Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN milik saya.

.

Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27

.

Warning : SASUNARU, BOYSLOVE! YAOI! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v

.

Note : sekali lagi aku ingatkan, jurus yang dipakai untuk bertarung dan hal-hal lain tidak selalu sesuai sama manga/animenya, ya.

.

Sinopsis : Naruto dihukum sang ayah karena selalu membuat masalah. Dia dikirim ke peternakan milik teman ayahnya agar tahu rasanya bekerja demi sepiring nasi. Bagaimanakah nasib pemuda itu?

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

Sakura menghempaskan bokongnya pada kursi di ruang tamu rumahnya. Ia mengerang, lalu meletakkan Shukaku di kursi sebelahnya. Gadis itu kemudian memijat kakinya yang terasa pegal, rasanya seperti mau copot saja.

"Kau baik-baik saja, Sakura-san?" Tanya Obito yang baru memasuki rumah. Setelah menutup pintu, Obito duduk di kursi seberang Sakura.

"Tidak apa-apa, Obito-kun, aku hanya lelah. Aku tidak pernah berjalan kaki sejauh itu," keluh Sakura. Gadis itu kemudian mengambil Shukaku, meletakkannya di pangkuan lalu mengelus bulu-bulunya. "Kemana B-san?"

"Entah, dia tidak bilang apa-apa. Mungkin nanti sore dia akan kembali," jawab Obito. "Sebaiknya kau istirahat, Sakura-san."

Sakura menggeleng, lalu menghela napas. "Aku tidak bisa bersantai di sini sementara Itachi-kun, Sasuke-kun dan Kyuubi-kun sedang berjuang menyelamatkan Naruto-kun," jawab Sakura sambil tersenyum lemah.

Obito tersenyum tipis. Entah mengapa, setiap dia menatap Sakura, ia selalu teringat Rin. Sifat keduanya hampir sama. Sama-sama keras kepala dan selalu mementingkan temannya di atas kepentingannya sendiri.

Pemuda itu menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia selalu saja merasakan rasa sakit yang sama setiap kali mengingat Rin. Kematian Rin benar-benar mengerikan hingga Obito dihantui mimpi buruk setiap malamnya. Seandainya saja, saat itu Obito tidak meninggalkan Rin untuk berkelana, mungkin Obito bisa melindungi pasangan yang sangat dicintainya itu.

"Ada apa, Obito-kun?" Tanya Sakura. Gadis itu rupanya memperhatikan raut wajah Obito yang terlihat sendu. "Apa kau kepikiran Rin lagi?"

"Tidak," jawab Obito, tidak ingin membagi rasa sedihnya dengan Sakura. "Jadi, apa ada yang bisa kulakukan untuk membantu mempersiapkan keberangkatan kita selanjutnya? Kita akan menemui Shion, si penyihir hebat, kan?" Tanya Obito berusaha mengalihkan pembicaraan.

Sakura mengangguk. Ia bangkit dari kursi, lalu mengajak Obito menuju ke ruang bawah tanahnya. Obito sempat tercengang ketika melihat cara Sakura membuka pintu yang katanya adalah ruang kerja penyihir itu.

Kening pemuda itu mengernyit ketika mereka sudah masuk ke dalam ruang kerja Sakura. Ia memperhatikan berbagai benda aneh yang hanya dimiliki oleh para penyihir. Obito mengalihkan perhatiannya saat Shukaku, yang biasanya diam tak bersuara, menegurnya.

"Sedang apa kau? Sakura memanggilmu sejak tadi," kata Shukaku.

"Oh, maaf," kata Obito. Sepertinya ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ia pun menghampiri Sakura yang sedang duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu. "Ada apa, Sakura-san?"

"Boleh aku pegang tanganmu, Obito-kun?" Tanya Sakura pada Obito yang duduk di sebelahnya.

Obito mengernyit, tapi menurut juga. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Sakura. Gadis berambut pink itu segera menyambut uluran tangan Obito, ia tersenyum sambil menggumamkan terima kasih.

"Tolong jangan lepaskan tanganku, Obito-kun. Aku akan melakukan sebuah ritual. Jiwaku akan meninggalkan tubuhku untuk sementara, dan itu memerlukan energi yang besar. Energiku saat ini sedang tidak memungkinkan, jadi bolehkah aku meminjam energimu?"

Obito memiliki energi yang cukup besar, mengingat dia adalah werewolf dari Klan Uchiha.

"Pakai saja, kau boleh meminjam energiku kapan saja kau memerlukannya," jawab Obito. Sejurus kemudian pemuda itu menampakkan wajah khawatirnya. "Tapi, jiwamu akan kembali, kan?"

Sakura tertawa kecil mendengar ucapan Obito. "Tentu saja. Pastikan saja kau tidak melepas tanganmu, atau aku akan tersesat dan tidak bisa kembali karena kehilangan sumber energi. Oke?"

Obito mengangguk. Ia meremas telapak tangan Sakura yang jauh lebih kecil dari tangannya. Mata hitamnya memperhatikan wajah Sakura, seolah berjaga jika seandainya terjadi sesuatu pada gadis itu.

Sakura meletakkan tangan kanannya di depan dada, sementara tangan kirinya meremas tangan Obito. Ia memejamkan matanya lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar asing di telinga Obito.

