CHAPTER IX: FIRE AND ICE

Harry kini berada dalam kerumunan anak-anak yang mengenakan seragam Hogwarts. Tidak jauh dari situ, Lucius Malfoy terlihat sedang menembus kerumunan orang dengan kasar, menyingkirkan orang-orang yang menghalanginya dengan lagak bangsawan.

'Apa ini akhir tahun ajaran?' Harry mengikuti Lucius Malfoy. Pertama-tama agak sulit, tapi kemudian dia ingat bahwa dia sedang berada di sebuah ingatan. Jadinya dia langsung menembus orang-orang dan bergerak langsung ke arah Malfoy.

Harry penasaran apa yang dilakukan Malfoy di Hogwarts pada akhir ajaran seperti ini. Tentunya para orangtua tidak menjemput anaknya langsung dari Hogwarts. Normalnya mereka menjemput anak-anak mereka di stasiun King's Cross.

Lucius Malfoy kelihatannya malah bergerak menjauhi anak-anak Hogwarts. Dan setelah beberapa saat, Harry menduga Malfoy berjalan ke arah danau. 'Apa yang dia lakukan?'

Lalu Harry melihatnya, siluet kapal berukuran besar dari danau hitam. "Ah, ini pasti kejadian pada tahun keempat."

Lucius Malfoy menghampiri orang yang dikenal oleh Harry.

"Mr Krum. Lucius Malfoy." Mereka berdua berjabat tangan. "Aku sudah lama ingin bertemu denganmu. Aku kenal baik dengan ayahmu..."

Perbincangan mereka berdua tampaknya biasa-biasa saja. Mereka berbincang hal-hal yang tidak penting.

"Aku sendiri punya cukup banyak peliharaan kelelawar Transillvania, apa kau tertarik, Krum?"

"Tentu saja, ayahku juga punya satu."

Harry berusaha mendengarkan dengan seksama perbincangan mereka kalau-kalau ada hal penting yang dia lewatkan. Tetapi dia tidak menemukan hal berarti dari hal-hal yang mereka katakan.

"Baiklah, kau akan mendapatkan kelelawarmu bulan depan."

"Tentu saja, beritahu dimana aku harus mengambilnya."

Harry mulai merasa cemas bahwa dia sudah ditipu oleh Lucius Malfoy.

"Apa teman-temanmu ada yang tertarik?"

"Aku kenal beberapa orang mungkin tertarik memelihara kelelawar Transillvania, Mr Malfoy."

Kecemasan Harry mulai menjadi-jadi ketika Lucius Malfoy kembali menjabat tangan Victor Krum untuk mengakhiri perbincangan mereka.

"Senang bertemu denganmu, aku akan menghubungimu lagi." Ucap Lucius Malfoy.

Krum melihat sesuatu dari belakang Malfoy. "Stanislav. Darimana saja kau? Barang-barangmu sudah tiba di sini. Itu dia." Krum menunjuk ke tumpukan koper yang berada di dekat Malfoy dan berjalan mendekati temannya.

"Krum. Bagaimana? Kau sudah memberikan suratmu pada gadis Granger itu?" Tanya Stanislav.

Krum dan temannya terlibat perbincangan. Tapi Harry tidak memperhatikannya karena Harry tertarik dengan gerak-gerik mencurigakan Lucius Malfoy. Penyihir berambut pirang itu melihat tumpukan koper milik Stanislav dengan pandangan tertarik.

Malfoy melihat pada Krum dan Stanislav yang berbicara dengan serius sehingga tidak melihat Lucius Malfoy menyelipkan sebuah sarung tangan berwarna biru ke dalam salah satu koper Stanislav yang sedikit terbuka.

Setelah itu, lingkungan dimana Harry berada kini menjadi tempat berwarna putih yang tidak berujung. Harry kemudian keluar dari Pensieve.


Harry duduk di sofanya sambil merenungkan apa yang baru saja dilihatnya. 'Jadi sarung tangan itu dimasukkan ke dalam koper seseorang yang bernama Stanislav, temannya Krum.'

