Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN milik saya.
.
Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27
.
Warning : SASUNARU, BOYSLOVE! YAOI! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v
.
Note : sekali lagi aku ingatkan, jurus yang dipakai untuk bertarung dan hal-hal lain tidak selalu sesuai sama manga/animenya, ya.
.
Sinopsis : Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja demi sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda itu?
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
"Semua sudah siap?" Neji bertanya pada Shikamaru yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel.
"Sudah," jawab Shikamaru tanpa menatap Neji.
Neji menggendong ranselnya sendiri, lalu pergi mencari Nenek Chiyo yang sedang berada di dapur. Perutnya sudah keroncongan minta diisi, dan aroma sedap yang berasal dari dapur seolah memanggilnya sedari tadi.
"Pagi, Nek," sapa Neji.
"Selamat pagi, Neji," balas sang nenek dengan senyum hangat. "Sarapan dulu, ya. Sudah Nenek siapkan."
"Iya."
"Mana Shikamaru?" Nenek Chiyo menoleh kesana kemari, mencari keberadaan Shikamaru yang tak nampak di meja makan. Padahal biasanya, pemuda itu yang sampai lebih dulu di meja makan.
Neji mencomot satu sandwich isi daging. "Dia sedang sibuk merapihkan rambutnya yang seperti nanas," jawab Neji sambil mengunyah sandwich-nya.
"Aku dengar itu, Sadako!" seru Shikamaru. Sadako adalah ejekan dari Shikamaru untuk Neji. Pemuda itu baru saja keluar dari kamar sambil menenteng ranselnya. Kemudian, ia duduk di sebelah Neji untuk menikmati sarapan.
"Selamat pagi, Nek," Shikamaru menyapa sang nenek.
"Selamat pagi, Shikamaru."
Shikamaru menatap sandwich buatan Nenek Chiyo dengan tatapan berbinar, kemudian menghabiskan satu potong roti dalam beberapa kali gigitan. Mata kuaci Shikamaru memperhatikan Nenek Chiyo yang sedang sibuk menyiapkan bekal makanan untuk dirinya dan Neji.
Shikamaru menghela napas tanpa suara, dia akan merindukan masakan neneknya ini.
"Apakah kalian sudah siap untuk berangkat?"
"Sudah," Neji menjawab karena Shikamaru sedang sibuk mengunyah sandwich-nya yang kedua. "Bagaimana cara membedakan werewolf yang sedang berubah menyerupai manusia, Nek?"
"Hmmm …," Nenek Chiyo bergumam. "Nanti kau akan tahu ketika pertama melihatnya. Instingmu akan menjadi lebih tajam setelah melakukan ritual kemarin."
"Oh, begitu," Neji menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Ne, Shikamaru, sebenarnya apa alasanmu, mengapa kau sangat yakin bahwa Naruto masih hidup dan bersikeras ingin mencarinya?"
"Entah. Aku hanya yakin dia masih hidup," jawab Shikamaru.
"Bukankah di hutan ada banyak werewolf? Bagaimana kalau ternyata Naruto diserang oleh mereka, dan sekarang sudah tak bernyawa?"
"Tidak. Naruto masih hidup, dan aku akan mencarinya. Titik," Shikamaru menarik sehelai tisu untuk mengelap bibir dan tangannya, kemudian meminum secangkir kopi yang dibuatkan sang nenek. "Jangan berkata yang tidak-tidak, Neji, atau aku patahkan lehermu!"
"Cih," Neji berdecih. "Kau semakin berani saja!"
"Sudah, jangan berdebat," Nenek Chiyo menengahi. "Nenek juga yakin bahwa Naruto masih hidup. Meskipun dia manja, tapi Naruto tidak lemah. Ada sesuatu tentang Naruto yang tidak kalian ketahui."
Kening Shikamaru berkerut. "Apa itu?"
Nenek Chiyo tersenyum misterius. "Kalian akan mengetahuinya nanti. Nenek tidak bisa mengatakannya sekarang," Nenek Chiyo mencuci tangannya dengan bersih lalu ikut menikmati sarapan bersama kedua cucunya.
Selesai sarapan, Shikamaru dan Neji pun bergegas berangkat ke hutan. Setelah berpamitan dengan sang nenek yang memberitahu mereka untuk selalu berhati-hati, mereka berjalan memasuki hutan sesuai dengan rute yang diambil Shikamaru ketika berjalan bersama Naruto dulu.
"Kau yakin, Naruto menghilang di sini?" tanya Neji ketika mereka sampai di sungai tempat Naruto tercebur.
"Ya, dia berlari ke sana. Lalu terpeleset, terguling, dan tercebur."
Neji mengikuti arah telunjuk Shikamaru. Ia berjalan di tepian sungai yang berbatasan dengan sungai berarus deras di bawahnya. Mata tajamnya memperhatikan sekitar, berusaha menebak-nebak dimana kiranya Naruto berada.
"Kita ikuti aliran sungai ini. Siapa tahu kita bertemu seseorang yang pernah melihat Naruto, jika ia memang benar masih hidup," kata Neji.
Shikamaru mengangguk, kemudian mengikuti Neji dari belakang. Semoga saja, Naruto bisa ia temukan dalam keadaan selamat.
.
.
.
Shikamaru meneguk air dalam botol yang dibawanya. Kerongkongannya terasa kering, kakinya mulai pegal setelah berjalan berjam-jam. Ia belum menemukan satu orang pun yang bisa ditanyai soal Naruto.
Yah, mereka kan sedang berjalan di tengah hutan lebat yang memang jarang dimasuki manusia, bukannya sedang berjalan di daerah perkotaan padat penduduk.
"Neji, kau tidak lelah?" tanya Shikamaru.
"Tidak," jawab Neji. "Kau lelah? Mau istirahat dulu? Kita bisa makan bekal buatan nenek."
Shikamaru mengangguk. Kakinya memang sudah pegal dan perutnya lapar. Hari sudah semakin sore, tapi ia masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan Naruto. Jangankan Naruto, satu manusia pun tidak ada.
Neji membuka makanan yang terbungkus aluminium foil. "Wah, untung tidak basi. Nenek membawakan makanan basah," kata pemuda berambut panjang itu. Ia duduk bersila di bawah pohon rindang, di sebelahnya ada Shikamaru yang sedang duduk sambil meluruskan kakinya.