Setelah itu, ekspresi wajah Sakura tampak kosong, dan kepalanya tertunduk. Sepertinya jiwa Sakura sudah keluar dari tubuhnya. Obito semakin meremas tangan Sakura ketika ia merasakan tangan gadis itu berubah dingin.

"Tenang saja, Obito, tidak akan terjadi sesuatu padanya."

Obito menoleh cepat ke arah Shukaku yang sedang duduk di atas meja dengan nyaman. "Apa maksudmu?"

"Wajahmu seperti sedang mengkhawatirkan kekasihmu saja," ledek Shukaku.

"Sembarangan!" desis Obito. Dia tidak ada perasaaan apa-apa pada Sakura, hanya saja rasa traumanya ketika kehilangan Rin, membuat Obito sedikit protektif pada wanita di sekitarnya. Obito juga sesekali menghubungi Karin untuk mengecek keadaan temannya itu.

"Hm, terserah. Jangan terus-terusan menatap wajah Sakura, nanti kau jatuh cinta padanya," gumam Shukaku, lalu ia menyamankan tubuhnya dan tertidur.

Obito mendengus mendengar perkataan ngawur Shukaku. Ia memutuskan untuk mengabaikan monster kecil berekor satu itu, lalu kembali menatap wajah cantik Sakura.

Sementara itu, jiwa Sakura yang saat ini sedang berkelana, merasa kebingungan karena ketika ia sampai di kamar Shion, sahabatnya itu tidak ada di sana, padahal biasanya Shion ada di kamarnya. Sakura mengucek matanya, entah mengapa pandangan gadis itu sedikit buram, seolah tidak bisa melihat sejernih biasanya.

Kemana Shion? Kenapa dia seolah tidak mendengar panggilan Sakura? Padahal biasanya Sakura dan Shion bisa berkomunikasi dengan normal sekalipun salah satu dari mereka hanya berbentuk jiwa tanpa tubuh. Orang lain tidak akan bisa melihat jiwa mereka yang sedang berkelana.

"Shion?" panggil Sakura. Tidak ada jawaban. Rumah itu terlalu sepi. "Shion? Kau mendengarku? Kau di rumah, tidak?"

Sakura berbalik ketika ia mendengar suara bedebum keras dari arah ruang tamu rumah Shion. Ia bergegas menuju ke ruang tamu itu tanpa perlu repot membuka pintu karena jiwanya bisa menembus benda padat dengan mudah.

Ketika ia sampai di ruang tamu, Sakura nyaris menjerit ketika ia melihat Shion sedang tidak sadarkan diri di lantai ruang tamunya. Ada seorang pemuda berpakaian aneh berdiri dihadapan gadis penyihir yang merupakan teman baiknya itu.

"Kau tidak mau bekerja sama denganku. Jangan salahkan aku karena aku melukaimu, Nona!" sosok pemuda aneh berjubah hitam dengan motif awan merah itu terkekeh. Ada sejenis venus flytrap menutupi kepala pemuda itu, tanaman itu seolah tumbuh dari tubuh sang pemuda.

Sakura tidak mengenal siapa pemuda itu, tapi ia tahu pemuda itu bukanlah makhluk biasa. Ia merupakan anggota Akatsuki, Sakura bisa mengenali jubah yang dipakai pemuda itu.

Sakura menjerit ketika pemuda aneh itu meraih pedang dari balik jubahnya, lalu menusuknya ke tubuh Shion berulang kali. Sakura tidak bisa melakukan apa-apa, ia hanya berupa jiwa tanpa wadah saat ini, ia bahkan tidak bisa menyentuh sesuatu.

"Shion!" jerit Sakura.

Gadis itu melayang mendekati pemuda aneh itu, berusaha memukulnya, namun tangannya menembus tubuh sang pemuda. Sakura tidak bisa melakukan sihir, jiwanya harus kembali ke tubuhnya jika ia ingin memakai kekuatan sihir.

"Tidaaaaaak!" Sakura menjerit keras ketika pemuda itu menghunuskan pedangnya ke leher Shion, memutarnya sedemikian rupa hingga leher itu putus. Sakura terus menjerit, lalu ketika ia sadar, ia sudah berada di tubuhnya kembali.

Obito dan Shukaku terperanjat kaget ketika Sakura tiba-tiba menjerit. Obito mengenyit bingung ketika melihat gadis itu terlihat panik lalu menangis histeris sambil menyebut-nyebut nama Shion.

"Sakura-san! Sadarlah! Hei, ada apa? Kau kenapa?" seru Obito sambil menepuk-nepuk pipi Sakura.

"Shion! Tidak! Jangan bunuh temanku!" teriak Sakura berkali-kali. Gadis itu menghempaskan tangan Obito yang masih menggenggam tangannya dengan erat, lalu berlari menuju ke pintu.

"Sakura-san!" Obito berlari secepat kilat lalu menahan tubuh Sakura.

"Lepaskan! Shion dalam bahaya! Aku harus menyelamatkannya!" kata Sakura sambil memberontak, berusaha melepaskan Obito yang memeluk tubuhnya dengan erat. "Shion! Jangan sakiti sahabatku!"

