CHAPTER VIII: LOVE FOR McGONAGALL
Grimmauld Place
"Apa? Apa maksudmu Harry ada di sana!" Molly Weasley bertanya dengan nada tinggi pada suaminya.
"Harry ada di Azkaban, Molly. Beberapa orang melihatnya." Jawab Arthur Weasley dengan tenang.
"Tapi apa yang dia lakukan di sana?"
"Dia..." Mr Weasley merasa ragu apakah dia harus mengatakan apa yang dia tahu. Dia sebenarnya hanya mendengar bisikan beberapa orang anggota yang melihatnya, dan dia tidak ingin mempercayai perkataan mereka. Untunglah beberapa saat kemudian orang-orang telah mulai berkumpul dan Lupin memulai pertemuan.
"Baiklah. Seperti yang kalian tahu, siang tadi pasukan Voldemort menyerang Azkaban." Anggota order di hadapannya yang berjumlah hampir tiga puluh orang hampir semuanya berjengit mendengar nama Voldemort.
"Sejauh ini diperkirakan tujuan utama mereka adalah ingin mengambil alih penjara tersebut untuk menjadi salah satu markas mereka. Beruntung kesatuan auror bisa bertahan sebelum kita tiba di sana dan korban yang jatuh tidak terlalu banyak."
Lupin menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Tapi, tetap saja kita kehilangan beberapa anggota terbaik kita. Mari kita angkat gelas kita untuk Dedalus Giggle, Hestia Jones, dan Michael Tolland. Semoga kita yang tersisa ini mampu melanjutkan perjuangan mereka sehingga kematian mereka tidak sia-sia. Untuk Dedalus, Hestia, dan Michael."
Seluruh anggota order mengikuti Lupin mengangkat gelasnya dan mengucapkan nama mereka yang tewas.
"Baiklah. Berikutnya, aku ingin tahu apakah di antara kalian ada yang ingin kalian laporkan?"
Ada beberapa anggota yang mengangkat tangannya, tapi Mrs Weasley mendahului mereka semua. "Aku ingin tanya Remus. Apa benar Harry ada di Azkaban?"
Remus menyipitkan matanya. "Benarkah? Aku baru tahu itu. Kau tahu dari siapa Molly?"
"Itu benar, Lupin." Moody menjawab. Beberapa orang kini melihat ke arahnya.
'Apa tadi yang melakukan kutukan palu Thor itu Harry? Tidak mungkin. Tentunya James tidak sempat mengajarkan itu pada Harry. Apa Sirius yang mengajarkannya?' Pikir Lupin
"Potter memang terlibat dalam pertarungan di Azkaban. Bukan hanya itu, dia bekerjasama dengan Draco Malfoy untuk membebaskan ayahnya Lucius dari penjara. Dan mereka berhasil."
"APA!" Mrs Weasley berteriak. Para anggota order yang lain juga bergumam-gumam tidak percaya.
"Apa kau yakin dengan yang kau lihat Mad-Eye?" Tanya Lupin dengan tidak percaya.
"Yakin sekali." Geram Moody. "Aku lihat sendiri Potter mengawal Lucius Malfoy yang bersembunyi di balik jubah gaib yang kuasumsikan adalah jubah gaibnya Potter. Dan lebih buruk lagi, ketika aku hendak menghalangi Potter, Snape membantunya dengan menyerangku."
Terdengar lagi gumam-gumam, kali ini lebih keras. Yang paling keras terdengar adalah "apa Potter menjadi Death Eater?"
"Tenang!" Lupin menginstruksikan. "Apa ada yang bisa mengkonfirmasi hal ini?"
Seorang anggota order mengangkat tangannya. "Ya, Herbert? Kau melihat apa yang dilihat Mad-Eye?" Tanya Lupin.