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. 'Mencari horcrux benar-benar tidak mudah, kukira Malfoy akan langsung menunjukkan tempat sarung tangan itu. Tapi kini sarung tangan itu ada di orang lain, semuanya jadi berbeda. Bagaimana kalau orang yang bernama Stanislav itu telah membuangnya?'

Harry benar-benar bingung. Dia tidak bisa memikirkan hal ini sendirian. Dia butuh orang lain untuk mendiskusikan hal ini. Setelah Ron dan Hermione tidak ada lagi di sisinya, pilihannya jadi sangat terbatas.

'Hanya satu yang bisa kulakukan.'

Harry kembali ke kamarnya dan mengambil cermin dua arah yang diberikan oleh Mr Croake dari Departemen Misteri.

"Allison Umbridge." Ucap Harry pada cermin itu, tapi tidak ada reaksi. Dia mencobanya lagi sampai tiga kali sebelum bayangan dirinya di cermin memudar dan berganti menjadi wajah halus Allison Umbridge.

"Ada apa, Potter?" Suaranya terdengar malas, seakan-akan berbicara pada Harry adalah pilihan terakhirnya dia.

"Err...bagaimana hasil penelitian kalian?" Harry benar-benar bingung bagaimana seharusnya bicara pada Umbridge muda ini.

"Baru kemarin kau meminta kami melakukan penelitian. Jadinya belum banyak yang bisa kami temukan."

"Oh." Ucap Harry dengan nada kecewa.

"Terutama mengenai horcrux, hampir tidak ada yang bisa kami temukan. Tetapi apabila mengenai artifak-artifak peninggalan pendiri Hogwarts, sudah cukup banyak yang kami temukan."

Semangat Harry kembali lagi. "Bagus sekali. Benda apa saja mereka?"

Allison berpikir sebentar. "Lebih baik kita bertemu. Karena Mr Croake menyarankan aku untuk menyerahkan langsung berkas-berkas ini padamu."

"Err..." Haruskah dia membiarkan Allison datang ke rumahnya? Orang yang hampir tidak dia kenal?

"Oke. Datanglah ke Knockturn Alley no 57. Kau akan menemukan sebuah toko tidak berpenghuni. Ketuk pintunya tiga kali. Beri jarak lima detik, lalu ketuk lagi tiga kali. Peri rumahku akan membawamu masuk."

Terlihat ekspresi tidak percaya dari Allison. "Knockturn Alley? Kau serius?"

Harry mengangguk. "Kenapa? Kau takut datang kemari?"

"Maumu, Potter." Bentak Allison. "Aku akan sampai dalam 30 menit." Wajahnya langsung hilang dari cermin.

'Apa sebenarnya masalah dia?'

Tepat 30 menit kemudian, Dobby memandu Allison masuk ke dalam ruangan tengah flatnya Harry.

Harry sempat kehilangan kata-kata ketika melihat Allison masuk dengan anggunnya ke dalam ruangan sambil memegang tumpukan perkamen di tangannya.

"Kenapa melihatku seperti itu, Potter? Kalian Gryffindor memang tidak tahu tata krama menyambut tamu."

"Apa? Oh, iya. Silakan duduk, Allison." Tapi penyihir wanita itu tidak duduk dan kembali hanya mengernyit.

"Kenapa?" Tanya Harry.

"Kita belum cukup kenal untuk saling memanggil dengan nama pertama." Setelah mengucapkan itu dia duduk di sofa hadapan Harry.

"Aku tahu kita baru kenal. Tapi aku tidak bisa memanggilmu Umbridge, karena itu akan membuatku teringat perbuatannya padaku ketika di Hogwarts."

Allison mendengus. "Seharusnya akulah yang tidak merasa puas akan perbuatanmu pada ibuku."

"Sebenarnya apa masalahmu!" Harry bangkit dari tempat duduknya dengan marah.

"Kau! Aku ada masalah dengan kau!" Allison juga kini berdiri.

