Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27

.

Warning : SASUNARU, BL! OOC (sudah jelas, ini fanfiksi BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya. Kalo ga suka, JANGAN CAPER :V

.

Sinopsis:

Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja keras untuk sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda manja itu?

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

"Jadi, bagaimana?" Shikamaru membuka percakapan antara dia dan sang nenek. Pemuda itu duduk di bangku sambil menatap ruang untuk menyimpan senjata api.

"Seperti yang sudah aku katakan, keluargaku adalah Hunter. Kami memerangi werewolf yang sering semena-mena terhadap bangsa manusia. Dulu, kakak dari nenekku diculik oleh werewolf dan tak pernah kembali sampai sekarang," jelas Nenek Chiyo, "Werewolf itu berasal dari klan yang berbeda-beda. Setiap klan dipimpin oleh seorang seorang Alpha. Tetapi akan ada satu klan yang menguasai klan-klan lain, kalau di dunia manusia mungkin seperti pusat pemerintahan."

"Oh, begitu. Lalu apakah sekarang Hunter masih ada?"

Nenek Chiyo menggeleng. "Tidak, ayahku adalah ketua Hunter terakhir," jawab Nenek Chiyo.

"Kenapa?"

"Semenjak Klan Uchiha menguasai daerah Hutan Timur, perilaku werewolf dari berbagai klan mulai bisa diatur. Klan Uchiha tidak suka keributan, mereka bahkan melindungi manusia yang diganggu oleh werewolf usil. Lalu ayahku memutuskan untuk tidak membentuk Hunter lagi, mengingat werewolf sudah bisa diatur. Tetapi itu adalah keputusan yang salah. Menurut kabar yang aku dengar, Klan Uchiha tewas dibantai oleh kumpulan werewolf pemberontak yang menamakan diri mereka Akatsuki, hanya menyisakan Uchiha Itachi–calon Alpha selanjutnya–lalu adiknya, Uchiha Sasuke dan seorang werewolf dari klan lain bernama Kyuubi. Tidak ada yang tahu keberadaan mereka, dan Akatsuki mengincar mereka agar bisa menguasai Hutan Timur sepenuhnya. Dan sekarang, hanya tersisa aku dan seorang muridku yang aku latih diam-diam untuk menghadapi situasi buruk," jelas Nenek Chiyo.

Shikamaru terdiam mendengarkan penjelasan sang nenek. Meskipun penjelasan itu sedikit tidak masuk akal, tetapi Shikamaru berusaha percaya. Tidak mungkin sang nenek bohong, kan?

"Di mana muridmu itu, Nek? Lalu kenapa aku dibawa kemari?" tanya Shikamaru.

Nenek Chiyo tersenyum. "Kau harus berlatih dengannya dulu, lalu pergi ke hutan bersamanya. Kalau tidak, aku tidak akan membiarkan cucuku masuk ke dalam hutan seorang diri."

"Berlatih? Aku kan bisa bela diri?"

"Ya, tapi kau harus berlatih memakai senjata. Kau tak akan bisa melawan werewolf hanya mengandalkan tinjumu, Nak. Mereka sangat kuat."

Shikamaru terdiam. Sebenarnya, ia ingin menolak. Tetapi ketika ia melihat tatapan mata sang nenek yang seolah tidak menerima bantahan, mau tak mau Shikamaru mengangguk.

"Baiklah, Nek. Aku akan berlatih bersamanya. Jadi, siapa muridmu ini?"

"Kau sudah mengenalnya dengan baik, Shikamaru."

Kening Shikamaru berkerut bingung. "Hah? Siapa?"

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Shikamaru dan sang nenek. Pemuda itu bertambah bingung, karena ruangan ini adalah ruang bawah tanah di kediaman Nenek Chiyo, mengapa bisa ada yang mengetuk pintunya? Jangan-jangan pencuri? Ah, tapi mana ada pencuri mengetuk pintu?

"Masuklah, tidak di kunci!" Sang nenek berkata dengan nada yang sedikit dikeraskan agar seseorang dibalik pintu bisa mendengarnya. "Tenang, Shikamaru. Dia bukan pencuri. Ini memang sudah jam latihannya."

Pintu berderit terbuka, menampakkan sesosok pemuda tampan berdiri diambang pintu. Pemuda dengan rambut panjang dan senyum khas yang menyebalkan–menurut Shikamaru–membuat mata sipit Shikamaru terbuka lebar.

"Neji?!"

Senyum menyebalkan pemuda di ambang pintu itu bertambah lebar. "Apa kabar, Tukang Tidur?"

.

.

.

"Apakah Anda baik-baik saja, Minato-sama?" Kakashi bertanya pada tuannya yang terbaring lemah di ranjangnya.

Minato mengangguk, lalu tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Kakashi. Hanya sedikit kelelahan," katanya. Suaranya terdengar serak.

Kakashi menghela napas tanpa suara. "Makanlah sesuatu, Minato-sama. Anda belum makan apa-apa sejak semalam. Anda harus meminum obat."

Minato terbatuk. Kakashi segera mengambilkan air lalu membantu tuannya itu untuk minum. Sudah satu minggu Minato sakit, tergolek lemah di atas ranjang. Pekerjaannya yang menyita tenaga dan pikirannya, ditambah Naruto yang tak kunjung ditemukan, menjadi pemicu tumbangnya boss besar Namikaze itu.

"Apakah sudah ada kabar tentang Naruto?"

Kakashi terdiam. Dia bingung hendak menjawab apa. Tetapi kemudian, ia menggeleng lemah. "Belum, Minato-sama. Orang-orang kita, dibantu kepolisian sedang mengupayakan pencarian Naruto-sama."