"Aku tidak melihat Lucius Malfoy ataupun Potter. Tapi aku melihat Mad-Eye menghalangi dua orang berpakaian auror, salah satunya Draco Malfoy, dan satunya lagi berkacamata dan mengenakan bandana di kepalanya. Mungkin itu Potter yang berusaha menyembunyikan bekas lukanya."
"Harry memakai baju auror? Darimana dia bisa mendapatkan baju auror? Dan lebih penting lagi bagaimana dia bisa ada di Azkaban?" Lupin bertanya pelan lebih kepada dirinya sendiri.
"Sebenarnya Remus..." Tonks yang mendengar pertanyaan Lupin menjawab dengan malu-malu. "...aku tahu bagaimana Harry bisa ada di sana dan bagaimana dia mendapatkan baju auror."
"Benarkah? Bagaimana kau tahu?" Tanya Lupin penuh selidik.
"K-karena akulah yang membawa dia kesana dan aku juga yang memberikan pada dia baju auror tersebut." Tonks menundukkan kepalanya.
"APA! APA YANG KAU PIKIRKAN TONKS? KENAPA KAU MEMBAWA ANAK KECIL KE AZKABAN. KENAPA KAU..." Mr Weasley langsung membekap mulut istrinya supaya diam. "Tenang, Molly. Aku yakin Tonks punya alasan yang kuat."
"Tonks. Kau membawa Harry ke Azkaban?" Lupin bertanya dengan darah yang mulai naik ke kepalanya.
"Tak ada yang bisa kulakukan, Remus. Dia ada di markas auror ketika diumumkan Azkaban diserang. Dan dia memaksa untuk ikut membantu. Jadinya ya, aku membawa dia."
"Apa yang dilakukan Harry di markas auror?" Tanya Lupin lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang.
"Aku tidak tahu jelas. Dia hanya mengatakan tentang dia mengalahkan tiga orang Death Eater dan auror O'Brien dan Gibbons."
"Apa maksudnya?"
"Aku tidak tahu. Dia juga mengatakan alasan lain dia ke Azkaban adalah untuk berbicara dengan Lucius Malfoy dan ini menyangkut tentang misi terakhir dari Dumbledore."
Mendengar ini Lupin tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Kita tidak usah mencemaskan Harry lagi. Ayo kita lanjutkan."
"Tunggu dulu, Lupin. Kau tidak bisa begitu saja berpaling muka dalam hal ini. Potter baru saja membebaskan Lucius Malfoy. Lucius Malfoy." Moody menekankan.
"Apa yang kau mau aku lakukan, Mad-Eye?"
"Pertama-tama kau harus mengatakan pada kita apa maksud Potter membebaskan Malfoy. Kau tenang-tenang saja berarti kau tahu maksud dari Potter."
"Kau dengar sendiri dari Tonks kalau ini menyangkut misi dari Dumbledore." Jawab Lupin.
"Dan misi apa itu? Aku yakin anggota yang lain juga ingin tahu." Beberapa anggota menganggukkan kepala mereka.
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi aku percaya pada Harry."
"Kalau begitu kita lebih baik bertanya pada temannya Granger dan Weasley."
"Kurasa itu tidak perlu, Mad-Eye." Ucap Mrs Weasley. "Mereka masih terlalu muda untuk ikut rapat order."
"Mereka sudah cukup umur. Kurasa itu keputusan mereka sendiri apa mereka mau ikut rapat atau tidak. Bagaimana Lupin?" Tanya Mad-Eye.
Lupin mengangguk dan menyuruh Tonks untuk memanggil Ron dan Hermione.
Selama mereka menunggu, ada seorang anggota order lagi yang mengatakan bahwa dia juga melihat Harry.
"Apa tepatnya yang kau lihat Rickman?" Tanya Lupin.
"Awalnya aku tidak tahu kalau auror berbandana itu Potter sebelum mendengar Herbert tadi. Tapi yang jelas aku melihat auror berbandana itulah yang mengeluarkan kutukan sangat kuat yang sempat membuat kita terdiam sejenak. Kalian ingat itu?"
