Disclaimer: I own nothing but the story and characters them self. Semua tokoh yang terlibat dalam cerita ini murni imajinasi penulis. Cerita ini dibuat untuk kesenangan penulis semata. Bukan demi kepentingan komersil. Penulis sama sekali tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari cerita ini. Enjoy :)
Chapter 59: Mind & Body
"Lake ... tolong," Elka! "Sakit. Nggak- nggak ... sanggup," tahan, Ka! Gua datang! "Tolong, cepatlah."
Langkah lari terhenti gegara sosok Corite diri gua menghadang. Keliatan begitu jelas rambut coklat dengan beberapa helainya kekuningan, mata tanpa pupil seakan hendak hisap kesadaran ke dalamnya, dan kobaran api biru-merah di punggung itu terasa terus mengejek.
"You've failed (Kamu telah gagal)."
Kaki gua paksakan terus lari terobos sosok tersebut. Gua nggak punya waktu ngurusin lu!
Sosok itu terpecah bak asap saat gua terjang, tapi kemudian kembali muncul di depan, "You let her suffer more than she could bare (Kamu biarkan dia menderita lebih dari yang bisa ditanggungnya)."
Sekali lagi, gua kibaskan tangan sambil lari buat singkirkan proyeksi imajiner menyebalkan itu.
Namun kayak nggak kenal menyerah, dia muncul lagi. Tapi kali ini bukan di depan, melainkan di sisi kanan.
"When you realize what you should've done, it's all too late because she's already beyond your grasp (Saat kamu sadar apa yang harusnya kamu lakukan, semua terlambat karena dia telah berada di luar jangkauanmu)."
Geram terus diganggu, arah lari gua berganti dan ambil ancang-ancang buat mukul mukanya sekuat tenaga, "APA MAU LU, BANGSAT!?"
Tapi kepalan tangan gua cuma menembus wajahnya dan timbulkan bunyi nyaring terbentur sesuatu. Begitu sosok tersebut hilang, dari balik pudar asap tampak pintu berdaun dua. Aneh, di sebelah kiri dan kanan pintu itu nggak ada penghalang sama sekali, jadi gua bisa liat ada apa di baliknya.
Ma-makhluk apa ... itu!? Sosoknya ... begitu besar dan seram! Tubuh keliatan lebih gelap, kontras dengan mata putihnya. Sontak kaki gua melangkah mundur gegara kaget.
"You hold the key to unlock this door. Break the boundary between us, and let us be your saviour (Kamu pegang kunci untuk buka pintu ini. Hancurkan batas antara kita, dan biarkan kami jadi penyelamat kalian)."
Walau sisi kiri-kanannya nggak ada penghalang, kayaknya dia tetap gak bisa lewat kalo pintu itu nggak terbuka. Padahal kalo mau, bisa aja dia memutar.
"La-Lake ..."
Fokus gua kembali tersita rintihan Elka di tempat yang mau gua tuju sebelumnya. Mata ungu membulat sempurna pas liat sosok Bellatean pria yang bawa kabur Elka peluk tubuhnya dari belakang. Seringai bejat meremehkan di muka terukir luka itu mustahil bisa terlupakan.
"Kamu nggak pantas bersamanya lagi, anak haram."
Amarah gua benar-benar memuncak saat pria itu cengkram dagu Elka, dan ... dan menjilat sisi wajah pasrah Elka dari bawah ke atas pake ekspresi teramat menjijikan! "HAAARRGH!"
Kembali gua kerahkan sisa daya lari secepat mungkin. Tapi pemandangan gelap di sekeliling berganti jadi pinggiran suatu tebing dan pria itu menyeret Elka terjun bersama ke jurang di belakang mereka!
Nggak pake mikir dua kali, gua ikut terjun! Nggak bakal gua serahkan Elka sampe kapanpun!
Jurang itu sangat gelap dan nggak terlihat apa-apa. Bak nggak berdasar. Tetiba gua baru sadar ... abis lompat terus ngapain!? Gua sama sekali gak punya cara buat selamatkan diri sendiri, apalagi mau bawa balik Elka!
"AAH!"
Sensasi jatuh yang terasa begitu nyata bikin kesadaran memaksa balik ke raga. Tubuh tersentak bangun, riak air langsung bergejolak iringi tiap gerak yang dikreasikan anggota badan, dan napas langsung berat seketika.
Jantung berdebar amat keras. Dari ujung rambut sampe ujung kaki basah kuyup akibat terendam di kubangan apaan tau. Nggak ada selembar benang yang melekat di badan kecuali celana pendek hitam. Mata gua meneliti sekeliling, pencahayaan yang nggak terlalu memadai bikin mata nggak kuasa tangkap gambaran objek-objek yang ada.
"ELKA!" kata pertama terlontar dari mulut, diiringi nyeri yang amat terasa di tenggorokan.
Gua paksakan buat keluar dari kubangan ini, jatuhkan badan sehingga membentur dinginnya lantai batu tradisional.
Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menyanggah badan, dan paksa buat bangkit. Namun ketika berat badan terpusat di kaki, ngilu begitu dahsyat langsung menerjang kedua kaki dan tulang punggung.
Sakit nggak tertahan bikin pandangan gua goyang dan langsung tumbang, "AHAKH! U-uukh!"
Enggan buat nyerah, dan sambil tetap gertakkan gigi tahan sakit, gua nyeret badan pake kedua lengan. Rintihan yang keluar dari sela gigi memantul di dinding ruang yang mirip goa primitif ini.
Faak! Kenapa bagian bawah badan gua nggak bisa digerakin gini!? Apa gua lumpuh!?
Nggak lama berselang, sosok perempuan berambut ungu datang setengah berlari. Begitu liat gua yang udah geletak di lantai, dia agak kaget, "Cebol!" gulungan handuk hangat yang dia bawa pake nampan berjatuhan gitu aja gegara buru-buru hampiri gua, "Belum waktunya kamu keluar dari Kolam Lazari!"
"DI MANA ELKA!? GUA MAU KETEMU DIA!" seakan nggak peduli perkataannya, gua teriak dengan suara parau depan muka sembari cengkeram bahu perempuan itu.
Tetiba diteriakin depan congor gitu, siapa yang nggak bakal tersentak? Raut syok bercampur cemas tergambar jelas di wajah Faranell.
Benar-benar nggak bisa redam emosi mendidih di balik tulang rusuk gua. Bahkan rasa sakit seolah nggak mampu jadi penghalang saat muka lelaki bangsat itu lewat di benak! "Bedebah itu ... bedebah itu! Liat aja, GUA BAKAL ANCURIN DIA SAMPE NGGAK BERSISA!"
Faranell tarik badan gua supaya lebih mendekat, dan langsung letakkan telapak tangan kiri di dahi, "Drainage."
Mantra itu bikin tenaga yang tersisa di badan kayak terserap sebagian besar. Tega amat asli. Badan gua 'kan masih lemas nih yak, dibuat lebih lemas lagi. Makanya gua coba berontak dari tangannya dan jauhkan diri sebisa mungkin. Mana bisa keluar dari sini kalo nggak punya daya.
"Lepasin! Gua harus ketemu Elka!" suara gua lemah. Gegara kondisi tenggorokan yang masih remuk, "dia butuh gua!"
Rontaan lemah bukan masalah berarti bagi Si Grazier. Dia malah makin mudah mendekap badan gua erat-erat.
"Tenanglah. Kamu aman," suaranya begitu lembut mengalun di telinga, mengisi relung dada dengan ketenangan. Hangat. Pelukan Corite ini ... sekejap jadi penurun tensi yang terasa begitu tinggi sejak gua sadar tadi. Pelipur lara dari semburat emosi nggak karuan, "semua bakal baik-baik aja."
Ahh ... sialan. Gua nggak nyangka reaksi Faranell bakal setenang dan menyejukkan gini. Kehangatan yang dia tunjukkan sukses bikin gua luluh serta berurai air mata, "Tolong, biarkan gua pergi. Di-dia ... gua takut dia kenapa-napa."
"Aku akan biarkan kamu pergi," ucapnya lugas, "cuman nggak sekarang. Kao Pi."
"Tapi-"
Lingkaran sihir hijau gelap muncul dari bawah, dan Paimon keluar untuk menggotong badan gua balik ke kubangan aneh yang dia sebut kolam Lazari.
Rasa dingin dan adem langsung kembali membungkus badan begitu diceburin Paimon.
Setelah 20 menitan otak agak tenang, sejenak gua telisik penampilan Si Grazier dan baru sadar dia keliatan beda dari tampilan perang.
Pakaiannya unik, semacam sweater kelabu rajut berkerah rapat ke leher yang bagian lengannya terlampau kebesaran, sehingga hampir keliatan kayak jubah menjuntai. Rambut ungu panjangnya dibiarkan tergerai, perban yang masih melilit dahi dan menutup luka pipi kiri gak bisa jadi pengurang kemanisan mukanya. Di telinga kiri tersangkut perangkat jade talk yang bikin dia bisa bicara bahasa gua.
Kocak juga. Tampilan kasual wanita Corite lebih tertutup ketimbang armor perang mereka.
"... Apa kamu nggak sadar, luka-lukamu sangat fatal?" Tanya perempuan itu sembari duduki kursi kecil di sebelah kubangan, "gimana tanganmu bengkok pas mukul Gabber, punggungmu remuk saat dibanting dari ketinggian, tulang keringmu patah, otot paha sobek ditembus belati, ditarik ke sana kemari sampe akhirnya dadamu dihantam tangan besi dan terbanting ke tanah lagi. Bisa gerak kayak tadi aja udah keajaiban."
Mulut terkunci rapat beberapa saat, nggak nyangka segitu detil kejelian Corite ini.
Barulah kemudian gua nyeletuk, "Perhatian amat."