"Aku? Apa salahku? Apa yang kulakukan padamu? Atau pada ibumu huh? Apa coba?"

Allison membanting tumpukan perkamen yang dibawanya ke atas meja yang memisahkan mereka berdua dan membuat perkamen-perkamen itu beterbangan. "Gara-gara kau! Gara-gara kau ibuku hampir saja tewas di tangan para centaurus! Aku tidak akan pernah memaafkanmu untuk hal itu!"

"Aku! Kenapa kau menyalahkan aku? Memangnya apa yang telah dikatakan ibumu?"

Dari balik kacamatanya, Harry dapat melihat mata Allison sudah berair. "Kau tidak perlu mengetahui apa yang dikatakan ibuku. Yang jelas seharusnya kau dipenjara di Azkaban atas perbuatanmu."

Harry hendak membalas perkataan Allison tapi dia menahannya. 'Andai saja dia tahu yang sebenarnya.' Harry duduk kembali. "Sudahlah, kalau kita begini terus, kita tak akan ada kemajuan. Kita simpan saja dulu rasa permusuhan kita. Karena yang sedang kulakukan ini jauh lebih penting dari permusuhan konyol antara aku dan ibumu. Dobby, tolong rapikan kembali perkamen-perkamen itu."

Butuh waktu sebentar bagi Allison untuk menenangkan dirinya. Dia membungkuk membereskan berkas-berkas yang dia bawa tanpa mempedulikan usaha Dobby yang sedang membereskannya.

Harry sama sekali tidak melihat ke arah Allison, dia masih berusaha menahan agar amarahnya tidak meledak lagi.

Tapi tiba-tiba Allison bertanya padanya dengan suara yang normal. "Kenapa kau tinggal di sini, Potter?"

"Huh?" Harry melihat Allison masih membereskan berkas-berkasnya. Sepertinya rasa penasaran mengalahkan rasa amarah.

"Kenapa tidak? Ini ide bagus bukan. Tidak ada yang akan pernah menyangka Harry Potter tinggal di Knockturn Alley. Para Goblin di Gringgot's memang pintar." Jawab Harry.

Keadaan normal kembali kini setelah Allison duduk kembali dengan segalanya rapih tersusun di meja. Dobby juga sudah mengantarkan dua buah gelas Butterbeer dan sejumlah snacks.

"Baiklah, apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku?" Tanya Harry.

Allison mengambil selembar perkamen dan menyerahkannya pada Harry. "Ini temuan awal yang kami dapat tentang Horcrux. Intinya perkamen itu menjelaskan tentang apa itu horcrux, dan juga bagaimana cara membuatnya. Kami belum mendapatkan informasi tentang bagaimana cara menghancurkan horcrux."

Harry melihat sekilas tulisan di perkamen tersebut dan dia menyadari informasi dari perkamen tersebut tidak ada yang belum dia ketahui.

"Kemudian. Ini daftar artefak-artefak peninggalan Godric Gryffindor beserta dugaan letak mereka berada kini dan juga kekuatan yang mungkin mereka miliki." Allison menyerahkan beberapa lembar perkamen.

"Sebanyak ini? Professor Dumbledore mengatakan Godric Gryffindor hanya meninggalkan satu artefak, yaitu pedangnya." Harry melihat setidaknya dua lusin benda disebutkan dalam perkamen tersebut.

"Tidak seperti pendapat kebanyakan orang, banyak juga yang tidak diketahui oleh Dumbledore." Ucap Allison dengan tenang. Dia masih memilah-milah perkamen di hadapannya.

"Ini daftar peninggalan Ravenclaw." Lanjut Allison. "Slytherin...Hufflepuff."

Di meja, perkamen-perkamen kini terbagi menjadi lima bagian.

"Wah. Mencari Horcrux memang lebih susah dari dugaanku." Ucap Harry sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.

"Mungkin kalau kau memberitahu semua yang kau tahu. Itu akan mengecilkan area yang harus kita teliti." Kata Allison. Suaranya benar-benar tidak mengindikasikan kalau baru beberapa menit yang lalu dia meledak marah.

