Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27

.

Warning : SASUNARU, BL! OOC (sudah jelas, ini fanfiksi BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya. Kalo ga suka, JANGAN CAPER :V

.

Note : Bayangkan di sini Obito tanpa topeng, dan wajahnya mulus. Semulus pahanya Sasuke, wkwkwk

.

Sinopsis:

Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja keras untuk sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda manja itu?

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

Shikamaru terduduk di lantai dengan napas terengah. Ia baru saja berlatih pedang bersama Neji. Ternyata, latihannya bersama Neji lumayan berat juga. Mata kuaci Shikamaru melirik sang sahabat yang berdiri dengan angkuh di depannya, sambil menenteng pedang di pundaknya.

"Heh, hanya itu kemampuanmu? Payah," cibir Neji.

"Aku kan masih pemula, bodoh!" sahut Shikamaru tidak terima.

"Ah, itu bukan alasan," Neji meletakkan pedang disarungnya, lalu ia berjalan menuju ke meja di sudut ruangan. Diambilnya dua botol air, satu untuknya, satunya lagi diserahkan pada Shikamaru yang tampak kepayahan. "Ini, minumlah dulu."

"Thanks," Shikamaru meneguk air di dalam botol itu hingga tersisa setengah. "Bagaimana bisa kau tidak terlihat lelah, Neji?"

Neji tidak segera menjawab. Ia masih meneguk air minumnya. "Hmmm, latihanku dulu jauh lebih keras dari ini," jawabnya. "Aku hanya menyuruhmu lari keliling halaman sebanyak 10 kali, sit up 20 kali, push up 20 kali, lalu melatihmu bermain pedang dan latihan menggunakan senapan."

"Kau sebut latihanku tidak berat?!" Shikamaru protes. Ia memang sudah terbiasa angkat beban berat di peternakan, tapi ia tak suka berolahraga. Lebih baik ia tiduran di padang rumput sambil menatap langit biru yang mengingatkannya pada seseorang.

"Bandingkan denganku," Neji duduk bersila di depan Shikamaru. "Aku mulai latihan jam empat pagi, lalu berlari mengelilingi hutan sampai jam enam pagi. Setelah itu aku harus membantu menyiapkan arena latihan, latihan pedang selama dua jam, latihan menembak dua jam, kadang-kadang aku latihan di bawah air terjun pagi-pagi buta sampai badanku mati rasa. Latihanmu ini, tidak ada apa-apanya!"

Shikamaru melongo. Sekeras itukah latihan Neji? Hm, pantas saja pemuda berambut panjang itu tak terlihat kelelahan.

"Siapa yang melatihmu? Kejam sekali."

"Nenekmu!"

Shikamaru bungkam. Ia tak pernah tahu kalau sang nenek ternyata sesemangat itu untuk melatih muridnya. Terlalu hardcore untuk ukuran wanita tua.

"Tapi, Shika."

"Ya?"

"Aku akui, kau murid yang pintar, kau cepat sekali mengerti apa yang aku ajarkan."

Shikamaru menaikkan sebelah alisnya. "Benarkah?" katanya, dengan nada bangga yang kentara. Well, Shikamaru memang jenius. "Apakah itu artinya aku sudah bisa pergi untuk menyelamatkan Naruto?"

Neji menggeleng. "Sayangnya, belum. Kau masih harus memantapkan permainan pedangmu, dan bidikan senapanmu masih payah. Kau harus banyak belajar, anak muda!"

"Baiklah, kakek tua."

"Hei!"

Percakapan itu terhenti ketika Nenek Chiyo masuk ke dalam ruangan itu. Raut wajah nenek tua itu tak terbaca. Ia menatap Neji dan Shikamaru bergantian, dengan tatapan datar.

"Apakah latihannya sudah selesai, Neji?" tanya Nenek Chiyo pada Neji.

Neji berdiri, lalu menghampiri Nenek Chiyo. "Belum. Shikamaru masih harus memantapkan permainan pedangnya dan juga bidikan senjatanya masih payah. Tapi aku yakin dia akan segera menguasainya, ia cukup pintar."

Nenek Chiyo beralih menatap Shikamaru yang tak beranjak dari posisinya. "Tidak apa. Latihannya bisa dilanjutkan nanti. Kalian berdua, sekarang ikutlah denganku. Ada yang ingin aku tunjukkan pada kalian."

Neji menatap Shikamaru dengan tatapan bertanya. Pemuda berambut nanas itu hanya mengendikkan bahunya. Akhirnya mereka mengikuti sang nenek yang sudah berjalan lebih dahulu meninggalkan ruang latihan rahasia itu.

Ternyata, Nenek Chiyo membawa mereka masuk ke dalam hutan.

Shikamaru menyenggol lengan Neji. "Kita mau kemana?" tanyanya.

"Mana aku tahu, aku bukan keturunan cenayang," jawab Neji. Sejujurnya ia juga tidak tahu kemana sang nenek akan membawa mereka.

Mereka bertiga berjalan ke arah selatan hutan, menuju ke kaki gunung. Baik Neji dan Shikamaru jarang pergi ke hutan bagian selatan, karena memang daerah itu merupakan daerah suci dan tak sembarang orang boleh masuk ke sana.

"Nek, apakah masih jauh?" Shikamaru bertanya. Napasnya sedikit terengah.

"Tidak, Shika. Sebentar lagi sampai," jawab sang nenek.

Pemuda itu menghela napas. Jawaban yang sama ia dengar satu jam yang lalu. Ia melirik Neji, lalu menyenggol lengannya. "Hei, Neji."

"Hm?"

"Aku tidak tahu kalau nenek kita se-macho ini,"

"Huh?" Neji mengerutkan alisnya, menatap Shikamaru dengan tatapan bingung. "Maksudmu?"

"Nenek sama sekali tidak tampak lelah." Kata Shikamaru sambil memperhatikan punggung sang nenek. Nenek Chiyo berjalan paling depan, sedangkan Neji dan Shikamaru berjalan bersebelahan.

Neji mendengus. "Kau tidak tahu apa-apa tentang nenekmu sendiri!"

Percakapan dua pemuda itu terhenti ketika sang nenek berhenti berjalan. Ia berdiri di depan sebuah tebing yang cukup tinggi. Shikamaru yang penasaran, memutuskan untuk menghampiri sang nenek yang tampak diam tak bergerak.

"Nek, kau baik–?" Kalimat Shikamaru terputus ketika dilihatnya sang nenek sedang mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Kedua matanya terpejam. Bibirnya menggumamkan sesuatu yang terdengar asing di telinga Shikamaru.