"Aku di sampingmu pas semua itu terjadi." Ah ... lagi-lagi tatapan itu. Tersimpan seribu makna di balik mata kuning, "liat kamu dihajar kiri-kanan, apalagi pelakunya perempuan yang kamu anggap sangat penting." tangan berbalut perban meremas rok merah gelap selutut yang dia kenakan, "itu ... menakutkan."
"... Gua tetap nggak bisa biarkan siapapun rebut dia," kata gua tegas, "dia butuh gua, Faranell. Dan gua harus ada saat dia minta tolong."
"Minta ... tolong? Apanya? Yang dia perbuat ke kamu itu aniaya tanpa perasaan. Kamu nggak bisa bilang itu minta tolong."
"Nggak sepenuhnya tanpa perasaan," bantahan terlontar mantap dari mulut, "gua liat jelas setitik air di sudut matanya. Dia nggak sepenuhnya mau patuhi Si Kampret itu."
"... Gimana bisa segitu yakin setelah apa yang kamu terima?"
Mata ungu kali ini nggak lagi teralih dan milih buat serius balas tatap mata kuning Si Corite wanita, "Gua kenal dia lebih baik dari siapapun. Dan ... gua rela terjun ke dasar jurang, manjat, terjun lagi dan manjat lagi demi dia."
Faranell terkesiap. Mata kuningnya membulat makin lebar sebelum jatuh pada kemurungan sekilas, lalu sekejap cerah lagi walau sedikit dipaksakan.
Ah, plis. Jangan bilang gua salah ngomong lagi.
"Itu kalimat berani. Tapi nggak berakal," ujarnya kemudian dengan muka tertunduk, "kalimatmu nggak punya bobot selama kamu nggak mampu buktikan lewat tindakan."
Gua nggak nyangka bakal dapat respon sesinis itu dari mulutnya, "A- ... apa lu bi-"
"Kita keroyokin Vednala bertiga, Bol! Bertiga! Lupa gimana susahnya!? Kamu yang sekarang nggak akan punya kesempatan lawan mereka sendirian! Udah berapa kali kamu bertindak dungu dan ujung-ujungnya sekarat!? Kenapa sih, sekali ini aja keluar dari lingkaran keegoisan dan dengarkan omonganku!"
"Kalo gitu ajarin gua! Ajarin gimana cara pake force kegelapan!"
"HAH!? Nggak!" bantah si Grazier mentah-mentah.
"Kenapa!? Lu bilang gua yang sekarang nggak punya kesempatan lawan mereka! Dan lu udah liat pake mata kepala sendiri apa yang bisa dilakukan force kegelapan pas gua lawan Gabber dan kawannya, 'kan!? Gua bisa belah zirah baja mereka kayak belah mentega!"
Faranell sampe berdiri buat pertegas pendiriannya, "Jangan main-main dengan kegelapan kalo nggak tau konsekuensinya, Cebol! Kamu nggak tau seberapa mahal harga yang harus dibayar sampai kamu benar-benar kehilangan dirimu."
"Justru karena gua nggak tau, makanya gua minta lu untuk kasih tau! Lu sendiri pake force kegelapan seenak jidat, Gannza juga!"
"Itu karena kami udah berkecimpung dalam kegelapan dari kecil! Punya darah Corite nggak cukup buat menjamin kamu bisa kontrol arus force kegelapanmu, tau!?" Perempuan ini masih bersikeras menolak permintaan gua. Sial! "Mungkin force gelap yang ada di dirimu cuma sepercik, tapi itu udah lebih dari cukup bikin kamu nyaris hilang akal!"
Gua masih enggan mengalah, "Apa maksud lu hilang akal? Asal lu tau ya, gua lawan mereka dalam keadaan sadar!"
"Asal kamu tau, itu bisa terjadi berkat aku yang tutup pintu supaya Chaos nggak makan pecahan kesadaranmu lebih jauh," argumen yang satu ini sukses membungkam gua. Nggak ada bantahan sama sekali untuk beberapa saat, "Ingat hal lain yang terjadi saat force kegelapanmu mengalir?"
Liat mulut gua mingkem, Faranell lanjut bicara. Kalem tapi tajam, "Tubuhmu tetap terluka, tapi gak bisa rasakan sakit. Itu yang bikin kamu bertindak tanpa mikir separah apa kondisi badan. Sadar, tapi gak ngotak."
MAKJLEB BANGSAT! Jadi ini toh yang dimaksud laki kadang salah, kadang nggak benar.
Mata gua menutup, berusaha telan mentah-mentah argumen Faranell namun tetap nggak bisa. Putus asa dihadapan keadaan nggak pernah enak rasanya.
"Tolong, Faranell." akhirnya gua sampe memelas. Raut tegas masih menghias wajah Si Corite, "kasih gua kesempatan. Sekali pun nggak apa. Gua ... gua nggak tau harus minta tolong ke siapa lagi."
Tatapan penuh keyakinan gua berikan seutuhnya, "Gua mohon. Satu-satunya hal yang gua minta cuma kesempatan. Kasih kesempatan buat buktikan kalo gua nggak akan termakan kegelapan. Untuk buktikan kalo lu salah."