Shikamaru menerima jatah makannya dalam diam. Dia memang bukan tipe manusia yang berisik seperti Naruto. Begitu pula Neji. Mereka berdua makan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Suasana sunyi dan tenang itu rusak ketika terdengar suara bedebum keras.
"Suara apa itu?!" seru Neji.
Shikamaru buru-buru membereskan bekas makannya, lalu berdiri. "Suaranya dari arah sana, ayo kita lihat!"
Kedua pemuda itu berlari mendekati asal suara, lalu bersembunyi di semak-semak yang cukup tinggi untuk menutupi tubuh mereka. Mata keduanya melotot ketika mereka melihat ada seorang gadis berambut merah sedang tergeletak di atas tanah, tampak terluka parah. Dihadapan gadis itu, ada dua ekor serigala dengan ukuran yang sangat besar.
"Apakah itu werewolf?" bisik Neji sepelan mungkin.
"Sepertinya iya. Sial, gadis itu dalam bahaya!" Shikamaru menggeram. Ia meraih senapan yang dibawanya. "Aku akan menembaknya, Neji."
"Bidik kepalanya. Peluru dalam senapan itu akan membunuh werewolf karena Nenek Chiyo sudah melapisinya dengan cairan khusus. Tapi jangan sering dipakai, amunisi kita terbatas."
Shikamaru mengangguk mengerti. Ia segera mengarahkan senjatanya, lalu membidik seekor werewolf dengan bulu abu-abu terang. Satu tembakan melesat ke udara, menembus kepala werewolf itu.
Sang werewolf mendengking, lalu tergeletak begitu saja di atas tanah. Darah segar mengalir deras dari lubang di kepalanya. Satu werewolf lagi, yang berbulu cokelat, menggeram. Ia mengendus udara, lalu menggeram ke arah semak-semak tempat Shikamaru dan Neji bersembunyi.
Kedua pemuda itu melompat keluar. Shikamaru siap dengan senapannya, sedangkan Neji siap dengan pedangnya. Neji lebih suka menggunakan pedang dan juga tinjunya, dari pada menggunakan senjata api.
"Grrrr …," werewolf itu menggeram.
Shikamaru melirik gadis berambut merah yang sedang terkapar di atas tanah sekilas, lalu fokus kembali pada werewolf di depannya. Dia harus cepat memeriksa keadaan gadis itu, lukanya cukup parah.
Werewolf cokelat itu menggeram, tapi tidak menyerang. Ia tampak mengamati Neji dan Shikamaru. Setelah itu, werewolf cokelat itu berbalik, lalu menghilang dibalik pepohonan hutan yang lebat.
"Kenapa dia kabur?" gumam Neji. "Hei, mau kemana kau?" tanya Neji sambil menyusul Shikamaru yang menghampiri gadis berambut merah itu.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Shikamaru.
Sang gadis berambut merah mengangguk, tapi ia tidak tampak sedang baik-baik saja. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menolongku."
"Dia bukan manusia, Shikamaru."
"Apa? Apa maksudmu?"
Neji menunjuk luka di lengan sang gadis yang tadinya mengaga lebar, kini perlahan-lahan menutup. Kedua pemuda itu pun saling pandang. Mereka memiliki pemikiran yang sama. Haruskan mereka membunuh gadis berambut merah ini?
Gadis itu menatap Shikamaru dan Neji dengan kening berkerut. "Namaku Karin. Kalian siapa?" tanyanya.
"Aku Shikamaru, dan ini Neji," Shikamaru menjawab. "Kau yakin, baik-baik saja? Apa kedua werewolf itu yang sudah menyakitimu?"
"Aku baik-baik saja, sungguh. Luka ini akan segera sembuh," kata Karin. "Lebih baik kalian segera pergi dari hutan ini, sebelum ketua para wolf itu memburu kalian."
"Wolf?" tanya Neji.
Karin tidak menjawab. Gadis itu bangkit hendak berdiri, tapi jatuh terduduk lagi. Luka di kakinya belum tertutup dengan sempurna. Gadis itu meringis melihat luka mengaga di paha kanannya.
"Apa kau werewolf?"
"Wolf, bukan werewolf. Aku tidak suka disebut begitu," ralat Karin. "Dan ya, aku seorang wolf. Tapi aku keturunan campuran."
Kening Neji berkerut. "Keturunan campuran?" tanyanya.
"Wolf bisa menikah dengan siapa saja, dari ras apa saja. Kebetulan ibuku manusia, sedangkan ayahku wolf."
Neji mengangguk mengerti. "Oh, begitu. Lalu mengapa kedua wolf tadi menyerangmu? Kalian sama-sama wolf, kan?"
"Mereka musuhku, mereka jahat. Kalau kalian hendak memburu wolf, merekalah yang harusnya kalian incar, bukan aku. Aku hanya wolf biasa yang bahkan tidak bisa berubah ke bentuk serigala."
Kedua pemuda itu berpandangan. Mereka baru tahu, ada werewolf yang tidak bisa berubah wujud ke bentuk serigala. Nenek Chiyo tidak mengatakan soal ini pada mereka. Pengetahuan mereka tentang werewolf masih terbatas.
"Lalu, di mana teman-teman atau keluargamu? Mengapa kau sendirian?" tanya Neji lagi.
"Aku terpisah dengan teman-temanku, sedangkan keluargaku sudah lama tewas," jawab Karin. "Hmph, semua ini gara-gara si pirang bodoh itu!"
"Si pirang bodoh?" Shikamaru membeo. "Siapa si pirang itu? Kebetulan, kami juga sedang mencari seseorang berambut pirang. Namanya Namikaze Naruto. Apa kau pernah bertemu dengannya? Rambutnya pirang, matanya biru, tingginya kira-kira sedaguku."
Karin merengut, lalu bersedekap. "Kau bercanda?! Gara-gara Namikaze Naruto, aku terpisah dengan Obito!" gerutunya.
Mata Shikamaru terbelalak lebar. "Jadi Naruto masih hidup? Dia ada dimana sekarang?"
"Tentu saja dia masih hidup, dia berhutang padaku soal itu!" Karin semakin mengerucutkan bibirnya. "Dia ada di Hutan Barat sekarang. Dan itu sangat jauh dari sini. Kalau kalian mau, aku akan mengantar kalian, hitung-hitung untuk balas budi karena kalian sudah menyelamatkan aku dari terkaman Hidan dan Kakuzu."