Shikamaru hendak bertanya lagi, tetapi urung ketika satu garis berwarna hitam muncul di dinding tebing itu.

"Whoa!" Pemuda itu memekik kaget ketika garis hitam itu terbuka, membentuk semacam pintu untuk menuju ke dimensi lain. "Apa ini?!"

Nenek Chiyo membuka kedua matanya. "Masuklah, Shikamaru," katanya. Ia menatap Shikamaru, dan menyadari pemuda itu terlihat bingung. "Tidak apa-apa, tempat ini aman."

"Ini… apa, Nek?"

"Nanti akan aku jelaskan di dalam. Sekarang, masuklah," Nenek Chiyo beralih menatap Neji yang berdiri di belakang mereka. "Kau juga, Neji."

Shikamaru terdiam. Ia menatap benda persegi panjang berwarna hitam yang mirip pintu itu dengan tatapan ragu. Berbeda dengan Neji, pemuda itu melangkah dengan mantap menuju ke pintu hitam itu. Nenek bilang ini aman, dan dia tidak akan pernah meragukan orang yang melatihnya itu.

"Apa yang kau lakukan? Nenek menyuruh kita untuk masuk," kata Neji, ketika ia sadar Shikamaru tidak bergerak. "Ah, atau kau ingin ku gendong? Kau takut, huh?"

"Diam kau!" Hardik Shikamaru. Pemuda itu pun memutuskan untuk menyusul Neji yang sudah masuk ke dalam pintu misterius itu, diikuti Nenek Chiyo. Ketika Nenek Chiyo sudah masuk ke dalam, pintu berwarna hitam itu menghilang secara ajaib.

Pandangan Shikamaru gelap selama satu detik, lalu detik berikutnya, ia bisa melihat jika pintu itu ternyata merupakan pintu masuk menuju ke sebuah gua.

Gua itu tidak terlalu luas, temboknya berwarna cokelat tanah. Beberapa obor tergantung di dinding, sehingga Shikamaru bisa melihat isi gua ini dengan jelas. Di depan sana, ada sebuah kolam yang di atasnya terdapat jembatan kecil yang terbuat dari batu.

Nenek Chiyo memberi kode pada kedua pemuda itu untuk mengikutinya. Mereka berjalan menyeberangi kolam yang airnya sangat jernih itu.

Setelah melewati jembatan batu, mereka sampai di sebuah tempat berbentuk persegi, dan di tengah-tengahnya ada semacam guci yang juga terbuat dari batu. Shikamaru menebak tempat ini adalah altar untuk ritual tertentu. Bentuknya seperti yang ada di film-film barat.

"Nah, kita sudah sampai," Nenek Chiyo buka suara.

"Tempat apa ini, Nek?" Neji bertanya. Ia baru pertama kali datang ke tempat ini.

"Ini adalah tempat rahasia dan suci bagi para leluhurku," jawab Nenek Chiyo. "Ada yang harus kita lakukan di sini."

"Apa itu?" Kali ini Shikamaru yang bertanya. Pemuda itu baru saja melongok ke dalam guci batu yang ternyata berisi air. Di sebelah kiri dan kanan guci itu, terdapat dua buah batu berbentuk kubus, entah fungsinya untuk apa.

"Aku akan mengadakan ritual untuk kalian."

Kening Neji berkerut bingung. "Ritual? Untuk apa?"

"Agar kalian bisa melawan werewolf-werewolf pembuat onar itu," katanya. Nenek Chiyo menghampiri guci batu. "Guci ini berisi air suci. Kalian akan duduk di atas dua batu kubus ini, lalu aku menyiram kalian dengan air suci dalam guci ini."

Lagi-lagi, Shikamaru dan Neji bertatapan. Kedua pemuda itu terlihat bingung, tetapi menurut juga. Mereka duduk dengan tegang di atas batu berbentuk kubus itu.

"Tenang saja, kalian akan baik-baik saja. Kalau aku tidak melakukan ini, kalian bisa saja tewas di tangan para werewolf busuk itu," Katanya. "Oh iya, tutup mata kalian selama ritual ini berlangsung. Awalnya akan terasa sakit, tapi tahanlah. Tidak akan lama."

Shikamaru menutup matanya, begitu juga Neji.

Nenek Chiyo meletakkan tangan kanannya di atas guci itu, lalu menutup mata. Ia menggumamkan sesuatu. Secara ajaib, bagian dalam guci itu bersinar. Rupanya air dalam guci itu bercahaya keemasan.

Kemudian Nenek Chiyo membuka matanya, lalu ia meraih cawan besar yang ada di dalam guci. Ia menyiramkan air yang berpendar keemasan itu di atas kepala Shikamaru, lalu Neji.

Shikamaru menegang. Ia bisa merasakan sesuatu seperti merasuk ke dalam tubuhnya. Tubuhnya seperti dialiri listrik tegangan rendah, sedikit menyakitkan, tetapi hanya sebentar. Setelahnya, ia merasakan sesuatu yang hangat merambat dari atas kepalanya, sampai ke ujung kakinya. Rasanya seperti sedang berada di dalam selimut saat cuaca sedang dingin. Rasanya hangat dan nyaman. Hal yang sama juga dirasakan oleh Neji.

"Buka mata kalian," perintah Nenek Chiyo.

Shikamaru dan Neji membuka mata. Kedua pemuda itu bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.

"Neji, kau merasakannya juga?" tanya Shikamaru.

"Ya," jawab Neji. "Yang tadi itu apa, Nek?" Neji bertanya pada Nenek Chiyo.

Nenek Chiyo tersenyum. "Itu adalah ritual untuk menambah kekuatan kalian. Sekarang, kekuatan kalian setara dengan satu werewolf," Kedua pemuda itu tercengang mendengar penjelasan Nenek Chiyo. "Kalian tentunya tidak berpikir manusia biasa seperti kita bisa melawan werewolf, kan? Makanya, para leluhurku melakukan ritual ini sebelum pergi berperang melawan werewolf."

"Tapi, Nek, apa yang kau lakukan ini tidak masuk akal. Tadi aku sempat mendengar, kau mengucapkan kata-kata asing yang sama sekali tidak aku pahami," Kata Shikamaru. "Kau terdengar seperti penyihir."

Nenek Chiyo tertawa kecil. "Aku bukan penyihir, tapi aku menguasai sihir tertentu."

"Apa?!"

"Aku mahir dengan teknik penyegelan. Tugasku dulu adalah melakukan ritual ini, dan juga untuk menyegel werewolf yang sudah berhasil dikalahkan," Nenek Chiyo menjelaskan dengan tenang, senyum tak lepas dari wajahnya. "Nah, sekarang, ada yang ingin nenek berikan pada kalian."