Perempuan berparas manis itu belum juga bergeming. Tatapan mata kuning belum beralih ke arah lain, tapi ketegasan di wajahnya sedikit luntur.
"... Dia satu-satunya orang tersisa yang gua anggap keluarga." Gua tarik napas dalam-dalam, "Tiap orang yang berinteraksi dengan gua kalo nggak mati, minimal tertimpa hal buruk."
Raut Faranell berubah agak terhenyak mendengarnya.
Mata gua terpejam, ingat tiap sosok yang gua anggap penting dalam hidup ini dan gimana mereka meninggal satu-persatu. Ibu, Ayah, Paman Ren.
Dan orang-orang, kamerad prajurit federasi yang tertimpa kemalangan sampe bikin mereka cacat permanen atau bahkan mati nggak lama setelah berada di dekat gua. Masih begitu jelas rangkaian ingatan pilu terukir di balik tempurung kepala ini mulai dari kejadian Ether hingga pertempuran Solus.
"Apa ini kutukan?"
Sebenarnya gua nggak begitu percaya sama mistis. Mungkin kalo apes, iya. Tapi kalo kayak gini ... udah kelewatan. Penyesalan demi penyesalan selalu tersisa di hati tiap kali orang lain harus menderita sedangkan gua masih terus bernapas dengan anggota badan lengkap sempurna. Rasanya kayak ... cuma gua yang sama sekali nggak berkorban.
"Tolong ... jangan bilang gitu," sanggah Faranell, "kamu nggak terkutuk. Itu cuma kelakar yang dibuat-buat. Kamu nggak ada bedanya sama ... sa-sama ... ."
"... Bingung tentuin gua ini apa?"
"Bu-bukan. Aku cuma-"
Bibir gua senyum getir, "Nggak apa, udah biasa."
"Kamu nggak akan pernah berhenti bikin aku merasa nggak enak, ya?" Tanya Si Grazier sarkas.
Mata kami saling beradu sejenak, nggak ada yang mau kalah. Teringat moment ketika di Solus wanita ini setengah mati cegah Gabber bawa gua pergi.
Ketidak-mampuan gua bikin semua selalu dibantu orang lain, semua selalu diselamatkan orang lain. Selalu nggak mampu berbuat banyak tanpa bantuan rekan seperjuangan. Diri ini benar-benar merasa nggak guna.
"Gua cuma mau kekuatan untuk bertempur sendiri. Selama ini udah terlalu sering nyeret orang lain dalam masalah yang harusnya gua hadapi."
Faranell akhirnya berdiri. Tatapannya nggak lepas dari mata ungu, "... Aku akan kasih kamu kesempatan. Tapi kamu harus buktikan tekadmu bukan bualan belaka."
"... Caranya?"
"Ada syarat dan kondisi yang harus kamu penuhi." Nada bicara Si Grazier begitu serius tajam, "Pertama, kamu harus pulih total dari kondisi sekarang. Kedua, aku cuma kasih kamu satu kesempatan. Satu. Kalo aku liat tanda-tanda lepas kendali, lupakan masuk lebih jauh dalam kegelapan."
.
.
Hari-hari pemulihan dimulai. Mau nggak mau gua harus tinggal di ruang perawatan tradisional ini akibat luka yang terlalu parah. Faranell bilang tempat ini adalah fasilitas milik keluarganya. Dan kolam Lazari ini punya fungsi yang mirip dengan tabung pemulihan Federasi. Airnya merupakan bahan campuran dari mata air pegunungan murni dan rempah-rempah herbal hasil racikan alami tanpa bahan kimia yang berguna percepat regenerasi sel.
"Jadi intinya, ini bagian dari rumah lu?"
"Bukan rumahku."
"Lu nggak tinggal di sini?"
Dia menggeleng, "Aku masih tinggal di Mess Aliansi."
Entah berapa lama gua bakal ada di sini. Ini hari kelima tapi kaki gua belum tunjukkan tanda-tanda bisa digerakkan. Punggung juga masih terasa amat nyeri pas bergerak dikit. Ugh, keadaan yang amat menyiksa.
Hmm, belum liat ada orang selain Faranell di sekitar sini. Biarin deh. Hidup setidaknya jadi lebih tenang sejenak. Sepertinya itu yang paling gua butuhkan saat ini usai segala macam kekacauan yang terlalui. Tapi rasa ingin tau ujung-ujungnya nggak kuasa terbendung.
"Mana Gannza? Bukannya dia pengawal lu ya?"
"Dia- uh ... dikembalikan ke keluarganya untuk sementara atas alasan kesehatan."
Lelaki itu ... kalo nggak salah perutnya jadi menganga gegara ikut bantu gua lawan Vednala, "... Oh. Maap."
Faranell berusaha tersenyum walau getir, "Nggak apa. Dia prajurit yang kuat."
Untuk urusan makan, gua masih harus dibantu sama Si Grazier. Berhubung tangan kanan masih belum normal, gua nggak bisa pegang sendok dengan benar.