"Hidan dan Kakuzu?"
Karin menunjuk wolf yang tergeletak tidak jauh darinya. "Itu Hidan. Kakuzu yang berbulu cokelat, yang kabur ke hutan," jawab Karin. "Ayo, bantu aku berdiri. Aku antar ke Hutan Barat tempat Naruto berada."
Neji dan Shikamaru tidak banyak berkata. Mereka segera membantu Karin untuk berdiri, lalu membimbing gadis itu berjalan menyusuri hutan. Benarkah apa yang diucapkan Karin, gadis berambut merah ini? Yah, setidaknya untuk sekarang, kedua pemuda itu memutuskan untuk percaya. Dengan begini mereka bisa lebih mudah menemukan Naruto, kan?
.
.
.
"Kakuzu melapor, Ketua."
Pein, yang sedang duduk sambil meminum teh, menatap anak buah yang baru kembali dari tugasnya untuk berpatroli. Kening pria itu berkerut samar ketika ia melihat noda darah di pakaian Kakuzu.
"Apa yang terjadi?"
"Hidan tewas, Ketua."
"Hidan?" beo Pein. "Bagaimana bisa?"
"Dia terkena peluru dari seorang pria. Sebenarnya ada dua orang, tapi yang menyerang kami hanya satu. Sepertinya mereka adalah Hunter, aku melihat mereka memakai gelang perak," jawab Kakuzu. "Saat itu kami tidak sengaja berpapasan dengan Karin, lalu kami berniat membunuhnya karena sudah berhianat. Tapi dua Hunter itu datang mengganggu."
Pein memejamkan matanya. "Ternyata manusia merepotkan itu masih ada, ya," gumamnya. Ia kembali menyesap tehnya dengan hikmat. "Kakuzu, cari tahu siapa dua manusia itu, jika kau berhasil menemukan mereka, segera habisi. Aku tidak ingin ada yang mengacaukan rencanaku lagi."
"Siap, Ketua," Kakuzu menundukkan kepalanya, kemudian berlalu dari ruangan itu setelah pamit undur diri.
Pein menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam. Siapa manusia menyebalkan yang sudah membunuh salah satu anak buahnya? Dia tak akan melepaskan manusia-manusia itu! Berani sekali mereka ikut campur!
"Zetsu," panggil Pein, melalui telepati.
Zetsu muncul tiba-tiba dari lantai. Keturunan campuran dari monster di Hutan Barat dan werewolf itu memang memiliki kemampuan untuk teleportasi. Dia juga bisa menembus tembok atau benda padat lainnya.
"Ya, Ketua?"
"Bagaimana dengan Uchiha?"
"Mereka sudah bergerak, Ketua. Deidara dan Sasori sedang mengintai mereka, sesuai perintah Anda."
"Aku mengerti. Sekarang pergilah, lanjutkan tugasmu."
"Siap, Ketua."
"Ah, tunggu. Ada satu tugas lagi. Cari tahu siapa manusia yang sudah membunuh Hidan."
"Siap."
Setelah menunduk hormat dan pamit undur diri, Zetsu pun lenyap, masuk ke dalam lantai. Zetsu adalah salah satu anggota Akatsuki yang jarang menggunakan wujud wolf-nya, karena ketika ia sedang berada dalam wujud wolf, ia tak bisa menembus benda padat.
Sepeninggal Zetsu, Pein tersentak ketika ia mendengar suara jeritan. Pria itu berdiri, lalu segera berlari ketika ia sadar itu adalah jeritan Konan. Pasangannya memang sudah sadar, tapi kondisinya tidak baik-baik saja.
"Konan!" Pein membanting pintu, lalu berlari untuk menenangkan pasangannya yang sedang berteriak histeris. "Konan, sadarlah, ini aku."
Pein berusaha memeluk Konan yang terus berontak.
"Ayah! Ibu! Jangan bunuh mereka!" jerit Konan. Wanita itu berteriak sambil menjambak-jambak rambutnya. Sepertinya selama tertidur, Konan memimpikan tentang kedua orang tuanya yang tewas dibunuh oleh Uchiha Madara.
"Konan!" Pein menangkup pipi Konan, memaksa pasangannya itu untuk fokus menatap wajahnya. "Hei, sadarlah, ini aku!"
"Pe-Pein?" mata Konan mulai fokus. Ia menatap wajah Pein yang tumben-tumbennya menunjukkan ekspresi khawatir yang kentara, walaupun hanya sedikit. "Tolong ibu dan ayahku, Pein!"
Konan kembali terisak, tapi tidak menjerit lagi. Wanita itu menangis tersedu-sedu di pelukan Pein.
Pria berwajah dingin itu menggertakkan giginya. Dia tidak tega melihat Konan menangis seperti ini. Padahal Konan adalah tipe wanita yang pendiam dan jarang mengeluh, apalagi menangis. Jika wanita sekuat Konan sampai menangis sesenggukan seperti ini, berarti luka hatinya benar-benar dalam.
Dan terkutuklah dua orang penghianat yang sudah meracuni Konan dengan tumbuhan beracun itu!
Sambil mengusap lembut punggung Konan, Pein bersumpah akan segera membunuh seluruh keturunan Klan Uchiha yang tersisa!
.
.
.
Pagi itu, sesuai dengan rencana yang sudah dibuat dan disepakati sebelumnya, Itachi dan kawan-kawannya akan berangkat menuju ke Uzushiogakure untuk mengambil Kristal Bulan.
Ruang tamu rumah Sakura tampak berantakan. Ada Sakura yang sedang sibuk dengan barang bawaannya yang cukup banyak, Sasuke sedang sibuk membantu Naruto mengenakan pakaian untuk melewati gurun, B dan Obito terlibat percakapan seru yang hanya mereka dan Tuhan yang paham. Ino, sang fairy sedang tertidur di atas tubuh Shukaku mini yang juga sedang tidur. Itachi duduk diam di atas kursi sambil memperhatikan Kyuubi yang sedang duduk bersila di lantai sambil mengobrol dengan Naruto. Ia tidak terlalu memperhatikan obrolan kedua pemuda itu, tatapannya terfokus pada wajah Kyuubi.
Merasa ada yang memperhatikan, Kyuubi menoleh, alisnya terangkat sebelah ketika matanya bertemu dengan mata Itachi. "Ada apa?" tanyanya.