Nenek Chiyo merogoh kantung tasnya. Ia mengeluarkan dua buah gelang kecil berwarna perak. Yang satu ia berikan pada Shikamaru, dan satunya ia berikan pada Neji.

"Gelang?" gumam Neji.

"Itu bukan gelang biasa. Fungsi dari gelang itu adalah agar kalian dapat mengontrol kekuatan yang didapat dari ritual ini. Pakailah, dan jangan dilepas."

Shikamaru mengamati gelang perak polos itu. Tidak ada hiasan apapun, benar-benar polos. Kemudian ia memutuskan untuk memakainya. Sejujurnya, ia agak bingung dan sedikit terkejut, ini pertama kalinya ia merasakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh nalarnya.

"Oh iya, satu lagi."

"Apa itu, Nek?"

Nenek Chiyo kembali merogoh kantung tasnya, lalu mengeluarkan satu buah gelang lagi, tetapi berwarna emas. "Kalau kalian sudah bertemu dengan Naruto, lalu terjadi sesuatu yang aneh padanya, kalian harus memakaikan gelang ini. Bagaimanapun caranya, gelang ini harus terpasang di tangan Naruto."

Shikamaru menerima gelang itu dengan kening berkerut dalam. "Memang apa yang akan terjadi pada Naruto?"

Nenek Chiyo menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi firasatku mengatakan, suatu saat nanti Naruto akan membutuhkan gelang ini."

'Membutuhkan gelang ini? Untuk apa? Naruto bahkan tidak ikut ritual. Aneh sekali.' Batin Shikamaru.

Oke, kepala Shikamaru mulai pusing sekarang. Apakah keluarganya memang tidak normal dan terhubung dengan hal-hal di luar logika manusia?

"Apa ada yang ingin kalian tanyakan? Kalau tidak, mari kita kembali ke rumah. Kalian harus latihan lagi. Dan aku jamin, besok kalian sudah bisa pergi ke hutan untuk menyelamatkan Naruto."

Shikamaru sumringah. "Baik, Nek!" Ia menjawab ucapan sang nenek dengan semangat.

Neji mendengus. Ia sudah dengar garis besarnya dari Nenek Chiyo, bahwa sahabatnya sejak kecil ini memang menaruh perhatian lebih pada Naruto. "Dasar bocah!" gumamnya. Untung saja Shikamaru tak mendengar karena dia sedang sibuk memperhatikan gelang pemberian Nenek Chiyo.

Neji sudah bertekad, ia akan membantu Shikamaru menemukan Naruto, bagaimana pun caranya.

.

.

.

Siang itu, di dalam ruang tamu rumah Sakura yang sederhana, ada Sasuke, Naruto, Itachi, Kyuubi dan Tobi alias Obito. Sakura sendiri tidak terlihat karena sedang sibuk di ruangan kerjanya, sedangkan B sedang keluar entah kemana.

"Jadi, bagaimana ceritanya Naruto bisa sampai ke tempat ini, Itachi?" Sasuke menatap Itachi dengan tatapan menyelidik.

"Ah, aku belum cerita, ya?" Itachi menimpali pertanyaan sang adik dengan santai. Dia duduk santai sambil melingkarkan lengannya di bahu Kyuubi. "Setelah Pein menghancurkan kastil kita, aku meminta Obito untuk menyamar sebagai Tobi, lalu menyusup ke Akatsuki untuk melaporkan padaku pergerakan mereka dengan dibantu Karin. Kau tahu sendiri, kan, Obito jarang berada di kastil. Pein tak mungkin tahu jika dia adalah seorang Uchiha. Lalu ketika Naruto diculik, aku memberinya tugas tambahan untuk mengawasi juga menjaga Naruto. Dan ketika Pein lengah, Obito kuperintahkan untuk membawa Naruto keluar dari tempat itu. Makanya aku tidak panik ketika Naruto diculik."

"Kenapa kau tidak cerita padaku juga?" Kyuubi bertanya.

Itachi tersenyum tipis. "Kejutan," Jawabnya, yang membuat Kyuubi memutar bola matanya.

"Yang benar saja! Aku hampir mati kehabisan darah gara-gara melawan gerombolan wolf busuk itu, tahu!" Kyuubi mendecakkan lidahnya kesal. Pasangannya ini memang misterius dan sulit ditebak.

"Jadi Tobi–eh, maksudku Obito-san adalah sepupu kalian?" tanya Naruto. Pemuda pirang yang duduk di sebelah Sasuke itu menatap wajah tampan Obito yang kini tanpa topeng. Dia tidak menyangka, dibalik topeng aneh itu tersimpan wajah yang tampan.

Obito mengangguk sambil tersenyum tipis. "Benar, Naruto. Aku adalah sepupu psanganmu yang menyebalkan itu."

"Siapa yang kau sebut menyebalkan?" Sasuke protes.

"Kau, siapa lagi?" timpal Obito.

Sasuke mendengus kesal. "Jangan bicara padanya, Naruto. Nanti kau tertular sifat anehnya," kata Sasuke pada Naruto.

"Lalu, Karin itu siapa? Sepupu kalian juga?"

"Bukan, Karin adalah mata-mata. Dia biasa bekerja untuk Sasuke, tetapi kadang dia menerima perintah dari Itachi juga," Obito menjelaskan. "Maaf, ya, kalau selama ini sikap Karin membuatmu kesal. Dia memang begitu, mulutnya tajam. Tapi sebenarnya dia baik."

Naruto menggeleng. "Tidak apa, Obito-san. Karin memang sedikit menyebalkan, tapi dia selalu menemaniku selama menjadi tawanan Akatsuki," timpal Naruto. "Aku juga berterima kasih padamu, Obito-san. Kau selalu menghiburku di sana."

"Ah, panggil Obito saja, tidak usah pakai san segala!"

Naruto tersenyum kikuk. "Hmm, baiklah kalau begitu, Obito."

"Wah, ternyata kau tampan juga, Pemuda Bertopeng!" Ino berkomentar. Peri kecil itu duduk nyaman di bahu Obito.

"Tentu saja, aku memang tampan," kata Obito. "Kau sudah tidak takut padaku lagi, huh?" Pemuda itu tertawa kecil, pasalnya peri kecil yang manis itu sudah tidak takut lagi padanya semenjak ia membuka topengnya. Bandingkan dengan saat-saat awal mereka bertemu, Ino terlihat ketakutan, apalagi setelah melihat ia bertarung dengan Saiken.