"Enak?" Dia bertanya usai nyuapin bubur sayuran. Gurih.
"Enaklah. Gratis," respons gua enteng.
"Pfft. Nggak tau diri."
Hari kedua belas, gua mulai jalani fisioterapi ringan, dan Faranell bertindak sebagai terapis. Sumpah, tiap kali paha dan pinggang ini dipijat, diputar-putar, ditekuk perlahan, sakitnya luar biasa. Ringisan gua selalu jadi musik latar sesi rehabilitasi.
Waktu luang di sini gua manpaatkan untuk belajar bahasa Corite dari Faranell. Daripada nggak ngapa-ngapain, bosan juga. Nyeri punggung sedikit mereda dibanding hari pertama. Faranell bawakan kursi roda supaya gua nggak terjebak di satu tempat aja. Ternyata hidup di atas kursi roda sama sekali nggak enak ya. Segalanya terbatas dan dunia keliatan lebih besar dari semestinya. Sedikit banyak gua makin paham apa yang Sirvat rasakan waktu itu.
"... Sorry," gua bilang.
"... For what?"
"Yelling your face."
"It's fine. I knew you were panicking back then and just did it out of impulse. Oh by the way, it should be 'Yelled at you', Shorty." Untaian kata meluncur fasih dari mulutnya.
Gegara baru bisa dikit-dikit, gua melongo. "Hah?"
Berkat kursi roda, gua bebas menjelajah tempat ini. Fasilitas pemulihan ini nggak begitu besar ternyata. Cuma ada 3 ruangan. Tempat kolam, ruang peristirahatan yang ada kulkas ukuran sedang plus kamar mandi, dan 1 ruang agak besar dilengkapi beberapa peralatan serta rak-rak buku. Dari buku-buku tersebut gua mulai coba biasakan diri terhadap bahasa asing.
Tapi biar kata bebas jelajahi tempat ini, gua tetap mentok pas ketemu tangga. Dari atas sana biasanya Faranell datang dan pergi. Emang sih ada jalur khusus kursi roda di pinggirnya, cuman nggak mungkin gua sanggup nanjak sendirian.
"Kamu mau keluar? Aku bisa bantu."
Gua menatap sejenak ke pintu keluar di atas. Kalo dipikir, udah lama juga nggak liat matahari atau rumput hijau. Merasakan hembusan angin yang tentunya bakal begitu nikmat. Tapi kalo harus dibantu ... seolah nggak ada gunanya omongan gua tempo hari.
"... Nggak. Nggak usah." Gua putar balik kursi roda, punggungi tangga tersebut, "Gua mau naik sendiri."
Hari kedua puluh delapan, rasa nyeri di kaki dan punggung masih dominan. Tangan gua agak pulih seengaknya sampe bisa makan sendiri. Faranell bawa gua ke ruang agak lebih besar yang ada penyangga jalan sepanjang 3 meter.
Kayaknya kita bakal masuk tahap rehab lanjutan.
"Sebelum berjalan, harus belajar diri dulu," katanya.
Tangan gua pegangan erat di tiang penyangga dan mulai angkat badan.
"ARGH!" baru juga pengen berdiri, nyeri langsung menghampiri. Bikin gua kembali jatuh ke kursi roda, "S-sakitnya kebangetan."
Faranell berusaha menenangkan, "Ehhe, nggak apa kok. Baru percobaan pertama. Jangan buru-buru."
Sekian hari berlalu, perban di tubuh Si Grazier lepas satu persatu. Lukanya sebagian besar sembuh, tersisa satu plester menempel di pipi.
Mata kami bertemu, dia tersenyum. Seakan nggak peduli kalo plester tersebut bisa ganggu paras jelita.
Setelah kegagalan usaha pertama, nggak sehari pun terlewat tanpa kembali ke ruang rehab buat percobaan berdiri. Gua pengen lari lagi, jalan lagi! Masih ada yang harus gua rebut!
Tapi determinasi doang belum cukup. Boro-boro jalan, sampe detik ini berdiri pun nggak bisa.
Bayang kegelisahan belum lepas dari benak. Tiap malam gua sulit tidur. Kalopun bisa tidur, pasti nggak tenang dan sering terbangun tengah malam. Kelopak mata gua sampe rada menghitam. Udah gitu ditambah fakta kalo kaki dan punggung gua belum kunjung baikan. Pikiran-pikiran negatip kerap mampir. Gimana kalo sampe cacat permanen? Apa bakal bisa jalan lagi? Apa gua masih bisa berlari? Semua belum pasti.
Gua nggak mau sampe harus habiskan sisa umur pake peralatan bantuan buat nopang badan. Ogah kalo sampe harus terjebak lama di sini.
Ingatan tentang pertempuran Solus selalu seliweran di kepala.
Di satu hari gambaran tentang seberapa kuat dan hebat lawan-lawan kelahi. Vednala bikin telapak tangan gua bolong pake tusukan belati. Ditambah pertarungan sengit antara gua dan Gabber. Rasa ngilu menyerang kala ingat kembali kegoblokan gua yang menendang tangan logam Si Punisher tanpa ragu. Ginilah akibatnya.