Itachi tidak segera menjawab, ia menghela napas lalu menggeleng. "Tidak ada apa-apa," jawab Itachi.
Kini giliran Kyuubi yang menghela napas lelah. Ia tahu, Itachi pasti mencemaskannya karena sebentar lagi mereka akan berangkat menuju ke Uzushiogakure untuk mengambil Kristal Bulan.
"Aku akan baik-baik saja, Itachi, tenang saja," kata Kyuubi, mencoba menenangkan Itachi.
Belum sempat Itachi menjawab, Sakura keburu memotong dengan teriakannya. "Apa semua sudah siap? Kalau sudah, mari kita berangkat!" katanya.
Akhirnya, mereka pun berangkat menuju ke Uzushiogakure. Sesuai dengan petunjuk Sakura, mereka harus melewati padang pasir terlebih dahulu untuk mencapai desa tersebut.
Naruto memejamkan matanya ketika angin bertiup cukup kencang, menerbangkan pasir gurun. Pemuda itu menggerutu dalam hati. Dia sudah pernah ke daerah gurun sebelumnya, ketika ia berlibur ke luar negeri bersama sang ayah. Dan ia sangat yakin, dia tidak suka gurun.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Sasuke.
Naruto mengangguk. "Aku tidak apa-apa," jawabnya, dengan nada sedikit kesal. "Aku benci gurun! Panas!"
Sasuke mendengus geli. "Ya, aku juga tidak suka," ia meraih tangan Naruto, lalu menggenggam tangan itu dengan erat. "Jangan berjalan terlalu jauh. Sakura-san bilang di sini sering ada badai pasir yang datang tiba-tiba, akan sangat berbahaya kalau kau tersesat."
Naruto, yang sempat kaget karena Sasuke tiba-tiba menggandeng tangannya, mengangguk lalu menjawab dengan terbata-bata. "O-oh, begitu. Baiklah."
"Sepertinya cuaca sedang tidak baik, anginnya kencang sekali," kata Sakura. Gadis berambut pink itu memeluk Shukaku yang saat ini tidak bisa berubah wujud menjadi manusia, atau pun kembali ke ukuran asalnya akibat cairan khusus yang dibuat Sakura.
"Kau benar, Sakura-san," Itachi membenarkan. "Lalu, apa yang harus kita lakukan seandainya tiba-tiba ada badai pasir? Di sini tidak ada tempat berteduh."
"Jalan saja lurus ke depan, nanti jika aku meminta kalian untuk mendekat, kalian harus segera mendekatiku, oke? Aku akan membuat pelindung untuk melindungi kita dari badai pasir. Jadi jangan berjalan terlalu jauh dariku."
Mendengar hal itu, Naruto dan Kyuubi refleks menarik tangan pasangannya masing-masing, lalu berjalan lebih dekat dengan Sakura. Hanya Obito dan B yang terlihat santai. Well, B memang tinggal di gurun, dia sudah biasa berhadapan dengan badai pasir. Sedangkan Obito sudah sering menghadapi situasi berbahaya, badai pasir tidak ada apa-apanya.
"Ada apa, Naruto?" Tanya Ino, kepala fairy itu menyembul dari saku baju Naruto.
"Sepertinya akan ada badai pasir."
"Badai pasir?"
"Iya," Naruto mengangguk, lalu menekan kepala Ino menggunakan jarinya. "Sudah, jangan terbang kemana-mana dulu, nanti kau terbawa angin. Duduk di dalam saku bajuku saja, oke?"
"Oke!" jawab sang fairy.
Tepat ketika Ino masuk kembali ke dalam saku baju Naruto, Sakura memerintahkan mereka untuk segera mendekat. Naruto membelalakkan matanya ketika ia melihat gulungan pasir raksasa bergerak mendekat ke arah mereka.
Setelah memastikan seluruh kawannya berada cukup dekat dengannya, Sakura menengadahkan tangan kanannya. Telapak tangan gadis itu mengeluarkan semacam bola transparan. Bola itu makin lama makin membesar, hingga sanggup melindungi mereka semua dari badai pasir yang sebentar lagi datang untuk mengamuk.
Untunglah ada Sakura. Penyihir cantik dan baik hati itu memang bisa diandalkan.
.
.
.
Naruto memperhatikan rombongan yang ikut dalam misi pencarian Kristal Bulan. Itachi dan Kyuubi sedang berdebat entah meributkan apa, Ino sedang tiduran di atas tubuh Shukaku yang bergelung manja di pangkuan Sakura, Obito yang sedang duduk di sebelah Sakura sambil membersihkan sepatunya dari pasir gurun, B yang sedang tidur, dan Sasuke yang sedang duduk diam di sebelahnya.
Mata biru itu beralih menatap pasir yang beterbangan dengan liar. Saat ini, di luar sana sedang ada badai pasir yang memang sering terjadi di gurun. Untunglah Sakura memiliki pelindung yang bagus, jika tidak mungkin mereka akan berada dalam masalah besar.
Sakura membuat pelindung berbentuk bola transparan berukuran besar. Apabila disentuh, bola itu terasa hangat di telapak tangan. Meskipun transparan dan terlihat mudah pecah jika disentuh dengan keras, nyatanya pelindung itu sangatlah kuat.
Pelindung itu juga yang menyelamatkan nyawa Sakura ketika ia nekat melawan Shukaku. Bahkan monster seberingas Shukaku tak mampu menghancurkan sihir pelindung yang dibuat oleh Sakura.
"Ada apa?" Sasuke bertanya, merasa heran karena tumben-tumbennya Naruto diam.
Naruto menoleh. "Tidak ada. Aku hanya sedang mengamati pasir itu," Naruto menunjuk ke atas, ke tempat dimana pasir-pasir itu sedang mengamuk.
"Oh," Sasuke menjawab singkat. "Apa kau lapar?"
"Tidak."
"Kau tidak lelah? Kalau kau lelah, sebaiknya tidur saja."
"Tidak," jawab Naruto. "Ne, Sasuke, apakah aku aneh?"
"Aneh?"
"Ya," Naruto menyandarkan punggungnya di bola transparan itu, lalu menghela napas panjang. "Kata Ino, auraku tidak seperti manusia, Obito juga pernah mengatakan, manusia tidak seharusnya bisa melihat fairy, tapi aku bisa. Apa menurutmu aku aneh?"