"Begitu," jawab Minato dengan nada sedih yang kentara. Wajahnya terlihat pucat.

"Anda ingin makan sesuatu?" Kakashi mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin melihat wajah sedih Minato.

Minato sudah seperti keluarga baginya. Kakashi adalah seorang yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Panti asuhan tempatnya ditampung terancam bangkrut karena tidak ada sumbangan dari donatur. Karena tak ingin menyusahkan, Kakashi terpaksa pergi dari panti asuhan itu. Ia yang saat itu masih berusia sepuluh tahun, hidup di jalanan, terlunta-lunta seorang diri.

Kakashi bertemu Minato untuk pertama kalinya ketika Naruto yang masih balita, luput dari perhatian lalu dengan polosnya menyeberang jalan dan nyaris ditabrak mobil. Terbiasa hidup bersama anak kecil di panti asuhan, membuat Kakashi tak bisa tinggal diam. Dia berlari, menarik tangan Naruto lalu melindunginya ketika mereka terguling di aspal. Minato berterima kasih pada Kakashi, bertanya di mana rumahnya dan siapa orang tuanya. Lalu, Kakashi kecil dengan polosnya menceritakan kisah hidupnya.

Kemudian, Minato memutuskan untuk menampung Kakashi, menyekolahkannya, memberinya kehidupan yang layak dan juga memberinya pekerjaan di rumahnya. Jika tidak ada Minato, mungkin Kakashi kecil akan jadi gelandangan.

"Aku tidak bisa makan sesuatu. Semua makanan terasa pahit, kalau aku ingat anakku di luar sana mungkin saja kelaparan, kedinginan, atau mungkin jatuh sakit," kata Minato.

"Tapi Anda harus sehat, Minato-sama. Kalau Anda sakit, bagaimana bisa kita menyelamatkan Naruto-sama? Lagi pula, kalau Naruto-sama tahu Anda sakit, pastinya dia akan sedih, bukan?"

"Entahlah, Kakashi. Aku tidak tahu harus bagaimana jika Naruto tidak ditemukan. Aku sudah kehilangan Kushina untuk selamanya. Aku tak akan sanggup jika harus kehilangan anakku juga," Suara serak Minato terdengar parau, kemudian ia menghela napasnya yang terasa berat.

"Naruto-sama pasti akan ditemukan."

"Kau yakin? Ini sudah lebih dari satu bulan."

"Yakin, karena Shikamaru akan mencarinya, bersama Neji."

"Apa?" Minato menatap Kakashi dengan tatapan tidak percaya. "Shikamaru dan … Neji si bocah berwajah dingin yang pernah membuat anakku menangis itu?"

"Ya, Minato-sama," Nyaris saja Kakashi tertawa mendengar sebutan dari Minato untuk Neji.

Menurutnya, Neji adalah anak yang pendiam, berwajah dingin dan sedikit menyebalkan karena sikapnya yang sok tahu dan sering menganggap rendah orang lain. Dulu, Neji pernah bermain bersama Naruto dan Shikamaru di hutan ketika ia pertama kali berkunjung ke Konoha. Yah, meskipun Naruto pulang dalam keadaan menangis karena Neji menempelkan serangga di rambutnya. Beranjak remaja, bocah itu jarang terlihat karena semenjak kematian sang ayah, ia pindah bersama sang ibu ke desa lain.

"Apakah mereka akan menemukan anakku?"

Kakashi tersenyum. "Tentu saja, Minato-sama. Meskipun menyebalkan, tetapi Neji adalah anak yang jenius, begitu pula Shikamaru. Mereka itu satu geng. Jadi Anda tenang saja. Nah, sekarang, sebaiknya Anda makan lalu minum obat. Agar ketika Naruto-sama pulang, Anda dalam keadaan sehat. Anda tak ingin membuatnya khawatir, kan?"

"Ya, kau benar," Minato bangkit, berusaha duduk dengan bantuan Kakashi. "Tolong bawakan aku makanan dan juga obatku, Kakashi."

Senyum Kakashi bertambah lebar. "Baik, Minato-sama."

.

.

.

Naruto terbangun ketika merasa tidurnya terganggu. Dia merasakan tubuhnya melayang dan bergerak-gerak seperti sedang tidur di atas sesuatu yang berjalan.

Mata bermanik biru itu setengah terbuka. "Mmhh?" Naruto menggumam. "Papa? Kita belum sampai?"

"Naruto? Kau mengigau?" Sebuah suara yang asing sekaligus familiar terdengar. Dan Naruto yakin, itu bukanlah suara ayahnya.

Mata biru itu terbuka lebar, hal pertama yang dilihatnya adalah bahu yang kokoh dan rambut hitam jabrik.

Refleks, ia menegakkan tubuhnya. "Uwah!" Naruto memekik ketika ia hampir terjungkal ke belakang. Ternyata, Tobi sedang menggendongnya.

"Astaga!" Tobi mengeluh karena kaget. "Kau membuatku kaget! Hampir saja kau jatuh!"

"Kita ada di mana?" tanya Naruto. Kepala pirang itu berputar-putar, memperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi jejeran pepohonan.

"Di hutan, kau tidak bisa melihat?" Karin menjawab dengan ketus.

"Hmph!" Naruto mendengus, Karin memang tidak bisa berbicara dengan halus padanya. "Dasar Nenek Sihir Berkepala Merah!" ejeknya.

Mata Karin melotot. "Apa kau bilang?!"

Nyaris saja Karin mencakar wajah Naruto jika saja Tobi tidak menyela.

"Sudah, sudah, jangan berkelahi. Kalian ini seperti anak kecil saja," kata Tobi.

