-tiba, pemuda itu nyaris saja terjengkang di lantai. Pemuda itu tak sempat protes karena ketika mereka melewati koridor, suasana di luar sudah kacau dengan beberapa wolf pasukan Pein berlarian kesana kemari.
Naruto mengikuti dengan pasrah kemana Tobi membawanya. Mereka kembali melewati sebuah koridor panjang yang setahu Naruto menuju ke kamar pribadi Pein. Untuk apa dia dibawa kemari?
Di ujung koridor, mereka berpapasan dengan Pein yang baru keluar kamar, diikuti Konan.
"Tobi," Pein menatap mata hitam Tobi dengan tajam, "Bawa Naruto dan Konan masuk ke dalam kamarku, lalu jaga kamar ini agar tidak tersentuh siapa pun."
Konan tersentak ketika mendengar perintah Pein, "Tidak! Aku ikut melawan musuh!"
"Tidak, Konan. Apa kau lupa, terakhir kali kau ikut perang, kau terluka parah? Lebih baik kau disini saja. Dan kali ini aku tidak menerima bantahan."
Konan menatap Pein dengan khawatir, "Apakah kau akan baik-baik saja? Maksudku, Klan Inuzuka bukanlah klan yang mudah ditaklukan."
Pein tidak menjawab, sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh pipi pasangannya, "Aku akan baik-baik saja. Kau tetaplah di sini, bersama Naruto dan Tobi. Aku akan segera kembali."
Konan menganggukkan kepalanya, "Baiklah," Gadis itu memejamkan matanya ketika Pein menunduk, lalu mengecup bibirnya dengan sayang, "Hati-hati, oke? Berjanjilah kau akan kembali dalam keadaan baik-baik saja," Kata Konan ketika ciuman itu terlepas.
"Ya," Jawab Pein. Pria berwajah dingin itu menoleh ke Naruto, "Kau tetap diam di sini, dan jangan berbuat ulah. Atau aku akan membunuhmu. Kau mengerti?"
"Ya, ya, santai saja. Aku mengerti," Naruto menjawab dengan santai. Hampir setiap hari dia menerima ancaman dan tekanan dari Pein dan anggota Akatsuki yang lain. Dia sudah mulai terbiasa.
Pein melangkah pergi setelah menatap wajah Konan selama beberapa detik. Kemudian, Konan, Naruto dan Tobi masuk ke dalam kamar, lalu kamar itu dikunci dari dalam.
"Apakah Pein akan baik-baik saja, Tobi?"
"Tentu saja, Konan-sama. Pein-sama akan baik-baik saja." Tobi menjawab dengan ramah, "Apakah Konan-sama ingin minum sesuatu? Saya akan menyuruh Karin untuk membawakannya."
Konan mengangguk, "Ya, aku ingin minum teh hangat."
Tobi mengirimkan telepati kepada Karin, lalu setelah lima belas menit menunggu, seseorang mengetuk pintu kamar sambil berteriak, "Nenek Sihir Berkepala Merah datang!"
Mendengar teriakan itu, Tobi segera membalas, "Si Anak Baik membuka pintu!"
Karin masuk ke dalam kamar sambil bersungut-sungut, "Jenius sekali kau membuat kode nama! Kode namaku Nenek Sihir Berkepala Merah, sedangkan kau Si Anak Baik? Hah, yang benar saja!"
Tobi tertawa terpingkal-pingkal dengan gayanya yang kekanakan, "Julukan itu memang cocok untukmu, kau itu lebih galak dari pada ibuku!"
"Sialan kau!"
Naruto tertawa melihat Tobi dan Karin yang selalu bertengkar, tidak pernah akur. Sedangkan Konan hanya tersenyum tipis melihat kedua orang yang selalu membuat Akatsuki yang suram menjadi lebih berwarna.
"Jadi, yang mana tehku, Karin?"