Sasuke memejamkan mata untuk menahan senyumnya. "Tidak, Naruto. Kau sama sekali tidak aneh. Mungkin kau memang memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki manusia lainnya. Seperti Sakura-san, misalnya. Pada dasarnya Sakura-san adalah manusia, tetapi karena dia bisa menggunakan sihir dengan baik, maka dia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Menjadi berbeda, bukan berarti aneh."
Naruto menatap wajah Sasuke dengan ekspresi takjub. "Benarkah? Berarti aku tidak aneh?"
"Sama sekali tidak."
Pemuda berambut pirang itu tersenyum. Perasaannya jauh lebih baik sekarang. Akhir-akhir ini, Naruto sering kepikiran soal kemampuannya untuk melihat dan berinteraksi dengan fairy.
"Tenang saja, Naruto. Seburuk apapun, atau seaneh apapun dirimu, aku sama sekali tidak keberatan," Sasuke berkata lagi, sambil menepuk kepala Naruto.
"O-oh, begitu," kata Naruto sambil memalingkan wajahnya.
Pipi pemuda itu menghangat. Sasuke tidak merasa keberatan? Apa itu artinya Sasuke akan menerima dia apa adanya? Sial, pipi Naruto tambah panas saja. Pemuda itu pun memutuskan untuk diam, sambil mengamati pasir-pasir di luar sana untuk mengalihkan perhatiannya.
Sementara itu, di bagian lainnya di dalam bola pelindung itu, ada Sakura dan Obito yang duduk bersebelahan. Mereka terlihat mengobrol santai.
"Jadi kau seorang Uchiha juga, Obito-kun?" Sakura bertanya.
"Ya, aku sepupu Itachi dan juga Sasuke."
Sakura mengangguk mengerti. "Oh, begitu," katanya.
"Kenapa kau mau repot-repot membantu kami, Sakura-san?" kini giliran Obito yang bertanya. Dia penasaran juga, kenapa Sakura bersedia membantu mereka untuk melawan Pein. Padahal setahunya, penyihir jarang mau terlibat dengan hal-hal yang merepotkan.
"Ini untuk melunasi hutangku pada Itachi-kun," jawab Sakura.
"Hutang?"
"Ya. Dulu, saat aku masih muda dan belum begitu mahir dengan sihir, Itachi-kun pernah menolongku dari terkaman monster buas di Hutan Barat. Dia juga mengantarkan aku sampai ke rumah dengan selamat. Dan sejak saat itu, kami berteman. Aku bertekad bahwa suatu saat nanti, saat Itachi-kun memerlukan bantuan, aku akan membantunya."
Obito terdiam. Dia membenarkan ucapan Sakura dalam hati. Itachi memang sering menghilang secara misterius ketika ia masih kecil dulu. Ternyata, dia pergi ke Hutan Barat? Mikoto– ibu Itachi dan Sasuke–pasti akan menjerit histeris jika tahu anaknya pergi ke Hutan Barat, seandainya dia masih hidup.
"Obito-kun, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa?"
"Maaf jika ini menyinggungmu, tapi dimana pasanganmu? Itachi dan Sasuke membawa pasangan mereka masing-masing, sedangkan kau sendirian. Apa kau memang belum punya pasangan?"
Obito tersenyum, tetapi ekspresinya terlihat sedih. "Aku sudah punya pasangan, Sakura-san," jawab Obito. Pemuda itu menghembuskan napasnya lewat mulut dengan keras. "Tetapi itu dulu. Dia tewas ketika Pein membantai Klanku."
"A-apa? Oh, maafkan aku."
"Tidak apa-apa," Obito kembali tersenyum. "Pasanganku bernama Rin. Dia adalah wanita tercantik dan paling baik yang pernah aku kenal. Yah, biarpun sedikit cerewet."
Tatapan Obito menerawang, mengingat sosok pasangannya yang ia temukan tewas mengenaskan. Pemuda itu ingat, bagaimana cerewetnya Rin, apalagi jika Obito pulang ke kastil dalam keadaan terluka. Rin akan mengomel tanpa henti.
"Tapi yang aku dengar, werewolf tak akan bisa bertahan jika pasangannya mati?"
"Ya, memang, werewolf tak akan sanggup hidup tanpa pasangannya," Obito membenarkan ucapan Sakura. "Tapi bukan berarti werewolf akan mati saat itu juga. Apalagi jika pasangannya mati dibunuh. Aku pribadi, tidak akan membiarkan pembunuh Rin tetap hidup, apalagi sekarang pembunuh itu mengincar sepupu-sepupuku juga. Aku akan mengirimnya ke neraka dengan tanganku sendiri."
Sakura terdiam. Obito pasti sangat mencintai pasangannya. "Lalu, apakah werewolf akan mendapatkan pasangan baru, seandainya pasangannya mati?"
Obito mengendikkan bahunya. "Bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung apakah wolf itu bersedia membuka hatinya kembali atau tidak."
"Bagaimana denganmu?"
"Entahlah. Aku takut tidak bisa melindungi pasanganku yang selanjutnya, seperti aku tidak becus melindungi Rin."
Sakura menghela napasnya. Dia paham, Obito pasti menyalahkan dirinya atas tewasnya Rin. "Jangan salahkan dirimu, Obito-kun. Kematian Rin bukan salahmu. Pein yang membunuhnya, bukan kau."
Obito tidak menjawab. Pemuda berbadan tegap itu menyandarkan punggungnya ke pelindung Sakura, lalu memejamkan matanya. Dia tidak ingin mengingat saat-saat kematian Rin yang begitu menyakitkan baginya.
Pemuda itu membuka matanya. Dia menoleh ke samping, memperhatikan wajah Sakura yang sedang menunduk sambil mengelus bulu-bulu Shukaku. Ada beberapa hal yang membuat Obito teringat Rin, ketika ia menatap Sakura.
Baik Rin dan Sakura, keduanya sama-sama cerewet.
Obito menatap ke atas, ke arah pasir-pasir gurun yang sedang mengamuk. Dalam hati, Obito berharap, jika suatu saat nanti dia mendapat pasangan baru, ia bisa melindungi pasangannya dengan lebih baik lagi.
.
.
.
Setelah berlindung dari badai yang berlangsung selama dua jam penuh, rombongan Itachi pun segera berangkat menuju ke Uzushiogakure.