Naruto memajukan bibirnya, dia tak suka pada sikap Karin yang kadang menyebalkan. Ya biarpun kadang dia baik sih, tapi jika diingat-ingat lagi, kadar 'bersikap baik' Karin hanya 10%. Sisanya? Jangan ditanya.

"Dengar, Naruto," Karin berkata pada Naruto dengan nada mengancam. "Aku dan Tobi tidak akan segan meninggalkanmu di sini jika kau berani berulah. Kau tahu kan, hutan ini penuh dengan wolf?"

Naruto meneguk ludahnya. Diam-diam dia merinding ketika ingat dirinya nyaris diterkam oleh segerombolan wolf. Jika tak ada Sasuke, mungkin sekarang Namikaze Naruto tinggal kenangan.

"Memangnya kita mau ke mana? Bukankah kita ada di tempat Pein?" tanya Naruto, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Karin tersenyum mengerikan. "Kau akan ku jadikan tumbal untuk monster gurun!"

"T-tu-tumbal?"

"Ya, sebentar lagi kau akan mati, berakhir di dalam perut seekor monster jelek bertubuh gemuk!"

"Karin," Tobi memperingati Karin. Nada bicara pemuda itu sedikit berbeda, tidak kekanakan seperti biasanya. Tetapi Naruto terlalu takut pada ucapan Karin sehingga tidak menyadarinya.

"Apakah benar yang dikatakan Karin, Tobi?" tanya Naruto.

"Hmmm," Pemuda itu menggumam. "Kalau kau tidak bisa menuruti ucapanku atau ucapan Karin, ya … kau akan dijadikan tumbal."

"Baiklah, aku akan menurut," ucap Naruto. "Tapi boleh tidak, aku jalan sendiri? Aku malu digendong begini."

Tobi menghela napas, lalu menurunkan Naruto dari punggungnya dengan hati-hati. Naruto bersyukur, Tobi tidak galak dan menyebalkan seperti Karin, meskipun kadang cara bicara dan tingkah lakunya membuat Naruto sakit kepala.

"Kau lapar?" tanya Tobi.

Naruto hendak menjawab tidak, tetapi perutnya berkata lain. Perutnya berbunyi nyaring hingga membuat Karin tertawa terbahak-bahak.

Dengan malu, ia mengangguk. "Aku lapar," katanya.

"Baiklah, kita akan beristirahat. Di depan sana ada sungai, kau bisa mandi disana. Kau suka buah?" tanya Tobi, yang dijawab anggukan kepala Naruto. "Kalau begitu aku akan mencarikan buah untukmu."

"Boleh aku ikut?" tanya Naruto. Dia menatap Tobi dengan tatapan memelas andalannya. "Aku ingin mencari makanan untukku sendiri, aku tidak ingin merepotkan," katanya.

Tobi terdiam, lalu ia tersenyum di balik masker oranyenya. "Tentu saja, tapi jangan berada terlalu jauh dariku, paham?"

Naruto mengangguk. Ia mengikuti langkah kaki Tobi, sementara Karin berjalan di belakangnya tanpa berkata sepatah katapun. Gadis itu terlihat fokus memperhatikan sekitar, seperti sedang memastikan sesuatu.

"Kau merasakan sesuatu, Karin?" Tobi bertanya.

"Sejauh ini aman. Tidak ada yang mengikuti kita," jawabnya.

"Oh!" Naruto berseru tiba-tiba. "Bagaimana dengan Konan?"

"Duh, sudah jelas dia ada di kastil Pein. Untuk apa pula kau bertanya?" Jawab Karin, "Sebaiknya kau menutup mulutmu, Naruto. Jangan banyak bertanya dan ikuti Tobi," katanya.

Naruto menggerutu mendengar perkataan Karin. Nanti kalau dia bertemu dengan Sasuke, Naruto akan mengadukan gadis berkepala merah ini padanya. Sasuke pasti akan memberi Karin pelajaran! Lihat saja!

Naruto memutuskan untuk menutup mulutnya, diam-diam ia sedang menyusun rencana untuk melarikan diri. Dia harus menemukan Sasuke, bagaimana pun caranya. Dia tidak ingin berada di antara orang-orang jahat ini. Dia juga tidak ingin menjadi tumbal.

Setelah kurang lebih lima belas menit berjalan, Naruto mulai mendengar suara air.

"Sungainya sudah dekat?" dia bertanya pada Tobi yang tumben-tumbennya bersikap tenang.

"Iya. Ada air terjun juga. Kau bisa dengar suaranya?"

"Ya!" Naruto berseru girang.

"Cih, dasar orang kota," ejek Karin.

Naruto melotot marah. "Apa masalahmu, sih?! Lebih baik kau urusi saja urusanmu dari pada kau sibuk mengomentari apapun yang aku lakukan! Dasar gadis usil!" Sembur Naruto. Pemuda itu sudah tak tahan dengan sikap Karin.

Karin menggeram, tapi gadis itu terlihat menahan diri agar tidak menerkam Naruto detik itu juga. Jika saja dia tidak ingat sang boss yang sedang menunggunya, dia tak akan segan mencabik Naruto.

"Nah, itu dia sungainya!" Tobi berteriak, menunjuk aliran sungai yang terlihat bening di depan sana. "Kau mau mandi atau makan dulu, Naruto?"

"Hmm, mandi saja deh, badanku lengket," jawabnya. "Kau mau mandi juga, Karin?"

"Tidak, lah. Mana mungkin aku mandi bersama kalian! Aku bisa rugi!" Karin menjawab dengan ketus. Sepertinya gadis itu masih kesal pada Naruto.