"Ah, maafkan saya, Konan-sama. Ini tehnya," Karin mengangsurkan nampan berisi secangkir teh untuk Konan, lalu satu cangkir lagi diberikannya pada Naruto, "Ini, untukmu."
Pemuda berambut pirang itu mengangkat sebelah alisnya, "Ini untukku?"
"Memangnya untuk siapa lagi? Nenek moyangmu?"
"Baiklah, baiklah, terima kasih, Karin-sama yang baik hati." Canda Naruto.
Biarpun Karin itu selalu ketus dan judes padanya, tapi Karin selalu membawakannya makanan dan minuman, juga selalu menemaninya di kamar meskipun kadang-kadang ia menghilang entah kemana.
Mereka berempat mengobrol dan saling bertukar cerita sambil menunggu kedatangan Pein. Di balik sikapnya yang pendiam dan tidak terlalu banyak bicara, ternyata Konan adalah sosok yang hangat dan juga perhatian, meskipun kadang dia lebih banyak diam memperhatikan.
Beberapa kali Konan bertanya tentang Tokyo pada Naruto. Konan sangat ingin pergi ke Tokyo, tetapi Pein selalu menolak dengan alasan dunia manusia tidak aman untuknya. Pein itu memang terlihat acuh dan dingin, tetapi dia bisa berubah menjadi pria yang overprotektif dan posesif jika sudah menyangkut pasangannya.
Dua jam berlalu, Konan mulai menguap. Sedangkan Naruto sudah jatuh tertidur di sofa lebih dulu, dan sekarang sedang tidur pulas seperti beruang yang sedang hibernasi. Konan berpamitan untuk merebahkan tubuhnya sejenak, karena dia sangat mengantuk.
Setelah Konan tertidur pulas, Karin dan Tobi saling melempar pandang. Gadis berambut merah itu kemudian tersenyum misterius sambil menatap Naruto yang sedang bermimpi indah.
.
.
.
"Nah, Sasuke-kun. Ini adalah desaku. Kirigakure." Orochimaru berkata pada Sasuke yang berdiri diam di sebelahnya, "Apa kau pernah ke sini sebelumnya?"
Sasuke mengangkat sebelah alisnya, lalu menatap Orochimaru dengan tatapan aneh, "Kau bercanda? Aku tidak akan menyuruhmu menunjukkan jalannya kalau aku pernah ke sini," Ucapnya.
Manusia setengah ular itu tertawa pelan dengan suara seraknya yang khas, "Kau benar juga. Aku baru ingat kalau ini pertama kalinya kau berada di wilayah Hutan Barat," Kata Orochimaru.
"Apa rumahmu masih jauh?" B bertanya.
"Tidak, B-sama. Cukup dekat dari sini. Mari," Orochimaru membimbing kedua orang itu untuk mengikuti langkah kakinya.
Sasuke memperhatikan sekitarnya. Desa itu terlihat sepi dan sunyi, karena tidak ada satu pun penduduk yang terlihat. Ditambah kabut yang menutupi desa, membuat suasana kian mencekam. Pemuda itu mengawasi sekelilingnya dengan awas, masalahnya desa ini tidak seperti desa manusia pada umumnya. Bisa saja monster aneh tiba-tiba muncul untuk menyerangnya.
"Nah, itu dia rumahku, sudah terlihat!" Orochimaru menunjuk sebuah bangunan bertingkat di depan sana, "Rumahku di lantai paling atas."
"Oh, jadi yang itu rumahmu?" B mengikuti arah telunjuk Orochimaru, "Ngomong-ngomong, kemana penduduk desa?"
"Mereka semua tidak bisa keluar rumah, antara sedang sakit, atau sedang sibuk mengurus keluarganya yang sakit. Sisanya berada di rumah sakit. Wabah ini adalah wabah terparah sepanjang sejarah," jelas Orochimaru.
"Oh, begitu. Kelihatannya lebih parah dari kabar yang pernah aku dengar," Sahut B.