"Cih, sok keren," cibir Sasuke. Ia tidak suka melihat Naruto akrab dengan sepupunya yang suka seenaknya itu. Kemudian, perhatian pemuda raven itu teralih pada Itachi, ia teringat sesuatu. "Itachi, kenapa kau tidak mengatakan apa-apa soal rencanamu itu padaku? Hampir saja aku menghancurkan hutan!"

Itachi tak bisa menahan seringainya. "Kau tahu, melihatmu panik seperti itu kadang-kadang menyenangkan."

"Kau!" Sasuke nyaris menerjang Itachi ketika Sakura datang dari ruang kerjanya.

"Jangan buat keributan di sini, Sasuke-kun, Itachi-kun. Aku tidak mau rumahku roboh," Kata gadis berambut merah jambu itu. Sang gadis duduk sambil memangku Shukaku mini.

"Itu… apa?" Naruto menunjuk Shukaku yang tampak nyaman dipangkuan Sakura.

"Aku punya nama, bocah. Namaku Shukaku." Shukaku menjawab, membuat Naruto memekik kaget. Pemuda itu tidak pernah tahu ada hewan yang bisa berbicara, meskipun bentuk hewan dipangkuan Sakura itu memang agak janggal.

"Sudahlah," Sakura menyela. "Ah, iya, kita akan berangkat mencari Kristal Bulan besok lusa, agar kalian semua punya waktu untuk beristirahat. Misi ini memang penting, tapi kalau kalian tidak menjaga kesehatan, bisa-bisa misi ini gagal total."

"Apa itu Kristal Bulan?" tanya Naruto pada Sasuke yang duduk di sebelahnya.

"Kristal Bulan itu akan digunakan untuk melawan Pein," Jawab Sasuke, yang dibalas anggukan kepala Naruto.

Ino terbang menuju ke depan wajah Naruto. "Aku pernah dengar soal Kristal Bulan, Naruto! Kristal itu dijaga oleh seekor monster besar yang sangat mengerikan! Ayahku pernah menceritakannya padaku!"

"Benarkah, Ino? Seberapa mengerikan?" tanya Naruto. Pemuda itu terlibat percakapan seru dengan teman perinya yang imut itu, sedangkan Sasuke menatap mereka berdua dengan kening berkerut. Pertanyaan yang sama kembali terlintas di benaknya. Bagaimana bisa Naruto melihat peri ini?

Sementara itu, Sakura menatap Kyuubi yang tampak sedang melamun. "Kyuubi-kun?" panggilnya.

"Ya?" Panggilan dari Sakura membuyarkan lamunan Kyuubi.

"Kau yakin bisa mengerjakan misi ini?" tanya Sakura.

"Tentu saja. Aku bukan orang lemah," jawab Kyuubi mantap. Itachi tidak menyela. Mereka sudah sepakat bahwa Kyuubi lah yang akan menyelesaikan misi pencarian Kristal Bulan ini.

"Baiklah, kalau begitu," Sakura menepuk tangannya dua kali, meminta agar mereka semua memperhatikannya. "Kita berangkat besok lusa, pagi-pagi sekali. Persiapkan diri kalian!" ujar Sakura.

Semua yang ada di dalam ruangan itu menjawab serempak. "Baik!"

.

.

.

Naruto bangun pagi-pagi sekali. Sebenarnya, dia bangun pagi karena tidak bisa tidur nyenyak. Alasannya sepele, karena Sasuke tidur di sebelahnya.

Mereka tidak tidur berdua saja sih, mereka berbagi kamar dengan Kyuubi dan Itachi juga karena rumah ini tidak memiliki banyak kamar. Sakura tidur di kamarnya bersama Ino, sedangkan B tidur bersama Shukaku mini.

Pemuda itu mengamati wajah tidur Sasuke yang terlihat tenang.

Awalnya dia senang, akhirnya bisa bertemu lagi dengan Sasuke. Tetapi, entah mengapa setelah bertemu kembali dengan Sasuke malah terasa canggung. Apalagi ketika tatapan mata mereka bertemu, pemuda itu merasa salah tingkah.

Naruto menyingkirkan lengan Sasuke yang berada di atas perutnya dengan perlahan. Sejak kapan Sasuke memeluknya? Pemuda itu mendudukkan dirinya, lalu melihat ke sekeliling kamar.

Itachi dan Kyuubi masih tidur dengan nyenyak dibalik selimut. Dan ia tahu, mereka berpelukan seperti induk koala dan anaknya.

Pemuda itu memutuskan untuk ke kamar mandi saja. Mandi pagi-pagi begini bukanlah ide buruk. Dia juga sudah terbiasa mandi pagi ketika berada di rumah Shikamaru.

Shikamaru.

Naruto kembali teringat sahabat baiknya itu, dan ia merindukannya. Bagaimana keadaannya, ya? Dia pasti khawatir karena sampai sekarang Naruto masih belum ditemukan.

Sesampainya di kamar mandi, Naruto membasuh wajahnya lalu membersihkan seluruh tubuhnya.

Mata pemuda itu sedikit berkaca-kaca ketika ia teringat ayahnya. Seandainya saja Naruto menjadi anak yang baik, dia tak akan di kirim ke Konoha. Ia tidak akan berpisah dengan sang ayah. Ia tidak akan tercebur ke sungai. Dan ia tidak akan bertemu dengan Sasuke.

Huh? Tidak bertemu dengan Sasuke?

Entah mengapa, bagian yang terakhir itu sedikit membuat hatinya terasa sakit. Ada sedikit perasaan tidak rela jika ia tidak pernah bertemu dengan Sasuke.

Naruto masih belum mengerti tentang perasaannya pada pemuda itu. Apakah dia mencintainya? Atau ini hanya rasa kagum saja?

Dia juga tidak tahu bagaimana perasaan Sasuke padanya. Sasuke tidak pernah mengatakan cinta. Dia hanya mengatakan jika Naruto adalah pasangannya.

Naruto juga tidak berani berharap lebih. Sasuke itu sosok yang sempurna, dia tampan, kuat, badannya bagus, dia juga berasal dari keluarga yang berkuasa. Pasti banyak orang di luar sana yang menginginkan Sasuke.

Naruto menghela napasnya yang terasa berat.

Selesai mandi, Naruto berencana untuk kembali ke kamar, tetapi aroma sedap yang berasal dari dapur membuat ia mengurungkan niatnya.

"Selamat pagi, Sakura-san," Naruto menyapa Sakura yang ternyata sedang memasak di dapur.