Naruto menghela napas, sepertinya dia tak akan pernah cocok dengan Karin. Ya sudahlah, Naruto tak ingin memikirkan sesuatu yang menurutnya tak berguna.

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju ke sungai. Kemudian, Naruto dan Tobi segera melompat ke sungai setelah melepaskan baju atasan mereka. Oh ya, Naruto mendapatkan pakaian itu dari Pein. Pemimpin Akatsuki itu bilang matanya sakit melihat baju Naruto yang menurutnya terlihat kumal dan dekil. Well, Naruto hanya punya satu baju, itupun pemberian Sasuke. Padahal baju-baju Naruto di rumah, semuanya brand ternama dari luar negeri dan tidak ada satupun yang murah.

Naruto membersihkan tubuh dan rambutnya dengan teliti. Biarpun tidak ada sabun, tapi air sungai ini cukup untuk membersihkan dirinya. Apalagi air sungai ini terasa segar. Ada air terjun yang tidak terlalu tinggi. Sebut saja dia norak, tapi Naruto suka.

Setelah membersihkan diri dan berpakaian dengan lengkap, Naruto mengikuti Tobi untuk mencari buah-buahan. Sementara Karin sedang duduk diam di bawah pohon sambil memejamkan matanya.

Naruto dan Tobi masuk ke dalam hutan, mulai mencari buah-buahan.

Naruto memperhatikan punggung Tobi yang terlihat tegap dan berotot. Ia tak mengenakan kausnya. Naruto heran, pemuda itu selalu memakai topeng dan tak pernah sekalipun membukanya. Bahkan ketika mandi pun, ia tetap memakai topengnya. Dia jadi penasaran, seperti apa wajah Tobi, ya?

"Naruto, kau mau apel?"

"Eh?" Naruto tersentak ketika Tobi berbalik, menatapnya dengan satu mata yang terlihat melalui lubang di topengnya. "Ya, aku mau," jawabnya.

Tobi naik ke atas pohon, lalu memetik beberapa buah apel yang terlihat merah dan manis. Pemuda bertopeng itu memerintahkan Naruto untuk menangkap apel-apel yang dilemparkannya dari atas pohon.

"Sudah cukup, Tobi!" Teriak Naruto, ketika ia menghitung jumlah apel yang menurutnya lebih dari cukup.

"Oke!" Sahut Tobi. Ia turun dari pohon. "Kau mau buah yang lain?"

"Tidak, ini saja sudah cukup.

"Kau yakin?"

Naruto menganggukkan kepalanya. "Yakin. Terima kasih."

"Terima kasih kembali."

Sambil membawa apel-apel itu, mereka kembali ke tempat di mana Karin menunggu. Ternyata gadis itu tertidur, mungkin kelelahan. Naruto duduk di sebelah Karin, berlindung di bawah pohon dari teriknya cahaya matahari.

"Ne, Tobi, apakah membawaku kemari adalah sebuah perintah?" tanya Naruto pada Tobi yang duduk di atas sebuah batu besar.

"Ya," jawabnya. Pemuda itu memperhatikan Naruto yang sedang memakan apelnya.

"Dari Pein?"

Tobi terdiam sejenak. Lalu ia mengendikkan bahu tanpa menjawab pertanyaan Naruto.

"Apa kau juga akan membunuhku?"

Lagi lagi, Tobi terdiam mendengar pertanyaan Naruto. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tergantung perintah," jawabnya.

Naruto menunduk, menatap apel yang sedang dimakannya. Dia harus segera kabur. Sebaik apa pun Tobi, dia adalah anak buah Pein yang sewaktu-waktu bisa saja diperintahkan untuk membunuhnya.

Beberapa jam terlewat. Hari beranjak petang. Mereka melanjutkan perjalanan, kembali berjalan menembus hutan yang seakan tidak berujung. Biasanya, Naruto akan merasa bosan, tetapi tidak kali ini. Dia sudah berancang-ancang untuk kabur dari Tobi dan Karin.

"Tobi, aku ingin pipis," kata Naruto. Pemuda itu mencoba trik yang sama ketika ia mencoba mengelabui Sasuke dulu. Dia ingat perkataan Sasuke. Wolf lain tidak akan bisa mencium bau khas Naruto.

"Ya sudah, pipis saja di sana," Tobi menunjuk sebuah pohon.

"Tidak!" Tolak Naruto. "Aku malu!"

Terdengar helaan napas Tobi. "Ya sudah, sana. Tapi jangan terlalu jauh. Hutan sangat berbahaya jika sudah gelap. Mengerti?"

"Ya, ya. Aku mengerti."

Naruto berlari dengan gaya seperti orang menahan kencing, lalu berlari ke balik pepohonan. Dia mengulangi trik yang sama. Setelah memastikan Tobi tidak bisa melihatnya, Naruto berlari sekencang-kencangnya.

Pemuda itu berlari, menembus hutan dan mengabaikan ranting-ranting pohon yang menggores wajah dan tubuhnya. Darah menetes ketika pipinya tergores ranting dengan luka yang cukup dalam, tetapi Naruto mengabaikannya.

Naruto menoleh ke belakang, lalu ketika ia merasa Tobi tidak mengikutinya, Naruto berhenti. Dia bersandar pada sebatang pohon dengan napas terengah-engah. Tak ingin tertangkap seperti ketika ia mencoba kabur dari Sasuke, Naruto kembali berlari.

Naruto berlari dan terus berlari. Padahal ia tak tahu arah di hutan ini, namun ia tidak peduli.

Ketika kakinya mulai tidak kuat berlari, ia berhenti sejenak, lengan kirinya berpegangan pada sebatang pohon yang cukup besar. Pemuda itu duduk pada sebuah batu yang ada di bawah pohon itu.