Terdapat anggukan dari sana sini.
"Apa? Maksudmu yang melakukan kutukan yang membunuh tiga orang Death Eater itu Harry?" Ucap Mr Weasley tak percaya.
"Tapi kutukan apa itu?" Tanya salah seorang anggota.
"Itu kutukan yang hanya diturunkan pada anggota keluarga Potter. Tapi James mengajarkannya padaku, Sirius, dan Peter. Itu kutukan yang digunakan Peter ketika membunuh tiga belas orang muggle enam belas tahun yang lalu." Para anggota terkejut mendengar hal ini.
"Bagaimana bisa Harry menguasai kutukan itu? Apa kau mengajarinya, Remus?" Tanya Molly.
Lupin menggelengkan kepalanya. "Kita tidak perlu mengkhawatirkan itu. Justru yang perlu kita khawatirkan adalah bagaimana kondisi mental Harry setelah dia tahu kalau dia telah membunuh tiga orang itu. Pembunuhan pertama adalah yang tersulit."
Tak ada yang berbicara sampai Ron dan Hermione masuk ke ruang pertemuan. Hermione tampak gugup berada dalam satu ruangan penyihir-penyihir dewasa yang memperhatikan dirinya dengan seksama. Sedangkan Ron kebalikannya, berdiri di ruangan ini adalah seperti mimpi indah yang terwujud bagi dia.
"Silakan duduk dulu Hermione, Ron." Ucap Lupin dengan ramah.
Setelah mereka berdua duduk, Lupin mengatakan pada mereka semuanya tentang apa yang baru mereka diskusikan kecuali fakta bahwa Harry baru saja membunuh tiga orang.
Setelah selesai, kedua sahabat Harry Potter hanya bisa duduk terpaku dengan mulut menganga.
"Katakanlah sesuatu kalian berdua." Mad-Eye kehilangan kesabarannya.
Hermione yang pertama bicara. "H-Harry ada di Azkaban? Dan dia membebaskan Lucius Malfoy?"
"Tunggu dulu. Itu mustahil. Belum juga ditambah dia dibantu oleh Snape? Aku tahu, ini pasti lelucon. Fred, George, ini pasti ide kalian. Lucu sekali, ha-ha-ha..." Melihat wajah serius anggota-anggota order, membuat Ron tutup mulut dengan muka merah karena malu.
"Hermione, Ron, apa kira-kira kau tahu alasan Harry membebaskan Lucius Malfoy?" Tanya Mr Weasley. Hermione menggelengkan kepalanya, begitu pula Ron.
"Bagaimana dengan misi terakhir dari Dumbledore yang dia katakan padaku?" Tanya Tonks.
"Oh, itu..." Ron langsung berhenti ngomong setelah kakinya ditendang Hermione.
"Maaf. Kami tidak bisa memberitahu soal itu. Harry belum memberi kami ijin untuk menceritakan hal itu pada orang lain." Ucap Hermione tegas.
"Ayolah Granger. Bagaimana kami bisa melindungi Potter kalau kami tidak tahu apa sebenarnya tujuan dia." Ucap Mad-Eye.
"Harry tidak membutuhkan perlindungan Order. Dia mengatakan itu di suratnya."
Moody mendengus. "Potter akan membutuhkan bantuan kami setelah tindakannya di Azkaban. Kementrian pasti sudah tahu tentang perbuatannya membebaskan Malfoy."
"Mungkin saja. Tapi kami tetap tidak bisa mengatakannya. Karena ini bukanlah rahasia kami. Kami berdua tidak punya hak untuk mengatakannya pada orang lain." Hermione berdiri sambil menarik Ron.
"Tunggu, Granger." Peringat Moody.
"Tidak. Kurasa perbincangan kita sudah cukup. Ayo Ron." Ron ditarik paksa oleh Hermione keluar dari ruangan.