Obito memeluk Sakura lebih erat, lalu mengelus punggung gadis itu dengan lembut. "Ssshh, tenangkan dirimu, Sakura-san, jangan terburu-buru! Kita akan pergi ke sana setelah Itachi kembali! Terlalu berbahaya!" seru Obito. Dia tidak sampai hati melihat Sakura yang sedang menangis.

"Dia membunuh Shion, Obito-kun! Demi Tuhan, dia menusuk tubuh Shion dengan pedang berkali-kali! Dia tega memenggal kepala Shion! Aku tidak bisa berbuat sesuatu saat sahabatku sedang menghadapi kematian! Aku sahabat yang buruk!"

"Kau sahabat yang baik, Sakura-san, tenanglah. Bukankah kau pernah mengatakan kalau Shion adalah penyihir yang hebat? Dia tidak akan mati semudah itu," kata Obito berusaha menenangkan.

Sejujurnya ia sendiripun tidak tahu apa yang sudah dilihat Sakura, tapi pemuda itu merasa harus menenangkan Sakura, kalau tidak, gadis ini pasti akan melakukan hal-hal nekat yang bisa membahayakan nyawanya.

"Shion …," gumam Sakura. Ia mengangkat tangannya, lalu balas memeluk tubuh kokoh Obito dengan erat. Gadis itu masih terisak ketika tubuhnya tiba-tiba melemas dipelukan Obito. Untung saja Obito dengan sigap menangkap tubuh Sakura lalu menggendongnya ala pengantin. Gadis cantik itu pingsan, mungkin terlalu shock dengan apa yang dilihatnya.

"Shukaku! Kita kembali ke atas!" perintah Obito pada Shukaku.

Shukaku berdecak ketika mendengar nada memerintah Obito, tapi ia menurut juga. Shukaku sudah menganggap Sakura sebagai temannya karena gadis itu selalu merawatnya dengan baik, dia juga selalu membuatkan makanan lezat setiap harinya.

Ia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis penyihir yang baik hati itu.

Sambil menggendong Sakura, Obito bersumpah akan memberi pelajaran pada siapapun yang sudah membuat Sakura menangis histeris seperti ini.

.

.

.

Naruto memekik ketika ia keluar dari black hole milik Inoichi. Black hole yang muncul di langit itu tentu saja membuat Naruto terjatuh ke bawah, tapi beruntunglah Ino cepat tanggap. Ia mengeluarkan kekuatannya, sulur-sulur hijau yang keluar dari tangannya membelit perut Naruto sehingga pemuda itu tergantung di udara.

Naruto memegangi sulur itu dengan kuat, matanya membelalak ngeri ketika ia melihat ke bawah sana. Di bawah kakinya terdapat barisan pepohonan dan juga perbukitan yang bisa membunuhnya jika ia sampai terjatuh.

"Ino!" panggil Naruto, ia mendongak ke atas. "Terima kas–"

Ucapan Naruto terhenti. Ia baru menyadari, tinggi badan Ino tak berbeda jauh dengannya. Apakah Ino membesar? Ah, tidak. Sepertinya tubuh Naruto lah yang mengecil.

Pemuda itu mencengkeram sulur Ino dengan kuat ketika Inoichi keluar dari black hole. Fairy yang begitu mirip dengan Ino itu menatap sang anak dengan tatapan kesal. Pemimpin Dunia Fairy itu pun memerintahkan prajuritnya untuk membawa Ino dan temannya.

Dan di sinilah Naruto berada, di kastil Klan Yamanaka.

Naruto memperhatikan sekitar, kastil ini berbeda dengan kastil Uchiha yang cenderung suram. Kastil ini terbuat dari kayu, dipenuhi dengan tanaman dan bunga-bunga beraneka warna. Sepertinya fairy memang menyukai sesuatu yang berhubungan dengan alam.

"Jelaskan, Ino," suara Inoichi terdengar. Ada kekesalan dalam nada bicaranya. "Mengapa kau kabur ke dunia manusia? Pantas saja, Ayah mencarimu kemana-mana tapi kau tidak ketemu."

Ino mengerucutkan bibirnya. "Habisnya ayah memaksaku untuk menikah dengan Sai!"

Inoichi mengurut pelipisnya. "Ini demi klan kita, Ino," ucapnya, berusaha bersabar.

"Tapi aku tidak menyukainya, Ayah!"

"Lantas, siapa yang kau sukai?" tanya Inoichi. Pria itu menatap Naruto, lalu menunjuk pemuda itu. "Apa dia yang kau sukai? Hingga kau membawanya ke Dunia Fairy?"

Naruto membelalak. "Bukan Ino yang membawaku kemari, Tuan. Tapi Anda!" serunya kesal. Dia yang membawa Naruto ke dunia serba hijau ini, kenapa dia menunjuk Ino?

"Siapa namamu?" tanya Inoichi dengan nada datar.

"Naruto. Namikaze Naruto!"

"Namikaze? Aku tidak pernah mendengar marga itu sebelumnya. Klan apa itu?"

"Aku hanya manusia biasa, Tuan, aku tidak berasal dari sini."

Kening Inoichi berkerut. "Manusia? Hah, jangan bercanda, anak muda. Aku tahu kau bukan manusia, auramu sangat berbeda. Lagipula kalau memang benar kau adalah manusia, kenapa kau ada di tanah Hutan Barat?"