Naruto duduk sambil meluruskan kakinya. Sambil mengatur napasnya yang tersengal, ia mengusap dahinya yang banjir keringat.

"Halo? Ada orang di sana? Tolong aku!"

Naruto memekik karena terkejut. Dia melompat dari batu itu lalu memperhatikan keadaan di sekitarnya. Keningnya mengerut ketika ia tidak menemukan siapapun di sekitarnya. Padahal dengan jelas ia mendengar suara perempuan.

Pemuda itu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang. "Sepertinya aku berhalusinasi," gumamnya.

"Hei! Aku tahu ada orang di sana! Tolong aku, ku mohon!"

Suara itu kembali terdengar. Oke, Naruto merinding sekarang. Apakah selain werewolf, hutan ini juga berhantu?

"S-si-siapa di sana?" tanya Naruto.

"Ah, ternyata memang ada orang! Bantu aku, sebelah sini!"

"S-sebelah sini di mana?"

"Semak-semak di balik pohon!"

Pemuda yang sangat takut dengan hantu dan hal-hal gaib itu memberanikan dirinya untuk mendekat ke pohon, lalu mengintip ke balik pohon itu. Mata bermanik birunya melebar.

"Hantuuu!" Naruto berteriak.

"Kyaaaa!" Perempuan itu pun ikut berteriak. Dia menatap Naruto yang terjengkang karena tersandung batu. "Aduh, kau membuatku kaget saja! Aku bukan hantu, aku ini fairy!"

Wajah Naruto terlihat pucat. "F-fa-fairy itu apa?"

"Peri, kau tahu peri, kan? Aku salah satunya," katanya. "Bisa bantu aku? Aku tersangkut di semak-semak ini, tidak bisa bergerak."

Biarpun takut, tetapi Naruto kasihan juga. "Baiklah, aku akan membebaskanmu," Naruto beringsut untuk mendekat, lalu melepaskan lilitan dedaunan semak yang menjerat tubuh si peri.

Peri kecil yang tingginya hanya satu jengkal itu pun bebas. Ia mengepakkan sayap transparannya, lalu terbang dengan riang.

"Terima kasih sudah membebaskan aku! Kau sungguh baik! Namaku Ino, kau siapa?" sang peri bertanya.

"Namaku Naruto," Jawab Naruto. Pemuda itu terpaku melihat sayap transparan peri itu yang terlihat berkilauan. Rambut peri itu berwarna pirang panjang, dengan mata bulat berwarna kebiruan. Telinganya meruncing, persis seperti peri di film anak-anak.

"Baiklah, terima kasih sudah menolongku, Naruto! Dan sebagai gantinya, aku akan menjadi temanmu. Jadi, kau ini makhluk apa?"

Kening Naruto berkerut heran, pertanyaan macam apa itu? "Aku manusia, Ino. Kau tidak pernah melihat manusia sebelumnya?"

Ino terdiam, "Ah, jangan bercanda. Manusia tidak akan bisa melihat kami, para fairy. Dan aku tahu kau bukan manusia. Auramu sangat berbeda dengan manusia. Fairy bisa membedakan mana manusia, dan mana yang bukan."

"Apa maksudmu? Tapi aku manusia."

"Yang benar?" tanya Ino, yang dijawab anggukan kepala Naruto. "Ah, ya sudahlah, tidak penting. Yang penting sekarang, aku akan menjadi temanmu dan juga melindungimu dari berbagai macam bahaya, seperti yang itu," Ino menunjuk ke balik punggung Naruto.

"Yang itu?" beo Naruto. Pemuda itu lalu menoleh ke balik punggungnya, lalu matanya membulat. "Tobi?!"

"Aku baru tahu kalau manusia ingin buang air, dia akan berlari sejauh ini, Naruto," Tobi berucap dengan nada yang terdengar dingin dan datar. Tidak ada suara khasnya yang terdengar kekanakan. Naruto tak bisa melihat ekspresi wajah Tobi karena terhalang topeng.

"A-aku … aku …" Naruto tidak bisa berkata-kata. Ia yang masih duduk di atas tanah, berdiri, lalu mundur selangkah, "Aku tidak bisa berdiam diri saja, Tobi. Aku harus pergi, Sasuke dan keluargaku pasti sedang mencariku."

"Sasuke tidak mencarimu. Dia sedang sibuk dengan hal lain."

"Tidak mungkin! Kau bohong!"

"Hei, Wolf bau! Pergi kau, jangan ganggu temanku!" Ino berdiri di antara Naruto dan Tobi sambil berkacak pinggang.

"Ino, jangan, nanti kau terluka!" Naruto memperingatkan. Dia tak ingin peri kecil yang terlihat lucu ini terluka.

"Jangan ikut campur, fairy sialan–" Ucapan Tobi terputus. Ia menatap Naruto, Ino, lalu menatap Naruto lagi, "Tunggu … kau bisa melihat fairy ini, Naruto?"

"Ck," Naruto berdecak kesal. "Kau pikir aku buta?"

Tobi terdiam selama beberapa saat. Ada yang tidak beres. Seharusnya, manusia tidak bisa melihat fairy.

"Ayo kita pergi, Naruto," kata Ino.

"Ayo."

"Tidak semudah itu," kata Tobi.

Ino tidak sempat bereaksi ketika Tobi melesat, mencengkram leher Naruto. Pemuda berambut pirang itu tiba-tiba saja kehilangan kesadarannya. Sebelah tangan Tobi menangkap tubuh Ino yang hendak menyerangnya dengan sihirnya, tetapi ia kalah cepat. Peri itu juga ikut tidak sadarkan diri.