Mereka berjalan ke arah barat, mereka harus melewati daerah gurun yang panas untuk menuju ke daerah perbukitan yang indah, sebelum akhirnya mereka menyeberang laut untuk mencapai desa terbengkalai tersebut.
Setelah satu jam berjalan melewati daerah gurun, akhirnya mereka sampai di daerah perbukitan yang hijau dan sejuk. Naruto sempat merasa takjub dengan perbedaan yang drastis, mulai dari gurun lalu ke perbukitan hijau, kemudian bertemu laut.
"Perjalanan ini menarik juga, ya," gumam Naruto.
"Menarik?" Ino, yang sedang duduk di bahu Naruto membeo. "Apanya yang menarik?"
"Iya, setelah gurun, lalu bertemu perbukitan hijau, lalu kita akan menyeberangi laut. Benar-benar menarik," jawab Naruto. "Eh, tunggu, kalau ada laut, seharusnya daerah ini bisa diakses oleh manusia, kan? Mereka bisa lewat laut."
"Tidak bisa, Naruto. Manusia itu pasti akan tewas, sebelum sempat masuk ke wilayah ini," jawab Ino.
"Memangnya kenapa?"
"Nanti juga kau tahu sendiri."
Naruto menutup mulutnya. Percuma juga bertanya, orang-orang yang ada di sekitarnya ini memang suka bermain tebak-tebakan. Pemuda itu pun memutuskan untuk menikmati pemandangan hijau yang indah ini saja.
Naruto tertawa kecil, pemandangan di sini mengingatkannya pada salah satu serial televisi yang sering ditontonnya ketika ia masih kecil. Kalau tidak salah judulnya Teletubbies.
Naruto melirik Sasuke yang berjalan di sebelahnya, dia menatap tangan Sasuke yang tersembunyi di dalam saku celana. Dia sempat berharap, Sasuke menggandeng tangannya lagi seperti ketika mereka berjalan di Hutan Barat, atau di gurun.
"Naruto!"
Naruto menoleh ketika Kyuubi memanggilnya. Pemuda itu mengernyit ketika Kyuubi yang sudah berjalan di depan, berlari menghampirinya. "Ada apa, Kyuubi?"
"Sakura-san bilang, ada perubahan rencana."
"Perubahan apa?"
"Aku dan kau yang akan masuk ke desa itu."
"Apa? Apa maksudnya?" seruan tanda keberatan terdengar dari Sasuke.
"Kau mendengarku, Anak Ayam!" seru Kyuubi. "Tidak apa-apa, Sakura-san bilang tidak akan terjadi apapun. Itachi juga sudah setuju."
Sasuke menggertakkan giginya. Dia tidak terima. Bagaimana bisa Naruto, manusia biasa, disuruh masuk ke desa terbengkalai itu hanya berdua bersama Kyuubi? Kalau Naruto masuk ke desa itu, maka dia juga harus masuk.
Sasuke berjalan lebih cepat untuk menyusul Sakura yang berjalan di depan bersama Itachi, Obito dan B.
"Sakura-san," Sasuke berkata dengan nada tajam. "Apa maksudmu menyuruh Naruto untuk masuk ke desa itu? Memangnya kau mau bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu padanya?"
"Tidak akan terjadi apa-apa, Sasuke-kun, baik Kyuubi-kun maupun Naruto-kun akan baik-baik saja."
"Dari mana kau tahu?"
Sakura tersenyum. "Insting," jawabnya.
B menepuk bahu Sasuke untuk meredam emosi pemuda itu. "Santailah sedikit, Sasuke, tidak akan terjadi apa-apa. Ada aku, Itachi, Obito dan juga kau yang berjaga di luar desa, kan? Lagi pula Kyuubi adalah wolf yang kuat, dia pasti bisa menjaga Naruto."
"B-san benar, Sasuke," Timpal Itachi.
"Tingkahmu seperti induk ayam yang akan kehilangan anaknya," Obito ikut-ikutan.
Merasa kalah suara, Sasuke mendecakkan lidahnya dengan kesal. Dia berusaha untuk mengalah. "Baiklah. Tapi jika terjadi sesuatu pada Naruto, aku tidak akan segan memenggal kepala kalian semua!"
Kyuubi merangkul bahu Naruto, lalu mengajak untuk high five.
Percakapan mereka terhenti ketika angin tiba-tiba bertiup dengan kencang.
"Angin apa ini!" teriak Itachi. Pemuda berambut panjang itu tersentak ketika ia melihat sekelebatan melaju kencang ke arah Kyuubi dan Naruto. "Kyuubi, Naruto! Menyingkir dari situ!"
DUAR!
"Naruto!" Sasuke berteriak. Baru saja ia hendak berlari untuk menyelamatkan Naruto, tanah yang dipijak Naruto dan Kyuubi meledak, terhantam sesuatu yang melaju dengan kencang ke arah mereka.
"Sial!" umpat Sasuke.
Sasuke mengumpat kasar sekali lagi, ketika dia tidak melihat sosok Naruto di tanah yang meledak tadi. Apakah dia terlambat? Sasuke menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan Naruto dan juga Kyuubi.
"Mereka ada di sini, Sasuke," kata Obito, menunjuk Kyuubi dan juga Naruto yang kini berdiri di sebelahnya. Ia bersyukur memiliki refleks yang baik. Telat sedetik saja, Kyuubi dan Naruto tinggal kenangan.
Sasuke menghela napas lega, untunglah ada Obito.
"Kalian berdua lambat! Untung aku berhasil memindahkan mereka!" omel Obito pada Itachi dan Sasuke.
"K-kau melakukan teleportasi?" tanya Naruto, yang dibalas senyuman misterius dari Obito. Mata birunya menatap kagum pada mata merah Obito yang tampak berbeda dari mata Sasuke dan Itachi.
Naruto tidak sempat berlama-lama terkagum pada kemampuan teleportasi milik Obito, karena dihadapan mereka kini muncul sesosok monster dengan bentuk menyerupai kumbang. Bagian kepala dan tubuh monster itu berwarna kelabu, sementara bagian bawah tubuhnya berwarna kehijauan. Monster itu memiliki enam pasang sayap berwarna oranye, dan satu ekor berwarna hijau.
"Choumei!" teriak B. "Dia adalah monster berekor tujuh!"
"Ekor tujuh?!" pekik Naruto. "Kenapa ekor kalian banyak sekali?!"