Naruto bingung harus menjawab apa. Bukan manusia, katanya? Lalu dia ini apa? Hantu? Iblis? Makhluk jadi-jadian?

"Aku teman Uchiha Sasuke dan Uchiha Itachi!" jawab Naruto pada akhirnya. Dia tidak boleh mengatakan pada Inoichi bahwa ia adalah pasangan Sasuke. Terakhir kali ada yang tahu statusnya, Naruto diculik dan disekap oleh Akatsuki.

"Hmm, kau memiliki hubungan dengan Klan Uchiha rupanya," Inoichi mengelus dagunya. "Kau benar-benar bukan kekasih anakku?"

Naruto melirik Ino yang kini tingginya tidak berbeda jauh dengannya. "Bukan, Tuan."

"Kalau begitu tidak ada alasan bagimu untuk tetap hidup. Makhluk dari dunia luar tidak boleh ada di Dunia Fairy," Inoichi berkata dengan tegas, lalu ia mengangkat tongkat sihirnya.

Cahaya berwarna oranye keluar dari ujung tongkat sihir Inoichi. Sinar itu melaju cepat ke arah Naruto, menembus tubuh pemuda itu hingga ia terdorong ke belakang. Naruto terpental, lalu mendarat di lantai kastil itu dengan suara bedebum keras.

"Naruto!" teriak Ino. Fairy itu tidak bisa menggapai Naruto karena prajurit sang ayah menahannya. "Sial, Sasuke akan membunuhku! Bangunlah, Naruto!"

Inoichi menyuruh prajuritnya untuk membuang Naruto. Biar saja, makhluk yang kini tak bernyawa itu akan membusuk dengan sendirinya. Ketika prajurit dengan tubuh tertutup armor itu berniat mengangkat tubuh Naruto, ia terkejut karena ternyata Naruto masih bernapas.

"Ia masih hidup, Yang Mulia!" seru sang prajurit.

"Apa? Tidak mungkin! Tidak ada yang kebal dengan sihirku!"

Inoichi turun dari singgasananya, lalu mengepakkan sayapnya mendekati Naruto yang tidak sadarkan diri. Ia menyentuh leher Naruto, lalu terkesiap ketika masih ada denyut kehidupan di sana.

"Dia masih hidup," Inoichi menggumam dengan kening berkerut dalam. "Tidak ada yang kebal dengan sihir kematianku!"

"Ayah!" panggil Ino. "Aku akan menuruti semua kemauan Ayah, tapi dengan satu syarat. Ayah harus bersikap baik dengan Naruto, dan jangan perlakukan dia seperti tahanan. Dan sebagai timbal baliknya, aku akan menikah dengan Sai!"

Inoichi menoleh cepat ke anak gadisnya. "Kau serius?"

"Serius. Tapi, Ayah tidak boleh bersikap jahat pada Naruto. Setuju?"

Inoichi tersenyum. Dia berjalan mendekati Ino, lalu mengulurkan tangannya. "Setuju," kata Inoichi.

Ino mengulurkan tangannya lalu menjabat tangan ayahnya dengan erat. Kalau sampai Inoichi mengingkari janjinya, Ino tak akan segan kabur dari Dunia Fairy selama-lamanya. Biar ayahnya saja yang menikah dengan Sai!

Sesuai dengan perjanjian, Naruto yang masih tidak sadarkan diri dibaringkan di salah satu kamar yang ada di kastil itu. Kasur yang ditempati Naruto terbuat dari dedaunan, kamarnya juga dihiasi dengan tanaman hijau dan bunga-bungaan.

Ino menatap wajah tidur Naruto dengan tatapan bersalah. Seharusnya, ia menjaga Naruto. Ia telah berjanji akan menjaga Naruto dari segala macam bahaya, ketika Naruto menyelamatkannya di Hutan Timur dulu.

"Maafkan aku, Naruto," gumam Ino. Gadis itu mengusap kening Naruto perlahan.

Ino menoleh ke arah pintu ketika pintu yang terbuat dari kayu itu diketuk. Ternyata seorang pelayan mendatanginya untuk memberitahu bahwa ayahnya menunggu, mereka akan membahas hari pernikahan Ino dengan Sai, seorang pangeran sekaligus ksatria yang berjasa bagi Dunia Fairy.

.

.

.

Ino menggerutu ketika ia berjalan bersebelahan dengan pria yang paling dibencinya di dunia, Sai. Mereka sedang berada di halaman kastil Yamanaka yang dipenuhi dengan tanaman dan bunga-bungaan beraneka warna.

Kalau saja bukan ayahnya yang memaksa untuk mengajak Sai jalan-jalan di halaman, Ino tak akan mau berdekatan dengan fairy laki-laki ini.

"Mengapa wajahmu seperti itu, Ino?" Sai bertanya dengan halus. Ia tersenyum manis pada Ino yang sedang menekuk wajahnya. "Kau jauh lebih cantik kalau sedang tersenyum."

"Hentikan, Sai," jawab Ino ketus. Ia menatap wajah Sai dengan sebal. "Kenapa kau kemari, sih?"

"Hanya ingin menemui calon istriku saja. Kau menghilang cukup lama, aku mencarimu kemana-mana tapi tidak ketemu. Kau membuatku khawatir, kau tahu? Untung saja ayahmu bisa menemukanmu dalam keadaan baik-baik saja."