"Ck," Tobi berdecak. "Tidak ada cara lain."

'Karin, kau susul aku. Aku pergi duluan bersama Naruto.' Tobi mengirim telepati pada Karin.

Setelah itu, ia membopong tubuh Naruto yang tak sadarkan diri seperti membopong karung, lalu menjejalkan Ino di saku bajunya tanpa belas kasihan.

Sebelah mata Tobi yang terlihat melalui lubang di topengnya berubah. Mata yang semula berwarna hitam itu berubah merah, dengan tiga koma mengelilingi pupilnya.

"Sebenarnya aku tidak suka menggunakan cara ini, tapi apa boleh buat," gumam Tobi entah pada siapa.

Mata itu kemudian berubah lagi, pupil matanya membentuk pola aneh yang tak seharusnya dimiliki makhluk manapun. Kemudian Tobi, Naruto dan juga Ino … menghilang tanpa jejak.

.

.

.

Pein menatap Konan yang tidak sadarkan diri.

Pria itu menggenggam tangan pasangannya dengan erat namun tetap lembut, sehingga tidak menyakiti pasangan yang sangat dicintainya itu. Pein menyesal, seharusnya dia tidak meninggalkan Konan seorang diri bersama Karin dan Tobi.

Kedua orang itu bahkan membawa Naruto bersama mereka.

Pria itu menggeram, dia tak akan membiarkan rencana yang sudah disusunnya hancur berantakan. Ia tak yakin kemana kedua makhluk busuk itu membawa Naruto. Ia bahkan tak tahu mereka berpihak pada siapa.

Uchiha? Tidak mungkin.

Inuzuka? Hah, klan lemah yang nekat menantangnya itu kini tinggal nama. Beruntunglah anak dari Alpha klan Inuzuka sempat kabur menyelamatkan diri, sebelum Pein mengoyak lehernya. Tetapi itu bukan masalah besar, anak anjing itu tak bisa apa-apa tanpa kawanannya.

"Konan, bangunlah, buka matamu," gumam Pein. Ekspresi wajahnya masih tetap datar, tetapi jika kau melihat matanya, kau bisa melihat kesedihan di sana.

Dia mengutuk Karin yang sudah menaburkan bubuk yang terbuat dari tanaman khusus yang bisa melumpuhkan wolf paling kuat sekalipun. Tanaman itu sering disebut Deadly Sleep.

Tanaman itu sebenarnya adalah semak yang berbunga. Bunga dari semak itulah yang mengandung racun. Bentuk bunga itu mirip seperti bunga daisy, tetapi bagian tengahnya berwarna merah terang dengan kelopak bunga berwarna hitam legam.

Jika bunga itu terkena kulit, kulit wolf itu akan melepuh, jika wanginya terhirup akan menyebabkan sesak napas dan mata menjadi perih. Yang paling bahaya adalah jika tanaman itu tertelan, korban akan tertidur selama satu minggu penuh dan mengalami mimpi buruk tak berkesudahan. Ketika wolf itu tidur, memang tak terlihat gelisah tetapi ketika ia sadar, wolf itu akan mengalami kecemasan karena mimpi buruknya.

Pein segera tahu Konan menelan bubuk tanaman itu karena bibirnya membiru dan suhu tubuhnya dingin, padahal suhu tubuh wolf cenderung tinggi.

Tangan Pein mengelus wajah Konan yang terasa dingin.

Dia ingat saat pertama kali bertemu dengan Konan. Saat itu Pein dan Nagato, berkelana berdua setelah klan mereka tewas dibantai oleh Uchiha Madara, seseorang dari klan Uchiha yang haus kekuasaan.

Pein menemukan Konan sedang duduk sendirian sambil menangis. Wajahnya penuh luka, tubuhnya mungil dan kurus. Saat itu Konan masih berusia tujuh belas tahun sedangkan Pein sudah berusia dua puluh satu.

Pein menggeram, dia mengenali pasangannya.

Ketika Pein mendekat, Konan menjerit, dia mundur ketakutan seolah Pein akan menyakitinya. Padahal tidak. Lebih baik Pein terjun dari jurang dari pada harus menyakiti pasangannya.

Setelah Konan tenang, dia bercerita bahwa orang tuanya baru saja dibunuh oleh Uchiha Madara.

Sama seperti Pein yang merupakan keturunan campuran antara wolf dan penyihir, Konan juga keturunan campuran. Dia adalah campuran wolf dan manusia. Dan sebagai keturunan campuran, dia memiliki kekuatan spesial.

Jika Pein bisa menggunakan sihir, kekuatan Konan ada di fisiknya. Gadis itu bisa meninju tembok sampai hancur, dia juga bisa menghajar beberapa wolf jantan yang berusaha mengganggunya.

Dan itulah alasan mengapa Pein membentuk Akatsuki, lalu membantai seluruh klan Uchiha. Dia benci Uchiha. Dan Uchiha harus musnah, beserta seluruh keturunannya.

Uchiha Madara sendiri sudah tewas di tangan Pein. Tugasnya yang tersisa adalah memburu Uchiha Itachi dan juga adiknya, Uchiha Sasuke. Dia sudah berusaha mengejar kedua orang itu, tetapi tidak pernah berhasil. Jadi dia merubah rencana. Ia ingin mereka yang datang padanya.

Sekalipun dia harus menggunakan manusia tidak bersalah seperti Naruto, dia tidak peduli. Asalkan dendamnya terbalaskan.

Tapi kini rencananya terancam gagal, dan Pein tidak akan tinggal diam. Dia sudah memerintahkan Sasori, Deidara dan Kisame untuk mengejar Tobi dan Karin.