"Apa yang kalian lakukan di sini, makhluk kecil?" Monster itu bertanya. Tatapan monster itu tertuju pada Shukaku dan B yang ada di antara rombongan itu. "Oh, ada kalian rupanya, Gyuuki, Shukaku."
"Biarkan kami lewat, Choumei!" seru B. "Kau penjaga daerah ini, kan?"
"Hmmm …," sang monster menggumam. "Inginnya sih begitu, tapi ini tugasku untuk menjaga daerah ini. Tidak ada makhluk yang boleh keluar ataupun masuk seenaknya ke Hutan Barat. Jadi, kembali ke Hutan Barat dengan segera atau kalian akan ku musnahkan."
B sudah berancang-ancang akan melawan Choumei ketika Ino menyela. Fairy itu keluar dari saku baju Naruto, lalu terbang mendekati Choumei.
"Kau tidak boleh menyakiti teman-temanku, monster kumbang!" seru Ino. Tangan fairy itu bersedekap. Pipinya menggembung lucu, tanda dia sedang kesal.
"Ino! Kembali!" teriak Naruto di bawah sana. Pemuda itu khawatir, Ino akan terluka. Ya bayangkan saja fairy dengan tinggi sejengkal, melawan monster sebesar itu!
"Tidak apa, Naruto!" Ino balas berteriak. Fairy itu kembali menatap Choumei. "Aku akan melawanmu, monster!"
"Melawanku? Hahahahaha!"
Ino menggeram kesal. Kemudian ia menjentikkan jarinya. Tiba-tiba, cahaya berwarna oranye lembut menyinari seluruh tubuh fairy itu. Cahaya itu membesar, dan terus membesar, dan ketika cahaya itu menghilang, sosok Ino yang imut dan lucu, berubah menjadi sesosok wanita cantik setinggi manusia normal.
Dress ungu selutut yang dipakai Ino berganti menjadi gaun panjang berwarna perak. Rambut panjang ino yang biasa diikat ekor kuda, terurai sepanjang pinggang. Rambut pirang itu berhiaskan mahkota yang terbuat dari bunga-bunga cantik. Mata beriris aquamarine milik fairy itu berkilat tertimpa cahaya. Ino terlihat cantik, namun berbahaya di saat bersamaan.
"Woah, ternyata ini kekuatan fairy yang sesungguhnya," B berkomentar.
"Dia terlihat cantik," sahut Obito.
"Dasar laki-laki, tidak bisa melihat yang bening sedikit saja!" gerutu Sakura.
"Fairy," Choumei memanggil. "Siapa namamu?"
"Namaku Ino, dari Klan Yamanaka," jawab Ino mantap. Bahkan suaranya yang biasa cempreng dan seperti suara anak-anak, berubah menjadi lebih berat dan terdengar dewasa.
"Klan Yamanaka, huh? Bagaimana kabar Inoichi?"
"Kau mengenal ayahku?"
Choumei tertawa. "Ya, aku mengenalnya. Aku berteman dengan ayahmu."
"Cukup basa-basinya!" Ino berteriak kesal. Dia sedang ngambek pada sang ayah, dan tidak ingin membicarakan ayahnya itu. Ino mengeluarkan cahaya berbentuk bola biru sebesar bola basket dari tangannya. "Hei monster! Terima ini! Hyaaaah!"
Ino menyerang Choumei dengan bola berwarna biru itu. Choumei berhasil menghindar, membuat cahaya itu menabrak tanah kosong, lalu tanah itu meledak.
"Cih," Ino mendecih ketika serangannya meleset. Padahal jika Choumei terkena bola biru itu, dia bisa mengalahkannya dengan mudah.
Giliran Choumei menyerang. Monster itu terbang dengan cepat ke arah Ino lalu menghempaskan Ino dengan ekornya. Ino terpelanting, fairy itu menabrak beberapa pohon hingga patah.
"Ah! Dress-ku tidak boleh kotor!" seru Ino, ketika dia berhasil berdiri setelah menumbangkan tiga pohon berukuran besar sekaligus. "Monster sialan!
Ino kembali terbang mendekati Choumei. Monster besar itu kembali menyerang Ino dengan bola raksasa berwarna hitam. Ino menghindar, dan bola raksasa itu menghantam bukit di belakang sana hingga meledak. Ino bersyukur dia sempat menghindar. Jika tidak, mungkin dia yang akan meledak.
Ino menggerakkan tangannya, lalu tiba-tiba muncul sulur-sulur berwarna hijau dari dalam tanah yang ada di bawah Choumei. Monster itu sempat mengelak, terbang kesana-kemari tetapi sulur itu mengejarnya.
Sial. Choumei lupa kalau daerah hijau adalah wilayah yang menguntungkan untuk fairy.
Ekor Choumei terkena sulur itu. Sulur itu mencengkeram ekornya sedemikian rupa hingga monster bersayap itu tak sanggup terbang, kemudian merambat dengan cepat ke seluruh tubuh Choumei. Monster itu pun meraung karena tidak bisa bergerak.
"Sialan kau, fairy kecil!"
"Kau tidak akan bisa bergerak, Choumei!"
Choumei berdecih, lalu ia merubah wujudnya. Sama seperti Gyuuki dan Shukaku, cahaya berwarna putih menutupi seluruh tubuh monster itu. Kemudian, ukuran tubuh Choumei perlahan menyusut.
Karena ukuran tubuhnya mengecil, otomatis cengkraman sulur itu tak berpengaruh lagi. Mereka semua yang ada di sana terkejut ketika cahaya itu mendarat di tanah, kemudian menghilang. Sosok Choumei, berubah menjadi seorang gadis berperawakan kecil, berkulit kecoklatan dengan rambut pendek berwarna hijau dan bermata cokelat.
"Siapa kau?" Tanya Ino. Fairy itu mendarat di tanah.
"Namaku Fuu! Aku adalah Choumei dengan wujud manusia. Salam kenal, fairy!"
Kening Ino berkerut bingung. "Mengapa kau berubah menjadi seorang gadis?"
"Memangnya kenapa? Tidak ada larangan, kan?" jawab Fuu santai.
Fuu memperhatikan rombongan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Tatapan mata gadis itu mendarat pada Naruto, yang berdiri di belakang Sasuke. Fuu mengernyitkan keningnya, merasa familiar dengan wajah pemuda itu.