"Oh, selamat pagi, Naruto-kun. Kau sudah bangun rupanya. Duduklah, sebentar lagi sarapan siap," Sakura berkata dengan ramah. Gadis cantik itu menyiapkan sarapan dengan cekatan. Ia memotong-motong bahan masakan dengan lihai, sangat terlihat jika dia memang pandai memasak.

Naruto duduk di salah satu kursi di meja makan. "Yang lain masih tidur, ya?"

"Iya. Tapi sebentar lagi mereka bangun," jawab Sakura. "Aku tidak tahu kau bangun sepagi ini."

Naruto tertawa kecil. "Sudah biasa, Sakura-san. Aku bekerja di peternakan milik pamanku, jadi aku sudah biasa bangun pagi."

"Oh, begitu," Sakura meraih mangkuk kecil untuk mencicipi masakannya. "Ah, iya, ku dengar, kau pasangan Sasuke-kun, ya?"

"I-iya," Naruto menjawab dengan sedikit terbata. "Tapi, Sakura-san, sejujurnya aku tidak begitu paham. Kau tahu, aku ini manusia biasa, dan Sasuke adalah werewolf. Bagaimana bisa kami berpasangan?"

Sakura tersenyum. Ia paham dengan apa yang dirasakan Naruto. Sebagai manusia yang tidak pernah bersentuhan dengan sesuatu yang berada di luar logika manusia, Naruto pastilah merasa bingung.

"Pokoknya kau tenang saja, Naruto-kun. Sasuke-kun adalah orang yang tepat untukmu. Dan aku sarankan, jangan pernah meninggalkan Sasuke-kun. Werewolf tanpa pasangannya, akan menjadi werewolf yang kejam dan tak kenal ampun. Apalagi jika pasangannya mati. Werewolf lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga."

"Benarkah?"

"Iya," jawab Sakura.

Gadis itu teringat dengan tatapan Sasuke beberapa hari yang lalu, ketika ia memberinya tugas untuk mengambilkan tongkat sihirnya dari tangan Shukaku. Tatapan itu penuh dengan tekad yang kuat. Dan dari situlah, ia tahu jika orang yang ingin diselamatkan Sasuke adalah pasangannya.

"Selamat pagi, Naruto!" Naruto menoleh ketika ia mendengar teriakan Ino yang ceria.

"Selamat pagi, Ino. Bagaimana tidurmu?"

Peri kecil itu duduk di bahu Naruto. "Nyenyak sekali. Kamar Sakura-san wangi bunga lavender, dan aku sangat suka wangi bunga!"

Naruto tersenyum mendengar penuturan peri kecil itu. "Baguslah kalau begitu. Ayo kita sarapan," kata Naruto, yang dijawab gelengan kepala Ino.

"Aku tidak makan makanan manusia, Naruto."

"Lalu kau makan apa?"

"Aku makan bunga. Makanya aku suka wangi bunga."

Naruto mengangguk paham. Jadi, peri makan bunga? Well, dia belum pernah bertemu dengan peri sebelumnya, mana dia tahu apa makanan makhluk kecil itu.

Naruto asyik mengobrol dengan Ino, sampai tidak menyadari tatapan menyelidik Sakura. Penyihir itu mengamati Naruto yang leluasa mengobrol dengan Ino, bahkan ia bisa menyentuhnya. Padahal setahunya, manusia biasa tidak bisa melihat peri, apalagi bersentuhan dengannya.

Siapa sebenarnya Naruto ini?

"Selamat pagi, Naruto, Sakura-san," Suara berat Itachi terdengar.

"Selamat pagi," Sakura, Naruto dan Ino menjawab serempak.

Naruto menoleh ke asal suara, dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika tatapannya bertemu dengan mata tajam Sasuke. Naruto mengalihkan tatapannya ketika ia merasakan pipinya memanas.

"Selamat pagi, Naruto." Sasuke menyapa Naruto ketika ia duduk di sebelah pasangannya itu.

"S-s-selamat pagi, Sasuke," Naruto menjawab dengan terbata-bata. Sialan, dia makin deg-degan ketika Sasuke duduk di sebelahnya. Dan kenapa pipi sialan ini makin panas saja?!

"Kau baik-baik saja? Wajahmu merah."

Naruto sedikit berjengit ketika Sasuke mendekatkan wajahnya. Naruto memang sedang menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Ah, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit kepanasan. Cuaca di sini cukup panas, ya."

"Hn," Sasuke bergumam. Ia kembali menegakkan tubuhnya. "Baguslah kalau kau baik-baik saja."

Naruto melirik Sakura yang sedang menatapnya. Gadis cantik itu menyunggingkan senyum jahil.

"Kau yakin, kau baik-baik saja, Naruto-kun?"

Naruto mengangguk, tidak menjawab pertanyaan Sakura. Sial, gadis itu pasti tahu kenapa ia bertingkah seperti anak perempuan.

"Yakin?"

Wajah Naruto berubah masam. Ia tidak suka digoda di depan Sasuke. "Iya, Sakura-san," jawab Naruto. "Ah, apakah masakannya sudah matang? Mari, aku bantu menyiapkannya," Naruto berdiri dari kursinya, lalu ia membantu Sakura. Sebenarnya itu hanya pengalihan saja, sih.

"Naruto." Gerakan tangan Naruto terhenti ketika mendengar suara berat Sasuke. "Setelah sarapan, kau ikut denganku. Penting." Katanya. Suaranya terdengar serius, membuat Naruto tidak berani membantah.

Mau tak mau, Naruto mengangguk. "Baiklah, Sasuke," jawabnya.

Selesai sarapan, Naruto mengekor Sasuke setelah sebelumnya memakai pakaian yang diberikan Sakura. Kemudian, Sasuke mengajak Naruto keluar rumah setelah mengancam Ino yang merengek ingin ikut. Dia tidak ingin ada yang mengganggunya.

"Kita mau kemana, Sasuke?"

"Nanti juga kau tahu," jawab Sasuke.

Naruto mencibir. Sasuke adalah makhluk paling sok misterius yang pernah dia kenal, setelah Itachi tentunya.

Akhirnya, Naruto memutuskan untuk tidak ambil pusing. Mata birunya mengedar, memperhatikan keadaan Desa Suna yang ramai oleh makhluk-makhluk dengan bentuk yang tidak jelas, ada yang badannya manusia tapi kepalanya kambing, ada yang badannya kuda tapi kepalanya manusia, dan sebagainya.

Tanpa sadar, Naruto mendekat ke arah Sasuke ketika ia diperhatikan oleh makhluk-makhluk itu. Mungkin mereka bingung, sedang apa manusia biasa sepertinya berkeliaran di desa itu.