Tanpa banyak kata, mereka bergegas menuju ke rumah Orochimaru. B sempat mengeluh karena harus menaiki anak tangga yang cukup banyak untuk bisa sampai ke lantai paling atas.
"Nah, ini dia rumahku." Orochimaru mengetuk pintu rumahnya beberapa kali sampai seseorang membukakan pintu dari dalam. Seorang bocah laki-laki berambut silver dengan kacamata bulat, kira-kira usianya sepuluh tahunan.
"Ayah?!" Bocah itu memekik, "Ayah sudah kembali? Cepat sekali," katanya.
"Ya, Ayah sudah kembali, Nak. Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?" Orochimaru menempelkan punggung tangannya pada kening sang anak, "Tubuhmu sudah tidak demam lagi."
"Aku sudah lebih baik, Ayah. Meskipun belum sembuh benar," Bocah itu melirik Sasuke dan B, "Mereka siapa?"
"Ah," Orochimaru mengalihkan perhatiannya pada kedua tamunya, "Ini adalah Sasuke-kun dan B-sama. Beri salam, Kabuto."
Bocah bernama Kabuto itu menunduk dengan sopan, lalu memperkenalkan dirinya dengan singkat. Begitu pula B dan Sasuke, mereka hanya menyebutkan nama tanpa menyebut dari mana mereka berasal.
Setelah itu, Orochimaru mengajak Kabuto, Sasuke dan B menuju ke rumah sakit tempatnya bekerja yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Kabuto di ajak untuk menerima suntikan obat yang dibawa Orochimaru.
Keadaan di rumah sakit sungguh kacau. Banyak pasien yang tidur di koridor karena tidak kebagian kamar rawat. Kamar jenazah juga penuh karena banyak korban tewas akibat wabah penyakit yang menyerang ular itu.
Orochimaru langsung turun tangan. Pria itu menyuntikkan obat yang sudah dibaginya dengan rata ke tubuh para pasiennya. Sedangkan B dan Sasuke menunggu di ruang kerja Orochimaru.
Awalnya B hendak membantu, tetapi karena dilihatnya Sasuke malah duduk lalu memejamkan matanya, akhirnya B ikut duduk diam sambil menatap wajah lelah Sasuke.
Tiga jam kemudian, Orochimaru kembali dari tugasnya membagikan obat. Kabuto sedang istirahat di salah satu kamar rawat, tubuhnya masih lemah dan belum sembuh benar.
"Nah, tugasku di sini sudah selesai. Mari kita kembali ke rumah, ada yang ingin aku berikan padamu, Sasuke-kun."
"Apa itu?"
"Nanti juga kau akan tahu," kata Orochimaru sambil tersenyum misterius.
"Wah, jangan-jangan dia akan memberikan anaknya untukmu, Sasuke?" bisik B, yang mendapat tatapan tajam dari Sasuke, "Aku hanya bercanda, Uchiha. Kau itu kaku sekali."
Sasuke tidak menjawab perkataan B yang menurutnya tidak penting. Dia berjalan terus menuju ke rumah Orochimaru.
Sesampainya di rumah, Orochimaru mempersilahkan Sasuke dan B untuk menunggu di ruang tamu, sementara ia masuk ke dalam kamar pribadinya. Sepuluh menit kemudian, Orochimaru kembali ke ruang tamu, lalu menyodorkan sesuatu pada Sasuke.
"Bawalah ini, Sasuke-kun. Ini akan membantumu menjalankan misi pentingmu."
"Apa itu?"
"Hmm, sebuah pedang?"
"Ya, aku tahu itu pedang, mataku tidak buta. Maksudku, pedang apa itu?"