Di lain hari ingatan tentang kematian yang seakan selalu hobi betul berada di dekat gua. Prajurit yang belum gua tau namanya mati tertusuk tombak-tombak Prajurit Kekaisaran, Havva yang menderita luka bakar akut akibat hujan roket, ditambah teriakan kepedihan dari kamerad Federasi lainnya.
Mungkin gua baru kenal mereka di medan tempur, tapi orang waras mana yang tahan liat orang lain menderita di depan mata?
Dan hari selanjutnya tentang Elka. Masih ingat dengan amat jelas tatapan kosong mata coklatnya pas dia remas batang leher gua. Begitu mudah tangan dan kakinya terayun menghantam tubuh tanpa ampun.
"Kesembuhan nggak akan datang kalo istirahatmu kurang," tukas Si Grazier yang sadar muka gua makin lesu seiring bulan berlalu.
"Gimana bisa istirahat saat kawan gua nggak jelas nasibnya di luar sana," balas gua datar, "gua buang banyak waktu di sini. Dan gua takut ... semua bakal terlambat."
Faranell ambil kursi dan duduk di depan gua, "Aku tau ini masa sulit bagimu. Sabar. Kita harus jalan selangkah demi selangkah untuk hasil terbaik."
"Jalan? Udah 3.5 bulan gua bahkan nggak bisa berdiri, lu ngomong soal jalan!?" suara gua meninggi, "Liat, Faranell! Liat keadaan gua! Becus nggak sih nyembuhin orang!?"
FAAK! Aku dan mulut sembaranganku!
"... Gua salah ngomong. Maaf." penyesalan langsung datang secepat kilat. Kok bisa mulut gua setega itu ke orang yang udah berusaha keras menolong?
"Nggak apa. Aku tau pikiranmu lagi kacau. Gelisah, takut, cemas bercampur dalam hati dan kamu nggak tau harus gimana buat lampiaskan frustrasi. Kalo emang bisa bantu ringankan beban pikiran, bentak aku sesukamu."
"Lu benar. Gua tersesat," respon gua sendu.
Si Grazier berdiri di hadapan gua sembari sodorkan catatan kecil. Gua nggak terlalu paham isi keseluruhannya karena tertulis pake bahasa Corite yang lebih rumit, tapi ada gambar tubuh sederhana yang nggak bisa dibilang bagus di catatan tersebut lengkap dengan tanda checklist di beberapa bagian.
Cuman di bagian punggung dan kedua kaki yang nggak di-checklist, justru tertera '70%' di sana.
"Kolam Lazari harusnya percepat pemulihan cedera. Tubuh bawahmu sebenarnya udah jauh lebih baik dan menunjukkan kemajuan pesat."
Tentu mata gua nggak kedip liat catatan Faranell, terkejut bukan main dengar kenyataan tersebut, "K-kalo gitu ... kenapa ... kenapa gua nggak merasa ada kemajuan sama sekali?"
"Karena bukan cuma badan yang terluka, ternyata pikiranmu juga. Dan ... selama ini aku salah. Luka di pikiranmu justru lebih parah."
Gua ... nggak tau harus bilang apa atau harus ngapain selain terhenyak di tempat. Ngerti, pikiran gua emang lagi nggak karuan belakangan ini. Tapi ... nggak nyangka efeknya bakal segini dahsyat.
"Pikiran punya peran vital dalam proses pemulihan raga. Bebaskan pikiranmu dari segala ketakutan serta kegelisahan, dan kamu akan liat perbedaan signifikan." Faranell genggam lembut tangan gua, "Kamu belum lupa caranya meditasi, 'kan?"
"... Pikiran yang jernih, hati yang tenang dan damai." Tentu gua ingat sesi privat kami di Ether dulu.
Setelah itu, selama seminggu, tiap waktu senggang gua coba habiskan buat meditasi. Tenangkan pikiran, redakan gejolak jiwa. Coba untuk bangkitkan kembali sensasi yang pernah gua rasakan di Ether dulu. Sensasi kejernihan.
Otak gua coba mengingat kembali hal-hal yang bikin gua tenang. Gambaran yang terpampang jelas di benak; tiap moment bersama Elka. Saat dia kasih gua 'Latihan Neraka', ngajarin pake busur, mandi sembarangan di kamar mandi gua, pas seenaknya nyelonong masuk kamar, tidur bareng, cukur rambut, dan ... tiap kali dia tersenyum.
Senyuman lembut nan tulus kayak anak kecil, "Gua percaya lu, Ka," gua bergumam sendiri.
Esoknya, di hadapan gua berdiri kokoh penyangga yang selama ini seakan jadi rintangan pertama tak terlampaui.
"... Gua siap," ujar gua pada Faranell seraya buka mata begitu merasa sensasi kejernihan itu datang lagi.
Faranell tersenyum, "Aku tau."