"Kenapa?" Sasuke bertanya ketika ia menyadari raut wajah Naruto yang sedikit tegang.

"Kenapa mereka memperhatikan aku?" tanya Naruto. "Apa mereka ingin… kau tahu, memangsaku?"

Sasuke mendengus geli. "Tidak. Mereka hanya penasaran denganmu. Sangat jarang ada manusia tinggal di desa ini."

Naruto mengangguk mengerti. Syukurlah, ia pikir mereka akan memangsa dirinya.

"Kau takut?"

Naruto merengut. "Siapa yang takut? Aku tidak takut!" pemuda itu protes. "Aku sudah terbiasa menghadapi Pein, dengan segala amukan dan ancamannya. Yang begini sih, kecil!"

Kening Sasuke mengerut tidak suka. "Apa yang dilakukannya padamu?" tanyanya. Naruto sama sekali tidak menyadari perubahan raut wajah Sasuke.

"Dia sering mengancam akan membunuhku, dia juga pernah hampir melemparku dengan meja dan kursi, pernah juga memukul meja sampai terbelah jadi dua, tapi untung saja ada Tobi–eh, maksudku Obito, yang tiba-tiba saja bertingkah aneh. Aku pikir dia kerasukan hantu, tapi kalau aku pikirkan lagi, sepertinya dia sedang melindungiku dari amukan Pein."

Rahang Sasuke mengatup rapat. Dia tidak terima pasangannya diperlakukan dengan kasar. Lihat saja, Sasuke pasti akan menendang bokong wolf serakah itu!

"Tenang saja, Naruto. Kita pasti bisa mengalahkannya."

Naruto tersenyum. Ia percaya bahwa Sasuke, Itachi, Kyuubi dan teman-teman yang lain pasti bisa mengalahkan Pein dan anak buahnya.

Senyum Naruto pudar ketika ia menyadari, mereka sampai di perbatasan Desa Suna dan Hutan Barat.

"Hutan Barat? Mau apa kita ke sini, Sasuke?"

"Aku ingin pergi ke suatu tempat."

"Kemana?"

Sasuke tidak menjawab. Pemuda itu diam, memperhatikan sekelilingnya apakah aman atau tidak. Insting wolf memang tajam, apalagi jika menyangkut keselamatan pasangannya. Setelah memastikan jika sekeliling mereka aman, Sasuke kembali melangkah, diikuti Naruto yang berjalan disampingnya.

"Naruto," panggil Sasuke.

"Ya?"

Sasuke mengulurkan tangannya. "Pegang tanganku. Di sini sangat berbahaya. Aku tidak ingin kau tersesat. Berjalanlah sedekat mungkin denganku."

Naruto mematung. Ia menatap tangan Sasuke yang terjulur ke arahnya. Dengan ragu, ia menyambut uluran tangan itu.

Sasuke tidak membuang waktu. Ia menggenggam tangan Naruto dengan kuat namun tetap lembut agar tak menyakiti pasangannya itu. Kemudian ia membimbing Naruto untuk mengikuti langkahnya.

Sasuke mengaktifkan Sharingannya ketika mereka masuk semakin dalam ke wilayah Hutan Barat.

"Sasuke, kenapa hutan ini menyeramkan sekali?"

"Entahlah, mungkin karena ada banyak monster hidup di sini. Jadi, jika kau tidak ingin dimangsa monster-monster itu, sebaiknya jangan lepaskan tanganku."

"Hm, iya. Aku tahu."

Sial. Sebenarnya Naruto sangat ingin melepaskan tangannya. Dia tidak ingin Sasuke menyadari telapak tangannya yang berkeringat karena gugup. Padahal mereka pernah bergandengan sebelumnya, tapi rasanya biasa saja, tidak membuat deg-degan seperti sekarang.

Tiba-tiba Sasuke berhenti berjalan. Ia menengadah, lalu mengendus udara beberapa kali.

"Ada apa, Sasuke?"

"Lewat sini," jawabnya singkat tanpa menoleh ke Naruto.

Naruto hanya diam, dia tidak bertanya lagi karena ia tahu Sasuke tak akan menjawabnya. Dijawab pun, mungkin hanya dengan beberapa kata. Sasuke memang pendiam, dia hanya cerewet ketika Naruto melakukan hal-hal bodoh.

Mata biru pemuda itu melirik tangannya yang digenggam dengan erat oleh Sasuke. Diam-diam, ia tersenyum. Genggaman tangan Sasuke terasa hangat, nyaman dan juga aman.

Sasuke berhenti berjalan lagi. Kali ini, tubuhnya terlihat tegang dan waspada.

Naruto yang awalnya bingung, ikut menegang ketika melihat makhluk aneh dan mengerikan di depan sana.

"A-a-apa itu?"

"The Death. Kyuubi pernah hampir di mangsa olehnya. Jangan tertipu wajah cantiknya, Naruto," kata Sasuke. Pemuda itu semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Naruto.

Tempat ini adalah tempat yang sama ketika Kyuubi nyaris saja diterkam makhluk mengerikan itu.

"Wajah cantik? Matamu bermasalah, Sasuke? Gigi mereka setajam pedang begitu, kau bilang cantik?"

"Apa?" Kening Sasuke mengerut bingung. Kenapa Naruto bisa tahu wajah asli The Death? Bukankah mereka menggunakan ilusi untuk menjerat mangsanya? "Kau bisa melihat wujud asli mereka?"

"Aku tidak tahu bagaimana wujud asli mereka. Yang jelas, aku melihat sekumpulan wanita berwajah seram dengan taring yang tajam," balas Naruto.

Sasuke menatap Naruto dengan tatapan bingung. Pasangannya ini benar-benar manusia yang aneh. Sasuke saja tidak bisa melihat wujud asli The Death jika tidak menggunakan Sharingan. Kenapa Naruto bisa melihat wujud asli makhluk mengerikan itu?

Dia harus menanyakan ini pada Itachi nanti.

Sasuke melanjutkan langkahnya. Sekalipun itu artinya baik Sasuke maupun Naruto tidak akan tergoda oleh ilusi The Death, tetapi wolf itu tetap waspada. Dia belum begitu mengenal Hutan Barat, bisa saja monster yang jauh lebih berbahaya muncul menghadang mereka.

Setelah satu jam berjalan, Sasuke berhenti berjalan lagi.

"A-apakah ada monster lagi, Sasuke?" Naruto bertanya sambil meremas telapak tangan Sasuke. Dia adalah manusia, dan manusia yang berada di Hutan Barat adalah sasaran empuk monster-monster yang sedang lapar.