Pein menghela napasnya, lalu mengecup punggung tangan Konan. "Bangunlah, Sayang," Ucapnya.

.

.

.

Naruto cemberut. Usahanya untuk kabur dari Tobi, gagal total. Tobi berhasil menemukannya dan membawanya entah kemana. Dia tidak sadarkan diri semalaman.

"Tobi, ini di mana?" Naruto bertanya pada Tobi yang berjalan di sebelahnya.

"Hutan," jawab Tobi singkat.

"Ya aku tahu, tapi entah mengapa hutan ini terasa berbeda. Apa perasaanku saja, ya?"

Tobi menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang. "Kalau kau banyak bicara, aku akan meninggalkanmu. Kau tahu, hutan ini namanya Hutan Barat. Tadi kau sudah melihat monster besar yang menjaga hutan ini, kan?"

Naruto mencebik. Ya, dia takut ditinggalkan atau kabur dari Tobi sekarang. Tadi dia sempat melihat seekor monster besar menghadang jalannya. Ino bahkan meringkuk ketakutan di saku baju Tobi. Kalau saja tak ada Tobi yang melawan monster itu, mungkin Naruto sudah ditelan sang monster.

"Memangnya itu monster apa?"

"Monster pemangsa manusia," jawab Tobi asal. Padahal Saiken, monster yang menjaga gerbang Hutan Barat bukanlah pemangsa manusia. Dia hanya bertugas menakuti siapapun yang berniat memasuki Hutan Barat.

Ino keluar dari saku baju Tobi, lalu terbang mendekati Naruto. "Naruto, kau tidak takut berada di hutan ini?" tanya peri kecil itu.

"Tidak, memang kenapa?"

"Aura hutan ini sangat berbahaya! Bagaimana bisa kau tidak takut?"

Kening Naruto mengerut. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi aku memang merasa hutan ini berbeda," katanya. "Ah, iya. Ino, kalau aku boleh tahu, bagaimana ceritanya kau bisa tersesat di hutan lalu terperangkap di semak-semak?"

Peri itu menggembungkan pipinya. "Aku dikejar oleh pemimpin dunia fairy."

"Dunia fairy?"

Ino mengangguk. "Dunia fairy itu ada di Hutan Barat, tapi letaknya cukup jauh dari sini. Aku kabur dari sana sekitar satu minggu yang lalu. Aku menyusup ke Hutan Timur dan karena aku menggunakan sihir khusus, Saiken tak bisa melihatku ketika aku menyeberang."

"Oh, begitu," Naruto mengangguk-anggukan kepalanya. "Kenapa pemimpin dunia fairy mengejarmu?"

"Pemimpin dunia fairy adalah ayahku. Dia berusaha menjodohkan aku dengan peri laki-laki bernama Sai. Aku tidak suka padanya. Dia selalu tersenyum palsu dan berkata-kata manis tetapi tidak berasal dari hatinya. Dia tampan, sih, tapi aku tidak suka sifatnya. Aku lebih suka laki-laki yang baik, dan tidak suka berpura-pura. Aku juga suka yang badannya terlihat kuat, bukan yang kurus seperti Sai."

"Kenapa?" tanya Naruto.

"Kenapa? Karena aku merasa laki-laki berbadan besar dan kuat itu menarik, lalu–"

Naruto mengangkat sebelah tangannya, memotong perkataan Ino. "Bukan, maksudku kenapa kau jadi curhat kepadaku?"

"Naruto!"

Naruto tertawa. Menggoda Ino adalah kegiatan yang menurutnya menyenangkan. Peri itu cukup sensitif jadi jika digoda sedikit saja, dia akan marah atau bahkan menangis.

"Maaf, maaf. Aku cuma bercanda."

Percakapan antara Ino dan Naruto terhenti ketika Tobi yang berjalan beberapa langkah di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Naruto yang berjalan di belakang Tobi, mengerutkan keningnya bingung. "Tobi? Kenapa berhenti?" tanya Naruto. Pemuda itu baru sadar, ada seseorang berdiri beberapa meter di depan Tobi.

"Halo, Naruto. Bagaimana kabarmu?" orang yang berdiri di depan Tobi tadi bertanya dengan ramah. Wajahnya yang tampan, ramah tetapi menakutkan di saat yang bersamaan, tidak akan pernah Naruto lupakan.

"K-kau–!"

.

.

.

Sementara itu, Sasuke dan B sampai di Desa Suna. Cuaca hari itu panas seperti biasanya. Daerah Suna memang jarang turun hujan.

"Wah, sudah lama aku tidak kemari," kata B.

Sasuke tidak menanggapi kata-kata B. Dia melepaskan berbagai kain yang membungkus tubuhnya. Ia menghela napas lega, setidaknya ia tak perlu lagi memakai berbagai macam kain yang mengganggu.

Pemuda itu berjalan terus menyusuri Desa Suna. Ia melewati jalanan desa yang dipenuhi berbagai macam jenis makhluk aneh, melewati pasar, lalu sampailah ia di pemukiman tempat Sakura tinggal.

"Di mana rumah temanmu, Sasuke?"

"Di sana," jawab Sasuke singkat. Ia menunjuk sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari kayu.

Ketika Sasuke sudah hampir mencapai pintu rumah itu, seseorang membukanya dari dalam. Ternyata Sakura dan Kyuubi.

"Ah! Sasuke-kun! Kau sudah kembali!" sapa Sakura.

"Sasuke? Kau sudah kembali ternyata," Kyuubi ikut menyapa. Matanya bertemu dengan mata B, "Maaf? Kau siapa?"

"Halo, aku Killer B, aku teman Sasuke. Salam kenal!" B memperkenalkan dirinya.