Tangan gua genggam erat penyangga tersebut, dan badan mulai terangkat dari kursi roda. Berat badan sepenuhnya masih terfokus di tangan, bikin kedua tangan gua gemetar luar biasa. Keringat langsung mengucur deras.
Perlahan gua beranikan diri taro kaki kanan di lantai, dan mulai pusatkan berat badan ke sana.
"Be-berhasil! Gua berdiri!"
Faranell nggak kalah senang sekaligus haru, "Yes! Sekarang, coba ambil langkah."
"Nggak- Gu- gua ... nggak bisa," ARRRGH! perasaan takut dan cemas menyerang! Trauma akibat kesakitan mendalam cegah gua melangkah! Syaraf motorik serasa beku seketika.
"Cebol, dengar aku! Nggak ada yang perlu kamu takutkan. Kamu cuma perlu proyeksikan dirimu melangkah maju. Liat ke sana!" Si Grazier menunjuk ke depan gua, "bayangkan Elka berdiri di ujung sana, dan bayangkan dirimu mendekat ke dia."
"... HEERGH!" Segenap perasaan dan kekuatan gua kumpulkan untuk moment ini tapi tetap nggak bisa, "Hey, lu itu kaki gua. Lu harusnya dengar apa yang gua bilang, lu harusnya melakukan apa yang gua perintahkan. Elka di depan sana, dan kita bakal rebut dia kembali! Bergeraklah, brengsek!"
Be-bergerak! Kaki gua akhirnya bergerak maju! Namun begitu menapak, baru juga dua langkah gua langsung jatuh keras banget gegara sempoyongan parah. Otot-otot dan pikiran gua seakan lupa apa yang harus dilakukan untuk pertahankan keseimbangan dan jalan.
"Bol!" Faranell berseru penuh kecemasan. Dia langsung sigap menghampiri namun malah kaget.
"Ha ... haha ... ha," soalnya liat gua malah ketawa tapi sambil bercucuran air mata, plus ekspresi wajah yang entah gambarkan sedih atau senang.
Bahagia, lega, penuh haru. Ketawa sambil nangis juga begitu tau gua masih berkesempatan buat jalan lagi ... berjuang lagi.
.
.
398 ... 399 ... 400! 401 ... 40- ... 2.
"Just so you know, i still don't agree with your method of training (Asal kamu tau, aku masih tidak setuju dengan metode latihanmu)," ujar Faranell pas masuk ke ruang rehab. Tas kecil yang dia bawa terlihat sedikit basah.
Seakan masuk kuping kiri keluar kanan, gua terlalu sibuk konsentrasi atur pernapasan dan lanjut latihan. Tetes demi tetes keringat mengucur deras dari dahi dan tangan. Kaos putih agak longgar yang melekat di badan udah kuyup nggak karuan. Jahitan di kedua telapak tangan gua menutup sempurna, walau masih terlihat jelas bekasnya.
"i don't need ... your consent (Gua nggak butuh ... persetujuan lu)," balas gua sekenanya. Napas berpacu cepat seraya repetisi bertambah menuju 407.
Faranell terperangah dengar respon gua sebelum membalas, "Watch your attitude in front of your master, shorty. Or i might change my mind (Jaga sikapmu di depan gurumu, Cebol. Atau aku bisa aja berubah pikiran)."
Gua langsung balik berdiri dari posisi handstand push up, "Come on now, i don't mean it. Besides, i consider everything you suggested. I don't put too much pressure on my lower body (Ayolah, gua nggak serius. Lagian gua pertimbangkan semua saran lu kok. Gua nggak kasih terlalu banyak tekanan ke bagian bawah badan)."
5 bulan berlalu sejak 2 langkah pertama. Faranell masih mantau perkembangan kaki dan punggung gua. Dia bilang kondisinya meningkat pesat dan jauh lebih baik, tapi dia masih belum mau ambil risiko dengan izinkan gua berlatih secara berlebihan.
Ya udah gua putuskan buat perkuat otot-otot tubuh bagian atas aja selama 5 bulan terakhir dengan rangkaian latihan senam lantai. Handstand push up adalah salah satu latihan neraka Elka yang sulit gua kuasai dari dulu, dan sekarang setelah sekian lama bisa juga!
"Mau tau kenapa lu nggak bisa? Itu karena lu sering mikir kalo 'aduh, gua nggak bisa'. Itu namanya sugesti. Sebenarnya bisa kok, tapi karena terlalu sering mendoktrin diri sendiri dengan sugesti itu, alhasil jadi nggak bisa."
"Latihan yang dilakukan saat seseorang memiliki begitu banyak force negatif nggak pernah baik menurut gua. Dalam keadaan itu, kita cenderung nggak akan puas dengan latihan apapun yang udah dijalani. Dan pada akhirnya, hanya akan membuat kita terobsesi terhadap sesuatu yang nggak masuk akal."
I hear you loud and clear, Ka. Sulit dipercaya. Bisa-bisanya gua lupa beragam hal yang diajarkan tu anak.
"Aku harap kamu lupa tidak untuk buat aku kesal karena ada di tangan aku nasib kamu," kata Faranell sambil ketawa kecil pake bahasa Bellatean yang kurang bagus strukturnya.