Moody ingin menahan mereka tapi dilarang Lupin. "Biarkan mereka pergi. Jangan pernah memaksa orang melanggar janjinya kepada sahabat mereka."
"Tapi Lupin. Kita tidak bisa membiarkan Potter begitu saja. Bagaimana kita harus bertindak tanpa tahu di pihak mana sebenarnya dia berada?"
Lupin mengeluarkan selembar perkamen dan berkata dengan penuh keyakinan. "Aku tahu jelas Harry ada di pihak mana. Tadi pagi dia mengirim daftar nama-nama anggota Death Eater dan sasaran-sasaran potensial Voldemort. Kurasa ini sudah cukup membuktikan loyalitas Harry pada pihak yang benar."
"Darimana dia bisa mendapatkan itu?" Tanya Fred, atau mungkin juga George.
Lupin mengangkat bahunya. "Seekor burung hantu hitam mengantarkannya."
"Bukan Hedwig?" Mrs Weasley.
"Bukan. Hedwig ada di kamarku. Harry tidak membawa serta Hedwig. Mungkin dia tahu kalau Hedwig terlalu mudah dikenali sebagai burung hantunya Harry Potter."
Hermione masuk terlebih dahulu ke dalam salah satu kamar di lantai dua. Ron mengikuti di belakangnya.
"Kau tegas sekali tadi, Hermione. Walau kurasa bukan ide yang baik bicara seperti itu pada Mad-Eye Moody. Dia bisa mengubahmu jadi musang seperti Malfoy." Ron tertawa kecil. Tapi Hermione tidak menanggapinya. Justru Ron mendengar sebuah isakan dari Hermione.
"Mione? Kau tak apa-apa?" Ron menyentuh bahu Hermione dan mencoba membalikkan badannya.
"Kenapa?" Ucap Hermione.
"Kenapa apa?"
Hermione membalikkan badannya, air mata menetes di kedua pipinya. "Kenapa Harry tidak mengajak kita? Apa dia tidak mempercayai kita? Kenapa dia tega melakukan ini semua?"
Tanpa sadar apa yang dilakukannya, Ron mencoba menenangkan Hermione dengan menariknya dalam pelukan. "Kau pasti ingat pesan Harry. Dia ingin kita untuk hidup sepenuhnya. Dia tidak ingin kita terjebak dalam situasi seperti yang tadi dialami Harry. Dia sangat menyayangi kita, Hermy."
Baju Ron mulai basah karena air mata Hermione. "Hidup sepenuhnya? Tidakkah dia tahu hidup kita tidak bisa penuh tanpa dirinya? Seharusnya dia sadar kita tidak bisa bahagia tanpa Harry."
Ron tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka tetap dalam kondisi ini selama beberapa menit. Walaupun rambut lebat Hermione menggelitik dagu Ron, dia tidak tampak terganggu sama sekali.
Setelah Hermione berhenti meneteskan air matanya, mereka baru sadar posisi intim mereka sekarang. Tapi tidak satupun yang melepaskan pegangannya. Semuanya terasa benar dan pas.
Mata biru dan coklat saling menatap dengan penuh pengertian. Tak berapa lama, bibir kering Ron dilembabkan oleh bibir basah Hermione.
Potter's residence, 1976
Hujan mengguyur deras pada saat seorang penyihir berusia enam belas tahun mengetuk pintu sebuah rumah.
"James. Bukakan pintu."
"Oke, oke." James membukakan pintu dan melihat dalam kondisi basah kuyup, sahabatnya.
"Sirius." Seru James. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Huh, kukira kata pertamamu akan mengajakku berlindung dari hujan deras ini, James. Aku terlalu berharap banyak rupanya." Sirius tersenyum.
"Tentu saja. Sorry, masuk, masuk."
James melihat Sirius masuk sambil menjinjing peti kopernya. "Kau kabur dari rumah?"
"Aku sudah tidak tahan, James. Satu hari lagi saja di rumah itu, aku pasti sudah masuk St.Mungos bagian sakit jiwa. Karena itu, aku ingin tahu apa aku boleh..."