"Hm, aku Kyuubi. Dan ini Sakura-san," balas Kyuubi. Perhatian pemuda itu terarah pada Sasuke lagi, "Kau berpapasan dengan Itachi, Sasuke?"

"Tidak, kenapa?"

"Itachi pergi, tidak tahu kemana," Kyuubi menyerahkan selembar kertas dengan tulisan tangan Itachi di atasnya, "Dia hanya meninggalkan ini."

Sasuke membaca isi kertas itu,

Pergi sebentar, akan segera kembali. Jangan mencariku, Kyuubi. Berbahaya.

Uchiha Itachi.

"Kau tidak menghubunginya lewat telepati?"

Kyuubi menggeleng. "Kalau bisa, sudah aku lakukan dari tadi. Dia tidak merespon," jawab Kyuubi. Pemuda itu menggigit ujung ibu jarinya, dia khawatir pada pasangannya itu. Bagaimana kalau Itachi diserang monster berbahaya?"

"Umm, apa kalian membicarakan Uchiha Itachi?" tanya B.

"Iya, kenapa?" jawab Kyuubi.

B menggeleng, "Ah, tidak. Tidak apa-apa. Hanya bertanya."

"Sasuke-kun, B-san, sebaiknya kita masuk ke dalam, ada hal yang ingin aku bicarakan mengenai rencana selanjutnya," kata Sakura.

Mereka berempat masuk ke dalam rumah Sakura. Lalu Sakura menjelaskan pada Sasuke dan B, setelah memastikan kalau B ini bukan mata-mata. Sakura menjelaskan tentang rencana mereka pergi ke Uzushiogakure untuk mengambil Kristal Bulan.

"Uzushiogakure? Dimana itu?" Sasuke bertanya.

"Dari Suna, kita berjalan terus ke arah barat. Nanti kita akan bertemu dengan daerah perbukitan yang subur. Aku sering main ke sana karena pemandangan di sana indah dan sejuk. Lalu, untuk bisa mencapai desa itu, kita harus menyeberang laut," Jawab Sakura.

"Kapan kita berangkat?"

"Besok lusa. Ada yang harus aku siapkan dulu. Jadi besok kalian bisa istirahat dulu," kata Sakura, "Oh, di mana pesananku? Kau tidak lupa, kan?"

Sasuke meraih tas kain yang berisi tongkat sihir Sakura, sementara B menyerahkan Shukaku berukuran mini yang sedang tertidur pulas. Gadis berambut pink itu tersenyum senang.

"Ah, akhirnya, aku dapatkan juga tongkatku! Terima kasih, Sasuke-kun, B-san!" Sang gadis memeluk tongkat ajaib itu, lalu perhatiannya teralih pada Shukaku. Dia berdiri dari kursinya, lalu berpamitan. "Baiklah, silahkan lakukan apapun yang kalian mau. Aku ada urusan bersama Shukaku di ruang kerjaku. Daaah!" Sakura melenggang pergi sambil menggendong Shukaku yang terlihat menggemaskan di matanya.

Sasuke menatap kepergian Sakura dengan tatapan datar.

Tiba-tiba Kyuubi tersentak. Dia mendapatkan telepati dari Itachi bahwa dia berada di dekat rumah Sakura, dan menyuruh Kyuubi untuk keluar.

Pemuda berambut oranye kecokelatan itu pun berlari keluar rumah setelah menjelaskan sekenanya. Sasuke dan B mengekor di belakangnya.

Sasuke terkejut ketika melihat kedatangan kakaknya. Bukan, bukan kedatangan sang kakak yang membuat Sasuke terkejut, tetapi kehadiran seseorang yang sangat Sasuke rindukan. Dia berjalan di sebelah Itachi.

"Naruto?" gumam Sasuke.

Sang pemuda berambut pirang melambai dikejauhan, lalu berteriak nyaring. "Sasukeeee!" teriaknya. Naruto terlihat bahagia ketika akhirnya dia bisa bertemu lagi dengan Sasuke.

Tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya, Sasuke berlari menghampiri Naruto, lalu memeluk pemuda itu dengan erat. Senyum bahagia yang jarang dia tunjukkan pada dunia, terkembang di bibirnya. Sama seperti Naruto, Sasuke pun merasa bahagia ketika akhirnya dia bisa memeluk pasangannya lagi.

"Lama tidak bertemu, Naruto. Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja, kan?" bisik Sasuke di telinga Naruto.

.

.

TBC

.

.

Oke, maafkan kalau beberapa chapter sebelumnya romancenya kurang. Soalnya akhir-akhir ini gue baca seinen-romance manga sebagai referensi, jadi biar alurnya gak kecepetan. Dan kalian tahu lah ya, seinen itu romancenya nggak semanis shoujo. Tapi sekali lagi, mohon koreksinya ya, kalau alurnya masih kecepetan, tolong beritahu saya :')

SasuNaru udah kumpul lagi tuh. Enaknya bikin adegan mereka lagi ngapain ya? *berpikir keras*

Oh ya, terima kasih buat yg udah koreksi beberapa kesalahan di chapter sebelumnya. Gue salah sebut jumlah ekornya Gyuuki. Sebenernya bukan salah sebut sih, tapi gue lupa edit. Awalnya gue mau bikin Saiken yg ikut perjalanan Naruto cs, Gyuuki yang jaga gerbang. Tapi kemudian gue berubah pikiran, eh gue malah lupa ganti jumlah ekornya, wkwkwkwk… maaf ya XD

Oke, sekian dulu cuap-cuapnya. Jangan lupa koreksinya, ya! Sampai jumpa di chapter depan!

Adios!