Ia pun berjalan mendekat untuk melihat wajah Naruto dengan lebih jelas.
"Mau apa kau?" Sasuke bertanya dengan nada dingin. Ia menghalangi Fuu yang ingin mendekati Naruto.
Fuu berjinjit, ia sedikit kesulitan untuk melihat wajah Naruto karena tinggi badan Fuu hanya sebatas dada Sasuke. Naruto sendiri semakin merapat ke punggung Sasuke. Mau apa monster ini?
"Aku hanya ingin melihat wajah pemuda dibalik punggungmu itu. Aku merasa pernah melihat wajahnya," kata Fuu, mengabaikan tatapan mengerikan yang diberikan oleh Sasuke.
Merasa monster ini tak punya niat buruk, Naruto pun memberanikan diri untuk mengintip.
Fuu membelalak ketika ia melihat wajah Naruto dengan jelas. "K-kau …," gumam gadis itu. "Siapa orang tuamu? Wajahmu tampak tidak asing untukku."
"Ayahku bernama Namikaze Minato," jawab Naruto. "Memangnya kau kenal dengan ayahku?"
Fuu menggeleng. "Tidak. Sepertinya aku salah mengenalimu. Lagi pula, kenalanku tidak tinggal di dunia manusia. Kau manusia, kan?" katanya. "Oh, ngomong-ngomong, aku baru sadar, kalian bukan monster berbahaya yang terlarang untuk meninggalkan Hutan Barat. Silahkan kalau mau lewat."
"Kenapa baru sekarang kau mengatakannya! Kau membuatku membuang-buang tenaga, dress-ku juga jadi kotor gara-gara kau!" Ino menggerutu, sambil mengibaskan noda tanah dari dress kesayangannya.
Fuu tertawa, seolah tanpa beban. "Maaf, maaf. Memangnya kalian mau kemana?"
"Kami hendak pergi ke Uzushiogakure, ada urusan penting yang harus kami urus," Itachi menjawab. Ia tersenyum pada Fuu, lalu mengajak kawan-kawannya untuk meninggalkan daerah perbukitan itu agar mereka lebih cepat sampai di Uzushiogakure.
Perjalanan dari perbukitan hijau menuju ke dermaga tidak terlalu jauh, hanya tiga puluh menit berjalan kaki. Pemandangan hijau yang luar biasa indah, membuat mereka tidak merasa lelah.
Ino sudah berubah ke wujud asalnya, dan kini sedang duduk di bahu Naruto. Kedua orang itu sedang terlibat percakapan seru tentang dunia fairy. Ino tersipu malu ketika Naruto berkata bahwa Ino terlihat sangat cantik dan kuat ketika melawan Choumei.
Dermaga terlihat sepi ketika Itachi dan kawan-kawannya sampai. Ya, dermaga ini memang sepi karena jarang ada yang sampai ke dermaga ini dengan selamat. Jika tidak mati diserang Choumei, mereka tewas di lautan.
Ada monster laut bernama mermaids. Mereka adalah putri duyung, sama seperti yang ada di dunia manusia. Monster itu terlihat sangat cantik, tetapi sebenarnya buas. Mereka sama saja dengan the death, hanya saja mermaids tinggal di laut. Mermaids juga sangat suka meminum darah. Mereka hidup di perairan dekat sebuah pulau bernama Mermaids Island.
Rombongan itu menyeberang dengan menggunakan kapal dari kenalan Sakura yang tinggal tak jauh dari Dermaga. Mereka menyewa kapal kayu yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil.
"Selamat datang di kapal kami," kata seorang pria tua bernama Jiraiya, sang pemilik kapal sekaligus nahkoda kapal itu. "Aku akan mengantarkan kalian dengan selamat sampai ke Uzushiogakure. Kita akan berlayar pada malam hari, dan akan sampai besok pagi. Ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi. Pertama, jangan keluar dari ruangan kapal, saat malam tiba. Kedua, saat aku memberi perintah untuk mematikan semua penerangan, kalian harus segera mematikan semuanya. Kalian harus diam, tidak boleh bersuara. Apa kalian semua mengerti?"
"Untuk apa seluruh peraturan itu, Jiraiya-san?" Itachi bertanya. Peraturan itu agak aneh menurutnya.
"Untuk menghindari mermaids."
"Putri duyung?" tanya Naruto.
Itachi mengangguk. "Iya, putri duyung, tapi bukan seperti putri duyung yang ada dalam film, Naruto. Mermaids sangat buas dan suka meminum darah," jawab Itachi. "Tapi tenang saja, selama kita mengikuti aturan yang dibuat oleh Jiraiya-san, kita aman."
"Mereka benar-benar ada? Aku pikir mereka hanya mitos," kata Kyuubi.
"Bukan, Kyuu, mereka memang ada. Hanya saja mereka ada di wilayah yang jarang disentuh makhluk hidup, jadi kita semua menganggap mereka adalah mitos."
"Ya, kau benar juga. Tidak ada yang pernah melihat mereka."
"Sebenarnya banyak yang sudah pernah melihat mereka. Sayangnya, mereka tertipu dengan wujud cantik mermaids, dan mereka semua terbunuh," Itachi tersenyum, lalu mengelus kepala Kyuubi yang meringis ngeri.
Jiraiya berdehem, untuk menarik perhatian semua orang yang ada di kapal itu. "Baiklah, kalau kalian semua sudah mengerti dengan peraturannya. Kita berangkat!" Ujar Jiraiya.
Itachi dan kawan-kawannya pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mengambil Kristal Bulan, benda ajaib yang dapat digunakan untuk melawan Pein dan anak buahnya. Itachi berharap, semoga perjalanan menuju ke Uzushiogakure berjalan lancar.
.
.
TBC
.
.
Mau nanya, alurnya masih kecepetan ga sih?
Kalau kalian bingung dan ga punya gambaran tentang Hutan Barat, coba bayangkan Aokigahara. Aku juga bayangin hutan itu, kok. Dan tentang mermaids itu aku ambil dari legenda di Yunani.
Oh iya, kemarin ada yang nanya, kalo ada Obito, berarti ada Kakashi juga? Jawabannya ada. Kakashi kan sudah muncul di chapter awal, dia adalah tangan kanan Minato. Kalau ada yang mau ditanyakan silakan tulis di kolom review atau PM (tapi maaf kalo balesnya lama, jarang buka web ffn).
Adios!