"Apa? Tinggal di sini?"
"Aku mengerti kalau tidak boleh. Lagipula aku..." Sirius menggumam.
"Sirius. Tentu saja kau boleh tinggal di sini. Orangtuaku juga pasti setuju. Kau seperti bicara sama orang asing saja." James memukul pelan bahu Sirius.
"Benarkah? Aku boleh tinggal di sini?" Ucap Sirius dengan wajah cerah.
"James. Siapa yang datang?" Ucap Mrs Potter sambil berjalan ke arah mereka. Dia lalu melihat Sirius.
"Kaukah itu Sirius? Demi Merlin, kau basah kuyup. Sini kukeringkan dulu." Mrs Potter mengeringkan Sirius dengan tongkatnya.
"Terima kasih, Mrs Potter."
"Mum. Sirius mau tinggal di sini selama musim panas. Boleh kan?"
Mrs Potter melihat Sirius dan peti kopernya. Dia tersenyum. "Tentu saja boleh. Kau sudah seperti saudara bagi James. James, antar dia ke kamar tamu."
"Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian, Mrs Potter. Dan jangan khawatir, aku akan membayar sendiri untuk makananku. Pamanku Alphard memberiku uang yang cukup." Ucap Sirius.
"Jangan konyol, Sirius. Kau tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun." Kata Mrs Potter.
Saat James dan Sirius hendak naik ke lantai dua, Mrs Potter bertanya. "Tunggu dulu. Yang kau maksud Alphard tadi apakah Alphard Dodge? Yang ketua Liga Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam?"
Sirius mengangguk. "Benar. Anda mengenalnya, Mrs Potter?"
"Aku kenal baik dengan dia." Mrs Potter kembali ke dapur.
"Ini dia Sirius. Selamat datang di 'casa the Potter'." Ucap James dengan dramatis.
"Kamar yang ... menarik." Sirius melihat sekelilingnya. "Kenapa dekorasinya sangat Hufflepuff?"
James tertawa kecil. "Ini ide ayahku. Dia ingin menekankan kalau semua asrama Hogwarts sama saja. Rumah ini ada empat kamar tidur utama. Kamarku sendiri berdekorasi Gryffindor, sedangkan kamar orangtuaku berdekorasi Ravenclaw."
"Pintar sekali." Sirius mulai membongkar peti kopernya.
"Kita akan bersenang-senang sekali musim panas ini Sirius. Kita juga bisa mengundang Remus dan Peter. Kita bisa main Quidditch di halaman, merencanakan trik-trik baru, dan juga merencanakan bagaimana caranya membuat Evans mau pergi kencan denganku."
Sirius tertawa. "Sampai kapan kau mau mengejar si Evans? Sudah, lupakan saja dia. Kepalamu ternyata lebih keras daripada batu Gargoyle sekalipun. Biar, kukenalkan kau pada teman-teman wanitaku."
"Oh ya? Kau kira aku tidak akan bisa mengajak kencan Lily Evans?" Ucap James tersinggung.
"Itu bukan perkiraan lagi. Itu fakta, James."
"Baiklah. Bagaimana kalau kita taruhan. Aku yakin bisa mengajaknya kencan ke Hogsmeade sebelum tahun baru."
Sirius memikirkannya sebentar. "Baiklah. Yang menang dapat apa?"
"Bagaimana kalau yang kalah harus menyatakan cinta mereka kepada McGonagall di aula besar pada saat sarapan." Ucap James penuh keyakinan.
"Setuju." Mereka berjabat tangan.
Harry membuka matanya. 'Hah? Mimpi yang aneh.'
Berbaring di kamarnya yang jauh lebih luas daripada kamarnya di Privet Drive, Harry membayangkan kembali kejadian yang dialaminya kemarin.