Harry berpikir sebentar tentang haruskah dia memberikan semua informasi berharga yang dia miliki kepada seseorang yang jelas-jelas membencinya.

"Lebih baik kita melakukan ini selangkah demi selangkah. Aku sedang mengincar sebuah artefak yang kuyakini hampir seratus persen kalau artefak itu adalah sebuah Horcrux."

"Artefak yang mana?"

"Yang kutahu artefak itu berbentuk sarung tangan dan berwarna biru." Jawab Harry.

"Biru? Mungkin itu salah satu artefak milik Rowena Ravenclaw." Allison mengambil tumpukan Ravenclaw dan mulai membacanya dengan seksama.

"Sini biar kubantu." Tawar Harry.

Allison menyerahkan dengan kasar dua lembar perkamen ke tangan Harry. Harry hanya mendesah.

Mereka berdua mulai meneliti perkamen di hadapan mereka dalam kesunyian.

Harry benar-benar tidak menyangka Rowena Ravenclaw masih menyisakan peninggalan sebanyak ini. Dia melihat beberapa benda menarik seperti sebuah tombak yang menurut keterangan memiliki kemampuan untuk mendatangkan petir apabila si pemegang ingin menyerang lawannya dengan petir. Hanya saja keberadaan benda itu merupakan tanda tanya.

Beberapa benda ternyata hanya benda biasa yang tidak memiliki kekuatan sihir dan keberadaannya diketahui. Seperti sebuah sendok emas yang dimiliki oleh sebuah keluarga penyihir di Amerika Selatan.

Tapi Harry tidak memiliki apa yang dia cari. Dan Harry berharap Allison menemukan sesuatu dari perkamen yang dia pegang.

"Kurasa ini dia." Allison menegakkan badannya.

"Kau menemukannya?"

"Aku tidak tahu pasti. Tapi di sini disebutkan bahwa Rowena Ravenclaw memiliki sebuah sarung tangan yang tampaknya memiliki kekuatan sihir."

"Apa kekuatannya?" Tanya Harry.

"Di sini hanya disebutkan kalau sarung tangan tersebut akan membawa bencana bagi si pemakai apabila si pemakai tersebut tidak layak." Terang Allison.

"Apa maksudnya? Bagaimana dengan keberadaannya?"

"Menurut catatan, sarung tangan tersebut sebelumnya berada di museum sihir Perancis. Tapi pada tahun 1975, sarung tangan itu dicuri dan sampai kini pelakunya belum tertangkap."

"Voldemort." Kata Harry.

Allison mengangguk. "Mungkin. Kau tahu di mana sarung tangan itu kini berada?"

Harry mengangguk. "Menurut informasi yang kudapatkan kemarin. Sarung tangan itu kini berada di tangan temannya Viktor Krum yang bernama Stanislav."

Harry menduga wajah Allison sempat berubah menjadi cerah ketika dia menyebut nama Viktor Krum, tapi mungkin itu hanya perasaannya saja.

"Nama pertama atau nama keluarga?" Tanya Allison.

"Aku tidak tahu."

"Hmm...Mungkin kau harus menanyakannya langsung pada Viktor Krum."

"Baiklah, aku akan mengiriminya surat."

Allison mendesah. "Orang terkenal seperti Viktor Krum tidak bisa begitu saja menerima surat dari orang yang tidak dikenal. Dia hanya menerima surat dari burung hantu yang sudah dikenalnya. Dari semua orang, seharusnya kau tahu itu, Potter."

"Apa maksudmu?" Tanya Harry dengan kebingungan.

"Berapa banyak biasanya kau menerima surat tiap tahun?"

"Tidak banyak. Hanya dari teman-temanku saja." Jawab Harry.

"Dan apakah menurutmu hal itu tidak aneh? Orang terkenal sepertimu tidak mendapat surat dari orang lain, misalnya dari penggemarmu?"

"Apa sebenarnya maksudmu, Allison?" Tanya Harry tidak sabar.