Ino mendengus. Sebenarnya, Sai ini baik, tapi Ino tidak suka dengan wajahnya yang selalu tersenyum itu. Ino sudah mengenal Sai sejak mereka masih kecil, jadi Ino tahu mana senyum Sai yang asli dan mana yang senyum palsu.

"Berhentilah tersenyum seperti itu, Sai!"

"Tapi kata kakakku, kita harus selalu tersenyum pada siapapun. Lagipula, kau cantik, aku jadi tidak tahan untuk tidak tersenyum."

"Hmph! Gombal!"

Ino mengepakkan sayapnya, menjauhi Sai yang tertawa di belakangnya. Fairy itu benci Sai, tapi dia tetaplah seorang gadis biasa yang pasti akan memerah wajahnya jika dipuji oleh laki-laki.

"Apa kau malu, Ino?" Sai terbang di sebelah Ino.

"Tidak!" seru Ino. Fairy itu menepuk lengan Sai dengan gemas. "Jangan ikuti aku!"

Sai menangkap pergelangan tangan Ino. Senyum di wajahnya menghilang, raut wajahnya berubah serius. Mata hitam itu menatap Ino dengan tajam. "Tapi, Ino, aku serius ingin menikahimu. Aku tidak pernah main-main denganmu," katanya.

"Menikah saja sana dengan fairy lainnya. Kau kan suka tebar pesona pada siapapun, kau juga sepertinya cukup dekat dengan Sara!"

"Sara?"

"Ya!"

Sai mengerutkan keningnya. Sara adalah salah satu fairy tercantik di Dunia Fairy, selain Ino. Kenapa Ino membawa-bawa Sara? Dia dan Sara hanya berteman, dia bersikap baik pada Sara karena Sara pun bersikap baik padanya. Sai tidak melihat ada yang salah, lalu kenapa Ino marah?

"Ah, apa kau cemburu, aku berdekatan dengan Sara?" tanya Sai. Ia kembali tersenyum, ada nada jahil dalam suaranya.

"A-a-apa? Cemburu, katamu?" Wajah Ino merah padam karena malu. "Jangan sembarangan, ya! Aku bukan pacarmu, bukan juga istrimu, kenapa harus cemburu!"

"Kau calon istriku," koreksi Sai. "Ino, dengarkan aku. Jangan keluar dari Dunia Fairy lagi. Di luar sana berbahaya. Bagaimana jika ada yang melukaimu?" Sai mengangkat tangannya, lalu mengelus rambut Ino dengan sayang.

Ino menggembungkan pipinya kesal. Sai benar, Ino memang cemburu karena Sai sering menggoda Sara di depan matanya. Makanya, ketika sang ayah berniat menjodohkannya dengan Sai, Ino menentang dengan keras. Ia tidak suka laki-laki yang suka menggoda gadis lain.

"Aku tidak suka pada laki-laki yang suka tebar pesona dan suka menggoda fairy perempuan!" Ino mendorong dada Sai. Sambil menahan kekesalannya, Ino terbang menjauh.

Sai menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Tebar pesona? Menggoda fairy perempuan? Memang kapan Sai melakukannya? Ia tidak pernah tebar pesona pada gadis manapun, kecuali Ino. Pemuda itu pun memutuskan untuk menyusul Ino. Ia harus tahu, kenapa Ino mengatakan hal seperti itu padanya.

.

.

.

Itachi keluar dari black hole buatan Chomei, diikuti Kyuubi lalu Sasuke.

Mata hitam calon alpha itu menajam, mengamati sekitarnya. Mereka sedang ada di hutan dengan pohon aneh yang bentuknya menyerupai payung, tinggi menjulang seolah melindungi penghuni hutan itu dari teriknya cahaya matahari.

"Kita ada di mana, Itachi?" tanya Kyuubi. Pemuda itu berjalan menghampiri pohon yang terlihat aneh. Ia menyentuh dahan pohon itu, lalu mengernyit karena ternyata batangnya menyerupai batang bunga.

"Jangan berjalan sendirian, Kyuubi," Itachi berkata dengan nada menegur. Mereka tidak kenal daerah ini, siapa tahu ada jebakan atau semacamnya.

Kyuubi mendengus. Itachi selalu saja seperti itu, selalu menganggap apapun sebagai ancaman untuk Kyuubi. Bukan hal buruk sih, itu demi kebaikan Kyuubi sendiri, tapi tetap saja, rasanya menjengkelkan.

"Itachi benar, Kyuubi," Sasuke ikut membantu sang kakak ketika dilihatnya Kyuubi malah cemberut. Bisa runyam masalahnya kalau Kyuubi ikut menghilang.

"Aku kan tidak melakukan apa-apa, hanya ingin mengecek pohon aneh itu," kata Kyuubi berusaha membela diri.

Itachi tertawa kecil. "Iya, aku tahu. Sini," ia merentangkan tangannya, lalu merangkul Kyuubi. Itachi tidak bermaksud untuk mengekang Kyuubi, ia hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada pasangannya.