Orochimaru tersenyum, mata emasnya menatap pedang yang masih berada di dalam sarungnya itu, "Ini adalah Pedang Kusanagi. Kau dapat memotong apapun dengan pedang ini, pedang ini bahkan bisa memanjang dan menyerang dari jarak jauh, sesuai keinginanmu. Ayahku pernah berkata, konon pedang ini bisa memotong petir atau dialiri listrik untuk melawan musuh yang kuat. Ku rasa, pedang ini akan lebih bermanfaat jika kau yang membawanya dari pada aku."
"Dari mana kau mendapatkan pedang ini, Orochimaru?" B bertanya.
"Pedang ini diwariskan dari ayah saya, B-sama. Tetapi saya rasa, saya tak membutuhkannya. Dari pada disimpan saja, akan lebih berguna jika Sasuke-kun yang membawanya. Lagi pula, ini untuk ucapan terima kasih karena Sasuke-kun sudah menolong saya dari terkaman monster kadal."
Sasuke menatap pedang itu. Benarkah pedang yang terlihat biasa saja ini memiliki kekuatan sehebat itu?
"Kau yakin akan memberikan pedang itu padaku?" tanya Sasuke.
"Yakin. Ambillah," Orochimaru menyodorkan pedang itu, "Sasuke-kun?" Dia memanggil nama Sasuke ketika pemuda itu hanya diam sambil memperhatikan pedang itu.
Tangan kanan Sasuke terangkat, menerima pedang pemberian Orochimaru, "Baiklah, aku terima pedang ini." Ketika Sasuke menggenggam pedang itu, ia bisa merasakan jika pedang ini bukanlah pedang biasa, "Terima kasih, Orochimaru."
Orochimaru tersentak, "Oh, ini bukan apa-apa! Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, Sasuke-kun!" Pria itu sedikit gelagapan karena tidak menyangka orang dingin dan ketus macam Sasuke akan mengucapkan terima kasih padanya.
Well, Sasuke juga punya tata krama mengingat dia berasal dari Klan terhormat macam Uchiha.
"Hn," Sasuke bergumam. Pemuda itu menimbang-nimbang pedang di tangannya. Sepertinya senjata barunya ini akan mempermudah misi yang harus diselesaikannya.
.
.
.
Sasuke dan B berjalan bersebelahan di tengah gurun. Tidak ada pembicaraan di antara mereka. Sasuke enggan berbicara karena kesal dengan suhu gurun yang panas, sedangkan B sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sudah dua jam mereka berjalan melintasi gurun, tetapi sarang monster yang dicari Sasuke tak kunjung ditemukan.
"B," Sasuke memecah keheningan di antara mereka, "Apa kau pernah bertemu dengan Shukaku?"
"Tidak. Aku pernah mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu secara langsung. Memang kenapa?"
"Tidak ada," jawab Sasuke singkat.
Pemuda itu kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar gurun. Matanya menangkap sebuah gua yang terbuat dari batu. Gua itu terlihat mencolok karena terletak di tengah-tengah gurun.
"B, kau lihat gua itu?"
"Yang mana?"
Sasuke menunjuk dengan jarinya, "Sebelah sana, yang terbuat dari batu."
"Ya, kenapa?"
"Aku rasa gua itu lah yang aku cari. Sakura bilang, Shukaku tinggal di gua batu di tengah gurun."
Kening B mengernyit, "Siapa Sakura?" Tanyanya.
"Temanku," jawab Sasuke.
B tersenyum jenaka, "Ah, masa cuma teman? Jangan-jangan dia pacarmu?"
"Kau ingin ikut aku memeriksa gua itu, atau diam di sini saja sambil mengobrol dengan pasir gurun?" Sasuke bertanya dengan nada kesal yang kentara. Dia tidak suka orang yang banyak bicara ketika sedang mengerjakan sesuatu.
B memutar bola matanya, "Kau tahu, kau itu sama sekali tidak asik." Gerutunya.
Sasuke tidak menggubris kata-kata B. Ia berjalan menuju ke gua itu, diikuti B di belakangnya. Gua itu terlihat lebih besar jika dilihat dari dekat. Ketika sampai di mulut gua, Sasuke berhenti sambil memperhatikan sekitar.