Dia mempertanyakan perbuatan-perbuatannya sendiri. Dia sadar membebaskan Lucius Malfoy akan membawa konsekuensi di masa mendatang. Tapi, saat itu dia tidak punya pilihan. Tidak ada yang lebih penting saat ini daripada menyingkirkan dunia dari Voldemort.
Kemudian pikirannya memainkan kembali kejadian ketika dia membunuh tiga orang Death Eater secara bersamaan. Hatinya serasa diiris-iris ketika mengingat-ingat hal ini.
'Lebih baik aku tidak punya semua kemampuan ini daripada harus menanggung rasa bersalah ini.' Harry menutup wajahnya dengan tangannya. 'Bagaimana kalau mereka Death Eater yang berada dalam pengaruh imperius?'
Saat-saat seperti inilah Harry meragukan keputusannya tidak mengajak Ron dan Hermione. Dia benar-benar butuh untuk bicara dengan seseorang. 'Apa aku telah membuat keputusan yang salah?'
Harry bangkit dari tempat tidurnya. Dia melihat dirinya sudah tidak memakai seragam auror lagi dan luka dibahunya sudah dibalut. 'Dobby.'
Crack
"Harry Potter sir. Harry Potter sudah bangun? Apa Harry Potter ingin memakan sarapannya di tempat tidur?"
"Sarapan?" Harry melihat cahaya matahari pagi masuk ke kamarnya. "Sudah berapa lama aku tertidur, Dobby?"
"Harry Potter tertidur lebih dari 15 jam. Dobby tiap jam memeriksa keadaan Harry Potter. Dobby juga mengganti baju kotor Harry Potter dan mengobati luka Harry Potter."
"Apa kau tidak tidur semalaman, Dobby?"
"Dobby khawatir pada kondisi Harry Potter." Dobby menundukkan kepalanya. "Apa Harry Potter ingin memakan sarapannya di sini. Dobby bisa membawanya kemari."
Harry berdiri. "Tidak perlu Dobby. Aku makan saja di meja makan. Kau istirahat saja, Dobby. Aku baik-baik saja."
Dobby hendak protes tapi Harry menatapnya kalau ini bukanlah negosiasi. Dobby menghilang dari kamarnya untuk tidur di kamarnya sendiri.
'Untuk 5 Galleon seminggu, pelayanan Dobby melebihi standar.' Harry terkesan.
Harry kemudian sarapan di meja makannya yang sudah dipenuhi oleh makanan yang telah disiapkan oleh Dobby.
Setelah selesai sarapan, Harry hendak mengambil koran Daily Prophet, tapi dia teringat tentang ingatan dari Lucius Malfoy dan dia ingin segera melihatnya.
Harry membuka lemari penyimpanannya. Dia mengeluarkan botol yang kemarin dia transfigurasi, dan juga sebuah pensieve. Pensieve-nya Dumbledore.
Flashback. Grimmauld Place, awal musim panas.
"Potter." Harry mengangkat kepalanya dan melihat ternyata McGonagall yang tadi memanggilnya.
"Ya, Professor?"
"Temui aku di perpustakaan keluarga setelah kau menyelesaikan makan malammu." Lalu kepala sekolah Hogwarts yang baru itu melangkah pergi.
"Apa yang kira-kira diinginkan McGonagall?" Tanya Ron.
Harry mengangkat bahunya. "Mungkin dia ingin menanyakan lagi tentang apa yang aku lakukan dengan Professor Dumbledore sebelum kematiannya."
Selesai makan, Harry masuk sendirian kedalam perpustakaan Keluarga Black. Di dalam, McGonagall sudah menunggu di salah satu meja sambil menulis pada di selembar perkamen.
"Anda ingin menemuiku, Professor?"
McGonagall mengangguk. "Silakan duduk, Potter."
Harry duduk. Tatapan McGonagall membuatnya tidak nyaman. Harry hendak menanyakan maksud McGonagall menyuruhnya kemari, tapi gurunya tersebut memecah kesunyian.