Sasuke tidak menjawab pertanyaan Naruto. Ia malah balik bertanya. "Kau mendengarnya, Naruto?" tanyanya.

Naruto menajamkan pendengarannya. "Suara air? Air terjun?"

"Ya."

Naruto tersenyum lebar. Dia memang sangat suka bermain di air. Bahkan sampai tercebur lalu bertemu dengan werewolf dan makhluk aneh lainnya. Semua berawal dari sebuah sungai.

Sasuke tersenyum tipis, ketika melihat pasangannya terlihat senang.

Akhirnya mereka sampai. Naruto tercengang ketika melihat air terjun yang sangat indah. Berbeda dengan air terjun yang pernah ia lihat bersama Obito, air terjun di Hutan Barat ini jauh lebih tinggi, pemandangannya jauh lebih indah karena di kelilingi perbukitan hijau. Sebuah gunung yang tidak Naruto ketahui namanya terlihat di kejauhan. Dia tidak pernah menyangka, di hutan aneh ini ternyata menyimpan pemandangan yang sangat indah.

"Tempat ini indah sekali!" Teriak Naruto. "Dari mana kau tahu tempat ini, Sasuke?"

"Sakura-san yang memberitahuku." Jawab Sasuke. "Ketika aku berkata padanya kalau kami bertemu dengan The Death, dia bilang ada air terjun yang sangat cantik di dekat sarang makhluk itu. Sebenarnya aku tidak tahu jalan kemari, aku hanya mengikuti instingku saja."

Naruto sweatdrop. Tidak tahu jalan, katanya? Untung saja mereka tidak tersesat. Tidak lucu kalau mereka tersesat di kencan pertama mereka.

Wait.

Kencan?

Duh, yang benar saja. Naruto jadi salah tingkah. Tidak mungkin, kan, Sasuke mengajaknya kencan? Dia pasti hanya ingin melihat air terjun ini.

Naruto menggelengkan kepalanya dengan keras untuk mengusir pemikiran aneh yang terlintas di benaknya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sasuke.

"Hah? Oh, iya aku baik-baik saja."

Tidak ingin semakin larut dalam pikirannya yang semakin ngawur, Naruto mengajak Sasuke turun ke bawah, agar mereka bisa bermain air. Sasuke tidak keberatan, asalkan Naruto merasa senang. Tapi sebelum mereka turun ke bawah, Sasuke mengecek terlebih dahulu apakah tempat itu aman atau tidak.

Setelah dirasa aman, barulah ia mengijinkan Naruto untuk bermain air sepuasnya.

Sasuke tidak ikut bermain air, ia hanya duduk diam di atas sebuah batu besar sambil mengamati Naruto.

Ah, betapa Sasuke merindukan pasangannya itu. Rambut pirangnya, mata birunya, kulitnya yang kecoklatan, senyumnya yang secerah mentari pagi, benar-benar Sasuke rindukan.

"Shit," Pemuda itu mengumpat. Ia menutupi bibirnya yang sedang tersenyum dengan telapak tangannya. Sejak kapan ia berubah menjadi wolf lembek begini? Padahal sebelumnya, Sasuke tidak pernah peduli dengan kisah percintaan.

"Sasuke!" Sasuke mendongak ketika Naruto memanggilnya.

Senyum di bibir Sasuke lenyap tak berbekas, wajah datarnya telah kembali. "Ada apa?"

Naruto menghampiri Sasuke, lalu duduk di sebelahnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya menjawab pertanyaan Sasuke, Naruto malah balik bertanya. "Airnya dingin, loh, rugi kalau kau tidak bermain air,"

"Tidak, kau saja," jawab Sasuke. "Sudah selesai bermain airnya?"

"Iya. Kau tidak ikut, sih. Aku tidak suka main sendirian." Kata Naruto. Ia meluruskan kakinya agar terendam aliran air sungai. "Lebih baik aku duduk di sini, aku juga ingin mengobrol denganmu."

Sebelah alis Sasuke terangkat. "Mengobrol? Soal apa?"

"Apa saja. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," kata Naruto. "Oh iya, kau benar-benar tidak tahu soal rencana Itachi yang mengutus Obito untuk menyelinap di Akatsuki, ya?"

Sasuke mengangguk. "Ya. Aku tidak tahu soal itu. Kakakku itu memang misterius, kadang aku tidak mengerti jalan pikirannya. Sejak kecil, dia sering melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang lain."

"Benarkah?"

"Hn," Sasuke menggumam. "Tapi dulu ketika aku masih kecil, aku sangat mengidolakan kakakku. Dan kakakku sangat memanjakanku." Tatapan Sasuke menerawang, mengingat masa kecilnya bersama Itachi.

"Kau beruntung sekali. Aku tidak punya saudara. Aku sering merasa kesepian."

"Memang, tapi ada masa di mana aku merasa iri dengan kakakku sendiri."

"Kenapa?" Naruto bertanya dengan kening berkerut bingung.

"Dulu, aku sangat ingin menjadi seperti kakakku. Bagiku, Itachi ibarat tokoh superhero. Dia kuat, pintar, tetapi tetap baik hati. Kami sering bermain bersama. Tetapi seiring bertambahnya usia, Itachi mulai dididik oleh ayah karena suatu saat dialah yang akan menjadi Alpha bagi klan kami, menggantikan ayah. Itachi jadi jarang bermain bersamaku, ia lebih sering berlatih di lapangan bersama wolf warrior atau belajar di ruang kerja ayah."

"Lalu kau merasa kesepian?"

"Begitulah," jawab Sasuke. "Dan ayahku selalu mengutamakan Itachi. Dia jarang memuji hasil belajarku, jarang melihatku berlatih bersama warrior, bahkan ketika aku sakit, ayahku lebih memilih menemui para tetua untuk rapat. Aku merasa dilupakan, dan aku menyalahkan Itachi karena dia merebut ayah dariku."

Naruto mendengarkan cerita Sasuke dengan serius. Jarang-jarang Sasuke bercerita panjang lebar seperti ini.

"Awalnya aku memang merasa iri pada Itachi, tapi semakin lama, aku semakin sadar, Itachi memang sosok pemimpin yang hebat. Dia selalu berpikir sebelum bertindak, dia dewasa dan juga tenang, meskipun terkadang dia suka menjahiliku."