"Kau merasakan tanda-tanda keberadaan Shukaku?" tanya Sasuke pada B.
"Tidak," Jawab B, "Aku bisa merasakan keberadaannya jika ia sedang berada dalam wujud monsternya. Jika dia berada dalam wujud manusia, aku tidak bisa merasakan auranya."
Sasuke menghela napasnya, lalu bergumam, "Hn," pemuda itu tidak menyangka akan sesulit ini menemukan seekor monster.
Perhatian Sasuke teralih pada seseorang di kejauhan. Seorang pemuda sedang berjalan menuju ke gua itu.
Sasuke memberi kode pada B untuk bersembunyi di balik sebuah batu besar di dalam gua. Kemudian, mereka mengintai sang pemuda dari tempat persembunyiannya.
Pemuda asing itu tampak mencolok karena ia menggendong sebuah gentong besar di punggungnya. Dia mengenakan kain untuk menutupi kepala dan sebagian wajahnya, sehingga Sasuke tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Pemuda asing itu berhenti di depan mulut gua, lalu melepas kain yang menutupi wajah dan juga kepalanya.
Sasuke bisa melihat wajah pemuda itu. Dia memiliki rambut berwarna merah, wajah yang tampan, berkulit putih, bola mata berwarna hijau dengan lingkaran gelap di bawah matanya. Tatapan matanya tajam, dan Sasuke yakin pemuda itu bukanlah seseorang yang lemah.
Sasuke dan B saling pandang ketika sang pemuda berteriak, "Siapa yang masuk ke guaku? Keluar!" Teriaknya.
Sasuke keluar dari persembunyiannya, diikuti B. Tatapan pemuda asing berambut merah itu menajam. Dia memperhatikan Sasuke dan B dengan awas.
"Siapa kalian? Kenapa kalian berada di guaku?"
"Ini guamu? Wah, maaf, sepertinya kami salah masuk gua." B menjawab pertanyaan pemuda itu, "Namaku B, dan ini Sasuke, kau siapa?"
"Sabaku Gaara," jawab sang pemuda. Sasuke mengernyit ketika mendengar nada bicara sang pemuda yang kelewat datar.
B mengangguk mengerti, "Oh. Maaf ya, Gaara, kami mengira gua ini adalah sarang Shukaku." Baru saja B hendak beranjak keluar dari gua, tiba-tiba saja dia terpental, lalu menabrak dinding gua.
"B!" Sasuke berteriak, lalu ketika ia menatap sang pemuda, mata hitamnya melebar. Pemuda berambut merah tadi berubah, menjadi sesosok monster gemuk berekor satu. Ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, mungkin tingginya hampir sama dengan B.
"Shukaku!" B berteriak, entah bagaimana ceritanya dia sudah berdiri di sebelah Sasuke lagi, "Dia adalah Shukaku!"
"Sial," gumam Sasuke. Dia sama sekali tidak menyangka, pemuda itu adalah Shukaku! "Shukaku! Kembalikan tongkat sihir milik Sakura!"
Shukaku tertawa, "Hahahahahaha! Seekor wolf lemah berani mendatangiku!" Monster gemuk itu menyeringai, "Ambillah kalau kau bisa, wolf!"
B hendak menyerang Shukaku, tetapi Sasuke menahannya, "Biar aku saja, B," katanya. Pemuda itu mengeluarkan pistol pemberian Sakura, lalu menyerahkannya pada B, "Kau bisa menembak?"
"Tidak," jawab B, "Ini pertama kalinya aku memegang pistol."
Sasuke menghela napas, lalu merebut kembali pistol itu dari tangan B, "Kalau begitu biar aku saja," katanya, "Monster ini tidak terlalu besar, sepertinya mudah untuk mengalahkannya."