"Albus meninggalkan beberapa benda untukmu, Potter." Ucap McGonagall.
"Benarkah? Benda apa?"
"Pertama, dia meninggalkan surat ini untukmu." McGonagall menyerahkan Harry sebuah amplop yang sekilas hampir sama dengan surat resmi yang dikirimkan Hogwarts pada murid-muridnya.
"Albus mengatur sedemikian rupa agar hanya kau yang bisa membuka surat itu."
Dengan segera Harry melepaskan perekat amplop tersebut dan mengeluarkan surat yang ada di dalamnya.
Dear Harry,
Aku menulis surat ini tepat setelah kau pergi mengambil jubah gaibmu sebelum kita pergi mencari horcrux yang kuasumsikan adalah kalung Slytherin.
Begitu melihat sinar merah matahari dari kantorku yang rapih ini, aku tahu ini merupakan terakhir kalinya aku akan melihat matahari yang agung itu. Penyihir setua dan sebijaksana sepertiku kadang-kadang bisa tahu akan hal ini. Professor Trelawney pasti bangga.
Kurasa cukup cerocosan dari penyihir tua ini. Sekarang kita masuk ke topik yang sebenarnya.
Harry, setelah aku pergi, boleh dibilang kau tidak punya lagi tokoh orangtua dalam hidupmu. Tapi kita harus selalu mengambil positifnya dari segala sesuatu. Dalam hal ini, karena ketidakhadiranku, tidak ada lagi yang menghalangi antara kau dan takdirmu.
Jujur saja, aku tidak yakin akan membiarkanmu menghadapi Voldemort apabila aku masih bernapas. Seperti yang pernah kubilang, aku terlalu menyayangimu. Kalau bisa aku ingin menanggung semua beban di pundakmu.
Kau bisa memilih untuk berpaling dari takdirmu tentu saja. Tapi kita berdua tahu apa yang akan kau lakukan. Karena itu sepanjang tahun ini aku berusaha menempatkanmu di jalur yang tepat dalam menghabisi riwayat Lord Voldemort.
Walaupun benar aku akan pergi malam ini, aku akan tetap berusaha agar kau tetap berada di jalur tersebut dengan meninggalkan beberapa benda padamu.
Yang pertama, tentu saja aku akan meninggalkanmu barang paling berguna yang kita gunakan tahun ini. Tentunya kau sudah bisa menduga yang kumaksud adalah Pensieve. Dalam Pensieve ini terdapat ingatan-ingatan yang pernah kita lihat bersama sepanjang tahun ini. Ada juga ingatan-ingatan yang belum pernah kau lihat. Mungkin ini akan berguna untukmu.
Benda yang kedua adalah pedang Godric Gryffindor. Entah kenapa semenjak kau menggunakan pedang tersebut di tahun keduamu, aku selalu merasa tidak nyaman ketika melihat pedang itu terpajang di kantorku. Seakan-akan pedang itu tidak pantas berada di sana, tapi mungkin akan terlihat pantas di genggaman seorang Gruffindor sejati sepertimu.
Aku punya keyakinan penuh kepadamu untuk melakukan apa yang perlu dilakukan. Bila kau sedang merasa tersesat, ikuti selalu hatimu. Karena hatimulah yang selama ini membentuk dirimu sekarang yang sangat kukagumi.
Satu kata terakhir dariku, dungu! Gendut Aneh! Jewer!
Albus Dumbledore
End Flashback
"Mari kita lihat apa yang diingat oleh Malfoy senior." Harry berkata pada dirinya sendiri sambil menuangkan isi dari botol yang berisi ingatan Lucius Malfoy tersebut.
Harry mencondongkan mukanya ke dalam zat perak Pensieve dan kakinya terangkat membawa dia masuk.
Author's notes: What do you think about the romance? Sorry kalo si rambut merah dan si pintar rada-rada OOC. I think it's because I'm not very fond of both character. Anyway, on to the next chapter.