Sasuke melipat lengannya di belakang kepala sambil mendengus dalam hati. De javu, pikir Sasuke. Ia pernah mengalami hal ini sebelumnya ketika mereka pertama kali masuk ke Hutan Barat. Sasuke kembali menjadi obat nyamuk di antara Itachi dan Kyuubi.

"Kita harus mencari Naruto kemana?" tanya Sasuke.

Itachi menoleh ke belakang. "Hmmm, aku juga tidak tahu. Tidak ada siapapun di hutan ini," kata Itachi. "Ah!" Itachi berseru ketika ia melihat empat orang fairy sedang terbang rendah, mereka memakai armor, membawa pedang dan perisai.

Awalnya, Itachi hendak menyapa mereka dan menanyakan jalan, tapi fairy-fairy itu tidak bersikap ramah.

"Siapa kalian?!" seru salah satu fairy yang berbadan paling gemuk.

Itachi tersenyum ramah, mencoba memahami sikap fairy-fairy itu. Wajar saja mereka bersikap seperti itu, ketiga pemuda itu memang orang asing bagi Dunia Fairy. "Namaku Uchiha Itachi, ini Kyuubi, dan ini Uchiha Sasuke. Kami sedang mencari teman kami yang di bawa ke Dunia Fairy. Apa kalian tahu ini dimana?"

"Mengapa teman kalian di bawa ke Dunia Fairy? Siapa yang membawanya?" tanya salah satu fairy, kali ini yang bertubuh kurus.

"Teman kami di bawa oleh Yamanaka Inoichi," jawab Itachi.

Keempat fairy itu menegang, lalu mengarahkan mata pedangnya ke arah Itachi. "Kalian sekutu Klan Yamanaka?!" ujar fairy gemuk itu dengan nada keras.

Senyum ramah Itachi lenyap. Ia menarik pergelangan tangan Kyuubi, lalu menyembunyikannya di balik punggungnya. Ia juga mengirim mindlink pada Sasuke untuk bersiap, seandainya mereka dihadapkan pada situasi terburuk.

Kemudian, Itachi mengangkat kedua tangannya ke udara, sebagai tanda tidak akan menyerang. "Aku bukan sekutu siapapun yang ada di Dunia Fairy. Aku dan kedua orang ini hanya ingin menjemput salah satu temanku yang ditawan Yamanaka Inoichi," jelas Itachi.

Pemuda itu diam-diam bersiap, seandainya mereka berani menyakiti Kyuubi atau Sasuke, Itachi tak akan segan mencabik leher keempat fairy ini.

"Temanmu di tawan Inoichi?" beo fairy gemuk itu, yang dibalas anggukan kepala Itachi. "Kalau begitu, ikut dengan kami! Siapa tahu pemimpin kami bisa membantu kalian. Lagipula, kalian berada di wilayah kami tanpa ijin!"

"Baiklah," jawab Itachi. Ia memberi kode pada Kyuubi dan Sasuke untuk menuruti ucapan fairy-fairy ini. "Tapi dimana tempat pemimpin kalian?"

Fairy gemuk itu menunjuk ke arah bukit di kejauhan. "Cukup dekat dari sini, di balik bukit itu," sahut sang fairy.

"Bukankah itu sangat jauh?"

"Ah, iya, kalian tidak bisa terbang," Fairy itu kemudian merogoh sakunya, lalu ia mengeluarkan kantung kain berwarna cokelat. Ia membuka kantung itu, lalu mengambil sesuatu dari dalam kantung itu.

Kening Sasuke mengernyit. "Apa itu?" tanyanya.

"Ini bubuk ajaib, hanya ada di Dunia Fairy!" sahut sang fairy dengan nada bangga. Ia menebarkan bubuk berwarna keemasan itu di tubuh Itachi, Sasuke, lalu Kyuubi. "Sekarang, kalian bisa terbang. Cobalah."

Kyuubi yang duluan mencoba. Pemuda itu memekik ketika kakinya terangkat dari tanah, lalu terbang semakin tinggi. "Aku bisa terbang!" seru Kyuubi.

Itachi dan Sasuke menyusul. Sasuke sempat kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya, namun berkat bantuan salah satu fairy, akhirnya ia bisa menjaga keseimbangannya dan terbang dengan lancar seperti Itachi dan Kyuubi.

Kemudian, Itachi, Sasuke, Kyuubi dan keempat fairy itu pun terbang menuju ke arah bukit untuk menuju ke tempat pemimpin fairy-fairy ini.

Setelah melewati bukit itu, mereka sampai di permukiman fairy yang ada di bawah pohon besar. Kyuubi menatap rumah-rumah fairy yang terbuat dari jamur yang cukup besar. Pemuda itu tertawa kecil, rasanya seperti sedang menonton film kartun.

Ketiga pemuda, ditambah empat fairy itu mendarat di tanah dengan mulus. Lalu, Itachi dan kawan-kawannya langsung dibawa ke pohon besar itu untuk menemui pemimpin mereka.

"Itachi," bisik Kyuubi.

"Ada apa?"

"Aku baru sadar, bukankah ukuran fairy hanya sejengkal? Kenapa sekarang tinggi kita tidak berbeda jauh dengan mereka?" tanya Kyuubi. Pemuda itu menoleh ke sana kemari, menatap para fairy yang juga sedang menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Iya, kau benar juga. Aku juga baru sadar. Tapi sepertinya, siapapun yang masuk ke Dunia Fairy pasti akan mengecil, mengingat penduduk di sini semuanya bertubuh kecil."