"Dumbledore pasti telah mengatur sedemikian rupa sehingga hanya surat-surat dari temanmu atau dari dia yang sampai ke tanganmu. Apa kau tidak merasa heran kau tidak pernah menerima surat fans atau mungkin surat yang berbahaya ketika orang-orang tidak percaya kau-tahu-siapa sudah bangkit kembali?"

'Benar juga.' Pikir Harry. Selama ini memang dia tidak pernah menyadarinya. Dumbledore pastinya telah menyeleksi surat-surat untuk sampai ke tangan Harry. Dia tidak tahu apakah dia harus merasa bersyukur atau kesal.

"Jadi aku harus bagaimana? Apa aku harus menemuinya langsung?" Tanya Harry. Dan dari ekspresi Allison, Harry tahu hal itulah yang harus dilakukannya.

"Oke. Apa kau tahu Krum sekarang ada di mana?"

Allison langsung menjawabnya dengan cepat. "Viktor Krum sekarang sedang berada di Durmstrang menjadi instruktur terbang karena musim Quidditch Bulgaria sedang istirahat." Dia langsung menundukkan kepalanya seolah-olah baru sadar apa yang baru saja dikatakannya.

"Tampaknya ada yang nge-fans sama Viktor Krum di ruangan ini." Kata Harry terkesan. Dia dapat melihat pipi Allison sedikit merona merah.

"Kalau begitu besok aku akan berangkat ke Durmstrang. Apa di Departemen Hubungan Internasional ada Portkey yang bisa langsung membawaku ke Durmstrang?"

Allison memandang Harry dengan bingung. "Apa kau tidak membaca Daily Prophet hari ini, Potter?"

"Memang kenapa? Aku memang belum membacanya. Apa hubungannya dengan kepergianku ke Durmstrang?" Kini Harry yang bingung.

"Kalau kau membacanya, kau akan tahu kalau kau telah menjadi salah satu orang yang dicari oleh Kementrian karena perbuatanmu berkolaborasi dengan Death Eater kemarin"

"Apa? Itu omong kosong!"

"Jadi kau menyangkal kalau kau membantu Draco Malfoy dalam membebaskan ayahnya?" Tanya Allison. Terdengar nada puas dari perkataan Allison.

"Oh." Harry kehabisan kata-kata karena malu. "Itu kurang lebih benar. Tapi aku punya alasan yang kuat."

"Aku yakin itu. Tapi itu berarti kau harus membuat sebuah pilihan."

"Pilihan apa?"

"Pertama, kau bisa menyerahkan dirimu kepada Kementrian. Kedua, kau bisa terus menjadi buronan Kementrian. Apabila kau memilih yang pertama, kau bisa ditahan untuk beberapa waktu sebelum kau disidangkan. Kesempatan bebas sangat besar tentu saja. Karena dari yang kubaca, hanya dua orang auror yang mengenalimu di Azkaban. Sedangkan tidak satupun dari 'orang-orang Dumbledore' yang mengaku telah melihatmu. Sepertinya mereka telah diinstruksikan untuk melindungimu. Yang jelas pilihan pertama ini akan menghambat misimu untuk beberapa bulan."

Harry meresap semua yang telah dikatakan Allison. "Aku tidak bisa menunggu berbulan-bulan. Voldemort pasti akan tahu alasanku membebaskan Malfoy dan dia akan bergerak mencari Horcruxnya yang hilang."

"Pilihan yang kedua kalau begitu." Ucap Allison.

Harry mengangguk. "Ada saran?"

"Aku akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Mr Croake tentang bagaimana dan kapan sebaiknya kau ke Durmstrang. Sementara itu, kau pelajari saja dulu berkas-berkas ini dan pulihkan kondisimu." Saran Allison.

Harry berpikir ini adalah pilihan yang terbaik. "Baiklah."

Ketika Allison telah pergi, Harry lupa membicarakan tentang kemampuan yang dimilikinya kini setelah kejadian di Godric's Hollow.