Sasuke melompat ke depan, lalu berhenti beberapa meter di depan Shukaku. Pemuda itu menyiapkan kuda-kuda, lalu menyerang dengan tinjunya. Sayangnya, tinju Sasuke tidak bisa mengenai monster itu karena Shukaku memasang barrier berupa pasir yang sangat keras.
Shukaku balas menyerang. Dia menghantam Sasuke dengan pasirnya yang dibentuk menjadi bola pasir. Sasuke terpental, lalu menabrak dinding gua.
Sasuke mengerang, punggungnya terasa kebas. Jika saja dia bukan wolf, Sasuke mungkin sudah mati.
"Sial," Pemuda itu mengumpat, lalu mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
Sasuke kembali menyerang Shukaku. Kali ini dia mengaktifkan Sharingan-nya. Tinju Sasuke menjadi lebih kuat dari sebelumnya, menciptakan retakan di barrier pasir milik Shukaku. Tetapi tinju Sasuke tidak cukup kuat untuk menghancurkan barrier itu.
"Wolf lemah, kau tidak akan bisa mengalahkan aku! Hahahaha!"
"Cih, kita lihat saja nanti, buntalan lemak!" Sasuke kembali menerjang Shukaku, tetapi kali ini dia kembali terpental karena Shukaku kembali menghantam tubuh pemuda itu dengan empat bola pasir sekaligus, "Urgh!" erang Sasuke.
Sasuke terpental, lalu jatuh di dekat kaki B.
"Kau baik-baik saja, Sasuke?!" B bertanya dengan khawatir.
"Aku baik-baik saja. Aku harus mengalahkan monster itu dengan tanganku sendiri jika aku ingin mengalahkan Pein dan anak buahnya," Sasuke meludahkan darah yang berkumpul di mulutnya, lalu kembali berdiri tegak.
Sasuke menarik pedang yang diberikan Orochimaru, "Aku harus menghancurkan barrier itu dulu," gumam Sasuke. Ketika pedang itu tercabut dari sarungnya, Sasuke bisa merasakan pedang itu bukanlah pedang sembarangan. Sasuke menyeringai, "Kusanagi, mohon kerja samanya!"
"Kau tidak akan bisa menghancurkan barrierku, wolf lemah!"
"Heh, kita lihat saja!"
Sasuke kembali menyerang Shukaku, kali ini dengan menggunakan Kusanagi. Dan perkataan Orochimaru terbukti benar, pedang itu sanggup menghancurkan barrier Shukaku yang sangat keras. Setelah barrier itu hancur, Sasuke segera meninju wajah Shukaku.
Monster besar itu terpental, terlempar keluar gua.
Shukaku menggeram, "Sialan kau, wolf terkutuk!" dia mengumpat, lalu tiba-tiba cahaya terang menyinari tubuh Shukaku. Monster itu merubah tubuhnya menjadi besar, sebesar Gyuuki dan Saiken.
Monster itu meraung.
Sasuke berlari keluar gua, lalu memanfaatkan keadaan dengan menembak Shukaku. Tetapi tembakan pertama itu meleset, Shukaku menangkisnya.
"Cih, sial!" umpat Sasuke.
Sasuke kembali bersiap, Kusanagi di tangan kiri sedangkan pistolnya berada di tangan kanan. Shukaku melayangkan tangan besarnya untuk menghantam Sasuke, tetapi pemuda itu bisa menahannya dengan Kusanagi.
Sasuke kembali menembak, tetapi lagi-lagi Shukaku menangkisnya dengan menghempaskan ekornya. Sasuke memutar otaknya. Amunisi yang diberikan Sakura tinggal satu, jadi dia harus menembak tepat sasaran.
"B!" Sasuke berteriak, memanggil B.
B segera menghampiri pemuda berambut hitam itu, "Sasuke!"