"Masuk akal," balas Kyuubi.

Itachi melirik Sasuke yang diam tak bersuara. Pemuda tampan itu tertawa dalam hati ketika ia menyadari tatapan fairy perempuan mayoritas tertuju pada Sasuke, mungkin mereka penasaran karena wajah sang adik memang tampan.

"Ini dia rumah pemimpin kami," kata si fairy gemuk.

Mereka terbang ke atas pohon itu, lalu masuk ke dalam pohon itu melalui lubang yang ada di pohon itu.

Pemimpin fairy itu bertubuh gemuk, rambutnya panjang berantakan berwarna merah. Ia menatap Itachi, Kyuubi dan Sasuke dengan tajam. "Siapa kalian? Kenapa kalian berada di wilayahku?" tanya pria itu.

Ia mendapat laporan dari anak buahnya kalau ada orang asing yang memasuki wilayah kekuasaan mereka.

"Saya Uchiha Itachi, ini Kyuubi, dan ini Uchiha Sasuke. Kami kemari karena kami hendak menjemput teman kami yang ditawan oleh Yamanaka Inoichi," jelas Itachi.

Pria itu bersedekap. "Benarkah? Mengapa Inoichi menyekap orang dari dunia luar?" tanya pria itu.

"Kami tidak tahu, Tuan …?"

"Chouza. Akimichi Chouza. Itu namaku."

"Kami tidak tahu, Tuan Chouza," ulang Itachi. "Kami sedang berkelana di Hutan Barat ketika Inoichi tiba-tiba datang lalu menculik teman kami."

"Untuk apa Inoichi ke Hutan Barat?"

"Untuk menjemput putrinya, Yamanaka Ino."

Chouza menggebrak meja di depannya, membuat Kyuubi memekik kaget. Pemuda itu mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ia mengutuk pria gemuk itu dalam hati.

"Kalian werewolf, kan?" tebak Chouza, yang dibalas anggukan kepala Itachi. Pria itu menyeringai. "Mau bekerja sama denganku?"

"Bekerja sama dalam hal apa?"

"Aku menginginkan Ino, putri Yamanaka sebagai menantuku. Tapi, Inoichi menolak lamaran anakku, ia berkata bahwa Ino sudah memiliki tunangan, yang bernama Sai. Hah, fairy pirang itu hanya tidak ingin putrinya yang berdarah bangsawan untuk menikah dengan anakku! Dia menghina anakku secara tidak langsung!" Chouza berkata dengan emosi. "Jadi aku ingin menggempur Klan Yamanaka lalu menculik Ino, dan jika kalian membantuku, kalian bisa mendapatkan teman kalian, bagaimana?"

"Kami bisa melakukannya sendiri!" tolak Sasuke. Ia tidak bisa menyakiti Ino karena Ino adalah teman Naruto. Naruto tak akan senang jika Ino tersakiti.

Itachi menahan Sasuke dengan merentangkan sebelah lengannya. "Kami menerima tawaranmu, Tuan Chouza," kata Itachi. Ekspresi wajahnya datar, tak terbaca.

"Itachi! Kau sudah gila?!" seru Sasuke emosi.

Itachi tak bergeming. Ia tetap pada pendiriannya. Kyuubi menghela napas mendengar keputusan Itachi. Ia juga tidak setuju, menyakiti Ino sama dengan menyakiti Naruto, tapi ia yakin, Itachi pasti punya rencana lain di otaknya. Uchiha satu itu penuh dengan misteri, dan hanya Tuhan yang tahu persis apa isi pikiran Itachi.

'Diamlah, Sasuke, Itachi pasti punya rencana. Kau seperti tidak mengenal Itachi saja,' Kyuubi mengirim mindlink ke Sasuke, lalu melirik pemuda yang sedang menekuk wajahnya itu.

Sasuke berdecak kesal. Ia sama sekali tidak menyukai ide ini.

"Baiklah kalau begitu. Kalian bisa istirahat di salah satu ruangan yang ada di rumahku. Besok, kita akan membuat rencana agar kita bisa menggempur kastil Yamanaka."

Itachi tersenyum, lalu berterima kasih pada Chouza atas kebaikan hatinya. Chouza tertawa, ia terlalu senang mendapatkan bantuan werewolf kuat. Pria itu memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mengantarkan tamu-tamunya itu ke kamar untuk istirahat.

Di perjalanan menuju tempat istirahat mereka, diam-diam Itachi menyeringai.

Kira-kira, apa yang sedang dipikirkan Itachi?

.

.

.

Naruto menggeliat ketika cahaya matahari mengenai matanya. Kelopak mata tan itu kemudian terbuka perlahan-lahan, tidur nyenyaknya sedikit terganggu akibat cahaya matahari itu.

"Ngh," gumam Naruto. Ia melakukan peregangan ringan, lalu berguling membelakangi cahaya matahari. Naruto sadar, ia berada di ruangan asing, tapi pemuda itu terlalu malas untuk bergerak. Kasur ini terlalu nyaman untuknya.

Brak!