Naruto terkekeh. "Tidak apa-apa, Sasuke. Menurutku wajar saja jika kau merasa iri dengan kakakmu sendiri. Pasti ada saat dimana kau merasa 'apa bedanya aku dengan kakakku? Kami kan saudara', tapi, menurutku, baik kau dan Itachi pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kau tidak bisa menjadi seperti Itachi, begitu pula Itachi yang tidak bisa menjadi sepertimu. Kelebihan dan kekurangan itulah yang nantinya akan mempersatukan kalian, menjadikan kalian lebih kuat, karena kalian saling melengkapi," Naruto berusaha memberikan masukan pada Sasuke, agar pasangannya itu tidak berkecil hati.

Sasuke menatap Naruto dengan pandangan takjub. Ternyata, dibalik sifatnya yang suka ngambek, ternyata Naruto termasuk orang yang bijak. Dia juga termasuk pendengar yang baik, bahkan bisa memberikan masukan yang bijak.

"Ternyata kau dewasa juga, ya," puji Sasuke.

"Heh, baru tahu? Aku ini memang dewasa!" Naruto menjulurkan lidahnya, membuat Sasuke tertawa kecil karena tingkah pasangannya itu.

Sasuke berdiri, lalu mengacak rambut Naruto. "Ayo, sebaiknya kita segera kembali. Hutan ini berbahaya jika kita berlama-lama di sini," kata Sasuke. Ia mengulurkan tangan, membantu Naruto untuk berdiri.

"Kenapa cepat sekali?"

"Di sini berbahaya, Naruto. Kita bisa kembali ke sini lain kali," kata Sasuke, berusaha membujuk Naruto yang mulai cemberut.

"Ya sudah, deh. Ayo kita kembali. Besok kita harus ke Uzushiogakure, kan?"

"Hn."

"Oh iya, hampir lupa," kata Naruto. "Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan ke air terjun indah ini, ya."

Sasuke tidak menjawab kata-kata Naruto. Ia hanya tersenyum tipis, tetapi efek yang dirasakan oleh Naruto sungguh luar biasa.

Deg!

Aduh, jantungku! Batin Naruto.

.

.

.

Pein sedang mengelap kening Konan yang basah karena keringat.

Konan masih belum sadarkan diri. Ia masih berada dalam pengaruh tanaman beracun yang bernama Deadly Sleep. Bibirnya masih membiru dan suhu tubuhnya amat rendah untuk ukuran wolf.

Seandainya bisa, Pein sangat ingin bertukar posisi dengan Konan. Ia tak sampai hati melihat pasangannya menanggung efek dari tanaman beracun itu.

Baru saja Pein hendak mengganti handuk yang dipakai untuk mengelap keringat Konan, pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang.

"Zetsu menghadap!" teriak Zetsu dari luar kamar.

Pein berdiri dari kursinya, lalu keluar kamar karena ia tidak suka ada orang lain masuk ke kamar khusus untuk dirinya dan Konan. Terakhir kali ada orang masuk ke sini, pasangannya malah terkena racun.

Pein membawa Zetsu ke ruangan kerjanya.

"Ada apa?" Tanya Pein. Ia duduk dengan angkuh di kursi kerjanya.

"Uchiha Itachi dan kawan-kawannya akan mencari Kristal Bulan, Ketua. Dan Naruto berada bersama Itachi dan Sasuke. Ternyata Tobi adalah seorang Uchiha," lapor Zetsu. "Apa yang harus kita lakukan?"

Pein terdiam. Ia terlihat berpikir. Bahaya jika sampai batu kristal itu berada di tangan Itachi, karena kekuatan sihirnya hanya bisa dikalahkan oleh batu kristal itu.

"Terus amati pergerakan mereka, Zetsu. Aku sudah mengutus Deidara, Sasori, dan Kisame untuk memburu mereka. Kristal Bulan dijaga oleh monster yang berbahaya, akan lebih baik jika kita merebutnya dari Itachi dan kawan-kawannya sehingga kita tidak perlu berhadapan dengan monster itu," kata Pein.

Zetsu mengangguk. "Baik, Ketua." Jawabnya.

"Ah, satu lagi."

"Ya, Ketua?"

Pein menatap mata Zetsu dengan serius. "Kau awasi Naruto. Aku merasakan ada yang berbeda dari bocah itu, tapi aku belum tahu pastinya. Jika ada tanda-tanda aneh pada bocah itu, segera beritahu aku. Aku tidak ingin dia menjadi ancaman suatu hari nanti. Kau mengerti?"

Zetsu mengangguk sekali lagi. "Saya mengerti, Ketua. Kalau begitu saya pamit undur diri," kata Zetsu, lalu ia pergi meninggalkan ruangan.

Saya pamit undur diri," Ucapnya, kemudian ia pergi keluar ruangan.

Sepeninggal Zetsu, Pein menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Seringai kejam muncul di bibirnya. Sebentar lagi, Itachi dan adiknya akan dia bunuh. Dan dendamnya akan terbalaskan. Tidak ada satu pun keturunan Uchiha, yang ia ijinkan untuk hidup.

Tidak ada!

.

.

TBC

.

.

Halo semuanya!

Masih adakah yang ingat sama fic ini? Hahahaha…

Maaf chapter ini ngetiknya lumayan lama. Aku sibuk banget gengs, antara kerjaan di kantor sama kerjaan di rumah sama-sama bikin puyeng. Jangan benci aku karena terlalu lama update T.T

Makasi buat kalian yang masih ngikutin fic-fic aku, ngasi fav+follow, ngasi kritikan membangun, bahkan hinaan (YAOI haters, mana suaranya?). Semua bakal aku lanjut kok tapi pelan-pelan, ya. Ngetik fanfic itu gak gampang. Perlu meres otak dan perlu yang namanya imajinasi. Nah, imajinasi ini yang susah banget munculnya, apalagi ini fanfic genrenya supernatural, fantasi ala-ala gitu. Adegan ShikaNeji yang disiram-siram mbahnya itu aku terinspirasi dari pernikahannya sepupuku. Trus aku mikir, wah boleh juga nih idenya. Jadi kadang-kadang imajinasi itu munculnya disaat yang tidak terduga.

Jadi maafkan kalo updatenya lama, nyari idenya itu loh, susaaaaah banget. Beneran! Dan maaf juga kalo chapter ini momen romance SasuNaru nya masih kurang. Maaf juga kalo chapter ini nggak seru, ide beneran lagi cekak, susah banget munculnya. Aku bikin ini pun terinspirasi dari perjalanan aku ke air terjun dekat rumah nenek pas liburan kemaren. Nanti aku tambahin lagi momen SasuNaru-nya. Mohon koreksi dan masukannya, ya!

Oke, sekian curcolnya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Adios!