"B, aku membutuhkan bantuanmu! Kau alihkan perhatiannya, lalu aku akan menembaknya. Kau bisa melakukannya?" bisik Sasuke. Persetan dengan mengalahkan Shukaku seorang diri, dia perlu strategi jika ingin menang melawan monster ini. Dan bekerja sama adalah cara terbaik.
"Tentu, serahkan padaku."
B berlari, lalu merubah dirinya menjadi Gyuuki. Kedua monster itu pun bertarung. Gyuuki meninju Shukaku, tetapi tiba-tiba saja ada barrier pasir yang menghalangi tinju Gyuuki.
Shukaku tertawa mengejek. Monster gemuk itu memang suka memandang rendah lawannya, "Kau itu lemah, Gyuuki–" Ucapan Shukaku terhenti. Dia menatap kakinya yang terkena tembakan Sasuke, "Sialan kau, wolf–!" ucapannya lagi-lagi terhenti karena pandangan monster itu tiba-tiba berkunang, dunia di sekitarnya seolah berputar. Lalu pandangannya berubah gelap.
Shukaku ambruk.
Ukuran monster itu perlahan mengecil, sangat kecil hingga ukurannya hanya sebesar kucing di dunia manusia. Sasuke mendekat, lalu mengambil makhluk yang tidak sadarkan diri itu.
"Mau kau apakan monster itu, Sasuke-kun?"
Sasuke mengendikkan bahunya, "Entahlah, Sakura memintaku untuk membawa monster ini. Mungkin untuk dijadikan bahan eksperimen?" jawab Sasuke asal, "Sekarang kita harus mengambil tongkat sihir Sakura."
Kedua lelaki itu pun kembali ke dalam gua.
Tongkat sihir Sakura tersimpan di dalam gua, menancap pada sebuah batu berbentuk kubus setinggi pinggang Sasuke.
Tongkat itu ternyata tidak terlalu panjang, mungkin panjangnya hanya tiga puluh sentimeter. Gagangnya berwarna hitam mengkilat dengan batu kristal berwarna merah gelap di bagian atasnya. Batu kristal itu berbentuk oval, bagian bawahnya dilindungi oleh semacam sulur-sulur kecil yang terbuat dari besi yang menyambung dengan bagian gagang, mungkin untuk mencegah batu kristal itu terlepas dari tempatnya.
"Wah, tongkat yang cantik," puji B.
Sasuke mengusap luka di dahinya yang masih meneteskan darah, "Kita kembali," katanya. Pemuda itu meletakkan tongkat sihir itu di dalam sebuah tas kecil yang terbuat dari kain yang sempat diberikan Sakura sebelum ia berangkat mencari Shukaku.
Sambil menatap tongkat sihir yang kini sudah terbungkus rapi, Sasuke bersumpah dalam hati. Setelah ini ia akan menghajar Pein dan anak buahnya!
.
.
TBC
.
.
Alur chapter ini gimana menurut kalian? Gue lagi belajar nih, untuk mengatasi kekurangan terbesar gue, yaitu "alur roller coaster" wkwkwkwk… Kalo masih terlalu cepat kasi tau ya. Nanti gue rem deh, hahahah.
Oh ya, thanks buat yang udah koreksi typo di chapter sebelumnya. Di chapter sebelumnya, bagian paling akhir, gue salah sebut Kyuubi jadi Kurama. Mereka adalah dua tokoh yang berbeda di fic ini ya. Gue suka pake nama Kyuubi kalo dia pasangan ama Itachi, entah kenapa rasanya si Itachi jadi sok sweet gitu kalo manggil Kyuubi. Kalo Kurama kok kayaknya 'laki banget' hahaha ya emang dia cowo sih XD
Maaf kalo masih ada typo. Udah gue baca sampe 3x sih, kalo masih ada typo nyempil mohon dimaafkan yak heheheh
Oke, sampai jumpa di chapter depan, readers kesayangan. Dan sampai jumpa di kolom review, buat para "yaoi haters" yang rajin banget komenin fic gue pake bahasa planet mars ;)
Adios!