"... Uhm. Gua tau lu berusaha semaksimal mungkin, tapi ... kalimat lu berantakan."
Selama ini kami juga coba belajar bahasa masing-masing di sela kekosongan waktu. Untuk sekarang, gua lebih unggul karena sedikit lebih baik dalam memahami substansi bahasa Corite. Faranell juga sebenarnya termasuk cepat paham, cuman buat balas perkataan masih rada-rada.
"Sudahlah. Ini namanya belajar." Si Grazier keluarkan minuman kaleng dingin rasa buah dari plastik tadi.
Dahi gua mengernyit, ada rasa bosan terhadap minuman itu. Tiap kali yang dibawa pasti gituan. Entah kapan terakhir kali gua minum minuman favorit, "Bawain soda kek sekali-kali."
"Say no more, my apprentice." celetuknya riang sambil lempar kaleng merah yang sangat nggak asing. Tentu gua tangkap dengan rasa senang juga, "Am i not the best master in the world? (Bukankah aku guru terbaik sedunia?)"
Gua tercengang sebelum tertawa kecil liat tingkahnya, "Thanks."
"Sudah siap hari ini?"
Usai minum beberapa teguk gua jawab, "Ya."
Faranell melangkah menuju tangga keluar dan menanti gua di atas sana. Tangga yang jadi penghalang antara tempat gua berada dan dunia luar. Sama sekali nggak terasa udah 7 bulan gua terperangkap di sini. Nggak jadi gila aja udah bagus. 7 bulan lalu gua putuskan untuk bulatkan tekad bakal naik tangga ini tanpa bantuan siapapun.
"I'm waiting."
Kaki gua siap ambil langkah pertama. Begitu hendak injak anak tangga, tetiba gua batalkan niat tersebut.
"Shorty? What's wrong?"
Karena terbesit di pikiran cara buat benar-benar taklukan halangan ini. Yaitu; naik tangga sambil handstand. Buat tunjukkan kalo gua belum habis. Semua ketakutan, semua kecemasan, sama sekali nggak berarti. Gua di sini ... untuk kembali.
"... Dasar. Banyak gaya," gumam Si Grazier liat gua menapaki satu per satu tangga sampe lewati dia dan terus keluar.
Sinar hangat langsung menerpa kulit begitu gua berada di luar. Gua berdiri dan rasakan semilir angin permainkan rambut kelabu yang udah tumbuh panjang. Sejauh mata memandang, permadani alam menghias dataran dan kelembutannya begitu manjakan telapak kaki. Suara desiran ombak saling sahut dengan kicauan burung sayup-sayup terdengar telinga.
Mata perlahan menutup supaya bisa resapi moment ini lebih dalam, lebih nikmat. Gua hampir lupa gimana rasanya berada di bawah langit tanpa penghalang sedikitpun.
"Selamat datang kembali," kata Faranell yang ada di belakang gua beberapa meter, "Lake."
Gua langsung balik badan dan menghampirinya dengan cepat. Gua peluk erat-erat tubuhnya seakan nggak mau lepas.
"E-eh!? What are you doing!? Thi- this! You can not! This is unappropriate!" Tentu dia panik mendadak dapat pelukan dari seorang lelaki. Bellatean pula. Tapi gua nggak peduli. Emosi gua terlalu dominan saat ini.
"Thank you ... thank you ..." gua berbisik di telinganya dan mengeratkan pelukan. Air nggak tertahan mengalir dari sudut mata dan membekas di pipi, "Thank you."
Suara gua bergetar dan cuma itu yang terucap dari mulut gegara nggak kepikiran mau ngomong apa lagi. Di saat gua pikir bakal lumpuh total dan nggak akan pernah bisa jalan lagi, dia nggak patah semangat. Di saat gua putus asa dan hendak terima pahitnya kenyataan, dia paksa gua buat bangkit dan coba lagi. Di saat gua nggak tau harus ngapain, dia bimbing gua di tengah kegelapan.
Tangannya perlahan balas pelukan dan menepuk punggung gua, "You're welcome."
####
"Please, don't sell your heart for a bit of strength." - Faranell (Ch. 55)
A/N: Dua tahun lalu saya iseng nyari keyword Elkanafia di google, eh ketemu satu cerita selain Lake di platform Kuskas yang di dalamnya ada nama karakter Elkanafia. Saat itu saya kaget, kok bisa? Karena saya begitu yakin Elkanafia adalah nama original yang cuma dimiliki Elka di cerita ini. Jadi saya klik cerita tersebut dan mulai baca dari awal sampe akhir. Berasa alternate universe.
Saya tersenyum saat itu karena saya yakin yang punya cerita pasti pernah baca cerita saya makanya sampe bisa kepikir nama Elkanafia. Sebut saya kepedean, but whatevs, shoutout buat kamu yang merasa menulis cerita tersebut!
Shoutout for you guys who gave Elka a lot of love. I really apprerciate it :D
Regards,
Mie.