Pintu kayu di kamar asing itu terbuka. Ino muncul dari balik pintu, lalu memekik senang ketika melihat mata biru Naruto ternyata telah terbuka. Fairy cantik itu berlari kecil menghampiri Naruto, lalu duduk di tepian kasur.

"Selamat pagi, Naruto! Kau sudah sadar rupanya," fairy itu berseru girang.

"Sudah, Ino–" ucapan Naruto terhenti. Tunggu. Suara cempreng barusan, suara siapa?

"N-Naruto …," Ino menatap Naruto dengan pandangan horror. Dia baru sadar, ada sesuatu yang berbeda dengan teman baiknya ini.

"Ada apa–?" Naruto kembali menghentikan kalimatnya. Suaranya terdengar berbeda. Lebih tinggi dan cempreng, tidak berat dan sedikit serak seperti biasanya.

Merasa ada yang salah, Naruto segera melompat dari kasur nyaman itu untuk memeriksa dirinya. Naruto memperhatikan telapak tangannya yang terlihat lebih kecil dari biasanya. Pemuda itu kemudian meraba pipinya, lalu tanda sadar meraba dadanya.

Mata Naruto melotot horror. Tunggu, gundukan apa ini yang ada di dadanya?

Naruto menurunkan pandangannya perlahan. Matanya semakin membelalak ketika ia menyentuh gundukan asing di dadanya itu. "A-a-apa ini?!" seru Naruto dengan terbata. Dari mana asalnya gundukan lembut dan kenyal ini?

"Aaaaaah!" Naruto berteriak histeris ketika menyadari rambutnya kini memanjang sampai ke pinggang. "Apa yang terjadi padaku?!" Teriaknya dengan suara cempreng khas anak perempuan.

Ino menutup mulutnya yang sejak tadi menganga. "Bagaimana bisa kau menjadi anak perempuan, Naruto?!" Seru Ino. Fairy itu kemudian terdiam, berpikir keras. Ia terkesiap ketika menyadari sesuatu. "Ikut aku, Naruto!" serunya, lalu menarik tangan Naruto.

Naruto sedikit kesulitan mengimbangi langkah kaki Ino yang terburu-buru. Setelah melewati beberapa lorong, mereka sampai di sebuah ruangan yang bisa Naruto tebak adalah ruang makan.

Inoichi tampak duduk dengan elegan di salah satu kursi sambil meminum teh.

"Selamat pagi, Ino," sapa Inoichi, ia tersenyum pada anak gadisnya. Fairy itu menatap Naruto dengan kening berkerut. "Siapa dia, Ino? Kau membawa manusia lainnya ke Dunia Fairy?"

"Apa yang sudah Ayah lakukan padanya?! Sembur Ino emosi.

"Apa maksudmu?"

Ino mendorong Naruto ke depan tubuhnya. "Ini Naruto, Ayah! Ayah apakan sampai dia berubah menjadi perempuan seperti ini?!"

Kerutan di dahi Inoichi bertambah dalam. Ia mengusap dagunya sambil bergumam. "Pantas saja, kau bukannya mati malah pingsan," katanya. "Sepertinya aku salah mengucap mantra, Ino. Aku bukan mengucap mantra kematian, tapi mengucap matra untuk mengubah jenis kelamin seseorang."

"APAAAA?!" jerit Ino dan Naruto berbarengan.

"Apa tidak ada cara untuk mengembalikanku seperti semula, Tuan?" tanya Naruto dengan wajah memelas. Dia tidak ingin menjadi perempuan selamanya. Ayahnya bisa pingsan kalau dia pulang dalam keadaan seperti ini.

Inoichi menatap Naruto dengan tatapan antara ingin tertawa tapi juga kasihan. "Sihir itu tidak bertahan lama, nanti juga menghilang dengan sendirinya. Tetapi, sihir itu baru akan menghilang setelah satu minggu."

Bibir Naruto terbuka dan tertutup, hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang keluar dari bibir pemuda itu. Ia bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kenapa jadi begini? Apa yang harus Naruto lakukan kalau ia bertemu dengan Sasuke?!

"Aaaaaaargh! Sial!" jerit Naruto frustasi.

.

.

TBC

.

.

Sejujurnya, aku geli sendiri bayangin Inoichi sama Chouza punya sayap kaya Tinker Bell. Aku pasti ngakak tiap bayangin mereka terbang, sayapnya ga cocok sama mukanya. Itachi cs juga aku bikin bisa terbang karena bubuk ajaib (semacam pixy dust kalo di Tinker Bell), ih geli banget bayangin Sasuke terbang pake sayap Tinker Bell, wkwkwk maapkan aku Sas…

Oh iya, buat yang bertanya-tanya Naruto itu siapa, sabar ya. Nanti ada gilirannya kok, identitas asli Naruto pasti aku ungkapkan. Tapi nggak sekarang, momennya belum pas.

Ngetik chapter ini penuh drama loh, soalnya pas aku ngetik dan udah ada sekitar 4000 kata lebih, komputerku mati gara-gara listrik di rumah bermasalah. Dan pas komputerku akhirnya nyala, semua yang udah aku ketik malah hilang… HILANG! Terpaksa ngetik dari awal lagi deh. Semoga kalian bisa nikmatin chapter ini, ya. Dan semoga kekesalanku nggak mempengaruhi chapter ini, wkwkwkwk XD

Adios!